Ringkasan
Pada saat ini, bumi menghadapi pemanasan
yang tinggi yang disebut dengan global warming. Penyebab utama pemanasan ini
adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi,
dan gas alam,
yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal
sebagai gas rumah kaca ke atmosfer (Yasuhiro, 2007).
Gas
rumah kaca terdiri atas CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2,
O3, CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan
terpantulnya kembali sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar
matahari, sehingga panas bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah
kaca, akan semakin meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini
mencapai 300 ppm dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060
akibat berbagai aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia
(Suryani, 2007).
Dengan
demikian langkah utama mitigasi global warming adalah mengurangan emisi
terutama CO2 (Mufid
A. Busyairi, 2007). Dua
pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama,
mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau
komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan
karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak
lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap
karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan
menyimpan karbon dalam kayunya
(Dinkes Kutai Kertanegara, 2009; Ahmadi Susilo, 2008; Fakuara, 1987).
Salah satu usaha yang dapat dilakukan
adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini program penghijauan
telah banyak dilakukan namun belum menampakkan keberhasilan. Hal itu disebabkan
program penghijauan yang dilakukan selama ini masih mengalami banyak
kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama:
pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan
Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal
musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan
mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan
kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari
jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga:
kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga
setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta, 2006)
Dalam rangka mitigasi global warming,
harus dicari pola baru rehabilitasi lingkungan
yang aplikatif sehingga mudah untuk dilaksanakan dan memiliki efek
langsung pada penurunan suhu bumi. Menyadari kondisi tersebut perlu dicari
solusi yang efektif untuk mengurangi efek dari global warming.
Tujuan penulisan ini adalah memberikan solusi dari
mitigasi global warming dengan memperbaiki
rehabilitasi tumbuhan yang telah dilakukan selama ini. Yaitu dengan
melakukan rehabilitasi secara menyeluruh yang meliputi konservasi tumbuhan yang
telah ada, memperbaiki strategi
rehabilitasi tumbuhan dan konservasi menyeluruh pada satwa penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi
ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.
Manfaat dalam penulisan ini adalah membentuk kesadaran masyarakat terhadap global warming dan hal dampak dan
mitigasinya. Dapat digunakan sebagai masukan untuk pembaharuan strategi konservasi dan rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global
warming.
Data dan fakta yang
berhubungan dengan pembahasan tema ini didapatkan dengan tahapan-tahapan
pengumpulan data dengan cara pembacaan kritis terhadap ragam literatur yang
berhubungan dengan tema pembahasan. Untuk menganalisa data dan informasi
yang didapat digunakan analisis isi (content analysis).
Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkan
didapatkan data bahwa global warming telah menjadi permasalahan dunia (Suryani,
2007), pemicu munculnya global warming adalah akumulasi gas rumah kaca di
atmosfer dengan komposisi terbesar adalah CO2 yaitu sebesar 85%
15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004). Dengan
demikian cara mitigasi yang tepat adalah mengurangi emisi maupun menyerap
karbondioksida yang telah berada di atmosfer (Wikipedia, 2008). Solusi dengan
mengurangi emisi justru banyak ditentang negara besar penghasil emisi (Mufid A. Busyairi, 2007), dengan demikian
solusi yang paling mungkin adalah menyerap CO2 yang telah berada di atmosfer
dengan penanaman sebanyak mungkin tumbuhan, tumbuhan memiliki kemampuan
menyerap CO2 (Ahmadi Susilo, 2008).
Penanaman tumbuhan dapat dilakukan dengan rehabilitasi tumbuhan, namun demikian
rehabilitasi tumbuhan selama ini masih banyak kekurangan (Prihanta, 2007). Dengan demikian perlu dilakukan pembaharuan
strategi rehabilitasi sebagau upaya mitigasi global warming dengan melakukan
rehabilitasi menyeluruh yaitu kegiatan konservasi tumbuhan yang telah ada,
memperbaiki strategi rehabilitasi
tumbuhan dan konservasi menyeluruh pada satwa penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi
ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan tentang
beberapa hal diantaranya adalah
Global Warming merupakan permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi
dengan 2 hal yaitu pengurangan produk emisi dan pengurangan GRK dengan
memperbanyak tumbuhan dan strategi
memperbanyak tumbuhan tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang
telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar
menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim
tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam rangka
konservasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari
tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang
besar dalam penyebaran tumbuhan.
