ABSTRAK
Pada saat ini bumi menghadapi
pemanasan yang cepat. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan
bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas
karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke
atmosfer. Ketika atmosfer semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca ini,
atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari
Matahari yang dipancarkan ke Bumi.
Jika pada tahun 1990 emisi CO2 bumi sebesar 1,34 milyar ton, maka hingga tahun 1997 saja angkanya sudah 1,47 milyar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30 negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia menyumbang dua pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sedangkan 80 persen lainnya yang merupakan penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi CO2 (Angkasa, 2002).
Jika pada tahun 1990 emisi CO2 bumi sebesar 1,34 milyar ton, maka hingga tahun 1997 saja angkanya sudah 1,47 milyar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30 negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia menyumbang dua pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sedangkan 80 persen lainnya yang merupakan penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi CO2 (Angkasa, 2002).
Salah satu penyebab pemanasan global
akumulasi karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan.
Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942
ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun 1985-1993 jumlah
hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga tahun 2004
jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan
hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Untuk mencegah semakin bertambahnya gas-gas rumah kaca tersebu Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Untuk mencegah semakin bertambahnya gas-gas rumah kaca tersebu Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Dalam rangka mitigasi global
warming, perlu dilakukan recovery pola konsrvasi dan rehabilitasi tumbuhan yang
aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek langsung
padapenuruna suhu bumi. Recovery yang dilakukan adalah perbaikan sisten
konservasi dan rehabilitasi tumbuhan meliputi konservasi tumbuhan, perbaikan
sistem reboisasi dan konservasi satwa pelestari tumbuhan.
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada saat
ini, bumi menghadapi pemanasan yang cepat, penyebab utama pemanasan ini adalah
pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam;
yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah
kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca
ini, atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari
matahari yang dipancarkan ke bumi.
Energi
yang menerangi bumi datang dari matahari, sebagian besar energi yang membanjiri
planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika
energi ini mengenai permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas dan
menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan memantulkan kembali sebagian dari
panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar;
walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi. Gas-gas tertentu di
atmosfer termasuk uap air, karbondioksida, dan metana, menjadi perangkap
radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang
yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan
bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca sehingga
gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi
gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Jika pada
tahun 1990 emisi CO2 bumi sebesar 1,34 milyar ton, maka hingga tahun 1997 saja
angkanya sudah 1,47 milyar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30
negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia menyumbang dua
pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sedangkan 80 persen lainnya yang merupakan
penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi CO2 (Angkasa, 2002).
Semakin
meningkatnya suhu permukaan bumi akan berdampak terjadinya perubahan iklim yang
sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan
ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon
dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung
es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek
rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut
mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara
kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Para
ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan
sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Dari hasil tersebut ada
dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas
tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon
sequestration (menghilangkan karbon).
Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca. Cara yang paling mudah untuk menghilangkan
karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon
lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap
karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan
menyimpan karbon dalam kayunya.
Salah satu
penyebab akumulasi karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di
seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang
mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha
atau 942 ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun
1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga
tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar
kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini
program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan
keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini
masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah:
Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada
bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana.
Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir
tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi
iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis
tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat
bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga
setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006)
Dalam
rangka mitigasi global warming, harus dicari pola baru (recovery) rehabilitasi
lingkungan yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek
langsung pada penurunan suhu bumi.
1.2 Rumusan
Masalah
Global
warming telah dirasakan pengaruhnya pada seluruh permukaan bumi, pengaruh utama
peningkatan suhu global berpengaruh pada perubahan iklim yang berakibat pada
bencana alam, penyakit, bidang pertanian dan bidang-bidang lain. Untuk itu
perlu dicari solusi untuk mengatasinya. Salah satu cara efektif untuk mengatasi
global warming adalah dengan mengurangi jumlah gas efek rumah kaca terutama
karbon dioksida di atmosfer.
Permasalah yang dihadapi saat ini telah terjadi deforestri besar-besaran disisi lain proses rehabilitasi dan konservasi tumbuhan yang saat ini dilakukan masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain tidak tepat musim, tidak tepat jenis dengan klimatologi dan tidak ada keberlanjutan. Disamping itu aspek konservasi menyeluruh tidak diperhatikan. Dengan demikian perlu dicari dilakukan (recovery) mencari pola baru konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming?
Permasalah yang dihadapi saat ini telah terjadi deforestri besar-besaran disisi lain proses rehabilitasi dan konservasi tumbuhan yang saat ini dilakukan masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain tidak tepat musim, tidak tepat jenis dengan klimatologi dan tidak ada keberlanjutan. Disamping itu aspek konservasi menyeluruh tidak diperhatikan. Dengan demikian perlu dicari dilakukan (recovery) mencari pola baru konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan masukan kepada instansi terkait
dan masyarakat tentang pola baru konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam
rangka mitigasi global warming.
