Wednesday, June 26, 2013

PEMBAHARUAN STRATEGI REHABILITASI TUMBUHAN SEBAGAI UPAYA MITIGASI GLOBAL WARMING


Ringkasan
Pada saat ini, bumi menghadapi pemanasan yang tinggi yang disebut dengan global warming. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer (Yasuhiro, 2007).
 Gas rumah kaca terdiri atas CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2, O3, CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan terpantulnya kembali sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar matahari, sehingga panas bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah kaca, akan semakin meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini mencapai 300 ppm dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060 akibat berbagai aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia (Suryani, 2007).
  Dengan demikian langkah utama mitigasi global warming adalah mengurangan emisi terutama CO2 (Mufid A. Busyairi, 2007). Dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Dinkes Kutai Kertanegara, 2009; Ahmadi Susilo, 2008; Fakuara, 1987).
Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun  tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta, 2006)
Dalam rangka mitigasi global warming, harus dicari pola baru rehabilitasi lingkungan  yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek langsung pada penurunan suhu bumi. Menyadari kondisi tersebut perlu dicari solusi yang efektif untuk mengurangi efek dari global warming.  
Tujuan penulisan ini adalah memberikan solusi dari mitigasi global warming dengan memperbaiki   rehabilitasi tumbuhan yang telah dilakukan selama ini. Yaitu dengan melakukan rehabilitasi secara menyeluruh yang meliputi konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi  rehabilitasi tumbuhan dan   konservasi menyeluruh pada satwa  penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi. Manfaat dalam penulisan ini adalah membentuk kesadaran masyarakat terhadap global warming dan hal dampak dan mitigasinya. Dapat digunakan sebagai masukan untuk  pembaharuan strategi  konservasi dan rehabilitasi  tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming.
            Data dan fakta yang berhubungan dengan pembahasan tema ini didapatkan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dengan cara pembacaan kritis terhadap ragam literatur yang berhubungan dengan tema pembahasan. Untuk menganalisa data dan informasi yang didapat digunakan analisis isi (content analysis).
Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkan didapatkan data bahwa global warming telah menjadi permasalahan dunia (Suryani, 2007), pemicu munculnya global warming adalah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer dengan komposisi terbesar adalah CO2 yaitu sebesar  85%  15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004). Dengan demikian cara mitigasi yang tepat adalah mengurangi emisi maupun menyerap karbondioksida yang telah berada di atmosfer (Wikipedia, 2008). Solusi dengan mengurangi emisi justru banyak ditentang negara besar penghasil emisi (Mufid A. Busyairi, 2007), dengan demikian solusi yang paling mungkin adalah menyerap CO2 yang telah berada di atmosfer dengan penanaman sebanyak mungkin tumbuhan, tumbuhan memiliki kemampuan menyerap CO2 (Ahmadi Susilo, 2008). Penanaman tumbuhan dapat dilakukan dengan rehabilitasi tumbuhan, namun demikian rehabilitasi tumbuhan selama ini masih banyak kekurangan (Prihanta, 2007).  Dengan demikian perlu dilakukan pembaharuan strategi rehabilitasi sebagau upaya mitigasi global warming dengan melakukan rehabilitasi menyeluruh yaitu kegiatan konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi  rehabilitasi tumbuhan dan   konservasi menyeluruh pada satwa  penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan tentang beberapa hal diantaranya adalah Global Warming merupakan permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi dengan 2 hal yaitu pengurangan produk emisi dan pengurangan GRK dengan memperbanyak tumbuhan dan strategi memperbanyak tumbuhan tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam rangka konservasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam penyebaran tumbuhan.
Saran yang diberikan kepada semua pihak bahwasanya Global warming merupakan permasalahan dunia sehingga perlu perhatian, kesadaran dan tindakan semua pihak dan salah satu cara mitigasi golbal warming adalah menyerap karbondioksida di atmosfer dengan mengkonservasi dan menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan konservasi tumbuhan, perbaikan sistem rehabilitasi dan mengkonservasi satwa pelestari tumbuhan.

