Saturday, July 13, 2013

IJMA’

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam pembacaan kitab-kitab feqah, kita biasa menjumpai kenyataan seperti: “Ulama bersepakat…” atau “hukumnya adalah wajib atau haram dengan ijmak” atau “tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang hukum ini” dan seumpamanya. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah nukilan ijmak di dalam sesuatu masalah feqah. Apakah maksud ijmak?
Ijmak ialah kesepakatan seluruh umat Nabi Muhammad SAW dalam satu-satu zaman, selepas kewafatan baginda, terhadap suatu hukum masalah. Ertinya, apabila seluruh ulama dalam satu zaman yang layak berijtihad mengeluarkan satu hukum yang sama dalam satu-satu masalah, tanpa ada seorang mujtahid pun yang menyalahi hukum tersebut, maka hukum itu dikatakan sabit secara ijmak.
Ada sebahagian ulama yang menghadkan ijmak hanya boleh berlaku pada zaman sahabat. Tidak mungkin ijmak berlaku pada zaman selepas mereka. Kerana selepas berlalu zaman sahabat, para mujtahid umat Islam sudah bertebaran di merata dunia, timur dan barat, utara dan selatan. Maka, amat sukar untuk dipastikan keseluruhan ulama umat Islam bersepakat di dalam sesuatu hukum masalah. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Hazm, pendokong mazhab Zahiri.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pokok-pokok bahasan sebagai berikut :
1.      Pengertian Ijma’.
2.      Dasar hukum Ijma’.
3.      Rukun-rukun Ijma’.
4.      Syarat Mujtahit.
5.      Macam-macam Ijma’.
6.      Menghormati Ijma’.
7.      Klaim Ijma’ Padahal Bukan Ijma’.

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tenteng Ijma’ karena Objek Ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yang tidak langsung ditujukan kepada ALLAH SWT) bidang mu’amalat,, bidang kemasyarakatan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJMA’
1.   Pengertian Ijma’ Secara Bahasa.
a.       Bertekat bulat (berazzam) untuk melaksanakan sesuatu.
Sabda rasul:
لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْل 
“Tidak ada  shaum  bagi orang-orang yang tidak bertekad  bulat untuk shaum dimalam harinya”.
                  
Berdasarkan pengertian petama di atas, maka ijma berarti tekad bulat seseorang.

b.      Bersepakat atas sesuatu.
Jika dikatakan suatu kaum  melakukan ijma terhadap sesuatu  perkara jika mereka sepakat terhadapnya.
Berdasarkan pengertian ini, maka setiap kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara, baik agama maupun urusan dunia dinamakan dengan Ijma’.

2.      Pengertian Ijma’ Dari Segi Istilah Syara’
Dari segi istilah syara’ Ijma’ adalah kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama Islam berasaskan Al-Quran dan Hadis tentang suatu perkara yang terjadi pada suatu masa setelah zaman Rasulullah S.A.W.
Ijmak tidak akan berlaku melainkan setelah adanya kesepakatan ulama yang berijtihad (mujtahidin) pada sesuatu zaman tanpa kecuali seorang pun dari kalangan mereka. Ini bermakna, jika seorang sahaja yang membangkang maka tidak dianggap ijmak. Para mujtahidin biasanya berselisih pendapat dalam sesuatu hukum, tetapi dalam sesuatu hukum tertentu, tidak seorang pun di kalangan mereka yang berbeda pendapat, maka terjadilah ijmak.

B.     DASAR HUKUM IJMA’
Dasar hukum Ijma’ berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
1.   Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman:


Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
     ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59).

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan
    janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103).

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berIjma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.


2.   AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan Ijma’ tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka Ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan."
    (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

3.  Akal Pikiran
Setiap Ijma’ yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu.
Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

C.    RUKUN-RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum Ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun Ijma’ sebagai berikut:
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi Ijma’, karena Ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu Ijma’.
  3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf Ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

D.    SYARAT MUJTAHIT
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
1.      Memiliki pengetahuan sebagai berikut:
  • Pertama, Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
  • Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
  • Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
2.      Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
3.      Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah.
Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

E.     MACAM-MACAM IJMA’
Sekalipun sukar membuktikan apakah Ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam Ijma’. Diterangkan bahwa Ijma’ itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka Ijma’ terdiri atas:
  1. ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga Ijma’ shahih, Ijma’ qauli atau Ijma’ haqiqi;
  2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga Ijma’ 'itibari. 
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu Ijma’, dapat dibagi kepada:
  1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma’ itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;
  2. ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam Ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-Ijma’ itu ialah:
  1. Ijma’ sahabat, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
  2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia Ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
  3. Ijma’ shaikhan, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
  5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan Ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

