Showing posts with label ILMU FIQIH. Show all posts
Showing posts with label ILMU FIQIH. Show all posts

Monday, July 22, 2013

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A.    PENDAHULUAN
Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia perpolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

B.      PEMBAHASAN

1.        PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan, namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).

Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).

Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

2.        PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali, para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad  SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah, dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
1.        Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.        Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.        Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4.  Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.

Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
Sebelum membahas lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
1.        Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2.        Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3.        Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.

3.        PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

4.        PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosadalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing - masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan - perbedaan.

  

DAFTAR PUSTAKA


Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.

Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.

Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.


Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.

Saturday, July 13, 2013

IJMA’

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam pembacaan kitab-kitab feqah, kita biasa menjumpai kenyataan seperti: “Ulama bersepakat…” atau “hukumnya adalah wajib atau haram dengan ijmak” atau “tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang hukum ini” dan seumpamanya. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah nukilan ijmak di dalam sesuatu masalah feqah. Apakah maksud ijmak?
Ijmak ialah kesepakatan seluruh umat Nabi Muhammad SAW dalam satu-satu zaman, selepas kewafatan baginda, terhadap suatu hukum masalah. Ertinya, apabila seluruh ulama dalam satu zaman yang layak berijtihad mengeluarkan satu hukum yang sama dalam satu-satu masalah, tanpa ada seorang mujtahid pun yang menyalahi hukum tersebut, maka hukum itu dikatakan sabit secara ijmak.
Ada sebahagian ulama yang menghadkan ijmak hanya boleh berlaku pada zaman sahabat. Tidak mungkin ijmak berlaku pada zaman selepas mereka. Kerana selepas berlalu zaman sahabat, para mujtahid umat Islam sudah bertebaran di merata dunia, timur dan barat, utara dan selatan. Maka, amat sukar untuk dipastikan keseluruhan ulama umat Islam bersepakat di dalam sesuatu hukum masalah. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Hazm, pendokong mazhab Zahiri.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pokok-pokok bahasan sebagai berikut :
1.      Pengertian Ijma’.
2.      Dasar hukum Ijma’.
3.      Rukun-rukun Ijma’.
4.      Syarat Mujtahit.
5.      Macam-macam Ijma’.
6.      Menghormati Ijma’.
7.      Klaim Ijma’ Padahal Bukan Ijma’.

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tenteng Ijma’ karena Objek Ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yang tidak langsung ditujukan kepada ALLAH SWT) bidang mu’amalat,, bidang kemasyarakatan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJMA’
1.   Pengertian Ijma’ Secara Bahasa.
a.       Bertekat bulat (berazzam) untuk melaksanakan sesuatu.
Sabda rasul:
لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْل 
“Tidak ada  shaum  bagi orang-orang yang tidak bertekad  bulat untuk shaum dimalam harinya”.
                  
Berdasarkan pengertian petama di atas, maka ijma berarti tekad bulat seseorang.

b.      Bersepakat atas sesuatu.
Jika dikatakan suatu kaum  melakukan ijma terhadap sesuatu  perkara jika mereka sepakat terhadapnya.
Berdasarkan pengertian ini, maka setiap kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara, baik agama maupun urusan dunia dinamakan dengan Ijma’.

2.      Pengertian Ijma’ Dari Segi Istilah Syara’
Dari segi istilah syara’ Ijma’ adalah kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama Islam berasaskan Al-Quran dan Hadis tentang suatu perkara yang terjadi pada suatu masa setelah zaman Rasulullah S.A.W.
Ijmak tidak akan berlaku melainkan setelah adanya kesepakatan ulama yang berijtihad (mujtahidin) pada sesuatu zaman tanpa kecuali seorang pun dari kalangan mereka. Ini bermakna, jika seorang sahaja yang membangkang maka tidak dianggap ijmak. Para mujtahidin biasanya berselisih pendapat dalam sesuatu hukum, tetapi dalam sesuatu hukum tertentu, tidak seorang pun di kalangan mereka yang berbeda pendapat, maka terjadilah ijmak.