  
PENDAHULUAN 
Pada saat ini, bumi menghadapi pemanasan tinggi yang disebut dengan global warming. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca ini, atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke bumi (Yasuhiro, 2007).
Global warming sudah sejak lama terjadi karena peningkatan lapisan gas yang menyelimuti bumi dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah kaca. Gas rumah kaca terdiri atas CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2, O3, CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan terpantulnya kembali sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar matahari, sehingga panas bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah kaca, akan semakin meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini mencapai 300 ppm dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060 akibat berbagai aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia (Suryani, 2007).
Menurut laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) kenaikan suhu bumi di abad yang akan datang berkisar 1,50C – 4,50C atau rata-rata 2,50C. Hal ini akan menyebabkan naiknya permukaan air laut antara 31 – 110 cm (Eisma, 1995). Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam pidato kunci pada Pertemuan Ke-25 Dewan Pengarah (Governing Council) Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) di Nairobi, Kenya, 16 Pebruari 2009 menyatakan Indonesia berpotensi kehilangan 2.000-an pulau pada tahun 2030 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ujar Indroyono, yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP (Anonymous, 2009).
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari global warming. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak global warming terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Di Indonesia, pengaruh global warming telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen (Busyairi, 2007).
 Karbondioksida adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar. Pada tahun 1994, 83% penyumbang gas efek rumah kaca adalah CO2, sisanya 15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004).  Dengan demikian langkah utama mitigasi global warming adalah mengurangan emisi terutama CO2 (Mufid A. Busyairi, 2007). Dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya (Dinkes Kutai Kertanegara, 2009; Ahmadi Susilo, 2008; Fakuara, 1987).
Salah satu penyebab akumulasi karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Ditahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektar per tahun atau 2,616 ribu hektar per hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektar per tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007). Dephut mempunyai tiga data yang terbagi dalam tiga periode, yakni periode 1985-1997 dengan tingkat kerusakan 1,87 juta hektar/tahun, tahun 1997-2000 tingkat kerusakannya 2,83 juta hektar/ tahun, dan tahun 2000-2005 tingkat kerusakan hutannya 1,188 juta hektar/tahun. Secara total sebenarnya hutan yang terdegradasi seluas 59,6 juta hektar (Sinar Harapan, 2007).
Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan  (Prihanta, 2006).
Dalam rangka mitigasi global warming, harus dicari pola baru rehabilitasi lingkungan  yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek langsung pada penurunan suhu bumi. Menyadari kondisi tersebut perlu dicari solusi yang efektif untuk mengurangi efek dari global warming.

Solusi yang Ditawarkan
            Global warming telah menjadi permasalahan dunia (Suryani, 1997). Hal ini dipicu akibat dari gas rumah kaca yang menumpuk di atmosfer bumi. Karbondioksida adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar,  yaitu sebesar 83% (Fadeli, 2004). Untuk itu cara efektif untuk mitigasi global warming adalah mengurangi CO2 di atmosfer (Busyairi, 2007).
            Ada dua cara untuk mengurangi  CO2 di atmosfer yaitu mengurangi produksi terutama oleh industri dan menyerap CO2 yang sudah berada di atmosfer dengan penanaman tumbuhan, karena tumbuhan memiliki kemampuan menyerap CO2  dari udara (Susilo, 2008).
Mitigasi dengan menurunkan produksi emisi tidaklah mudah, sebab negara-negara besar penghasil emisi yaitu Prancis, Itali, Belanda, Rusia, Jepang, Kanada, dan AS) tak menunjukkan sikap yang serius untuk mengatasi masalah pemanasan bumi (global warming) yang kondisinya. Bahkan   AS, negara industri terbesar tak mau tunduk pada Protokol Kyoto (Ismail, 2002).
            Untuk itu mitigasi yang dapat dilaksanakan adalah melakukan rehabilitasi tumbuhan, mengingat global warming juga di picu oleh kerusakan hutan. Namun demikian kegiatan rehabilitasi tumbuhan saat ini perlu di cari pola baru karena rehabilitasi yang dilakukan selama ini masih nampak kekurangan (Prihanta, 2006).
            Berdasarkan kenyataan di atas perlu dilakukan pembaharuan strategi rehabilitasi yang selama ini dilakukan parsial yaitu hanya kegiatan menanam. Lingkungan adalah sebuah sistem yang saling berkaitan, untuk itu strategi rehabilitasi harus dilakukan dengan melakukan kegiatan konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi  rehabilitasi tumbuhan dan   konservasi menyeluruh pada satwa  penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah memberikan solusi dari global warming dengan memperbaiki   rehabilitasi tumbuhan yang telah dilakukan selama ini. Yaitu dengan melakukan rehabilitssi secara menyeluruh yang meliputi konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi  rehabilitasi tumbuhan dan   konservasi menyeluruh pada satwa  penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi. Manfaat dalam penulisan ini adalah membentuk kesadaran masyarakat terhadap global warming, dalam hal dampak global warming dan mitigasinya. Dapat digunakan sebagai masukan untuk perbaikan   strategi  konservasi dan rehabilitasi  tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming.