Saran yang
diberikan kepada semua pihak bahwasanya Global warming merupakan permasalahan dunia sehingga perlu perhatian,
kesadaran dan tindakan semua pihak dan salah satu cara mitigasi golbal warming adalah menyerap karbondioksida di
atmosfer dengan mengkonservasi dan menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan
tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan
konservasi tumbuhan, perbaikan sistem rehabilitasi dan mengkonservasi satwa
pelestari tumbuhan.
PENDAHULUAN
Pada saat ini, bumi
menghadapi pemanasan tinggi yang disebut dengan global warming. Penyebab utama
pemanasan ini adalah pembakaran bahan
bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi,
dan gas alam,
yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal
sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin
banyak mengandung gas-gas rumah kaca ini, atmosfer semakin menjadi insulator
yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang
dipancarkan ke bumi (Yasuhiro, 2007).
Global warming
sudah sejak lama terjadi karena peningkatan lapisan gas yang menyelimuti bumi
dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah kaca. Gas rumah kaca terdiri atas
CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2, O3,
CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan terpantulnya kembali
sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar matahari, sehingga panas
bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah kaca, akan semakin
meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini mencapai 300 ppm
dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060 akibat berbagai
aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia (Suryani, 2007).
Menurut laporan Intergovermental
Panel on Climate Change (IPCC) kenaikan suhu bumi di abad yang akan datang
berkisar 1,50C – 4,50C atau rata-rata 2,50C.
Hal ini akan menyebabkan naiknya permukaan air laut antara 31 – 110 cm (Eisma,
1995). Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam pidato kunci pada
Pertemuan Ke-25 Dewan Pengarah (Governing Council) Program Lingkungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) di Nairobi, Kenya, 16 Pebruari 2009
menyatakan Indonesia berpotensi kehilangan 2.000-an pulau pada tahun 2030 bila
tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ujar Indroyono, yang
juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP (Anonymous, 2009).
Para ilmuwan menggunakan model
komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk
mempelajari global warming. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah
membuat beberapa prakiraan mengenai dampak global warming terhadap cuaca, tinggi
permukaan air laut, pantai,
pertanian,
kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Di Indonesia, pengaruh global
warming telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah
hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah
hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem
irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area
persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang
terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di
antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu
tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal
panen (Busyairi, 2007).
Karbondioksida adalah penyumbang gas rumah
kaca terbesar. Pada tahun 1994, 83% penyumbang gas efek rumah kaca adalah CO2,
sisanya 15% CH4, N2O, dan CO (Fadeli, 2004). Dengan demikian langkah utama mitigasi global
warming adalah mengurangan emisi terutama CO2 (Mufid A. Busyairi,
2007). Dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah
kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut
carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi
produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah
dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak
lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap
karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan
menyimpan karbon dalam kayunya
(Dinkes Kutai Kertanegara, 2009; Ahmadi Susilo, 2008; Fakuara, 1987).
Salah satu penyebab akumulasi
karbondioksida di dunia adalah akibat kerusakan hutan. Di seluruh dunia,
tingkat perambahan hutan
telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Ditahun 1950-1985, angka kerusakan
mencapai 32,9 juta Ha atau 942 ribu hektar per tahun atau 2,616 ribu hektar per
hari. Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektar per
tahun, hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan
kritis di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta Ha. (Jawa Pos, 5/6/2007).
Dephut mempunyai tiga data yang terbagi dalam tiga periode, yakni periode
1985-1997 dengan tingkat kerusakan 1,87 juta hektar/tahun, tahun 1997-2000
tingkat kerusakannya 2,83 juta hektar/ tahun, dan tahun 2000-2005 tingkat
kerusakan hutannya 1,188 juta hektar/tahun. Secara total sebenarnya hutan yang
terdegradasi seluas 59,6 juta hektar (Sinar Harapan, 2007).
Salah satu usaha
yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman sebanyak mungkin pohon, selama ini
program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan
keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini
masih mengalami banyak kekurangan (Prihanta,
2006).
Dalam rangka
mitigasi global warming, harus dicari pola baru rehabilitasi lingkungan yang aplikatif sehingga mudah untuk
dilaksanakan dan memiliki efek langsung pada penurunan suhu bumi. Menyadari
kondisi tersebut perlu dicari solusi yang efektif untuk mengurangi efek dari
global warming.
