Showing posts with label KISAH-KISAH ISLAMI. Show all posts
Showing posts with label KISAH-KISAH ISLAMI. Show all posts

Saturday, July 27, 2013

7 KEISTIMEWAAN LAILATUL QADAR

Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.

Dikesempatan ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.

1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an

Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.

2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).

An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.

3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.

4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar

Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)

Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)

Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.

5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’

Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)

yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.

6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan

Allah Ta’ala berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.

Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah­ dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.

7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari, 4: 251)[1]

Ya Allah, mudahkanlah kami meraih keistimewaan Lailatul Qadar dengan bisa mengisi hari-hari terakhir kami di bulan Ramadhan dengan amalan shalih.
Aamiin Yaa Mujibas Saa-ilin.
 
Semoga bermanfaat.
Silakan di TAQ/SHARE semoga menjadi amal kebaikan bersama

Monday, July 8, 2013

MASA KEMAJUAN ISLAM

A.      KHALIFAH RASYIDAH
Nabi Muhammad SAW. Meninggal dunia pada pada tahun 632 M setelah sebagian besar Arabia masuk Islam. Wafatnya Nabi Muhammad menghadapkan masyarakan Muslim yang masih bayi itu pada sesuatu yang berwujud krisis konstitusional. Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan menurut garis-garis majelis suku yang mungkin bisa melaksanakan kekuasaan selama masa peralihan yang sangat gawat itu. Segera setelah wafatnya Nabi, tiga golongan yang bersaing yaitu, Anshar, Muhajirim, dan Hasyim terlibat di dalam permasalahan kekhalifahan (khilafah).
Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang-orang yang memberi tempat kepada Nabi pada saat-saat krisis. Oleh karena itu, seorang penerus Nabi harus dipilih di antara mereka. Kaum muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah orang yang terbaik untuk menggantikan Nabi. Sebagai pemimpin umat Islam setelah rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.

1.        Abu Bakar (11-13 H / 632-634 M)
Abu bakar lahir pada 573 M. Lebih muda sekitar tiga tahun dari Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar lahir dan besar ia diberi nama lain: Atiq. Nama ini di ambil dari nama lain Ka’bah, Baitul Atiq yang berarti rumah purba. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya menjadi Abdullah. Namun Abu Bakar sendiri konon berasal dari predikat pelopor dalam Islam. Bakar berarti dini atau awal. Sepeninggal Rasulullah, kaum Muslimin mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah. Tak mengherankan, karena sebelum Rasulullah diangkat pun Abu Bakar telah menjadi orang kedua setelah beliau.

v  Pencapaian Abu Bakar
   Setelah menjadi khalifah, yang pertama-tama menjadi perhatian Abu Bakar adalah melaksanakan keinginan Nabi yang hampir tidak bisa terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan Usamah ke perbatasan Siria untuk membalas pembunuhan ayah Usamah, yaitu Zaid, dan kerugian yang di derita oleh umat Islam di dalam perang Mut;ah. Ekspedisi itu ada pengaruhnya. Keberanian Abu Bakar untuk melanjutkan pengiriman ekspedisi meyakinkan orang-orang Badui akan keadaan kekuatannya di dalam negeri.

v  Memerangi Kemurtadan
Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalifah ibn Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini. Tampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirimkan kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai Al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirik ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn ‘Ash, Yazid ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria selama dua tahun.
  
v  Wafatnya Abu Bakar
Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring di tempat tidur. Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah penggantian dan mencalonkan seorang pengganti, kalau-kalau hal itu akan melibatkan rakyatnya ke dalam suatu perang saudara. Meskipun dari pengalamannya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali Umar bin Khatab yang dapat mengambil tanggung  jawab kekhalifahan yang berat itu, karena masih ingin menggembleng pendapat umum, dia bermusyawarah dengan para sahabatyang terpandang. Abu Bakar memanggil Usman dan mendiktekan teks perintah yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Dia meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 624 M. Shalat jenaza dipimpin oleh Umar, dan dan dia dikuburkan drumah Aisyah di samping makam Nabi. Dia berusia 63 tahun ketika meninggal dunia, dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan dan 11 hari.