1.4 Manfaat
Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Membentuk kesadaran masyarakat terhadap
global warming, dalam dampak global warming
dan mitigasi global warming;
b. Dapat digunakan sebagai masukan
untuk perbaikan (recovery) strategi konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam
rangka mitigasi global warming.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Global Warming
Pemanasan global (global warming)
dapat didefinisikan sebagai naiknya suhu permukaan bumi menjadi lebih panas
selama beberapa kurun waktu yang disebabkan karena meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Pada dasarnya fenomena pemanasan
dipermukaan bumi sebenarnya merupakan gejala sistem alam yang normal untuk
menghangatkan planet bumi sehingga suhu bumi tidak menjadi dingin bahkan
membeku seperti pada jaman es yang pernah terjadi 15.000 tahun lalu.
Namun proses alam yang normal
tersebut telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan di planet ini
karena konsentrasi gas rumah kaca yang menyelimuti lapisan atmosfer telah
melebihi daya dukung (carrying capacity) konsentrasi gas-gas yang terkandung di
lapisan atmosfer tersebut. Terjadinya peningkatan suhu bumi ini awal mulanya
dikemukanan oleh Arrhenius pada tahun 1896 bahwa telah terjadi peningkatan suhu
dipermukaan bumi sehingga kehidupan di panet bumi akan terhindar dari zaman es
dikemudian hari. Selanjutnya National Research Council sejak tahun 1958–1980
telah melakukan pemantauan secara langsung di Gunung Mauna Loa di Hawaii yang
bertujuan untuk mengetahui kadar CO2 yang menyelimuti lapisan atmosfer. Hasil
pemantauan menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kadar CO2 dilapisan
atmosfer yang signifikan selama 22 tahun pemantauan. di Gunung Mauna Loa di
Lokasi pemantauan ini dipilih secara langsung. Pemantauan itu dilakukan sejak
manusia memasuki proses industri. Pada masa ini manusia mulai melakukan
pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan bakar dan
listrik. Proses pembakaran energi dari Bumi ini ternyata menghasilkan gas
buangan berupa gas rumah kaca (Langit selatan,2008)
2.2
Gas –Gas Penyebab Efek Rumah kaca (GRK)
2.2.1 Sumber Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang
ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya
muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas
manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai
atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida
adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti:
letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan
menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organic (seperti
tumbuhan) (Wikipedia,27 Maret 2008).
GRK dapat dihasilkan baik secara
alamiah maupun dari hasil kegiatan manusia. Sebagian besar penyebab terjadi
perubahan komposisi GRK di atmosfer adalah gas-gas buang yang teremisikan
keangkasa sebagai “hasil sampingan” dari aktifitas manusia untuk membangun
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini. Dimulai sejak manusia menemukan
teknologi industri pada abad 18 revolusi industri 1970-an, banyak menggunakan
bahan bakar primer seperti minyak bumi, gas maupun batubara untuk menghasilkan
energi yang diperlukan. Energi dapat diperoleh, kalau minyak itu dibakar lebih
dahulu, dari proses pembakaran tersebut keluarlah gas-gas rumah kaca.
Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan GRK adalah
perindustrian, penyediaan energi listrik, dan transportasi. Sedangkan dari
peristiwa secara alam juga menghasilkan/ mengeluarkan GRK seperti dari letusan
gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga kita bernafaspun
mengeluarkan GRK. Komposisi dan konsentrasi gas rumah kaca yang berada di
lapisan atmosfer akan sangat bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan
berbagai kegiatan manusia dalam merekayasa sistem tatanan ekologi di planet
ini. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC)
mengklasifikasi enam jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan
atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2), Metana (CH4),
Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs).
Gas karbondioksida, dinitro oksida dan metana terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk 3 jenis GRK yang terakhir, sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol.
Gas karbondioksida, dinitro oksida dan metana terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk 3 jenis GRK yang terakhir, sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol.
2.2.2 Sumber Emisi GRK
Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer
disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai sektor, antara lain:
1. Energi
Pemanfaatan bahan bakar fosil,
seperti minyak bumi, batubara, dan gas, secara berlebihan dalam berbagai
kegiatan merupakan penyebab utama dilepaskannya emisi gas rumah kaca ke
atmosfer. Pembangkitan listrik, penggunaan alat-alat elektronik seperti AC, TV,
komputer, penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri merupakan contoh
kegiatan manusia yang meningkatkan emisi GRK di atmosfer.