Solusi yang Ditawarkan
Global warming telah menjadi permasalahan
dunia (Suryani, 1997). Hal ini dipicu akibat dari gas rumah kaca yang menumpuk
di atmosfer bumi. Karbondioksida adalah penyumbang gas rumah kaca
terbesar, yaitu sebesar 83% (Fadeli,
2004). Untuk itu cara efektif untuk mitigasi global warming adalah mengurangi CO2
di atmosfer (Busyairi, 2007).
Ada
dua cara untuk mengurangi CO2
di atmosfer yaitu mengurangi produksi terutama oleh industri dan menyerap CO2
yang sudah berada di atmosfer dengan penanaman tumbuhan, karena tumbuhan
memiliki kemampuan menyerap CO2 dari udara (Susilo, 2008).
Mitigasi dengan menurunkan
produksi emisi tidaklah mudah, sebab negara-negara besar penghasil emisi yaitu Prancis,
Itali, Belanda, Rusia, Jepang, Kanada, dan AS) tak menunjukkan sikap yang
serius untuk mengatasi masalah pemanasan bumi (global warming) yang kondisinya.
Bahkan AS, negara industri terbesar tak mau tunduk pada
Protokol Kyoto (Ismail, 2002).
Untuk itu mitigasi yang dapat dilaksanakan
adalah melakukan rehabilitasi tumbuhan, mengingat global warming juga di picu
oleh kerusakan hutan. Namun demikian kegiatan rehabilitasi tumbuhan saat ini
perlu di cari pola baru karena rehabilitasi yang dilakukan selama ini masih
nampak kekurangan (Prihanta, 2006).
Berdasarkan
kenyataan di atas perlu dilakukan pembaharuan strategi rehabilitasi yang selama
ini dilakukan parsial yaitu hanya kegiatan menanam. Lingkungan adalah sebuah
sistem yang saling berkaitan, untuk itu strategi rehabilitasi harus dilakukan
dengan melakukan kegiatan konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki
strategi rehabilitasi tumbuhan dan konservasi menyeluruh pada satwa penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi
ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah
memberikan solusi dari global warming dengan memperbaiki rehabilitasi tumbuhan yang telah dilakukan
selama ini. Yaitu dengan melakukan rehabilitssi secara menyeluruh yang meliputi
konservasi tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi rehabilitasi tumbuhan dan konservasi menyeluruh pada satwa penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi
ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi. Manfaat
dalam penulisan ini adalah membentuk kesadaran masyarakat terhadap global
warming, dalam hal dampak global warming dan mitigasinya. Dapat digunakan sebagai
masukan untuk perbaikan strategi
konservasi dan rehabilitasi
tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming.
TELAAH PUSTAKA
Global Warming
Global warming dapat
didefinisikan sebagai naiknya suhu permukaan bumi menjadi lebih panas selama
beberapa kurun waktu yang disebabkan karena meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca di lapisan atmosfer. Pada dasarnya fenomena pemanasan dipermukaan
bumi sebenarnya merupakan gejala sistem alam yang normal untuk menghangatkan
planet bumi sehingga suhu bumi tidak menjadi dingin bahkan membeku seperti pada
jaman es yang pernah terjadi 15.000 tahun lalu (Miler, 1979: Yasuhiro, 2007).
Gas –Gas Penyebab Efek Rumah kaca (GRK)
Gas rumah kaca adalah gas-gas
yang ada di atmosfer
yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul
secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas
rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida
adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti:
letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia dan
pembakaran material organik (seperti tumbuhan) (Anonymous,
2008).
Global
warming sudah sejak lama terjadi karena peningkatan lapisan gas yang
menyelimuti bumi dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah kaca. Gas rumah
kaca terdiri atas CO2 (55%), sisanya berupa NOx, SO2,
O3, CH4 dan uap air. Lapisan tersebut menyebabkan
terpantulnya kembali sinar panas infra merah A yang datang bersama sinar
matahari, sehingga panas bumi mencapai 130C. Semakin besar gas rumah
kaca, akan semakin meningkatkan suhu bumi. CO2 di atmosfer saat ini
mencapai 300 ppm dan diperkirakan akan meningkat menjadi 600 ppm pada 2060
akibat berbagai aktifitas alamiah dan diperparah dengan aktifitas manusia
(Suryani, 2007). Karbondioksida
adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar. Pada tahun 1994, 83% penyumbang gas
efek rumah kaca adalah CO2, sisanya 15% CH4, N2O,
dan CO (Fadeli, 2004).
