Showing posts with label ULUMUL HADITS. Show all posts
Showing posts with label ULUMUL HADITS. Show all posts

Wednesday, July 10, 2013

TAHAMUL WA ADA’UL – HADITS

1.   Pengertian Tahammul Wa Ada’ul-Hadist
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al Karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ul al-Hadist
Adasecara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
secara terminologis Adaberarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
·         Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
·         Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatu1r Rawi)
·         Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

2.   Syarat-syarat Tahammulul-Hadits
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
·         Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid)
·         Berakal sempurna
·         Tamyis.
Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh.

3.   Syarat-syarat Ada’ul-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
·         Islam
·         Balig
·         Berakal
·         Takwa.
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht Tahammul Wa Ada’ al-Hadist dan Implikasinya Terhadap-Persambungan Sanad.

4. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :

a.  Simak (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut :
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.

b.  Al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh)
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al Ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.

c.  Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.

d.  Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
·         Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
·         Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
·         Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai  dengan izin untuk meriwayatkan.

e.  Mukatabah (menulis)
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.

f.  Al-I’lam (memberitahukan)
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.

g.  Wasiat
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.

h.  Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1)      Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
      Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2)      Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3)      Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4)      Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5)      Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6)      Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7)      Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8)      Ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان


DAFTAR PUSTAKA

Badruddin Abu Muhammad al Aini, Umdah al Qarii Syarhu Shahih Bukhari, vol 2, , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
Moch Zainuddin al Iraqi, al Taqyid Wa al Idlah,t.t., t.t. : Muassasah al Kutub al Tsaqafiyah,.
Aisyah Abdurrahman, Muqadimah Ibnu Shalah Wa Mahasinu al Istilah, (1990, Kairo : al Ma’arif)
Ahmad Muhammad Syakir 1979, al Ba’its al Hadits , Kairo : Dar al Turats.
Syamsudin Moch Abdurrahman al Sakhawi, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
Al Shiddik Basyir Nashr, Dlawabith al Riwayah ‘Inda al Muhadditsin, 1992, t.t. : Thorobulus, Hal-116.
Dr. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if Baina al Muhadditsin Wa al Du’aat, 1993, Maktabah Alfu Fa’.
Moch Jamaluddin al Qasimi, Qawaid al Tahdits Min Fununi Musthalah al Hadits, t.t., Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah.
Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI.

Muhammad ‘Ujjaj al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr).

ULUMUL HADITS DAN PEMBAGIAN HADITS

Yang dimaksud dengan Ulumul Hadis, menurut ulama mutaqaddimin adalah:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ اتَّصاَلِ الأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ ص.م. مِن ْ حَيْثُ مَعْرِفَةِ اُحْوَالِ رَوَّاتِهاَ ضَبْطًَا وَعَدًالةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّندِ اتَّصاَلاً وَانْقِطاَعاً.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi hal ihwal para perawinya, kedabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya.
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah). Secara garis besar ilmu-ilmu hadis dapat dikaji menjadi dua, yaitu Ilmu hadis riwayat (riwayah) dan ilmu hadis diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad SAW. dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadisriwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.

PEMBAGIAN HADIS
Perspektif Matan Dan Sanad
a)      Perspektif Matan Hadits
Membicarakan matan hadits harus bertolak dari sejarah. Hadits Nabi yang diriwayatkan secara lafal oleh sahabat sebagai saksi pertama hanyalah hadist yang dalam bentuk sabda. Hadits yang tidak dalam bentuk sabda, hanya dapat diriwayatkan secara makna.
Sedangkan hadits Nabi yang tidak berupa sabda ditempuh oleh sahabat sebagai saksi mata berlangsung secara makna. Hadits yang bukan sabda ini dirumuskan kalimatnya oleh sahabat sendiri. Pada hakekatnya kalimat hadits Nabi yang dinyatakan oleh sahabat merupakan matan hadits, yang juga berawal dari hadits bentuk bukan sabda.
Terdapat banyak hadits yang dari segi sanad termasuk kategori sahih, tetapi dari segi matan bertentangan dengan Al-Qur’an. Sehingga para ulama menyatakan bahwa betapapun sahihnya sanad suatu hadits, sepanjang matannya bertentangan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak ada artinya.
Kesahihan suatu hadits tidak dapat ditentukan hanya oleh kesahihan sanadnya saja. Tetapi matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syaz dan tidak mengandung ‘illah. Pertama-tama matannya harus dibandingkan dengan matan yang senada yang terdapat dalam sanad-sanad lainnya. Bila ternyata ia merupakan satu-satunya hadits yang menggunakan matan yang berbeda, jelas ia merupakan hadits syaz. Bila kandungan isinya bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits-hadits lain yang senada, maka ia dinyatakan ber’illah. Kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi kontekstual atas hadits.