TELAAH PUSTAKA
Global Warming
Global warming   dapat didefinisikan sebagai naiknya suhu permukaan bumi menjadi lebih panas selama beberapa kurun waktu yang disebabkan karena meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Pada dasarnya fenomena pemanasan dipermukaan bumi sebenarnya merupakan gejala sistem alam yang normal untuk menghangatkan planet bumi sehingga suhu bumi tidak menjadi dingin bahkan membeku seperti pada jaman es yang pernah terjadi 15.000 tahun lalu (Miler, 1979: Yasuhiro, 2007).

Gas –Gas Penyebab Efek Rumah kaca (GRK)
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia   dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan) (Anonymous,  2008).
  Global warming sudah sejak lama terjadi karena peningkatan lapisan gas yang menyelimuti bumi dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah kaca. Gas rumah kaca terdiri atas CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2, O3, CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan terpantulnya kembali sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar matahari, sehingga panas bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah kaca, akan semakin meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini mencapai 300 ppm dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060 akibat berbagai aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia (Suryani, 2007).             Karbondioksida adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar. Pada tahun 1994, 83% penyumbang gas efek rumah kaca adalah CO2, sisanya 15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004).

Global warming dan Perubahan Iklim
Secara alamiah panas matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara sebagian lagi akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Adanya lapisan gas yang disebut gas rumah kaca yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang hendak dipantulkan ke luar angkasa menembus atmosfer. Peristiwa terperangkapnya panas matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca.
Sejak revolusi industri tahun pertengahan abad ke-18, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor,  pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Hal ini berakibat pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer yang kemudian menyebabkan meningkatnya panas matahari yang terperangkap di atmosfer. Peristiwa ini pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan bumi, yang umum disebut global warming.
Global warming kemudian pada prosesnya menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut, yang menyebabkan meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan penelitian para ahli, perubahan iklim diketahui akan menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kehidupan umat manusia. Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis merupakan beberapa dampak akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup manusia kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca guna menghambat laju terjadinya perubahan iklim.
 Perubahan iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah.  Daerah yang berada di posisi sekitar 23,50 Lintang Utara – 23,50 Lintang Selatan, merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi matahari yang diterima setiap tahunnya.
Di Indonesia, pengaruh global warming telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen (Busyairi, 2007).

Dampak Global Warming Terhadap Kehidupan
               Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang.
               Dampak perubahan iklim bagi Indonesia antara lain:    Kenaikan temperatur dan berubahnya musim,   naiknya permukaan air laut, dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan, dampak perubahan iklim terhadap sektor kehutanan,. dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, dan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan (Mufid A. Busyairi, 2007).
               Menurut Pratiwi Sudarmono (2007), global warming dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dengan adanya perubahan iklim berubah pula pola hujan, pola tanam, sirkulasi air dan sebagainya. Bila berbagai perubahan tersebut tidak disertai dengan kemampuan adaptasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Maka akan mempengaruhi munculnya berbagai penyakit. Sebagai contoh, perubahan iklim akan dapat menyebabkan masa inkubasi nyamuk malaria dan demam berdarah menjadi pendek. Sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah bisa berkembang dengan cepat.

