Showing posts with label JURNAL. Show all posts
Showing posts with label JURNAL. Show all posts

Friday, June 14, 2013

RECOVERY KONSERVASI DAN REHABILITASI TUMBUHAN SEBAGAI STRATEGI MITIGASI GLOBAL WARMING

ABSTRAK

Pada saat ini bumi menghadapi pemanasan yang cepat. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca ini, atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.
Jika pada tahun 1990 emisi CO2 bumi sebesar 1,34 milyar ton, maka hingga tahun 1997 saja angkanya sudah 1,47 milyar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30 negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia menyumbang dua pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sedangkan 80 persen lainnya yang merupakan penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi CO2 (Angkasa, 2002).
Salah satu penyebab pemanasan global akumulasi karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Untuk mencegah semakin bertambahnya gas-gas rumah kaca tersebu Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Dalam rangka mitigasi global warming, perlu dilakukan recovery pola konsrvasi dan rehabilitasi tumbuhan yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek langsung padapenuruna suhu bumi. Recovery yang dilakukan adalah perbaikan sisten konservasi dan rehabilitasi tumbuhan meliputi konservasi tumbuhan, perbaikan sistem reboisasi dan konservasi satwa pelestari tumbuhan.




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang 
Pada saat ini, bumi menghadapi pemanasan yang cepat, penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam; yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca ini, atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi.
Energi yang menerangi bumi datang dari matahari, sebagian besar energi yang membanjiri planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan memantulkan kembali sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar; walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi. Gas-gas tertentu di atmosfer termasuk uap air, karbondioksida, dan metana, menjadi perangkap radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Jika pada tahun 1990 emisi CO2 bumi sebesar 1,34 milyar ton, maka hingga tahun 1997 saja angkanya sudah 1,47 milyar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30 negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia menyumbang dua pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sedangkan 80 persen lainnya yang merupakan penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi CO2 (Angkasa, 2002).
Semakin meningkatnya suhu permukaan bumi akan berdampak terjadinya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Dari hasil tersebut ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon).
Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca. Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.
Salah satu penyebab akumulasi karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006)
Dalam rangka mitigasi global warming, harus dicari pola baru (recovery) rehabilitasi lingkungan yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek langsung pada penurunan suhu bumi.

1.2  Rumusan Masalah
Global warming telah dirasakan pengaruhnya pada seluruh permukaan bumi, pengaruh utama peningkatan suhu global berpengaruh pada perubahan iklim yang berakibat pada bencana alam, penyakit, bidang pertanian dan bidang-bidang lain. Untuk itu perlu dicari solusi untuk mengatasinya. Salah satu cara efektif untuk mengatasi global warming adalah dengan mengurangi jumlah gas efek rumah kaca terutama karbon dioksida di atmosfer.
Permasalah yang dihadapi saat ini telah terjadi deforestri besar-besaran disisi lain proses rehabilitasi dan konservasi tumbuhan yang saat ini dilakukan masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain tidak tepat musim, tidak tepat jenis dengan klimatologi dan tidak ada keberlanjutan. Disamping itu aspek konservasi menyeluruh tidak diperhatikan. Dengan demikian perlu dicari dilakukan (recovery) mencari pola baru konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming?

1.3  Tujuan Penulisan 
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan masukan kepada instansi terkait dan masyarakat tentang pola baru konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming.

