Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya.
Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana,
sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang
melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini
dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang
Sabil.
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula
wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di
Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng
Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya
memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi
racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, dan akhirnya meninggal
pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh
Merdeka.
No comments:
Post a Comment