Mitigasi Global Warming
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca (Anonymous, 2008).
Mitigasi global warming dapat dilakukan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Produksi emisi terbesar adalah kegiatan industri maupun kegiatan lain yang menggunakan bahan bakar fosil untuk melakukan aktifitasnya.  Mitigasi dengan menurunkan produksi emisi tidaklah mudah, sebab Negara-negara besar penghasil emisi yaitu Prancis, Itali, Belanda, Rusia, Jepang, Kanada, dan AS tak menunjukkan sikap yang serius untuk mengatasi masalah pemanasan bumi (global warming) yang kondisinya . Bahkan   AS, negara industri terbesar tak mau tunduk pada Protokol Kyoto (Ismail, 2002).

Mitigasi Global Warming dengan Rehabilitasi Tumbuhan
Gas Rumah Kaca terbesar adalah karbondioksida, dimana karbondioksida dihasilkan sebagai hasil proses alamiah dalam proses respirasi dan juga dari berbagai akatifitas manusia non respirasi. Karbondioksida memiliki peranan menyerap anas sehingga penumpukan dalam jumlah besar akan berakibat meningkatnya suhu bumi.
 Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya (Anonymous, 2008). 
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbondioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi.   Mekanisme penyerapan karbondioksida adalah melalui proses fotosintesis, dimana karbondioksida diserap oleh tumbuhan dari udara dan bereaksi dengan air membentuk karbohidrat. (Seputro, 1994). Secara kimiawi proses tersebut digambarkan sebai berikut.  CO2  +  H2O                     C6H12O6, proses tersebut dibantu dengan sinar matahari dan terjadi pda klorofil daun. Dengan mekanisme ini maka secara alamiah pohon memiliki kemampuan mengurangi karbon dioksida di udara.
Kondisi tumbuhan sebagai cara mitigasi telah mengalami banyak kerusakan. Dephut mempunyai tiga data yang terbagi dalam tiga periode, yakni periode 1985-1997 dengan tingkat kerusakan 1,87 juta hektar/tahun, tahun 1997-2000 tingkat kerusakannya 2,83 juta hektar/ tahun, dan tahun 2000-2005 tingkat kerusakan hutannya 1,188 juta hektar/tahun. Secara total sebenarnya hutan yang terdegradasi seluas 59,6 juta hectare (Sinar Harapan, 2007).
Untuk mengembalikan tumbuhan dan perbaikan lahan telah banyak dilakukan penanaman dengan istilah rehabilitasi tumbuhan. Sebagai contoh adalah Program Indonesia menanam 2008 yang ditetapkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia . Selanjutnya dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.377/Menhut-II/2008.
Rehabilitasi lingkungan yang dilakukan saat ini masih   memiliki beberapa kekurangan, selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun  tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta, 2006).

METODE PENULISAN
Sumber Data
            Data dan fakta yang berhubungan dengan pembahasan tema ini didapatkan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dengan cara pembacaan kritis terhadap ragam literatur yang berhubungan dengan tema pembahasan.
            Data yang digunakan adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada masyarakat melalui literatur yang diterbitkan, surat kabar, buletin, jurnal upun internet. Dengan demikian penulis mengelompokan atau menyeleksi data dan informasi berdasarkan ktegori dan relevansi untuk selanjutnya dianalisis dan disimpulkan.

Analisis Data
        Dalam penulisan ini teknik analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (1998), analisa deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menganalisa data dan informasi yang didapat, digunakan analisis isi (content analysis).  Analisis isi adalah suatu teknik yang sistematik untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. Analisis isi selalu melibatkan kegiatan menghubungkan atau membandingkan penemuan berupa kriteria atau teori. Langkah yang dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini menggunakan interaktive model dari Miles dan Huberman (Miles dan Huberman, 1994). Model ini terdiri dari 4 komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data, (3) penyajian data dan (4) penarikan dan pengujian atau verifikasi kesimpulan.