B.     DASAR HUKUM IJMA’
Dasar hukum Ijma’ berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
1.   Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman:


Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
     ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59).

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan
    janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103).

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berIjma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.


2.   AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan Ijma’ tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka Ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan."
    (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

3.  Akal Pikiran
Setiap Ijma’ yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu.
Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

C.    RUKUN-RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum Ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun Ijma’ sebagai berikut:
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi Ijma’, karena Ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu Ijma’.
  3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf Ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

D.    SYARAT MUJTAHIT
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
1.      Memiliki pengetahuan sebagai berikut:
  • Pertama, Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
  • Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
  • Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
2.      Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
3.      Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah.
Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

E.     MACAM-MACAM IJMA’
Sekalipun sukar membuktikan apakah Ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam Ijma’. Diterangkan bahwa Ijma’ itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka Ijma’ terdiri atas:
  1. ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga Ijma’ shahih, Ijma’ qauli atau Ijma’ haqiqi;
  2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga Ijma’ 'itibari. 
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu Ijma’, dapat dibagi kepada:
  1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma’ itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;
  2. ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam Ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-Ijma’ itu ialah:
  1. Ijma’ sahabat, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
  2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia Ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
  3. Ijma’ shaikhan, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
  5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan Ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

F.     MENGHORMATI IJMA’
Kesepakatan seluruh ulama mengenai  hukum syariat -khususnya di abad-abad pertama- menunjukan bukti yang jelas bahwa dalam sesuatu yang mereka sepakati, mereka bersandar pada pernyataan syar’i yang benar baik nash, maslahah atau hal-hal inderawi. seyognyanya kita menghormati Ijma’ mereka agar sesuatu yang disepakati secara meyakinkan  dapat ditetapkan  di dalam syariat.
Hal ini seperti  Ijma’ mereka atas wajibnya zakat emas  dengan standar  zakat perak yakni 2,5 persen. Tatkala seorang mujtahid telah yakin tentang kepastian suatu Ijma’ dalam suatu masalah, maka hendaknya ia menahan diri untuk tidak berijtihad dalam masalah tersebut. Karena satu sebab umat telah lepas, dimana Allah tidak mungkin akan menyatukan mereka dalam  suatu Ijma’ yang sesat.
Berikut contoh ijtihad yang melanggar Ijma’:
  1. Ijtihad  Syaikh Al-Albani dalam risalahnya “Az-Zafaf” dimana ia menyatakan haramnya emas berukir yang dipakai oleh perempuan adalah ijtihad yang tertolak. Hal ini karena umat telah berIjma’ atas halalnya emas bagi kaum wanita dan mereka tidak berselisih pendapat, kecuali dalam hal zakatnya.
  2. Ijtihad sebagian peneliti masa kini (JIL wa ashabihi ajma’in.)  yang membolehkan seorang muslimah kawin dengan laki-laki Ahli kitab, sebagai qiyas atas bolehnya seorang muslim laki-laki mengawini seorang  perempuan  ahli kitab adalah ijtihad yang tertolak. Hal ini karena adanya Ijma’ kaum muslimin di setiap masa dan seluruh madzhab mengenai keharaman hal tersebut. Ini pula yang dipraktekkan umat Islam sepanjang zaman.