2.        Umar bin Khathab (13-25 H / 634-644 M)
            Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihab dan perpecahan di kalangan umat Islam. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).

v  Penaklukan Syria dan Irak
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M Dan setahun kemudian. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandar, ibu kota Mesir, ditaklukkan t5ahun 641 M. Serangan dim lanjutkan ke ibu kota Persia, Al-Maidan yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat di kuasai.
v  Penaklukan Persia
Pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islamsudah meliputi Jazirah Arabia, Pelestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur dministrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan di atur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian di bentuk. Umar mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.
Akan tetapi, kekhalifahan Umar tidak kurang pula mencoloknyadalam pembaruan-pembaruan pemerintahannya. Untuk itu dia di anggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari pemerintahan Islam. “Selama 30 tahun berdirinyarepublik itu,” kata Amir Ali “Kebijakannya memperoleh cirinya terutama dari Umar, baik selama masa hidupnya maupun setelah wafatnya.

v  Wafatnya Khalifah Umar
Wafatnya Umar sangat tragis, suatu hari seorang budak bangsa Persiayang bernama Feroz datang kepada Umar dengan pengaduan bahwa majikannya telah membebankan atasnya pajak yang sangat berat. Umar berjanji untuk memeriksa masalah itu. Hari berikutnya, ketika orang-orang berkumpul di Masjid Madinahuntuk shalat, Feroz menyelinap masuk dan berkumpul dengan mereka. Baru saja Umar melakukan shalat, Feroz tiba-tiba menyerang dari belakang dan menusuk Umar. Umar meninggal dunia tiga hari kemudian dan dimakamkan pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram tahun 23 H atau 644 M. Kekhalifahannya berlangsung selama 10 tahun 6 bulan 4 hari.

3.        Usman bin Affan (24-36 H / 644-656 M)
Usman bin affan, khalifah islam ketiga yang saleh itu, dilahirkan pada tahun 573 M di dalam marga Umayah dari keluarga besar Quraisy. Nabi sangat mengaguminya karena kesederhanaan, kesalehan, dan kedermawaannya, dan memberikan dua putrinya untuk dinikahi oleh secara berurutan, yaitu setelah yang meninggal dunia. Ketika putrinya yang kedua meninggal, dia berkata bahwa seandainya dia mempunyai putri yang lain, pasti dia telah menikahkannya dengan usman.
Dimasa pemerintahan usman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi islam pertama berhenti sampai disini.
Pemerintahan usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35 H / 655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu yang menyebabkan banyak rakyat yang kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, mesjid-mesjid, dan memperluas mesjid nabi di Madinah.

4.        Ali bin Abi Thalib (35–40 H / 655-660 M)
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki  jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur  yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Tidak lama setelah itu Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal (Unta)” karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim ke Madinah.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah. Ali bergerak bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan, menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij.

B.       KHALIFAH BANI UMAYYAH
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan tau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun, dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abd Al-Malik (705-715 M), Umar bin Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hasyim bin Abd Al-Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul.
Ekspensi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat islam merasa bahagia.
Di zaman Umar bin Abd Al-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abd Al-Rahman bin Abdullah Al-Ghafiqi. Di samping daerah-daerah tersebut, pulau-palau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Disamping ekspansi kekuasaan islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bagasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Khlifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya Al-Walid bin Abd Al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kapada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Pada tahun 680 M. Ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah.
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abd Al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khlifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik dari pada menambah perluasannya.
Sepeninggal Umar bin Adb Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin Abd Al-Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terll\alu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abd Al-Malik (724-743 M). Dalam perkembangan berikutnya, kekuasaan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas.
Pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan Bni Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke mesir ditangkap dan dibunuh di sana.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lamah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1.        Sistem pergantian khalifah melalui garis krturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.        Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik di masa Ali.
3.        Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
4.        Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sika hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
5.        Penyabab langsung tergulingnya kekuasaan dinasyi Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abd Al-Muthalib.