1.4  Manfaat Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a.       Membentuk kesadaran masyarakat terhadap global warming, dalam dampak global  warming dan mitigasi global warming;
b.      Dapat digunakan sebagai masukan untuk perbaikan (recovery) strategi konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Global Warming
Pemanasan global (global warming) dapat didefinisikan sebagai naiknya suhu permukaan bumi menjadi lebih panas selama beberapa kurun waktu yang disebabkan karena meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Pada dasarnya fenomena pemanasan dipermukaan bumi sebenarnya merupakan gejala sistem alam yang normal untuk menghangatkan planet bumi sehingga suhu bumi tidak menjadi dingin bahkan membeku seperti pada jaman es yang pernah terjadi 15.000 tahun lalu.
Namun proses alam yang normal tersebut telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan di planet ini karena konsentrasi gas rumah kaca yang menyelimuti lapisan atmosfer telah melebihi daya dukung (carrying capacity) konsentrasi gas-gas yang terkandung di lapisan atmosfer tersebut. Terjadinya peningkatan suhu bumi ini awal mulanya dikemukanan oleh Arrhenius pada tahun 1896 bahwa telah terjadi peningkatan suhu dipermukaan bumi sehingga kehidupan di panet bumi akan terhindar dari zaman es dikemudian hari. Selanjutnya National Research Council sejak tahun 1958–1980 telah melakukan pemantauan secara langsung di Gunung Mauna Loa di Hawaii yang bertujuan untuk mengetahui kadar CO2 yang menyelimuti lapisan atmosfer. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kadar CO2 dilapisan atmosfer yang signifikan selama 22 tahun pemantauan. di Gunung Mauna Loa di Lokasi pemantauan ini dipilih secara langsung. Pemantauan itu dilakukan sejak manusia memasuki proses industri. Pada masa ini manusia mulai melakukan pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan bakar dan listrik. Proses pembakaran energi dari Bumi ini ternyata menghasilkan gas buangan berupa gas rumah kaca (Langit selatan,2008)

2.2 Gas –Gas Penyebab Efek Rumah kaca (GRK)
2.2.1 Sumber Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organic (seperti tumbuhan) (Wikipedia,27 Maret 2008).
GRK dapat dihasilkan baik secara alamiah maupun dari hasil kegiatan manusia. Sebagian besar penyebab terjadi perubahan komposisi GRK di atmosfer adalah gas-gas buang yang teremisikan keangkasa sebagai “hasil sampingan” dari aktifitas manusia untuk membangun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini. Dimulai sejak manusia menemukan teknologi industri pada abad 18 revolusi industri 1970-an, banyak menggunakan bahan bakar primer seperti minyak bumi, gas maupun batubara untuk menghasilkan energi yang diperlukan. Energi dapat diperoleh, kalau minyak itu dibakar lebih dahulu, dari proses pembakaran tersebut keluarlah gas-gas rumah kaca.
Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan GRK adalah perindustrian, penyediaan energi listrik, dan transportasi. Sedangkan dari peristiwa secara alam juga menghasilkan/ mengeluarkan GRK seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga kita bernafaspun mengeluarkan GRK. Komposisi dan konsentrasi gas rumah kaca yang berada di lapisan atmosfer akan sangat bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia dalam merekayasa sistem tatanan ekologi di planet ini. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengklasifikasi enam jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2), Metana (CH4), Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs).
Gas karbondioksida, dinitro oksida dan metana terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk 3 jenis GRK yang terakhir, sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol.

2.2.2 Sumber Emisi GRK
Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai sektor, antara lain:

1.      Energi
Pemanfaatan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batubara, dan gas, secara berlebihan dalam berbagai kegiatan merupakan penyebab utama dilepaskannya emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Pembangkitan listrik, penggunaan alat-alat elektronik seperti AC, TV, komputer, penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri merupakan contoh kegiatan manusia yang meningkatkan emisi GRK di atmosfer.
Walaupun sama-sama menghasilkan emisi GRK, minyak bumi, batubara dan gas bumi menghasilkan tingkat emisi yang berbeda-beda untuk jenis kegiatan yang sama. Contohnya, untuk menghasilkan energi sebesar 1 kWh, pembangkit listrik yang menggunakan batubara mengemisikan sekitar 940 gram CO2. Sementara pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi dan gas alam menghasilkan emisi GRK sekitar 798 dan 581 gram C02.
Dari contoh di atas terlihat bahwa di antara ketiga jenis bahan bakar fosil, batubara menghasilkan emisi CO2 paling tinggi. Di Indonesia, sektor energi menempati urutan kedua sebagai sumber GRK yaitu sekitar 25% dari total emisi. Sementara dari sisi pemanfaatan energi di Indonesia, sektor industri merupakan sektor pengemisi GRK terbesar, diikuti oleh sektor transportasi.