Walaupun sama-sama menghasilkan
emisi GRK, minyak bumi, batubara dan gas bumi menghasilkan tingkat emisi yang
berbeda-beda untuk jenis kegiatan yang sama. Contohnya, untuk menghasilkan
energi sebesar 1 kWh, pembangkit listrik yang menggunakan batubara mengemisikan
sekitar 940 gram CO2. Sementara pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi
dan gas alam menghasilkan emisi GRK sekitar 798 dan 581 gram C02.
Dari contoh di atas terlihat bahwa di antara ketiga jenis bahan bakar fosil, batubara menghasilkan emisi CO2 paling tinggi. Di Indonesia, sektor energi menempati urutan kedua sebagai sumber GRK yaitu sekitar 25% dari total emisi. Sementara dari sisi pemanfaatan energi di Indonesia, sektor industri merupakan sektor pengemisi GRK terbesar, diikuti oleh sektor transportasi.
Dari contoh di atas terlihat bahwa di antara ketiga jenis bahan bakar fosil, batubara menghasilkan emisi CO2 paling tinggi. Di Indonesia, sektor energi menempati urutan kedua sebagai sumber GRK yaitu sekitar 25% dari total emisi. Sementara dari sisi pemanfaatan energi di Indonesia, sektor industri merupakan sektor pengemisi GRK terbesar, diikuti oleh sektor transportasi.
2. Kehutanan
Salah satu fungsi hutan adalah
sebagai penyerap emisi GRK, biasa disebut carbon sink. Hutan bekerja untuk
menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi
oksigen (O2) untuk kebutuhan mahluk hidup. Oleh karena itu kegiatan pengrusakan
hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan,
menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya disimpan di dalam
pohon.
Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun dengan laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun, tak heran jika sector kehutanan merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Menurut The First National Communication yang berisi inventarisasi GRK di berbagai Negara, sekitar 64% dari total emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan.
Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun dengan laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun, tak heran jika sector kehutanan merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Menurut The First National Communication yang berisi inventarisasi GRK di berbagai Negara, sekitar 64% dari total emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan.
3. Pertanian dan Peternakan
Sektor pertanian dan peternakan juga
memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi GRK di atmosfer. Dari sektor
pertanian, emisi GRK dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk,
pembakaran padang sabana, dan pembusukan sisa-sia pertanian. Sektor pertanian
menurut The First National Communication secara umum menghasilkan emisi GRK hanya
sekitar 8%. Namun sektor ini menghasilkan emisi gas metana tertinggi
dibandingkan sektor lainnya.
Sementara dari sektor peternakan,
emisi GRK berupa gas metana (CH4) dilepaskan dari kotoran ternak yang membusuk.
Sesungguhnya untuk mengurangi emisi GRK dari sector ini, kotoran ternak dapat
diolah untuk menjadi biogas, bahan bakar yang ramah lingkungan.
4. Sampah
Manusia dalam setiap kegiatannya
hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah sendiri turut menghasilkan emisi GRK
berupa gas metana (CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas
metana. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun
2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg/ hari atau 190 ribu
ton/ tahun. Ini berarti pada tahun 2020 Indonesia akan mengemisikan gas metana
ke atmosfer sebesar 9500 ton. Sampah kota perlu dikelola secara benar, agar
laju perubahan iklim bisa diperlambat.
2.3
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
2.3.1 Sistem Iklim
Secara umum iklim di definisikan
sebagai pola cuaca pada suatu tempat di permukaan bumi yang terjadi selama
bertahun-tahun. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu tempat, menurut ukuran
internasional diperlukan nilai rata-rata parameternya selama kurang lebih 30-
100 tahun (inter contenial). Sementara cuaca adalah merupakan kondisi harian
suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin.
Iklim
muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya
perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari
serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang
diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah. Daerah
yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5 Lintang Selatan,
merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi
matahari yang diterima setiap tahunnya.
2.3.2 Proses Terjadinya Perubahan
Iklim
Secara alamiah panas matahari yang
masuk ke bumi, sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara sebagian
lagi akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Adanya lapisan gas (gas rumah
kaca) yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang
hendak dipantulkan ke luar angkasa menembus atmosfer. Peristiwa terperangkapnya
panas matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca.
Sejak revolusi industri tahun pertengahan abad ke-18, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor, pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Sejak revolusi industri tahun pertengahan abad ke-18, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor, pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Hal ini berakibat pada meningkatnya
jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer yang kemudian menyebabkan
meningkatnya panas matahari yang terperangkap di atmosfer. Peristiwa ini pada
akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan bumi, yang umum disebut
pemanasan global.
