BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang wanita yang memperjuangkan
hak perempuan di Indonesia, Raden Ajeng Kartini terbukti telah berhasil
mewujudkan impiannya untuk menyuarakan emansipasi bagi seluruh perempuan yang
ada di Indonesia dan dampaknya dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak anggapan
yang menyatakan bahwa Raden Ajeng Kartini bukanlah pahlawan karena beliau tidak
terjun langsung menghadapi penjajah di medan
perang namun pada jaman itu, beliau adalah satu-satunya perempuan yang berani
melawan penjajah yang telah membelenggu perempuan dari kebodohan dan tidak
mempunyai kebebasan dalam mendapatkan haknya.
Apa yang telah
diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki pengaruh besar yang
positif dalam menginspirasi seluruh wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh wanita yang
akan selalu menjadi inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak akan pernah
lekang oleh waktu.
Untuk
meneruskan perjuangannya, kini bangsa Indonesia memperingati hari kartini
setiap tanggal 21 April, yaitu hari di mana Raden Ajeng Kartini
dilahirkan. Pada hari Kartini ini, seluruh bangsa Indonesia terutama kaum
perempuan memperingatinya dengan berbagai cara, seperti melestarikan kebaya,
batik, dan kain tenun sebagai busana yang dapat digunakan sehari-hari. Selain
itu, pastinya peringatan hari Kartini juga dimaknai dengan berbagai kemajuan
yang telah dicapai oleh seluruh perempuan di Indonesia, di mana perempuan juga bisa beraktualisasi dan memberikan kontribusi nyata dalam
setiap aspek kehidupan.
Pemikiran-pemikiran
Kartini yang sedemikian berani, kritis, sistemik terlihat dari berbagai
surat-surat dan artikel yang sudah menyebar di majalah-majalah wanita Eropa
harus didampingi oleh orang Belanda agar tidak keluar dari visi penjajahan
kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Khususnya pemikiran
tentang gugatan emansipasi di zaman yang sudah mendunia kala itu bahwa
pemikiran tentang kewanitaan sangat mengagetkan wanita-wanita Eropa. Penjajahan
tidak hanya feodalisme dan kapitalis dunia, akan tetapi diskriminasi terhadap
kaum wanita di seluruh dunia bisa dikatakan bagi kaum wanita merupakan era
penjajahen gender, bahkan untuk negara penjajah sendiri seperti Belanda dan
Eropa lainnya, kaum wanita merasa terjajah oleh sistem negerinya sendiri. Dan
Kartini ibarat sinar yang mampu menggugah pemikiran wanita-wanita Eropa untuk
bangkit menjadi kaum yang mandiri yang tidak hanya takluk oleh kaum pria dan
sistem yang melingkupi budaya kewanitaan.
Namun, banyak kalangan yang menganggap
peran Kartini hanya sebatas mitos. Seperti pendapat yang dikemukakan sejarawan
Tiar Anwar Bahtiar (2009:1) yang mengatakan “mengapa harus Kartini yang menjadi
simbol kebangkitan wanita Indonesia?”. Hal yang sama juga dikemukakan Harsja
(2009:1), Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang
dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok
wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul
Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle
dari Sulawesi Selatan.
Terlepas dari kontroversi tersebut, kita
juga tidak bisa membantah bahwa Kartini sudah terlanjur dijadikan simbol
kebangkitan wanita di Indonesia. Hidup yang singkat tidak menjadikan pemikiran
Kartini (1879-1904) terbelenggu dan hilang ditelan zaman. Kepeduliannya terhadap pendidikan bagi kaum
perempuan membuat ia senantiasa menjadi pusat perhatian. Kartini menjadi sebuah
simbol perlawanan terhadap ketertindasan dan ketidakadilan yang dirasakan kaum
perempuan.