ANALISIS DAN SINTESIS

Analisis
Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkan didapatkan data bahwa global warming telah menjadi permasalahan dunia (Suryani, 2007), pemicu munculnya global warming adalah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer dengan komposisi terbesar adalah CO2 yaitu sebesar  85%  15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004). Dengan demikian cara mitigasi yang tepat adalah mengurangi emisi maupun menyerap karbondioksida yang telah berada di atmosfer (Wikipedia, 2008). Solusi dengan mengurangi emisi justru banyak ditentang negara besar penghasil emisi (Mufid A. Busyairi, 2007), dengan demikian solusi yang paling mungkin adalah menyerap CO2 yang telah berada di atmosfer dengan penanaman sebanyak mungkin tumbuhan, hal ini disebabkan tumbuhan memiliki kemampuan menyerap CO2 (Ahmadi Susilo, 2008). Penanaman tumbuhan dapat dilakukan dengan rehabilitasi tumbuhan, namun demikian rehabilitasi tumbuhan selama ini masih banyak kekurangan (Prihanta, 2007).  
Dengan demikian perlu dilakukan pembaharuan strategi rehabilitasi sebagai upaya mitigasi global warming dengan melakukan rehabilitasi menyeluruh yaitu kegiatan konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi  rehabilitasi tumbuhan dan   konservasi menyeluruh pada satwa  penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.

Sintesis 
Pembaharuan strategi Rehabilitasi Tumbuhan  Sebagai Upaya Mitigasi Global Warming  
      Mitigasi global warming yang paling efektif adalah dengan melakukan rehabilitasi tumbuhan yang menyeluruh, jika selama ini hanya diartikan menanam tumbuhan hendaknya kegiatan tersebut diperluas dengan melakukan rehabilitasi integratife dalam arti tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam rangka konservasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam penyebaran tumbuhan.

Konservasi Tumbuhan
             Tumbuhan memiliki peran yang sangat tinggi dalam penyerapan karbondioksida, namun kerusakan hutan saat ini semakin meningkat. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektar per tahun atau 2,616 ribu hektar per hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektar per tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta hektar (Jawa Pos, 5/6/2007).
Selain kerusakan hutan, hilangnya tumbuh-tumbuhan terjadi di kawasan non hutan. Prihanta menyebutkan kerusakan tumbuhan yang memiliki pern penting dalam mitigasi global warming adalah kerusakan tanaman tepi jalan, dimana tanaman tepi jalan memiliki peran dalam penyerapan gas yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi yang makin meningkat (2007). Perusakan tanaman tepi jalan dari jenis  Asam Jawa yang telah berumur 200 tahun banyak ditebang di Situbondo (Surya, 4/2-2001), pembangunan jalan di Lumajang (RCTI, 9/2-2001) dan di Jombang (TEB, 2001) (dalam Prihanta, 2007).
 Dalam bulan April di Jalur Batu – Malang sepanjang 10 km, 2 pohon trembesi dalam kondisi sehat di tebang, 2 pohon trembesi lain dibakar pangkalnya (Data Tim Ekspedisi Biokonservasi seperti yang dilaporkan ke Kapolwil, 15 Maret 2007 dalam Wahyu Prihanta, 2007). Hilangnya tumbuhan juga terjadi akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan manusia sebagai contoh pertanian, perumahan maupun industri.
Berdasarkan fakta di atas, mitigasi global warming dapat dilakukan dengan meningkatkan penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan. Menambah jumlah tumbuhan menjadi kurang efektif jika disisi lain perusakan tumbuhan terus dilakukan. Untuk itu selain menanam kegiatan konservasi tumbuhan perlu ditingkatkan.