Pemanasan global kemudian pada
prosesnya menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut,
yang menyebabkan meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah
hujan dan tekanan udara. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan penelitian para ahli,
perubahan iklim diketahui akan menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi
kehidupan umat manusia. Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih,
hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis merupakan
beberapa dampak akibat perubahan iklim. Secara umum iklim di definisikan
sebagai pola cuaca pada suatu tempat di permukaan bumi yang terjadi selama
bertahun-tahun. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu tempat, menurut ukuran
internasional diperlukan nilai rata-rata parameternya selama kurang lebih 30-
100 tahun (inter contenial). Sementara cuaca adalah merupakan kondisi harian
suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin.
Iklim
muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya
perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari
serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang
diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah. Daerah
yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5 Lintang Selatan,
merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi
matahari yang diterima setiap tahunnya.
2.3.3 Keterkaitan Efek Rumah Kaca,
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Keterkaitan antara efek rumah kaca,
pemanasan global dan perubahan iklim secara sederhana dijelaskan sebagai
berikut sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan
kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah
menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang
kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus
kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah
terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang
seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan
bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam
kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah
efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer
terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka
terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim
dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara
global.
2.3.4 Skenario Terjadinya Perubahan
Iklim Global
Skenario
yang paling nyata dari pengaruh meningkatnya suhu udara adalah akan
mengakibatkan meningkatnya suhu tanah, sebagai konsekuensinya permukaan tanah
akan lebih cepat panas daripada lautan. Dengan meningkatnya suhu permukaan
tanah tersebut, maka mengakibatkan mencairnya es di wilayah kutub. Apabila hal
ini terjadi, maka air laut diprediksi akan meningkat rata-rata 6 cm/dekade pada
abad yang akan datang pada kisaran 3-10 cm/dekade. Mencairnya lapisan es di
kutub utara tersebut, selain dapat meningkatnya permukaan laut tersebut, juga
dapat merubah iklim global, sehingga sering terjadi badai. Pada saat terjadinya
badai inilah, terutama badai Holocene transgression, permukaan air laut
meningkat secara maksimal, yaitu sebesar 20 cm/dekade.
Berdasarkan skenario tersebut diprediksi bahwa suhu permukaan lautan tropis akan meningkat antara 1-3oC. Akan tetapi skenario ini masih banyak pertentangan, namun paling tidak suhu stabilnya diperlukan antara 30-31oC. Intensitas dan frekuensi perubahan yang ektrim secara nyata mempengaruhi tehadap perubahan ekologi terumbu karang paling tidak ada dua kejadian yang mempengaruhi tersebut:1) peningkatan curah hujan terutama pada saat badai besar, 2) terjadinya kemungkinan perubahan frekuensi penyebaran badai tropis.
Berdasarkan skenario tersebut diprediksi bahwa suhu permukaan lautan tropis akan meningkat antara 1-3oC. Akan tetapi skenario ini masih banyak pertentangan, namun paling tidak suhu stabilnya diperlukan antara 30-31oC. Intensitas dan frekuensi perubahan yang ektrim secara nyata mempengaruhi tehadap perubahan ekologi terumbu karang paling tidak ada dua kejadian yang mempengaruhi tersebut:1) peningkatan curah hujan terutama pada saat badai besar, 2) terjadinya kemungkinan perubahan frekuensi penyebaran badai tropis.
2.4
Dampak Global Warming Terhadap Kehidupan
Perubahan iklim dalam prosesnya
terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini,
namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Beberapa dampak yang akan
terjadi akibat perubahan iklim:
1.
mencairnya
es di kutub
2.
meningkatnya
permukaan air laut
3. pergeseran musim
Dampak perubahan iklim bagi
Indonesia antara lain:
1. kenaikan temperatur dan berubahnya
musim
2.
naiknya
permukaan air laut
3.
dampak
perubahan iklim terhadap sektor perikanan
4.
dampak
perubahan iklim terhadap sektor kehutanan
5.
dampak
perubahan iklim terhadap sektor pertanian
6.
dampak
perubahan iklim terhadap kesehatan
Menurut
Pratiwi Sudarmono (2007), Pemanasan global dapat menyebabkan terjadinya
perubahan iklim. Dengan adanya perubahan iklim berubah pula pola hujan, pola
tanam, sirkulasi air dan sebagainya. Bila berbagai perubahan tersebut tidak
disertai dengan kemampuan adaptasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Maka akan
mempengaruhi munculnya berbagai penyakit. Sebagai contoh, perubahan iklim akan
dapat menyebabkan masa inkubasi nyamuk malariadan demam berdarah menjadi
pendek. Sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah bisa berkembang dengan cepat
2.5
Mitigasi Global Warming
Mitigasi global warming adalah
proses pengendalian dari akibat yang ditimbulkan global warming. Ada dua
pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas
tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon
sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah
kaca.