C.      KHALIFAH BANI ABBAS
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, malanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda  sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.        Periode Pertama (132 H/750M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.        Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945 M), disebut masa pengaruh turki pertama.
3.        Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.        Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.        Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Masa pemerintahan Abu Al-Abbas pendiri dinasti ini, sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M).
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppalocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berunah. Dia berkata,” Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”.dengan demikian konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya yang merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-Khulafa’ al-Rasyadun.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka, puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (755-785 M), al-Hadi (755-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M),dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
Ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
1.        Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdag, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
2.        Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas dan jabatan wasir, yang membawahi kepala-kepala departemen.
3.        Ketenteraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.

Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.        Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitung-hitung dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti: tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.
2.        Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.

 Pengaruh dari  kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidanh astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.

Demikian kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kjemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.

Tuesday, July 2, 2013

ARAH DAN TUJUAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

I.                   Pendahuluan

            Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan, sejak kelahirannya hingga kematiannya tidak pernah hidup sendiri, tetapi selalu dalam suatru lingkungan sosial yang saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain, yang kemudian disebut masyarakat (Parsudi,1986:89). Masyarakat  adalah kumpulan sekia banyak individu kecil atau besar yang terkait oleh satuan adat, ritus atau hukum khas dan hidup bersama untuk mencapai tujuan (Quraish Shihab, 1996). Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial tidak hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat dapat menjadi anggota dari berbagai kesatuan atau kelompok sosial. (Parsudi, 1986).  Dalam al-qur’an untuk menunjuk masyarakat digunakan kata; qaum, ummah, syu’ub dan qabail, disamping menggunakan kata al-mala’, al-mustakbirin, muatadh’afin dan lain-lain.
            Apapun namanya, manusia yang tergabung dalam kesatuan sosial di dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya selalu mengalami perubahan dan perkembangan kea rah yang lebih baik, lebih maju, tentunya melalui sebuah proses. Dalam hal usaha memenuhi kebutuhan hidup ada yang berlebihan dan ada yang kekurangan (bai materi maupun spiritual), artinya dalam usaha tersebut manusia (masyarakat menghadapai banyak masalah dan tantangan yang membutuhkan pemecahan, kaitannya dengan hal ini ada orang atau masayarakat yang mampu mengatasinya sendiri ada yang memerlukan bantuan orang lain, disinilah dakwah dengan segala macam bentuk dan wujudnya ikut ambil andil mengatasi dan menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut. Mengenai arah perubahan dan perkembangan dalam kehidupan masyarakat dari sudut pandang sosiologi, terdapat berbagai pandangan, antara lain Augute Comte mengatakan bahwa perubahan terjadi dari metafisikan ke posivistik, Durkheim melihat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organic, sementara itu Max Weber melihat bahwa perubahan dari non rasional menuju rasional dan masih banyak pandangan yang lain. Terlepas dari berbagai pandangan di atas yang jelas  beberapa teori di atas sangat membantu kiprah dan aktivitas dakwah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi arah atau tujuan pengembangan masyarakat Islam.