2.      Kehutanan
Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi GRK, biasa disebut carbon sink. Hutan bekerja untuk menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi oksigen (O2) untuk kebutuhan mahluk hidup. Oleh karena itu kegiatan pengrusakan hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.
Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun dengan laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun, tak heran jika sector kehutanan merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Menurut The First National Communication yang berisi inventarisasi GRK di berbagai Negara, sekitar 64% dari total emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan.

3.      Pertanian dan Peternakan
Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi GRK di atmosfer. Dari sektor pertanian, emisi GRK dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran padang sabana, dan pembusukan sisa-sia pertanian. Sektor pertanian menurut The First National Communication secara umum menghasilkan emisi GRK hanya sekitar 8%. Namun sektor ini menghasilkan emisi gas metana tertinggi dibandingkan sektor lainnya.
Sementara dari sektor peternakan, emisi GRK berupa gas metana (CH4) dilepaskan dari kotoran ternak yang membusuk. Sesungguhnya untuk mengurangi emisi GRK dari sector ini, kotoran ternak dapat diolah untuk menjadi biogas, bahan bakar yang ramah lingkungan.

4.      Sampah
Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah sendiri turut menghasilkan emisi GRK berupa gas metana (CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg/ hari atau 190 ribu ton/ tahun. Ini berarti pada tahun 2020 Indonesia akan mengemisikan gas metana ke atmosfer sebesar 9500 ton. Sampah kota perlu dikelola secara benar, agar laju perubahan iklim bisa diperlambat.

2.3 Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
2.3.1 Sistem Iklim
Secara umum iklim di definisikan sebagai pola cuaca pada suatu tempat di permukaan bumi yang terjadi selama bertahun-tahun. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu tempat, menurut ukuran internasional diperlukan nilai rata-rata parameternya selama kurang lebih 30- 100 tahun (inter contenial). Sementara cuaca adalah merupakan kondisi harian suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin.
Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah. Daerah yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5 Lintang Selatan, merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi matahari yang diterima setiap tahunnya.

2.3.2 Proses Terjadinya Perubahan Iklim
Secara alamiah panas matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara sebagian lagi akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Adanya lapisan gas (gas rumah kaca) yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang hendak dipantulkan ke luar angkasa menembus atmosfer. Peristiwa terperangkapnya panas matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca.
Sejak revolusi industri tahun pertengahan abad ke-18, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor, pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Hal ini berakibat pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer yang kemudian menyebabkan meningkatnya panas matahari yang terperangkap di atmosfer. Peristiwa ini pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan bumi, yang umum disebut pemanasan global.
Pemanasan global kemudian pada prosesnya menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut, yang menyebabkan meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan penelitian para ahli, perubahan iklim diketahui akan menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kehidupan umat manusia. Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis merupakan beberapa dampak akibat perubahan iklim. Secara umum iklim di definisikan sebagai pola cuaca pada suatu tempat di permukaan bumi yang terjadi selama bertahun-tahun. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu tempat, menurut ukuran internasional diperlukan nilai rata-rata parameternya selama kurang lebih 30- 100 tahun (inter contenial). Sementara cuaca adalah merupakan kondisi harian suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin.
Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah. Daerah yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5 Lintang Selatan, merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi matahari yang diterima setiap tahunnya.

2.3.3 Keterkaitan Efek Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Keterkaitan antara efek rumah kaca, pemanasan global dan perubahan iklim secara sederhana dijelaskan sebagai berikut sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.