Cara yang paling mudah untuk
menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan
menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Wahyu Prihanta, 2007).
Pelaksanaan rehabilitasi lingkungan yang dilakukan selama ini tidak menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Hal ini disebabkan kegiatan tersebut memiliki beberapa kekurangan, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal tersebut disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Pelaksanaan rehabilitasi lingkungan yang dilakukan selama ini tidak menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Hal ini disebabkan kegiatan tersebut memiliki beberapa kekurangan, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal tersebut disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Lebih lanjut dalam rangka
rehabilitasi lingkungan tidak hanya dilakukan dengan penanaman pohon namun juga
harus dilakukan konservasi dari tumbuhan yang ada dan perlu mengkaitkan dengan
komponen ekologi lainnnya. Alam terbangun dalam sebuah sistem yang sangat
komplek, selalu ada kaitan antara komponen-komponen sistem di alam ini.
Demikian juga keberadaan tumbuhan, sangat berkaitan dengan komponen lain yaitu
hewan. Hewan terutama burung memiliki peran yang sangat besar pada keberadaan
tumbuhan melalui perannya dalam membantu penyerbukan dan juga penyebaran biji
(Wahyu Prihanta, 2007).
BAB
III
METODE PENULISAN
METODE PENULISAN
3.1 Sumber
Data
Data dan fakta yang berhubungan
untuk pembahasan tema ini berasal dan tahapan-tahapan pengumpulan data dengan
pembacaan secara kritis terhadap ragam literatur (Library research) yang
berhubungan dengan tema pembahasan.
Data kerusakan lingkungan yang ditampilkan dalam karya tulis ini dapat berupa angka atau pesan. Untuk angka, data yang dipakai adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada masyarakat, melalui literatur yang digunakan berupa buku, surat kabar, buletin, jurnal, majalah maupun internet. Dengan demikian penulis mengelompakkan atau menyeleksi data dan informasi tersebut berdasarkan kategori atau relevansi dan kemudian selanjutnya ke tahapan analisis dan pengambilan kesimpulan. Namun demikian, untuk mendukung dan memperkaya gagasan dalam karya tulis ini, dilakukan wawancara dan observasi dengan narasumber yang kompeten dibidangnya Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang (PSLK-UMM) Drs. Wahyu Prihanta, M.Kes.
Data kerusakan lingkungan yang ditampilkan dalam karya tulis ini dapat berupa angka atau pesan. Untuk angka, data yang dipakai adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada masyarakat, melalui literatur yang digunakan berupa buku, surat kabar, buletin, jurnal, majalah maupun internet. Dengan demikian penulis mengelompakkan atau menyeleksi data dan informasi tersebut berdasarkan kategori atau relevansi dan kemudian selanjutnya ke tahapan analisis dan pengambilan kesimpulan. Namun demikian, untuk mendukung dan memperkaya gagasan dalam karya tulis ini, dilakukan wawancara dan observasi dengan narasumber yang kompeten dibidangnya Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang (PSLK-UMM) Drs. Wahyu Prihanta, M.Kes.
3.2 Analisis
Data
Teknik analisa data yang digunakan
adalah analisa deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (1998:25), analisa
deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau
kalimat, dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menganalisa data yang berupa pesan maka digunakan cara analisis isi (content analysis). Analisis ini menghubungkan penemuan berupa kriteria atau teori. Analisis yang dilakukan pada analisis isi karya tulis ini menggunakan interactive model (Miles dan Huberman, 1994). Model ini terdiri dari empat komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data, (3) penyajian data dan (4) penarikan data pengujian atau verifikasi kesimpulan.
Untuk menganalisa data yang berupa pesan maka digunakan cara analisis isi (content analysis). Analisis ini menghubungkan penemuan berupa kriteria atau teori. Analisis yang dilakukan pada analisis isi karya tulis ini menggunakan interactive model (Miles dan Huberman, 1994). Model ini terdiri dari empat komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data, (3) penyajian data dan (4) penarikan data pengujian atau verifikasi kesimpulan.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
4.1.1
Peranan
Pohon dalam Mitigasi Global Warming
Gas Rumah Kaca terbesar adalah
karbondioksida, dimana karbon dioksida dihasilkan sebagai hasil proses alamiah
dalam proses respirasi dan juga dari berbagai aktifitas manusia non respirasi.
Karbondioksida memiliki peranan menyerap panas sehingga penumpukan dalam jumlah
besar akan berakibat meningkatnya suhu bumi.
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya (Wikipedia, 2008).