II.                Arah Pengembangan Masyarakat Islam
            Membangun (mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi meju, mandiri dan berbudi bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut tidak saja membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak kenal  lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa dan negara seperti teori  pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dengan Istilah masyarakat tingggal landas. Walaupun pada akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.
            Masalah lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangnan masyarakat Islam? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini  layak kiranya kita telaah terlebih dahulu makna masyarakat Islam. Yusuf Qardhawy mengemukakan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah “Laa ilaaha Illallah Muhammadan Rasulullah”(menolak keyakinan lain) tertanam dan berkembang dalam hati sanubari, akal dan perilaku diri pribadi menularkan kepada sesama dan generasi penerus. Sedangkan yang akan dituju dalam pengemabangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam Ideal, seperti gambaran masyarakat yang diabangun oleh Rasulullah bersama umat Islam pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun (civilization) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau  Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan dengan masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah (Nomaden) dan belum mengenal norma aturan (Nurcholish Madjid, 1992: 312-315).
            Melihat gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab, berwawasan bernorman, maka penulis jika boleh mengusulkan bahwa arah pengembangan masyarakat islam bukan sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Rostow dan Harorod Domar, tetapi harus diimbangi dengan landasan moral spiritual sebagai alat konrol. Dalam penegrtian dakwah pembangunan atau pengembangan masyarakat arahnya untuk mencapai kondisi mental (iman, taqwa, ihsan dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dan paradigm yang digunakan Comte, Durkheim maupun Weber, tetapi paradigm spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an (tentunya harus dijabarkan lebih lanjut),Yakni “Litukhrijan naasa minadzulimaati ilan nuri”, dalam bahasa dakwah dipahami dengan apa yang disebut ‘an-nahyu ‘ani al-munkar, dan lain-lain yang tidak termasuk kategori munkat tetapi memerlukan perbaikan dan peningkatan, seperti: Kemiskinan, kebodohan, keterbelakngan, ketertindasan dan sejenisnya. Pendek kata semua bentuk dan jenis masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Sedang ‘ila an-nur, dalam pengertian dakwah dapat dipahami dalam konsep ‘al Amru bil al-ma’ruf. Mengejaka manusia kepada iman, taqawa, ihsan akhlakuk karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan lain-lain. Dalam hal ini bagaimana bagi mereka yang sudah dalam kategori atau kondisi ‘an-nur atau ‘al-ma’ruf? Apakah mereka tidak perlu lagi pengembangan?
            Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa seseorang atau kelompok ataupun masyarakat tentu mengali persoalan, hanya saja berat ringatnya persoalan berbeda. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah semua orang atau masyarakat memerlukan usaha pengembangan, hanya saja dalam pengemabnhga amsyaraat harius dilihat dari skala prioritas, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Bagi masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi sosial, ekonomi dan budayanya maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan memelihara kondisi baik tersebut agar tidak terkena virus munkar.

III.             Tujuan Pengembangan Masyarakat Islam
Berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan material maupun non material baik individu maupun kelompok. Setiap manusia anggota masyarakat selalu berusaha untuk mengatasi masalah tersebut  ada yang mampu mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan segala daya kemampuannnya dan ada pula yang membutuhkan bantuan orang lain. Artinya ada yang mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalahnya, ada pula yang yang membutuhkan bantuan orang lain atau kelompok lain. Disinilah fungsi dakwah sebagai penyebar an-nur dan rahmat (fungsi pengembang) bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta.
            Dakwah yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jamaah, artinya: jama’a menunjukkan suatu kelompok masyarakat kecil yang lebih luas dari keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah, uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannta dengan jama’ah Islamiyah yang pernah berkembang di Indonesia( Munir Mulkhan, 1996: 214).
            Pelaksanaan dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang atau kelompok orang yang menjadi inti utama gerakan jama’ah (pengembang masyarakat) atau da’i. sedangkan jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada dalam lingkup geografis yang sama dengan inti jama’ah dan brsama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup mereka (Amin Rais dan Watik, 1986:32), jika perlu maka dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi sebagai coordinator (sesepuh jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan segala permasalahan yang mereka hadapi.
            Inti jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentun lainnya jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah (pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian: Pertama, Menganalisis problem sosial keagamaan masyarakat, Kedua, Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelolan dan melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati. Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat dan kelima, melatih jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang dihadapi jama’ah atau masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan serta mengevaluasi kegiatan pengembangan.
            Berdasrakan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa tujuan pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulya dan istiqamah serta memiliki keahlian (skill) yang yang memadai. Secara sistematis arah tujuan pengembangan masyarakat Islam trsebut adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisis problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial.
2.      Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan skala prioritas.
3.      Mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang disepakati (kemampuan menjadi pendamping)
4.      Mengevaluasi seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)

5.      Melatih masyarakat dalam menganalisis problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola, dan mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat (pelatihan pelatihan pendampingan)