2.3.4 Skenario Terjadinya Perubahan Iklim Global
Skenario yang paling nyata dari pengaruh meningkatnya suhu udara adalah akan mengakibatkan meningkatnya suhu tanah, sebagai konsekuensinya permukaan tanah akan lebih cepat panas daripada lautan. Dengan meningkatnya suhu permukaan tanah tersebut, maka mengakibatkan mencairnya es di wilayah kutub. Apabila hal ini terjadi, maka air laut diprediksi akan meningkat rata-rata 6 cm/dekade pada abad yang akan datang pada kisaran 3-10 cm/dekade. Mencairnya lapisan es di kutub utara tersebut, selain dapat meningkatnya permukaan laut tersebut, juga dapat merubah iklim global, sehingga sering terjadi badai. Pada saat terjadinya badai inilah, terutama badai Holocene transgression, permukaan air laut meningkat secara maksimal, yaitu sebesar 20 cm/dekade.
Berdasarkan skenario tersebut diprediksi bahwa suhu permukaan lautan tropis akan meningkat antara 1-3oC. Akan tetapi skenario ini masih banyak pertentangan, namun paling tidak suhu stabilnya diperlukan antara 30-31oC. Intensitas dan frekuensi perubahan yang ektrim secara nyata mempengaruhi tehadap perubahan ekologi terumbu karang paling tidak ada dua kejadian yang mempengaruhi tersebut:1) peningkatan curah hujan terutama pada saat badai besar, 2) terjadinya kemungkinan perubahan frekuensi penyebaran badai tropis.

2.4 Dampak Global Warming Terhadap Kehidupan
Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Beberapa dampak yang akan terjadi akibat perubahan iklim:
            1.      mencairnya es di kutub
            2.      meningkatnya permukaan air laut
3.      pergeseran musim
Dampak perubahan iklim bagi Indonesia antara lain:
1.      kenaikan temperatur dan berubahnya musim
            2.      naiknya permukaan air laut
            3.      dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan
            4.      dampak perubahan iklim terhadap sektor kehutanan   
            5.      dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian
            6.      dampak perubahan iklim terhadap kesehatan
Menurut Pratiwi Sudarmono (2007), Pemanasan global dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dengan adanya perubahan iklim berubah pula pola hujan, pola tanam, sirkulasi air dan sebagainya. Bila berbagai perubahan tersebut tidak disertai dengan kemampuan adaptasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Maka akan mempengaruhi munculnya berbagai penyakit. Sebagai contoh, perubahan iklim akan dapat menyebabkan masa inkubasi nyamuk malariadan demam berdarah menjadi pendek. Sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah bisa berkembang dengan cepat

2.5 Mitigasi Global Warming
Mitigasi global warming adalah proses pengendalian dari akibat yang ditimbulkan global warming. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Wahyu Prihanta, 2007).
Pelaksanaan rehabilitasi lingkungan yang dilakukan selama ini tidak menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Hal ini disebabkan kegiatan tersebut memiliki beberapa kekurangan, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal tersebut disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Lebih lanjut dalam rangka rehabilitasi lingkungan tidak hanya dilakukan dengan penanaman pohon namun juga harus dilakukan konservasi dari tumbuhan yang ada dan perlu mengkaitkan dengan komponen ekologi lainnnya. Alam terbangun dalam sebuah sistem yang sangat komplek, selalu ada kaitan antara komponen-komponen sistem di alam ini. Demikian juga keberadaan tumbuhan, sangat berkaitan dengan komponen lain yaitu hewan. Hewan terutama burung memiliki peran yang sangat besar pada keberadaan tumbuhan melalui perannya dalam membantu penyerbukan dan juga penyebaran biji (Wahyu Prihanta, 2007).