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Wahyu Prihanta, 2007).
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya (Wikipedia, 2008).
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Wahyu Prihanta, 2007).
Mekanisme penyerapan karbondioksida
adalah melalui proses fotosintesis, dimana karbondioksida diserap oleh tumbuhan
dari udara dan bereaksi dengan air membentuk karbohidrat. (Dwijo seputro,
1994). Secara kimiawi proses tersebut digambarkan sebagai berikut. CO2 + H2O
C6H12O6, proses tersebut dibantu dengan sinar matahari dan terjadi pda klorofil
daun. Dengan mekanisme ini maka secara alamiah pohon memiliki kemampuan
mengurangi karbon dioksida di udara.
4.1.2 Strategi Mengoptimalkan Peranan Pohon dalam Mitigasi Global Warming
4.1.2.1 Konservasi Tumbuhan
4.1.2.1 Konservasi Tumbuhan
Secara alamiah tumbuh-tumbuhan memiliki
peran yang sangat besar alam mengurangi karbondioksida di atmosfir yang berarti
mampu mengurangi panas bumi. Namun ironisnya, keberdaan tumbuhan dimuka bumi
mengalami penurunan jumlah yang signifikan, disisi lain emisi gas rumah kaca
makin meningkat akibat berbagai kegiatan yang menggunakan bahan bakar fosil.
Hutan memiliki peran yang sangat
tinggi dalam penyerapan karbondioksida, namun kerusakan hutan saat ini semakin
meningkat. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang
mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha
atau 942 ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun
1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga
tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar
kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Selain kerusakan hutan, hilangnya tumbuh-tumbuhan terjadi di kawasan non hutan. Wahyu Prihanta sebagai Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang dalam wawancara ekslusif menyebutkan salah satu contoh kerusakan tumbuhan yang tidak banyak disadarai namun memiliki peran penting dalam mitigasi global warming adalah kerusakan tanaman tepi jalan, dimana tanaman tepi jalan memiliki peran dalam penyerapan gas yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi yang makin meningkat (2007). Perusakan tanaman tepi jalan dari jenis Asam Jawa yang telah berumur 200 tahun banyak ditebang di Situbondo (Surya, 4/2-2001), pembangunan jalan di Lumajang (RCTI, 9/2-2001) dan di Jombang (TEB, 2001). Dalam satu minggu 30 pohon mati diracun di Kota Malang, jika seminggu sebelumnya 90 pohon yang di racun, pada hari senin 2/4-2007 jumlahnya meningkat menjadi 120 pohon (Data Dinas Pertamanan Malang).
Selain kerusakan hutan, hilangnya tumbuh-tumbuhan terjadi di kawasan non hutan. Wahyu Prihanta sebagai Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang dalam wawancara ekslusif menyebutkan salah satu contoh kerusakan tumbuhan yang tidak banyak disadarai namun memiliki peran penting dalam mitigasi global warming adalah kerusakan tanaman tepi jalan, dimana tanaman tepi jalan memiliki peran dalam penyerapan gas yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi yang makin meningkat (2007). Perusakan tanaman tepi jalan dari jenis Asam Jawa yang telah berumur 200 tahun banyak ditebang di Situbondo (Surya, 4/2-2001), pembangunan jalan di Lumajang (RCTI, 9/2-2001) dan di Jombang (TEB, 2001). Dalam satu minggu 30 pohon mati diracun di Kota Malang, jika seminggu sebelumnya 90 pohon yang di racun, pada hari senin 2/4-2007 jumlahnya meningkat menjadi 120 pohon (Data Dinas Pertamanan Malang).
Dalam bulan April di Jalur Batu –
Malang sepanjang 10 km, 2 pohon trembesi dalam kondisi sehat di tebang, 2 pohon
trembesi lain dibakar pangkalnya (Data Tim Ekspedisi Biokonservasi seperti yang
dilaporkan ke Kapolwil, 15 Maret 2007 dalam Wahyu Prihanta, 2007). Hilangnya
tumbuhan juga terjadi akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan manusia
sebagai contoh pertanian, perumahan maupun industri.
Berdasarkan fakta di atas, mitigasi global warming dapat dilakukan dengan meningkatkan penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan. Menambah jumlah tumbuhan menjadi kurang efektif jika disisi lain perusakan tumbuhan terus dilakukan. Untuk itu selain menanam kegiatan konservasi tumbuhan perlu ditingkatkan.
Berdasarkan fakta di atas, mitigasi global warming dapat dilakukan dengan meningkatkan penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan. Menambah jumlah tumbuhan menjadi kurang efektif jika disisi lain perusakan tumbuhan terus dilakukan. Untuk itu selain menanam kegiatan konservasi tumbuhan perlu ditingkatkan.