G.    KLAIM IJMA’ PADAHAL BUKAN IJMA’
Banyak contoh kasus  yang diklaim sebagai Ijma’ yang dalam sebuah perkara dianggap tidak  ada perbedaan pendapat, padahal terdapat perbedaan pendapat disana. Berikut contohnya:
  1. Sebagian orang mengklaim Ijma’ bahwa qashar yang dillakukan dalam perjalanan  kurang dari  46 mil, maka qashar tersebut tidak sah. Hal ini bukan Ijma’ karena para sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa qashar shalat  boleh kurang dari 46 mil, jumlahnya jauh lebih banyak.
  2. Mereka mengklaim Ijma’ bahwa dalam pembunuhan cukup dua orang saksi, padahal kami telah meriwayatkan dari Hasan Al-basri melalui jalan yang paling shalih, bahwa dalam pembunuhan  dibutuhkan empat orang saksi seperti dalam kasus zina.
  3. Ibnul Mundzir menukil Ijma’ bahwa zakat mal tidak boleh diberikan  kepada non muslim. Sedangkan orang lain ada yang meriwayatkan dari Az-Zuhri, Ibnu Sirin dan Ikrimah, mengenai bolehnya distribusi zakat untuk  non-muslim. Inilah dzahirnya madzab Umar, menurut yang diriwayatkan darinya.
  4. Sebagian ulama mengklaim Ijma’ tentang sahnya seorang  pemimpin harus dari  keturunan Quraisy. Mereka mensyaratkan bahwa seseorang yang akan dibaiat oleh kaum muslimin sebagai imam harus dari nasab quraisy. Padahal mereka tahu keshahihan perkataan Imam bin Khattab benar: ”Sekiranya Salim Maula Abu Hazaifah masih hidup, niscaya akan aku berikan kekhilafahan kepadanya.” Padahal Salim hanyalah seorang  mantan budak.  Demikian juga  apa yang dikatakan Umar  tentang pengangkatan Muadz bin Jabal, sedangkan dia dari kalangan  Anshar.


BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Berdasarkan semua pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan menjadi lebih singkat. Dan kesimpulannya adalah sebagai berikut:
  1. Tekad bulat seseorang atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara, baik agama maupun urusan dunia merupakan Ijma’.
  2. Dari segi istilah syara’ Ijma’ adalah kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama Islam berasaskan Al-Quran dan Hadis tentang suatu perkara yang terjadi pada suatu masa setelah zaman Rasulullah S.A.W.
  3. Dasar hukum Ijma’ antara lain, Al-Qur’an, Al-Hadist dan Akal Pikiran.
  4. Rukun-rukun Ijma’,
a.       Harus ada beberapa orang mujtahid.
b.      Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid
d.      Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
  1. Syarat-syarat Mujtahid.
a.       Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an, tentang Sunnah dan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b.      Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c.       Menguasai ilmu bahasa.
  1. Macam-macam Ijma’,
o   ljma' bayani.
o   Ijma’ sukuti.
o   ljma' qath'i.
o   ljma' dhanni.
o   Ijma’ sahabat.
o   Ijma’ khulafaurrasyidin.
o   Ijma’ shaikhan.
o   Ijma’ ahli Madinah.
o   Ijma’ ulama Kufah.

B. SARAN
            Setelah penulis membahas panjang lebar tentang Ijma’, maka dengan ini penulis sangat mengharapkan kepada dosen pengasuh mata kuliah Ushul Fiqh agar dapat memberi pembahasan lebih lanjut kepada penulis serta seluruh mahasiswa(i) yang mengikuti mata kuliah Ushul Fiqh agar dapat memudahkan penulis memahami tentang Ijma’.



DAFTAR PUSTAKA

Atha’ bin Khalil, Op.Cit. hal. 102.

Atha’ Bin Khalil, Tafsir al-Wushul ila al-Uslul (Bogor: Pustaka Thariqur izzah,
2003), hal. 102-106.

Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Dr. Yusuf Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis Mempelajari Fikih (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar:2001), hal. 66.

HR. Tirmidzi No. 662, AN-Nasa’I No. 2291, Ilmu Majah No. 1690, Abu Daud No.
2098.

HR. Ahmad, An-Nasa’I dan Adh-Dhiya dari Anas.) cet.1.

Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu
Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-
Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.

Lihat Al-Ihkam karya Ibnu Hazm (4/178).

Lebih lanjut lihat “Fikih Zakat”, bab Distribusi Zakat (2/747-760).

Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Wahbah al-Zuhaili, UshulFiqh al-Islami, hal. 474-476


Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal. 401

Thursday, April 11, 2013

IBADAH HAJI DAN UMRAH


A.    KEWAJIBAN HAJI DAN UMRAH

Kata haji berasal dari bahasa Arab yang berarti menyengaja, menuju suatu tempat, mengunjunginya secara berulang-ulang. Begitu juga dengan umrah, yang juga dapat berarti mengunjungi atau menuju suatu tempat.
Sedang menurut istilah syara’, haji dan umrah berarti “menyengaja mengunjungi Ka’bah dengan niat untuk beribadah pada waktu tertentu, dengan syarat-syarat tertentu dan tata cara tertentu”. Dasar hukum tentang kewajiban haji ini adalah firman Allah SWT:

ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
Artinya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97).