Semasa hidupnya, Kartini tumbuh dan
berkembang di kalangan priyayi. Sebagai anak bupati, masa kecilnya erat dengan
ketatnya aturan yang mengekang. Berawal dari kondisi inilah ia lalu aktif
mengemukakan gagasan-gagasan tentang pendidikan bagi perempuan. Ia berhasil
menjadi inspirasi bagi kemunculan pendidikan bagi perempuan, seperti sekolah
Dewi Sartika (1904), Putri Mardika (1912), dan banyak sekolah bagi perempuan
pada masa pergerakan nasional. Bahkan pada 1912, didirikan sekolah Kartini di
banyak kota di Jawa atas dorongan Van Deventer, seorang penggagas politik etis
(Soelaiman, 2005:18).
Gagasan-gagasannya kian deras meluncur
ketika ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran barat yang liberal melalui
kolega ayahnya, seperti J.H. Abendanon dan Dr. Adriani. Hal lain yang turut
mendorong perkembangan Kartini adalah semangat Politik Etis yang pada saat itu
berkembang. Dari sanalah, Kartini aktif melakukan korespondensi selama lima
tahun sejak 1899 dengan kenalannya dari Belanda, seperti Stella Zeehandelaar,
Prof. dan Ny F.K. Anton, dan Ny. Abendanon. Tulisan-tulisannya banyak berisi
tentang kehidupan keluarga, adat, keterbelakangan wanita, serta yang paling
utama adalah pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan.
Berangkat
dari fenomena di atas, dan terlepas dari pro-kontra tentang mitos peran
Kartini, kita juga tidak bisa memungkiri kalau simbol tersebut selama ini telah
membangkitkan semangat wanita Indonesia untuk maju dan berkarya seperti kaum
pria. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian dalam
bentuk penulisan skripsi dengan judul “Peran Raden Adjeng Kartini dalam
Memperjuangkan Emansipasi Wanita tahun 1879 – 1904 .”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini
adalah:
1.2.1
Bagaimana
cita-cita R.A Kartini di masa beliau masih hidup?
1.2.2
Bagaimana
peran R.A Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia?
1.2.3
Apa
saja hambatan R.A Kartini yang berhubungan dengan perjuangan emansipasi
wanita di Indonesia?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah penelitian di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.3.1
Untuk mengetahui cita-cita R.A Kartini pada masa
beliau masih hidup.
1.3.2
Untuk mengetahui peran R.A
Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia
1.3.3
Untuk mengetahui karya-karya R.A
Kartini yang berhubungan dengan emansipasi wanita.
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
:
1.4.1 Secara
teoritis, penelitian ini dapat menambah referensi dan literatur baik itu bagi masyarakat
umum maupun bagi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, khususnya bagi jurusan
Ilmu Pendidikan Sejarah, tentang sejarah R.A Kartini dan perannya dalam
memperjuangkan emansipasi wanita.
1.4.2 Secara
praktis penelitian ini menambah wawasan bagi penulis sendiri tentang penulisan
karya tulis ilmiah, khususnya untuk memahami dan mengetahui sejarah dan peran
RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
1.5. Sistematika
Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan
yang terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini
membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Kajian Pustaka.
Dalam bab ini diuraikan konsep-konsep teori tentang
emansipasi wanita di Indonesia.
BAB III Metode Penelitian. Dalam bab ini diuraikan
metodologi penelitian yang mencakup jenis penelitian, teknik pengumpulan data,
serta teknik analisa data.
Bab IV Hasil dan
Pembahasan tentang RA Kartini yang meliputi cita-cita, peran, dan
pemikiran-pemikiran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
Bab V Penutup. Dalam bab
ini penulis akan menyimpulkan hasil penelitian dan memberikan beberapa
saran-saran.
BAB II
LANDASAN
TEORITIS
2.1. Perjuangan Emansipasi
Walau realitas yang ditangkap dari
pemikiran Kartini berasal dari kehidupan wanita kalangan menengah ke atas, tak
membuat pemikirannya terkerdilkan. Dalam keterbatasannya, hakikatnya ia telah melakukan perjuangan gender.