4.1.2.2 Recovery Sistem Rehabilitasi
Tumbuhan
Hilangnya tumbuhan akibat berbagai
aktifitas manusia dan bencana alam dapat diperbaiki dengan rehabilitasi atau
yang sering disebut dengan reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya, reboisasi
saat ini belum mendapatkan hasil yang maksimal, recovery perlu dilakukan dalam
kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena pelaksanaannya masih memiliki beberapa
kekurangan.
Kekurangan yang teridentifikasi
adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan
dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi
dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan
berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak
memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat
dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga:
kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan
keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu.
Prihanta, 2006).
Daerah tropika terkhusus Indonesia memiliki putaran musim yang relatif stabil, dimana memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Kegiatan rahabilitai yang dilakukan saat ini sering tidak sesuai dengan musim yaitu awal musim hujan sekitar bulan Nopember sampai dengan Januari. Sehingga banyak tumbuhan mati akibat tidak cocok secara klimatologi sehingga ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tumbuhan krang terpenuhi. Sebagai contoh program rehabilitasi tumbuhan di Kota Malang yang dengan program Malang Ijo Royo-Royo (MIRR) tahun 1 dan ke 2 dilaksanakan pada bulan Juli dimana merupakan bulan terkering sepanjang tahun (Radar malang, 15 Juli 2004). Demikian juga rehabilitasi lingkungan di Kota Batu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2003, pada saat akhir musim hujan.
Daerah tropika terkhusus Indonesia memiliki putaran musim yang relatif stabil, dimana memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Kegiatan rahabilitai yang dilakukan saat ini sering tidak sesuai dengan musim yaitu awal musim hujan sekitar bulan Nopember sampai dengan Januari. Sehingga banyak tumbuhan mati akibat tidak cocok secara klimatologi sehingga ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tumbuhan krang terpenuhi. Sebagai contoh program rehabilitasi tumbuhan di Kota Malang yang dengan program Malang Ijo Royo-Royo (MIRR) tahun 1 dan ke 2 dilaksanakan pada bulan Juli dimana merupakan bulan terkering sepanjang tahun (Radar malang, 15 Juli 2004). Demikian juga rehabilitasi lingkungan di Kota Batu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2003, pada saat akhir musim hujan.
Selain itu hal tersebut di atas
pemilihan tumbuhan tidak sesuai dengan klimatologi yang dipersyaratkan
tumbuhan. Tumbuhan rambutan dan mangga digunakan alam program Malang Ijo Royo
(radar Malang, 15/6/2004), secara klimatologi kedua jenis tumbuhan tersebut
sesuai hidup pada dataran rendah (0-200 dpl) (Stenis, 1987). Sedangkan Kota
Malang merupakan daerah dataran tinggai (sekitar 450 dpl). Setiap tumbuhan
memiliki syarat tumbuh dalam ketinggian daerah tertentu (dpl), sehingga dikenal
dengan nama tumbuhan dataran rendah dan dataran tinggi. Hal ini disebabkan
ketinggian tempat mempengaruhi klimatologi dan klimatologi sangat mempengaruhi
kehidupan tumbuhan (Stenis, 1987; Pulonin, 1994).
Program penanaman tumbuhanpun tidak
disertai dengan program perawatan. Sebaiknya program penanaman harus disertai
program perawatan untuk tanaman yang berumur kurang dari tiga tahun setelah
penanaman (Departemen Kehutanan, 2007).
Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan rehabilitasi tumbuhan untuk mitigasi global warming perlu diperbaiki.
Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan rehabilitasi tumbuhan untuk mitigasi global warming perlu diperbaiki.
4.1.2.3 Konservasi Menyeluruh pada
Satwa Penyebar Tumbuhan
Alam tercipta dalam keterkaitan dan
keseimbangan yang sempurna, berbagai komponen kehidupan keberadaannya saling
menunjang. Selama ini banyak satwa yang berperan dalam membantu penyebaran
biji-biji tumbuhan sehingga secara automatis membantu menumbuhkan berbagai
jenis tumbuhan yang secara ekologi sesuai. Banyak jenis burung yang memakan
buah dan menyebarkan bijinya bersama feces di tempat yang sangat jauh dari
pohon induknya (Jones and Luchsinger, 1987; Pulonin, 1994).
Penyebaran biji atau alat reproduksi lain yang dibantu satwa memiliki banyak keuntungan, burung mampu menyebarkan biji di daerah yang tak terjangkau oleh manusia, selain itu daerah edar harian burung relatif pada ekologi sistem ekologi di mana tumbuhan berada sehingga secara klimatologi akan banyak kesesuaian.