B.     MANASIK HAJI DAN UMRAH

1.    Tata Pelaksanaan Haji dan Umrah
Bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah di Makkah Al-Mukarramah, ia akan mengerjakan hal-hal rukniyah secara berurutan, yaitu:
a.    Pada tanggal 8 Dzulhijah (hari tarwiyah) jamaah haji mulai ihram dengan berniat haji. Ihram tersebut dilaksanakan sejak dari miqat (Makkah atau dari mana saja jamaah haji tinggal di daerah haram). Selanjutnya bersiap diri menuju Mina. Hingga di sana mereka diharuskan bermalam. Batas terakhir berada di Mina adalah sampai matahari terbit, yaitu waktu pagi-pagi hari berikutnya (tanggal 9 Dzulhijah) kurang lebih jam sembilan.
b.    Pada tanggal 9 Dzulhijah setelah matahari terbit ini, jamaah haji selanjutnya berangkat menuju Arafah untuk berwukuf (berhenti, “tinggal di sana”) hingga matahari terbenam. Dalam istilah fiqih hari inilah yang dikenal dengan sebutan hari Arafah.
c.    Pada tanggal 9 Dzulhijah setelah matahari terbenam, jamaah haji mulai meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Di sini mereka harus melaksanakan shalat maghrib dan isya’ secara jamak ta’khir, bermalam sampai datangnya waktu shalat subuh dan mengerjakannya. Jamaah haji selanjutnya bersiap-siap untuk berangkat ke Mina.
d.   Sebelum matahari terbit pada tanggal 10 Dzulhijah (tepat pada hari raya Idul Adha) ini, jamaah haji hendaknya sudah berada di Mina. Karena itu bagi mereka yang lemah seperti anak-anak dan orang lanjut usia dibolehkan meninggalkan Muzdalifah sejak tengah malam. Di Mina inilah jamaah haji diwajibkan melakukan jumrah aqabah, menyembelih qurban (bagi yang haji tamattu’ dan qiran) dan memotong rambut. Hingga di sini jamaah haji berarti sudah melaksanakan tahallul pertama.
e.    Selanjutnya jamaah haji menuju Makkah untuk melakukan thawaf (ifadah) dan sa’i.
f.     Kemudian jamaah haji kembali lagi ke Mina, lantas bermalam di sana pada malam sebelas dan dua belas Dzulhijah, dan sepanjang mabit mereka diperintahkan dalam setiap harinya melempar tiga jumrah.
g.    Dengan terbitnya melaksanakan urutan rukun-rukun haji di atas, selesailah pelaksanaan ibadah haji.

2.    Tiga Cara Berhaji
a.       Haji Ifrad
Haji ifrad artinya haji yang disendirikan (atau umrah yang disendirikan). Keduanya dilaksanakan secara terpisah, tetapi haji dilaksanakan lebih dahulu. Pada saat ihram, jamaah haji yang berhaji secara ifrad hendaknya berniat dengan “labbaikallah bihajjin” (Ya Allah, saya berniat haji). Dan selama ihram pula hendaknya seluruh ketentuan haji dilakukan, kecuali setelah selesai melaksanakan haji ifrad ini, jamaah diperkenankan melaksanakan umrah.
b.    Haji Tamattu’
Haji tamattu’ adalah cara melaksanakan ibadah haji secara terpisah dengan umrah. Sesuai dengan arti tamattu’ yaitu bersenang-senang atau bersantai, maka pelaksanaan ibadah haji dengan cara ini pun bersantai, yakni bersenggang waktu cukup lama antara umrah dan haji. Dalam haji tamattu’ ini umrah lebih didahulukan. Niat yang dilafadkan adalah “labbaika bi umratin” (Ya Allah, saya berniat umrah).

c.    Haji Qiran
Arti qiran adalah menggabung, membersamakan, dalam hal ini membersamakan berihram untuk melaksanakan haji dan umrah secara sekaligus. Ketika bertalbiyah pelaku haji qiran mengucapkan “labbaikan bihajjin wa umratin” (Ya Allah, saya berniat haji dan umrah). Hal ini diucapkan ketika berada di miqat.