Thursday, June 13, 2013

PEMBUKUAN AL-QURAN

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaramalaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Quran yang diturunkan secara bertahap ini merupakan sumber ajaran Islam.
Nabi Muhammad SAW menghapalkan setiap bacaan Al-Quran yang diwahyukan kepadanya secara pribadi kemudian mengajarkannya pada sahabat-sahabat untuk dihapalkan dan dipahami. Agar mudah dihapal, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menulisnya.
Selain oleh Zaid bin Tsabit, penulisan Al-Quran pun dilakukan oleh para sahabat untuk mereka miliki sendiri. Namun ada sebagian sahabat yang memberikannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada masa itu, penulisan Al-Quran dilakukan di pelepah kurma, lempengan batu, dan di keping-keping tulang hewan karena terbatasnya media yang digunakan. Walau sudah banyak yang menuliskan Al-Quran, namun Al-Quran belum terkumpul menjadi satu mushaf, masih berserakan.  Hal tersebut dikarenakan Nabi Muhammad SAW masih menunggu wahyu berikutnya dan ada beberapa ayat Al-Quran yang dimasukkan oleh ayat lain.

Masa Abu Bakar

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar menjadi khalifah Islam yang pertama. Di masa inilah Al-Quran mulai dibukukan karena kondisi yang sangat kacau pada masanya sehingga terjadi peperangan besar untuk mengatasi keadaan Islam yang mulai terpecah belah.
Walau kemenangan berada pada pihak Islam, namun banyak juga pejuang Islam yang hapal Al-Quran meninggal. Melihat hal tersebut, dalam rangka melestarikan Al-Quran, Umar bin Khatab mengusulkan agar mengumpulkan Al-Quran yang masih berserakan menjadi satu mushaf.
Akhirnya Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran. Dengan berbekal tulisan yang pernah dibuatnya saat masa Nabi Muhammad, tulisan pribadi para sahabat, dan hapalan-hapalan para penghapal Al-Quran yang masih hidup, Zaid bin Tsabit mengumpulkan semuanya dengan hati-hati. Pengumpulan yang dilakukan pada masa Abu Bakar ini tidak begitu saja dengan mengandalkan hapalan para sahabat, namun ada 3 syarat:


-          Berupa dokumen tertulis.
-    Apa yang ditulis telah dikenal dan dihapal banyak sahabat.
-    Disertai 2 saksi yang menyaksikan dokumen tersebut memang ditulis di hadapan Nabi Muhammad SAW.

    Hasil penyusunan Al-Quran tersebut diberikan kepada Abu Bakar yang menyimpannya sampai beliau wafat.

    Masa Umar bin Khattab
    Setelah Abu Bakar wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh Umar bin Khattab. Pada masa ini tidak ada permasalahan dalam penyusunan Al-Quran karena para sahabat telah bersepakat dengan Al-Quran yang telah tersusun. Masa ini, Umar bin Khattab lebih fokus pada perluasan wilayah. Namun tentu saja Umar bin Khattab tetap menjaga Al-Quran dengan sangat hati-hati. Setelah Umar bin Khattab wafat, Al-Quran diserahkan pada Hafsah, istri Nabi Muhammad.

   Masa Ustman bin Affan
   Semakin luas dan banyaknya wilayah yang ditaklukkan oleh Umar bin Khattab pada pemerintahan sebelumnya, membuat pemeluk agama Islam semakin banyak dan beragam. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan cara membaca Al-Quran dan semuanya merasa paling benar.  

    Perbedaan ini juga disebabkan adanya kelonggaran yang diberikan Nabi Muhammad SAW sebelumnya kepada kabilah Arab dalam membaca Al-Quran menurut dialeknya masing-masing.

      Melihat hal ini, Ustman bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Al-Quran dari rumah Hafsah dan memperbanyaknya menjadi enam Al-Quran. Yang asli dikirimkan kembali kepada Hafsah, yang lima dikirimkan ke wilayah Islam, yaitu Mekkah, Kuffah, Basrah, dan Suria, sedangkan yang satu lagi disimpan sendiri oleh Ustman bin Affan di rumahnya. Pengiriman Al-Quran ke wilayah Islam tersebut disertai dengan tutor dalam rangka penyeragaman bacaan Al-Quran. Dikhawatirkan bila ada perbedaan dalam membaca, hal tersebut akan menimbulkan perpecahan.
  
    Hingga kini Al-Quran telah banyak menyebar di berbagai kalangan umat muslim berkat perjuangan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat untuk menulis dan mengumpulkan Al-Quran hingga menjadi sebuah buku seperti yang sering kita baca sekarang ini.