Mempertimbangkan hal tersebut maka rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming akan memberikan hasil yang sempurna jika disertai dengan kegiatan konservasi berbagai jenis burung yang memiliki manfaat dalam penyebaran alat reproduksi tumbuhan. Mengingat saat ini banyak penangkapan jenis-jenis burung tersebut dengan berbagai alasan. Jika kegiatan ini di biarkan berlanjut, akan menyebabkan kepunahan burung yang sangat berperan dalam pelestarian tumbuhan baik sebagai mediator polinasi (penyerbukan) maupun mediator dispersal (penyebaran) tumbuhan.
Penyebaran biji atau alat reproduksi lain yang dibantu satwa memiliki banyak keuntungan, burung mampu menyebarkan biji di daerah yang tak terjangkau oleh manusia, selain itu daerah edar harian burung relatif pada ekologi sistem ekologi di mana tumbuhan berada sehingga secara klimatologi akan banyak kesesuaian.
Mempertimbangkan hal tersebut maka rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming akan memberikan hasil yang sempurna jika disertai dengan kegiatan konservasi berbagai jenis burung yang memiliki manfaat dalam penyebaran alat reproduksi tumbuhan. Mengingat saat ini banyak penangkapan jenis-jenis burung tersebut dengan berbagai alasan. Jika kegiatan ini di biarkan berlanjut, akan menyebabkan kepunahan burung yang sangat berperan dalam pelestarian tumbuhan baik sebagai mediator polinasi (penyerbukan) maupun mediator dispersal (penyebaran) tumbuhan.
BAB
V
PENUTUP
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan dari kegiatan recovery konservasi dan rehabilitas lingkungan dalam
rangka mitigasi global warming:
1. Global Warming merupakan
permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi dengan 2 hal yaitu
pengurangan produk emisi dan pengurangan gas rumah kaca dengan memperbanyak
tumbuhan.
2. Strategi memperbanyak tumbuhan tidak
hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada
penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan
perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus
sesuai dengan klimatologi.
3. Dalam rangka konservasi tumbuhan
harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab secara
ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam penyebaran
tumbuhan.
5.2
Saran
Berdasarkan uraian di atas,
disarankan:
1. Global warming merupakan
permasalahan dunia sehingga perlu perhatian, kesadaran dan tindakan semua
pihak;
2. Salah satu cara mitigasi golbal
warming adalah menyerap karbondioksida di atmosfer dengan mengkonservasi dan
menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan tersebut harus dilakukan secara
menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan konservasi tumbuhan, perbaikan
sistem rehabilitasi dan mengkonservasi satwa pelestari tumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Animous,
(On-line) global-warming-apa-dan-mengapa Diakses pada tanggal 27 maret 2008
dari http://langitselatan.com/2008/02/09/global-warming-apa-dan-mengapa.htl
Anonimus,
Gas rumah kaca Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca.
tanggal 27 Maret 2008
Departemen
Kehutanan, 2007, Panduan Kegiatan Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Pekan
Pemeliharaan Pohon Menyongsong Pertemuan Internasional Tentang Perubhan Iklim
Global Di Bali, Desember 2007. Departemen Kehutanan, 2007.
Dwijo Seputro, 1994, Fisiologi
Tumbuhan, PT Gramedia. Jakarta.
Jones and Luchsinger, 1987. Plant
Systematics, McGraw Hill, Singapore
Kenneth D.
Johnson, 1984. Biology An Introduction, The Benyamin/Cummings
Publishing Company, Inc, Menlo Park
Publishing Company, Inc, Menlo Park
Nicholas
Polunin, 1994, Pengantar Geografi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Pratiwi
Sudarmono, 2007. Pengaruh Pemanasan Global pada Kualitas Sumber Daya Manusia di
Indonesia, Makalah Seminar Ancaman Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, 15
Nopember 2007.
Radar Malang, 15 Juli 2004. Malang
Ijo Royo-Royo.
Van Stenis CGGJ, 1987, Flora Edisi
4, Pradnya Paramita, Jakarta
Wahyu
Prihanta, 2007, Strategi Pusat Studi Lingkngan dan Kependududkan Universitas
Muhammadiyah Malang dalam Rangka Perang Menyeluruh Terhadap Global Warming,
Seminar Nasional BKPSL
Wahyu
Prihanta, 2007. Strategi Perlindungan Tanaman Tepi Jalan untuk Penyelamatan
Lingkungan Menyeluruh, Sosialisasi Kebijakan Lingkungan Hidup Tahun 2007, DKLH
Kota Batu.
Wahyu
Prihanta, 2006. Rehabilitasi Lingkungan Integratif dan Kontinu, Seminar
Regional, Pusal Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang,
Mei 2007.