Pembahruan Sistem Rehabilitasi Tumbuhan
Hilangnya tumbuhan akibat berbagai aktifitas manusia dan bencana alam dapat diperbaiki dengan  rehabilitasi atau yang sering disebut dengan reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya, reboisasi saat ini belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini disebabkan karena pelaksanaannya masih memiliki bebarapa kekurangan.
Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun  tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta, 2006).
            Daerah tropika terkhusus Indonesia memiliki putaran musim yang relatif stabil, dimana memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Kegiatan rahabilitai yang dilakukan saat ini sering tidak sesuai dengan musim yaitu awal musim hujan sekitar bulan Nopember sampai dengan Januari. Sehingga banyak tumbuhan mati akibat tidak cocok secara klimatologi sehingga ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tumbuhan krang terpenuhi. Sebagai contoh program rehabilitasi tumbuhan di Kota Malang yang dengan program Malang Ijo Royo-Royo (MIRR) tahun 1 dan ke 2 dilaksanakan pada bulan Juli dimana merupakan bulan terkering sepanjang tahun (Radar malang, 15 Juli 2004). Demikian juga rehabilitasi lingkungan di Kota Batu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2003, pada saat akhir musim hujan.
            Selain itu hal tersebut di atas pemilihan tumbuhan tidak sesuai dengan klimatologi yang dipersyaratkan tumbuhan. Tumbuhan rambutan dan mangga digunakan alam program Malang Ijo Royo (Radar Malang, 15/6/2004), secara klimatologi kedua jenis tumbuhan tersebut sesuai hidup pada dataran rendah (0-200 dpl) (Stenis, 1987). Sedangkan Kota Malang merupakan daerah dataran tinggai (sekitar 450 dpl).  Setiap tumbuhan memiliki syarat tumbuh dalam ketinggian daerah tertentu (dpl), sehingga dikenal dengan nama tumbuhan dataran rendah dan dataran tinggi. Hal ini disebabkan ketinggian tempat mempengaruhi klimatologi dan klimatologi sangat mempengaruhi kehidupan tumbuhan (Stenis, 1987).
            Program penanaman tumbuhanpun tidak disertai dengan program perawatan. Sebaiknya program penanaman harus disertai program perawatan untuk tanaman yang berumur kurang dari tiga tahun setelah penanaman (Departemen Kehutanan, 2007).
            Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan rehabilitasi tumbuhan untuk mitigasi global warming perlu diperbaiki

Konservasi Menyeluruh pada Satwa  Penyebar Tumbuhan
            Alam tercipta dalam keterkaitan dan keseimbangan yang sempurna, berbagai komponen kehidupan keberadaannya saling menunjang. Selama ini banyak satwa yang berperan dalam membantu penyebaran biji-biji tumbuhan sehingga secara automatis membantu menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan ang secara ekologi sesuai. Banyak jenis burung yang memakan buah dan menyebarkan bijinya bersama feces di tempat yang sangat jauh dari pohon induknya (Pulonin, 1994).
            Penyebaran biji atau alat reproduksi lain yang dibantu satwa memiliki banyak keuntungan, burung mampu menyebarkan biji di daerah yang tak terjangkau oleh manusia, selain itu daerah edar harian burung relatif pada  ekologi sistem ekologi dimana tumbuhan berada sehingga secara klimatologi akan banyak kesesuaian (McKinnon, 1986).
            Mempertimbangkan hal tersebut maka rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming akan memberikan hasil yang sempurna jika disertai dengan kegiatan konservasi berbagai jenis burung yang memiliki manfaat dalam penyebaran alat reproduksi tumbuhan. Mengingat saat ini banyak penangkapan jenis-jenis burung tersebut dengan berbagai alasan.

KESIMPULAN DAN SARAN 
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan tentang beberapa hal diantaranya adalah global warming merupakan permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi dengan 2 hal yaitu pengurangan produk emisi dan pengurangan GRK dengan memperbanyak tumbuhan dan strategi memperbanyak tumbuhan tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam rangka rehabilitasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam penyebaran tumbuhan.