BAB III
METODE PENULISAN

3.1  Sumber Data
Data dan fakta yang berhubungan untuk pembahasan tema ini berasal dan tahapan-tahapan pengumpulan data dengan pembacaan secara kritis terhadap ragam literatur (Library research) yang berhubungan dengan tema pembahasan.
Data kerusakan lingkungan yang ditampilkan dalam karya tulis ini dapat berupa angka atau pesan. Untuk angka, data yang dipakai adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada masyarakat, melalui literatur yang digunakan berupa buku, surat kabar, buletin, jurnal, majalah maupun internet. Dengan demikian penulis mengelompakkan atau menyeleksi data dan informasi tersebut berdasarkan kategori atau relevansi dan kemudian selanjutnya ke tahapan analisis dan pengambilan kesimpulan. Namun demikian, untuk mendukung dan memperkaya gagasan dalam karya tulis ini, dilakukan wawancara dan observasi dengan narasumber yang kompeten dibidangnya Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang (PSLK-UMM) Drs. Wahyu Prihanta, M.Kes.

3.2  Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (1998:25), analisa deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat, dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menganalisa data yang berupa pesan maka digunakan cara analisis isi (content analysis). Analisis ini menghubungkan penemuan berupa kriteria atau teori. Analisis yang dilakukan pada analisis isi karya tulis ini menggunakan interactive model (Miles dan Huberman, 1994). Model ini terdiri dari empat komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data, (3) penyajian data dan (4) penarikan data pengujian atau verifikasi kesimpulan.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Pembahasan
4.1.1        Peranan Pohon dalam Mitigasi Global Warming
Gas Rumah Kaca terbesar adalah karbondioksida, dimana karbon dioksida dihasilkan sebagai hasil proses alamiah dalam proses respirasi dan juga dari berbagai aktifitas manusia non respirasi. Karbondioksida memiliki peranan menyerap panas sehingga penumpukan dalam jumlah besar akan berakibat meningkatnya suhu bumi.
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya (Wikipedia, 2008).
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Wahyu Prihanta, 2007).
Mekanisme penyerapan karbondioksida adalah melalui proses fotosintesis, dimana karbondioksida diserap oleh tumbuhan dari udara dan bereaksi dengan air membentuk karbohidrat. (Dwijo seputro, 1994). Secara kimiawi proses tersebut digambarkan sebagai berikut. CO2 + H2O C6H12O6, proses tersebut dibantu dengan sinar matahari dan terjadi pda klorofil daun. Dengan mekanisme ini maka secara alamiah pohon memiliki kemampuan mengurangi karbon dioksida di udara.

4.1.2 Strategi Mengoptimalkan Peranan Pohon dalam Mitigasi Global Warming
4.1.2.1 Konservasi Tumbuhan
Secara alamiah tumbuh-tumbuhan memiliki peran yang sangat besar alam mengurangi karbondioksida di atmosfir yang berarti mampu mengurangi panas bumi. Namun ironisnya, keberdaan tumbuhan dimuka bumi mengalami penurunan jumlah yang signifikan, disisi lain emisi gas rumah kaca makin meningkat akibat berbagai kegiatan yang menggunakan bahan bakar fosil.
Hutan memiliki peran yang sangat tinggi dalam penyerapan karbondioksida, namun kerusakan hutan saat ini semakin meningkat. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektare per tahun atau 2,616 ribu hektare per hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektare per tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Selain kerusakan hutan, hilangnya tumbuh-tumbuhan terjadi di kawasan non hutan. Wahyu Prihanta sebagai Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang dalam wawancara ekslusif menyebutkan salah satu contoh kerusakan tumbuhan yang tidak banyak disadarai namun memiliki peran penting dalam mitigasi global warming adalah kerusakan tanaman tepi jalan, dimana tanaman tepi jalan memiliki peran dalam penyerapan gas yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi yang makin meningkat (2007). Perusakan tanaman tepi jalan dari jenis Asam Jawa yang telah berumur 200 tahun banyak ditebang di Situbondo (Surya, 4/2-2001), pembangunan jalan di Lumajang (RCTI, 9/2-2001) dan di Jombang (TEB, 2001). Dalam satu minggu 30 pohon mati diracun di Kota Malang, jika seminggu sebelumnya 90 pohon yang di racun, pada hari senin 2/4-2007 jumlahnya meningkat menjadi 120 pohon (Data Dinas Pertamanan Malang).
Dalam bulan April di Jalur Batu – Malang sepanjang 10 km, 2 pohon trembesi dalam kondisi sehat di tebang, 2 pohon trembesi lain dibakar pangkalnya (Data Tim Ekspedisi Biokonservasi seperti yang dilaporkan ke Kapolwil, 15 Maret 2007 dalam Wahyu Prihanta, 2007). Hilangnya tumbuhan juga terjadi akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan manusia sebagai contoh pertanian, perumahan maupun industri.
Berdasarkan fakta di atas, mitigasi global warming dapat dilakukan dengan meningkatkan penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan. Menambah jumlah tumbuhan menjadi kurang efektif jika disisi lain perusakan tumbuhan terus dilakukan. Untuk itu selain menanam kegiatan konservasi tumbuhan perlu ditingkatkan.