Perjuangan memperjuangkan keadilan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat.
Kini telah lebih seabad sejak Kartini
mengungkapkan gagasan-gagasannya, tetapi kondisi yang hampir sama masih
terjadi. Semasa hidupnya, Kartini gigih dalam melawan subordinasi. Sebuah
keadaan yang menomorduakan perempuan, sekaligus sebuah lambang ketakberdayaan.
Sampai saat ini, kondisi yang dilawan Kartini masih terjadi dan sudah
seharusnya menjadi tugas untuk diatasi.
Selain subordinasi, pada saat ini ada
banyak hal yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan keadilan gender.
Permasalahan marginalisasi perempuan diduga kuat masih selalu dialami, apalagi
di kalangan para pekerja kecil. Selain itu, stereotipisasi juga masih erat
melekat. Adanya pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan tak berdaya
merupakan gambaran stereotype yang sering dijumpai. Mental inilah yang
menghambat perkembangan pergerakan perempuan secara internal (Soelaiman,
2005:22).
Permasalahan lain yang masih dijumpai
adalah double burden atau beban ganda perempuan. Pada kalangan menengah ke
bawah tak jarang “jam kerja” perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Perempuan bahkan berperan sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga
sekaligus. Satu hal lagi yang patut menjadi catatan dalam perjuangan gender
adalah permasalahan kekerasan (violence).
Kekerasan psikis, fisik, ekonomi, dan seksual, menjadi pekerjaan yang harus
diprioritaskan untuk diselesaikan oleh Kartini-Kartini masa kini.
2. Surat-surat
Setelah
Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang
pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku
itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan
Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini
dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat
Kartini (Wikipedia, 2010).
Pada
tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang
merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis
Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.
Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan
cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat
dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga
pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini
juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda (Wikipedia,
2010).
Terbitnya
surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran
Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang
menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini (Kattopo, dkk, 2009:150).
Pada
surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan
Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah,
harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus
bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan
kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “...Agama harus
menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat
orang atas nama agama itu...” Kartini mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini,
lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah (Wikipedia, 2010).
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang
ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan
cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi,
meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi (Wikipedia, 2010).
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa
sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut,
terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan
adiknya Rukmini (Kattopo, dkk, 2009:151).
G. Metode
Penelitian
1. Desain
Penelitian
Desain dalam penelitian ini menggunakan metode historis,
yaitu suatu metode penelitian yang khusus digunakan dalam penelitian sejarah
dengan melalui tahapan tertentu. Penerapan metode historis ini menempuh
tahapan-tahapan kerja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Notosusanto (2001:17)
sebagai berikut:
-
Kritik (sejarah), yaitu menyelidiki apakah jejak itu sejati baik bentuk
maupun isinya.
-
Interpretasi, yaitu menetapkan makna dan saling berhubungan dari fakta yang
diperoleh sejarah itu.
-
Penyajian, yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sebuah
kisah.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode historis di atas, maka langkah
proses dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Heuristik (Menemukan)
Tahapan pertama yaitu mencari dan mengumpulkan sumber
yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Mengumpulkan sumber yang
diperlukan dalam penulisan ini merupakan pekerjaan pokok yang dapat dikatakan
gampang-gampang susah, sehingga diperlukan kesabaran dari penulis. Menurut
Notosusanto (2001:18) heuristic berasal dari bahasa Yunani Heuriskein artinya sama dengan to
find yang berati tidak hanya menemukan, tetapi mencari dahulu. Pada tahap
ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan
sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian,
temuan benda maupun sumber lisan.
b. Kritik Sumber
Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada
kegiatan heuristik yang berupa; buku-buku yang relevan dengan pembahasan yang
terkait, maupun hasil temuan di lapangan tentang bukti-bukti di lapangan
tentang pembahasan. Setelah bukti itu atau data itu ditemukan maka dilakukan
penyaringan atau penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni
sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin.
Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu
dalam pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan
kritik ini adalah otentitas (authenticity).
Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku)
adalah otentik atau asli jika itu benar-benar produk dari orang yang dianggap
sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika
tidak mungkin menandai pengarangnya) atau jika itu yang dimaksudkan oleh
pengarangnya.
Kritik sebagai tahapan yang juga sangat penting terbagi dua, yakni intern
dan ekstern. Notosusanto (2001:20) menegaskan hal ini:
Setiap sumber mempunyai aspek
intern dan aspek ekstern. Aspek eksternnya bersangkutan dengan apakah sumber
itu memang sumber, artinya sumber sejati yang dibutuhkan. Aspek internnya bertalian
dengan persoalan apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang kita
butuhkan. Karena itu, penulisan sumber-sumber sejarah mempunyai dua segi
ekstern dan intern.
Kritik ekstern atau kritik luar dilakukan untuk meneliti
keaslian sumber, apakah sumber tersebut valid, asli atau bukan tiruan. Sumber
tersebut utuh, dalam arti belum berubah, baik bentuk maupun isinya. Kritik
ekstern hanya daapat dilakukan pada sumber yang menjadi bahan rujukan penulis.
Disamping itu penulisan ini juga didasarkan pada latar belakang pengarang dan
waktu penulisan. Kritik intern atau kritik dalam, dilakukan untuk menyelidiki
sumber yang berkaitan dengan sumber masalah penelitian . Tahapan ini menjadi
ukuran sejau mana objektifitas penulis dalam mengelaborasi segenap data atau
sumber yang telah diperolehnya, dan tentunya mengedepankan prioritas.
Setelah menetapkan sebau teks autentik, serta referensi
pengarang, maka penulis akan menetapkan apakah keaslian itu kredibel dan sejauh
mana hal tersebut mempengaruhi objek kajian. Pada tahap ini pula kita dapat
keabsahan suatu sumber yang kemudian akan dikomparasikan sumber satu dengan
sumber yang lainnya, tentunya dengan masalah yang sama.
c. Interpretasi
Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan
interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip,
buku-buku yang relevan dengan pembahasan, maupun hasil penelitian langsung
dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk
menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta yang satu dengan fakta
yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah.
d. Historiografi
Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan
akhir dariseluruh rangkaian dari metode historis. Tahapan heuristik, kritik
sumber,serta interpretasi, kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah
historiografi.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang diterapkan
adalah teknik identifikasi, semua data yang diperoleh. Data tersebut kemudian
diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini. Akhirnya data tersebut diolah dan dianalisis untuk menentukan
bagaimana peran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Maka
langkah-langkah yang diambil adalah sebagai berikut :
1) Mengumpulkan sejarah tentang RA Kartini
2) Mengumpulkan sejarah tentang pemikiran-pemikiran RA. Kartini
3) Menganalisis peran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi
wanita
DAFTAR PUSTAKA
Asma Karimah, 2004. Tragedi Kartini: Sebuah
Pertarungan Ideologi. Bandung: Hanifah.
Katoppo,
dkk. 2009. Satu Abad Kartini (1879-1979).
Jakarta: Sinar Harapan
Maryanto, DA. 2003. Raden Ajeng Kartini: Pahlawan Emansipasi Wanita. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Notosusanto,
2001. Metode Penelitian Sejarah (Metode Sejarah). Jakarta: UI Press.
Pringgodigdo, dkk. 2003. Ensikolopedi
Umum. Yogyakarta: Kanisius
Ricklef, dkk. 2008. Sejarah
Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Soeleiman, 2005. Kartini
dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi Bangsa.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sulastin Sutrisno, 2001. Surat-surat
Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Jakarta: Djambatan
Yuniar, 2011. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Agung Media
No comments:
Post a Comment