Saran
 Saran yang diberikan kepada semua pihak bahwasanya global warming merupakan permasalahan dunia sehingga perlu perhatian, kesadaran dan tindakan semua pihak. Mengingat salah satu cara mitigasi golbal warming adalah menyerap karbondioksida di atmosfer dengan mengkonservasi dan menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan konservasi tumbuhan, perbaikan sistem rehabilitasi serta mengkonservasi satwa pelestari tumbuhan.

 
DAFTAR PUSTAKA

 Ahmadi Susilo, 2008. Penghijauan Kota Secara Konseptual untuk Mengurangi Emisi Karbon. Pusat Studi Lingkungan Universitas Wijaya Kusuma. a Cipta. Jakarta.Surabaya.

Anonymous.2008.Gas rumah kaca. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca. tanggal 27 Maret 2008.

Anonymous.2008.Global Warming Apa dan Mengapa.Diakses dari http://langitselatan.com/2008/02/09/global-warming-apa-dan-mengapa.

Anonymous.2009.Kompas. Com. 2009. 14 Negara Terancam Kehilangan. Pulau.http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/17/10140516/14.Negara.Pulau.Terancam.Hilang.

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rinek.

Departemen Kehutanan. 2007. Panduan Kegiatan Aksi Penanaman Serentak         Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon Menyongsong Pertemuan Internasional  Tentang Perubhan Iklim Global Di Bali, Desember 2007. Departemen Kehutanan, 2007.


Dwijo Seputro. 1994. Fisiologi Tumbuhan.  PT Gramedia. Jakarta.

Eisma, D (ed), 1995. Climate Change: Impact on coastal habitation. CRC Press     Inc., USA.

Fadeli, C.2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan UGM, Jogyakarta.
 Ismai Nurmahmudi , 7 Agustus 2002. KTT Johannesburg, Pekatnya GRK, dan Bumi Makin Panas. Sinar Harapan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0208/27/opi01.html

Fakuara, et al, 1987. Mekanisme Reaksi dan Laju Reaksi pada Reaksi Kimia yang Terjadi Di Alam.PT.Gramedia. Jakarta.

Johnson, Kennet D.1984. Biology An Introduction, The Benyamin/Cummings Publishing Company, Menlo Park Inc, Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia – Press. Jakarta.

Jones and Luchsinger, 1987. Plant Systematics, McGraw Hill, Singapore.



Mufid A. Busyairi, 15 Mei 2007. Global warming dan Keamanan Pangan Indonesia, Tempo interaktif.

Polunin, Nikolas. 1994, Pengantar Geografi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pratiwi Sudarmono, 2007. Pengaruh Pemanasan Global pada Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia, Makalah Seminar Ancaman Pemanasan Global dan Perubahan Iklim.Jakarta.

Prihanta,Wahyu. 2007. Strategi Pusat Studi Lingkngan dan Kependududkan Universitas Muhammadiyah Malang dalam Rangka Perang Menyeluruh Terhadap Global Warming. Seminar Nasional BKPSL.

Prihanta,Wahyu. 2007. Strategi Perlindungan Tanaman Tepi Jalan untuk Penyelamatan Lingkungan Menyeluruh, Sosialisasi Kebijakan Lingkungan Hidup Tahun 2007. DKLH Kota Batu.

Prihanta,Wahyu. 2006. Rehabilitasi Lingkungan Integratif dan Kontinu, Seminar Regional, Pusal Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang, Mei 2007.Malang.
Sinar Harapan, 4 Mei 2007, Kerusakan Hutan Indonesia Tak Sedahsat Periode19972000,http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/04/sh02.html.
Soerjani, Arief Yuwono, dan Dedi Fardiaz, 2007, Lingkungan Hidup, Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kelangsungan Pembangunan, Jakarta, Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.
Van Stenis CGGJ, 1987, Flora Edisi  4, Pradnya Paramita, Jakarta


Yasuhiro. Prof. Dr. 2007. Which is First Coming Us, Ice Age or Global Warming. Makalah disampaikan seminar Parallel Events Cop-13/CMP-3UNFCCC oleh Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkngan Indonesia, 5 -6 Desember 2007. Denpasar Bali.

No comments:

Post a Comment