4.1.2.2 Recovery Sistem Rehabilitasi Tumbuhan
Hilangnya tumbuhan akibat berbagai aktifitas manusia dan bencana alam dapat diperbaiki dengan rehabilitasi atau yang sering disebut dengan reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya, reboisasi saat ini belum mendapatkan hasil yang maksimal, recovery perlu dilakukan dalam kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena pelaksanaannya masih memiliki beberapa kekurangan.
Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Wahyu. Prihanta, 2006).
Daerah tropika terkhusus Indonesia memiliki putaran musim yang relatif stabil, dimana memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Kegiatan rahabilitai yang dilakukan saat ini sering tidak sesuai dengan musim yaitu awal musim hujan sekitar bulan Nopember sampai dengan Januari. Sehingga banyak tumbuhan mati akibat tidak cocok secara klimatologi sehingga ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tumbuhan krang terpenuhi. Sebagai contoh program rehabilitasi tumbuhan di Kota Malang yang dengan program Malang Ijo Royo-Royo (MIRR) tahun 1 dan ke 2 dilaksanakan pada bulan Juli dimana merupakan bulan terkering sepanjang tahun (Radar malang, 15 Juli 2004). Demikian juga rehabilitasi lingkungan di Kota Batu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2003, pada saat akhir musim hujan.
Selain itu hal tersebut di atas pemilihan tumbuhan tidak sesuai dengan klimatologi yang dipersyaratkan tumbuhan. Tumbuhan rambutan dan mangga digunakan alam program Malang Ijo Royo (radar Malang, 15/6/2004), secara klimatologi kedua jenis tumbuhan tersebut sesuai hidup pada dataran rendah (0-200 dpl) (Stenis, 1987). Sedangkan Kota Malang merupakan daerah dataran tinggai (sekitar 450 dpl). Setiap tumbuhan memiliki syarat tumbuh dalam ketinggian daerah tertentu (dpl), sehingga dikenal dengan nama tumbuhan dataran rendah dan dataran tinggi. Hal ini disebabkan ketinggian tempat mempengaruhi klimatologi dan klimatologi sangat mempengaruhi kehidupan tumbuhan (Stenis, 1987; Pulonin, 1994).
Program penanaman tumbuhanpun tidak disertai dengan program perawatan. Sebaiknya program penanaman harus disertai program perawatan untuk tanaman yang berumur kurang dari tiga tahun setelah penanaman (Departemen Kehutanan, 2007).
Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan rehabilitasi tumbuhan untuk mitigasi global warming perlu diperbaiki.