3.    Pelaksanaan Umrah di Luar Musim haji
Umrah berasal dari kata Arab “i’timar” yang berarti ziarah atau berkunjung. Umrah dapat dilakukan sewaktu-waktu, sepanjang tahun, dan sangat utama dikerjakan pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan haji (seperti, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah).
Syarat, rukun dan wajib umrah sama dengan syarat, rukun dan wajib haji. Demikian juga tentang larangan-larangannya. Hanya pada umrah tidak ada pelaksanaan wuquf di Arafah, tidak ada mabit di Muzdalifah dan tidak ada lontar jumrah. Beberapa perbuatan yang dilakukan saat berjumrah adalah thawaf, sa’i dan memotong rambut, dengan terlebih dahulu diawali oleh ihram umrah dari miqat sebelumnya.

C.    HIKMAH HAJI DAN UMRAH

1.    Hikmah Haji dan Umrah bagi Pelakunya
Bagi seorang individu muslim yang telah melaksanakan ibadah haji, akan memperoleh hikmah:
a.    Meningkatnya nilai keteguhan dan keyakinan terhadap keberadaan dan keagungan Allah SWT, sebab pelaksanaan ibadah haji/umrah sangat mengutamakan keikhlasan, ketawadu’an dan kekhusyukan.
b.    Memperkuat ketahanan fisik (jasmani) dan ketahanan mental (rohaniyah) serta meningkatkan pengendalian keseimbangannya.
c.    Meningkatnya semangat berkorban, karena ibadah haji memang membutuhkan pengorbanan sejak awal, baik biaya, waktu, tenaga, dan sebagainya.
d.   Meningkatnya kemampuan psikologis terhadap setiap penderitaan yang dialami oleh siapapun secara pribadi maupun kelompok.
e.    Tergalinya nilai kebersamaan dan kesederajatan sesama manusia secara sosial, karena ketika berihram pakaian yang dikenakan seragam.
f.     Membangkitkan nilai tanggung jawab, karena berhaji/berumrah secara batiniyah menunjukkan nilai-nilai tanggung jawab pribadi saat berperilaku di hadapan kelompok besar jamaah haji lainnya.

2.    Hikmah Haji dan Umrah Bagi Masyarakat Umum
Adapun keuntungan atau hikmah melaksanakan ibadah haji bagi masyarakat pada umumnya, adalah:
a.       Melalui ibadah haji atau umrah, umat Islam di segenap penjuru dunia dapat mengadakan silaturrahmi.
b.      Ibadah haji atau umrah dapat dijadikan sebagai suatu standar internasional keberhasilan atau kegagalan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh berbagai organisasi dakwah di dunia.
c.       Momentum yang dapat dijadikan sebagai inspirasi terjalinnya kerja sama antar bangsa-bangsa muslim sedunia bagi perjuangan dalam meraih kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia.
d.      Peristiwa yang dapat mempertemukan para pemikir, cendikiawan dan ulama dari berbagai penjurudunia untuk saling mengkomunikasikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masing-masing bangsanya.
e.       Dalam konteks bangsa tertentu seperti Indonesia, ibadah haji dan umrah dapat menumbuhkan semangat keagamaan dalam kehidupan masyarakat secara umum. Mereka yang telah berhaji oleh masyarakat sendiri seringkali dijadikan sebagai orang yang patut dijadikan panutan dan tokoh.
f.       Pendapatan dari pengelolaan secara produktif terhadap dana tabungan haji telah ikut menumbuhkan tingkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat secara langsung.
g.      Semangat untuk berhaji atau berumrah yang membutuhkan penyediaan dana yang tidak sedikit, secara pasti ikut membentuk etos kerja masyarakat dalam budaya economic minded yang  sehat.