b)      Perspektif Sanad Hadits
Untuk memahami tentang sanad hadits, perlu memahami riwayah al-hadits. Dalam istilah ilmu hadits, riwayah al-hadits atau al-riwayah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits kepada mata rantai para rawinya dengan bentuk-bentuk tertentu. Tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits :
- Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits
- Kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain
- Ketika hadits itu disampaikan maka susunan mata rantai periwayatan disebutkan
Orang yang melakukan periwayatan hadits disebut al-Rawi, yang diriwayatkan disebut al-Riwayah ; susunan mata rantai periwayatan disebut sanad atau isnad dan kalimat yang disebutkan setelah sanad disebut matan. Kegiatan yang berhubungan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits dinamakan tahamul wa ada’ al-hadits.
Sejarah periwayatan hadits Nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Periwayatan al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Kemudian setelah Nabi wafat, periwayatan al-qur’an berlangsung secara mutawatir. Sebagian besar periwayatan hadits berlangsung secara ahad. Keduanya sangat ditentukan oleh sanad atau susunan mata rantai para periwayat yang ikut serta dengan hadits ketika disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA

- Suparta Munzier Drs. Ilmu hadis. 2002.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
- Ash Shidieq, Hasbi Tengku Muhammad. Sejarah Pengantar Ilmu Hadist. Edisi ke-2 Agustus 2005. Semarang. PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.
- Yusuf Abu, Latif Abdul, Bin Ahmad Sabiq. Hadist Lemah Dan Palsu Yang Populer Di Indonesia. Syawal 1428. Gresik Jatim. PUATAKA AL FURQON.

MANHAJ IJTIHAD UMUM

A. Pengertian Umum
Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis yang digunakan dalam kaidah pokok ini perlu dijelaskan pengertian-pengertian umum tentang istilah-istilah sebagai berikut :

Ijtihad : Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.

Maqashid al-Syari'ah : Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam adalah untuk memelihara kemashlahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum (al-Qur'an dan al-Sunnah).

Ittiba' : Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi warga persyarikatan baik ulamanya maupun warga secara keseluruhan.

Talfiq : Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar'i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba'. Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.

Tarjih : Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat maslahatnya. Sedangkan secara institusional majlis tarjih adalah lembaga ijtihad jama'i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang meiliki kompetensi ushuliyah dan ilmiyah dalam bidangnya masing-masing.

Al-Sunnah al-maqbulah : perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw. Yang menurut hasil analisis memenuhi kreteria shahih dan hasan.

Ta'abbudi : Perbuatan-perbuatan ubudiyah yang harus dilakukan oleh mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah swt. tanpa boleh ada penambahan atau pengurangan. Perbuatan ta'abbudi tidak dibenarkan dianalisis secara rasional.

Ta'aqquli : Perbuatan-perbuatan ubudiyah mukallaf yang bersifat ta'aqquli berkembang dan dinamis. Perbuatan ta'aqquli bisa dianalisis secara rasional.

Sumber Hukum : Sumber hukum bagi Muhammadiyah adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-maqbulah.

Qath'iyyu al-Wurud : Nash yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya karena proses penyampaiannya meyakinkan dan tidak mungkin ada keterputusan atau kebohongan dari pada penyampaiannya.

Qath'iyyu al-Dalalah : Nash yang memiliki makna pasti karena dikemukakan dalam bentuk lafadz bermakna tunggal dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna lain.

Dhanniyu al-wurud : Nash yang tidak memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya, karena poses penyampaiannya kurang menyakinkan dan karena ada kemungkinan keterputusan, kedustaan, kelupaan di antara para penyampainya.

Dhanniyu al-Dalalah : Nash yang memiliki makna tidak pasti karena dikemukakan dalam bentuk lafadz bemakna ganda dan dapat ditafsirkan dengan makna lain.

Tajdid : Pembaharuan yang memiliki dua makna, yakni pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid khalafi).

Pemikiran : Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan berfikir terhadap suatu masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiyah, meliputi bidang teologi, filsafat, tasawwuf, hukum dan disiplin ilmu lainnya.

B. Pengertian Ijtihad
Ijtihad : mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan syar'i yang bersifat dhanni dengan menggunakan metoda tertetntu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik scara metodologis maupun permasalahan.

C. Posisi dan Fungsi Ijtihad
Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah.

D. Ruang Lingkup Ijtihad
1.                  Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil-dalil dhanni.
2.                  Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-qur'an dan Al-Sunnah.

E. Metode, Pendekatan dan Teknik

1. Metode
a.                   Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan
b.                  Ta'lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakanpendekatan penalaran
c.                   Istislahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan

2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiah adalah :
a.                   Al-Tafsir al-ijtima'i al-ma'asir (hermeneutik)
b.                  Al-Tarikhiyyah (historis)
c.                   Al-Susiulujiyah (sosiologis)
d.                  Al-Antrufulujiyah (antropologis)

3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah :
a.                   Ijmak
b.                  Qiyas
c.                   Mashalih Mursalah
d.                  Urf

F. Ta'arudh Al-Adillah
1.    Ta'arudh Al-Adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.
2. Jika terjadi ta'arudh diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut :
   a.  Al-Jam'u wa al-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun dhairnya ta'arudh. Sedangkan  
       pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (tahyir).
   b.   Al-Tarjih, yakni memilih dalilyang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah.
   c.   Al-Naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
   d.    Al-Tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara  mencari dalil   
        baru.

G. Metode Tarjih terhadap Nas 
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi :

1.    sanad
     a.    kualitas maupun kuantitas rawi
     b.    bentuk dan sifat periwayatan
     c.    sighat al-tahamul wa al-ada'

2.    Segi matan
     a.    matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr
     b.   matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari sighat 'am
3.    Segi Materi hukum

4. Segi Eksternal