4.1.2.3 Konservasi Menyeluruh pada Satwa Penyebar Tumbuhan
Alam tercipta dalam keterkaitan dan keseimbangan yang sempurna, berbagai komponen kehidupan keberadaannya saling menunjang. Selama ini banyak satwa yang berperan dalam membantu penyebaran biji-biji tumbuhan sehingga secara automatis membantu menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan yang secara ekologi sesuai. Banyak jenis burung yang memakan buah dan menyebarkan bijinya bersama feces di tempat yang sangat jauh dari pohon induknya (Jones and Luchsinger, 1987; Pulonin, 1994).
Penyebaran biji atau alat reproduksi lain yang dibantu satwa memiliki banyak keuntungan, burung mampu menyebarkan biji di daerah yang tak terjangkau oleh manusia, selain itu daerah edar harian burung relatif pada ekologi sistem ekologi di mana tumbuhan berada sehingga secara klimatologi akan banyak kesesuaian.
Mempertimbangkan hal tersebut maka rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming akan memberikan hasil yang sempurna jika disertai dengan kegiatan konservasi berbagai jenis burung yang memiliki manfaat dalam penyebaran alat reproduksi tumbuhan. Mengingat saat ini banyak penangkapan jenis-jenis burung tersebut dengan berbagai alasan. Jika kegiatan ini di biarkan berlanjut, akan menyebabkan kepunahan burung yang sangat berperan dalam pelestarian tumbuhan baik sebagai mediator polinasi (penyerbukan) maupun mediator dispersal (penyebaran) tumbuhan.




BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan dari kegiatan recovery konservasi dan rehabilitas lingkungan dalam rangka mitigasi global warming:
1.      Global Warming merupakan permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi dengan 2 hal yaitu pengurangan produk emisi dan pengurangan gas rumah kaca dengan memperbanyak tumbuhan.
2.      Strategi memperbanyak tumbuhan tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi.
3.      Dalam rangka konservasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam penyebaran tumbuhan.

5.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas, disarankan:
1.      Global warming merupakan permasalahan dunia sehingga perlu perhatian, kesadaran dan tindakan semua pihak;
2.      Salah satu cara mitigasi golbal warming adalah menyerap karbondioksida di atmosfer dengan mengkonservasi dan menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan konservasi tumbuhan, perbaikan sistem rehabilitasi dan mengkonservasi satwa pelestari tumbuhan.





DAFTAR PUSTAKA

Animous, (On-line) global-warming-apa-dan-mengapa Diakses pada tanggal 27 maret 2008 dari http://langitselatan.com/2008/02/09/global-warming-apa-dan-mengapa.htl
Anonimus, Gas rumah kaca Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca. tanggal 27 Maret 2008
Departemen Kehutanan, 2007, Panduan Kegiatan Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon Menyongsong Pertemuan Internasional Tentang Perubhan Iklim Global Di Bali, Desember 2007. Departemen Kehutanan, 2007.
Dwijo Seputro, 1994, Fisiologi Tumbuhan, PT Gramedia. Jakarta.
Jones and Luchsinger, 1987. Plant Systematics, McGraw Hill, Singapore
Kenneth D. Johnson, 1984. Biology An Introduction, The Benyamin/Cummings
Publishing Company, Inc, Menlo Park
Nicholas Polunin, 1994, Pengantar Geografi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Pratiwi Sudarmono, 2007. Pengaruh Pemanasan Global pada Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia, Makalah Seminar Ancaman Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, 15 Nopember 2007.
Radar Malang, 15 Juli 2004. Malang Ijo Royo-Royo.
Van Stenis CGGJ, 1987, Flora Edisi 4, Pradnya Paramita, Jakarta
Wahyu Prihanta, 2007, Strategi Pusat Studi Lingkngan dan Kependududkan Universitas Muhammadiyah Malang dalam Rangka Perang Menyeluruh Terhadap Global Warming, Seminar Nasional BKPSL
Wahyu Prihanta, 2007. Strategi Perlindungan Tanaman Tepi Jalan untuk Penyelamatan Lingkungan Menyeluruh, Sosialisasi Kebijakan Lingkungan Hidup Tahun 2007, DKLH Kota Batu.

Wahyu Prihanta, 2006. Rehabilitasi Lingkungan Integratif dan Kontinu, Seminar Regional, Pusal Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang, Mei 2007.