F.     MENGHORMATI IJMA’
Kesepakatan seluruh ulama mengenai  hukum syariat -khususnya di abad-abad pertama- menunjukan bukti yang jelas bahwa dalam sesuatu yang mereka sepakati, mereka bersandar pada pernyataan syar’i yang benar baik nash, maslahah atau hal-hal inderawi. seyognyanya kita menghormati Ijma’ mereka agar sesuatu yang disepakati secara meyakinkan  dapat ditetapkan  di dalam syariat.
Hal ini seperti  Ijma’ mereka atas wajibnya zakat emas  dengan standar  zakat perak yakni 2,5 persen. Tatkala seorang mujtahid telah yakin tentang kepastian suatu Ijma’ dalam suatu masalah, maka hendaknya ia menahan diri untuk tidak berijtihad dalam masalah tersebut. Karena satu sebab umat telah lepas, dimana Allah tidak mungkin akan menyatukan mereka dalam  suatu Ijma’ yang sesat.
Berikut contoh ijtihad yang melanggar Ijma’:
  1. Ijtihad  Syaikh Al-Albani dalam risalahnya “Az-Zafaf” dimana ia menyatakan haramnya emas berukir yang dipakai oleh perempuan adalah ijtihad yang tertolak. Hal ini karena umat telah berIjma’ atas halalnya emas bagi kaum wanita dan mereka tidak berselisih pendapat, kecuali dalam hal zakatnya.
  2. Ijtihad sebagian peneliti masa kini (JIL wa ashabihi ajma’in.)  yang membolehkan seorang muslimah kawin dengan laki-laki Ahli kitab, sebagai qiyas atas bolehnya seorang muslim laki-laki mengawini seorang  perempuan  ahli kitab adalah ijtihad yang tertolak. Hal ini karena adanya Ijma’ kaum muslimin di setiap masa dan seluruh madzhab mengenai keharaman hal tersebut. Ini pula yang dipraktekkan umat Islam sepanjang zaman.

G.    KLAIM IJMA’ PADAHAL BUKAN IJMA’
Banyak contoh kasus  yang diklaim sebagai Ijma’ yang dalam sebuah perkara dianggap tidak  ada perbedaan pendapat, padahal terdapat perbedaan pendapat disana. Berikut contohnya:
  1. Sebagian orang mengklaim Ijma’ bahwa qashar yang dillakukan dalam perjalanan  kurang dari  46 mil, maka qashar tersebut tidak sah. Hal ini bukan Ijma’ karena para sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa qashar shalat  boleh kurang dari 46 mil, jumlahnya jauh lebih banyak.
  2. Mereka mengklaim Ijma’ bahwa dalam pembunuhan cukup dua orang saksi, padahal kami telah meriwayatkan dari Hasan Al-basri melalui jalan yang paling shalih, bahwa dalam pembunuhan  dibutuhkan empat orang saksi seperti dalam kasus zina.
  3. Ibnul Mundzir menukil Ijma’ bahwa zakat mal tidak boleh diberikan  kepada non muslim. Sedangkan orang lain ada yang meriwayatkan dari Az-Zuhri, Ibnu Sirin dan Ikrimah, mengenai bolehnya distribusi zakat untuk  non-muslim. Inilah dzahirnya madzab Umar, menurut yang diriwayatkan darinya.
  4. Sebagian ulama mengklaim Ijma’ tentang sahnya seorang  pemimpin harus dari  keturunan Quraisy. Mereka mensyaratkan bahwa seseorang yang akan dibaiat oleh kaum muslimin sebagai imam harus dari nasab quraisy. Padahal mereka tahu keshahihan perkataan Imam bin Khattab benar: ”Sekiranya Salim Maula Abu Hazaifah masih hidup, niscaya akan aku berikan kekhilafahan kepadanya.” Padahal Salim hanyalah seorang  mantan budak.  Demikian juga  apa yang dikatakan Umar  tentang pengangkatan Muadz bin Jabal, sedangkan dia dari kalangan  Anshar.


BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Berdasarkan semua pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan menjadi lebih singkat. Dan kesimpulannya adalah sebagai berikut:
  1. Tekad bulat seseorang atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara, baik agama maupun urusan dunia merupakan Ijma’.
  2. Dari segi istilah syara’ Ijma’ adalah kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama Islam berasaskan Al-Quran dan Hadis tentang suatu perkara yang terjadi pada suatu masa setelah zaman Rasulullah S.A.W.
  3. Dasar hukum Ijma’ antara lain, Al-Qur’an, Al-Hadist dan Akal Pikiran.
  4. Rukun-rukun Ijma’,
a.       Harus ada beberapa orang mujtahid.
b.      Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid
d.      Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
  1. Syarat-syarat Mujtahid.
a.       Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an, tentang Sunnah dan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b.      Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c.       Menguasai ilmu bahasa.
  1. Macam-macam Ijma’,
o   ljma' bayani.
o   Ijma’ sukuti.
o   ljma' qath'i.
o   ljma' dhanni.
o   Ijma’ sahabat.
o   Ijma’ khulafaurrasyidin.
o   Ijma’ shaikhan.
o   Ijma’ ahli Madinah.
o   Ijma’ ulama Kufah.

B. SARAN
            Setelah penulis membahas panjang lebar tentang Ijma’, maka dengan ini penulis sangat mengharapkan kepada dosen pengasuh mata kuliah Ushul Fiqh agar dapat memberi pembahasan lebih lanjut kepada penulis serta seluruh mahasiswa(i) yang mengikuti mata kuliah Ushul Fiqh agar dapat memudahkan penulis memahami tentang Ijma’.



DAFTAR PUSTAKA

Atha’ bin Khalil, Op.Cit. hal. 102.

Atha’ Bin Khalil, Tafsir al-Wushul ila al-Uslul (Bogor: Pustaka Thariqur izzah,
2003), hal. 102-106.

Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Dr. Yusuf Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis Mempelajari Fikih (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar:2001), hal. 66.

HR. Tirmidzi No. 662, AN-Nasa’I No. 2291, Ilmu Majah No. 1690, Abu Daud No.
2098.

HR. Ahmad, An-Nasa’I dan Adh-Dhiya dari Anas.) cet.1.

Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu
Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-
Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.

Lihat Al-Ihkam karya Ibnu Hazm (4/178).

Lebih lanjut lihat “Fikih Zakat”, bab Distribusi Zakat (2/747-760).

Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Wahbah al-Zuhaili, UshulFiqh al-Islami, hal. 474-476


Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal. 401

No comments:

Post a Comment