Global warming dan Perubahan Iklim
Secara alamiah panas matahari
yang masuk ke bumi, sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara
sebagian lagi akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Adanya lapisan gas yang
disebut gas rumah kaca yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas
matahari yang hendak dipantulkan ke luar angkasa menembus atmosfer. Peristiwa
terperangkapnya panas matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah
efek rumah kaca.
Sejak revolusi industri tahun
pertengahan abad ke-18, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil
(minyak, gas dan batubara) seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan
industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor, pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi
gas rumah kaca ke atmosfer.
Hal ini berakibat pada
meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer yang kemudian
menyebabkan meningkatnya panas matahari yang terperangkap di atmosfer.
Peristiwa ini pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan bumi,
yang umum disebut global warming.
Global warming kemudian pada
prosesnya menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut,
yang menyebabkan meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan
dan tekanan udara. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan iklim.
Berdasarkan penelitian para
ahli, perubahan iklim diketahui akan menimbulkan dampak-dampak yang merugikan
bagi kehidupan umat manusia. Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air
bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis
merupakan beberapa dampak akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, demi
kelangsungan hidup manusia kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan yang mengeluarkan
emisi gas rumah kaca guna menghambat laju terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim muncul akibat dari pemerataan
energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi
mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24
jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung
lokasi dan posisi geografi suatu daerah. Daerah yang berada di posisi
sekitar 23,50 Lintang Utara – 23,50 Lintang Selatan,
merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya surplus dari radiasi
matahari yang diterima setiap tahunnya.
Di Indonesia, pengaruh global
warming telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah
hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah
hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem
irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area
persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang
terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di
antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu
tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal
panen (Busyairi, 2007).
Dampak Global Warming Terhadap Kehidupan
Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang.
Dampak perubahan iklim bagi Indonesia antara lain: Kenaikan temperatur dan berubahnya musim, naiknya permukaan air laut, dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan, dampak perubahan iklim terhadap sektor kehutanan,. dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, dan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan (Mufid A. Busyairi, 2007).
Menurut Pratiwi Sudarmono (2007), global warming dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dengan adanya perubahan iklim berubah pula pola hujan, pola tanam, sirkulasi air dan sebagainya. Bila berbagai perubahan tersebut tidak disertai dengan kemampuan adaptasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Maka akan mempengaruhi munculnya berbagai penyakit. Sebagai contoh, perubahan iklim akan dapat menyebabkan masa inkubasi nyamuk malaria dan demam berdarah menjadi pendek. Sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah bisa berkembang dengan cepat.
Mitigasi Global Warming
Ada dua pendekatan utama untuk
memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah
karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen
karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca
(Anonymous, 2008).
Mitigasi global warming dapat
dilakukan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Produksi emisi terbesar
adalah kegiatan industri maupun kegiatan lain yang menggunakan bahan bakar
fosil untuk melakukan aktifitasnya. Mitigasi
dengan menurunkan produksi emisi tidaklah mudah, sebab Negara-negara besar
penghasil emisi yaitu Prancis, Itali, Belanda, Rusia, Jepang, Kanada, dan AS
tak menunjukkan sikap yang serius untuk mengatasi masalah pemanasan bumi
(global warming) yang kondisinya . Bahkan
AS, negara industri terbesar tak mau tunduk pada Protokol Kyoto (Ismail,
2002).
Mitigasi Global Warming dengan Rehabilitasi Tumbuhan
Gas Rumah Kaca terbesar adalah
karbondioksida, dimana karbondioksida dihasilkan sebagai hasil proses alamiah
dalam proses respirasi dan juga dari berbagai akatifitas manusia non respirasi.
Karbondioksida memiliki peranan menyerap anas sehingga penumpukan dalam jumlah
besar akan berakibat meningkatnya suhu bumi.
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap
oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis.
Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta
mengambil atom karbonnya
(Anonymous, 2008).
Ada dua pendekatan
utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama,
mencegah karbondioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau
komponen karbonnya di tempat lain, cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk
menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan
menanam pohon
lebih banyak lagi. Mekanisme penyerapan karbondioksida adalah
melalui proses fotosintesis, dimana karbondioksida diserap oleh tumbuhan dari
udara dan bereaksi dengan air membentuk karbohidrat. (Seputro, 1994). Secara
kimiawi proses tersebut digambarkan sebai berikut. CO2 + H2O C6H12O6,
proses tersebut dibantu dengan sinar matahari dan terjadi pda klorofil daun.
Dengan mekanisme ini maka secara alamiah pohon memiliki kemampuan mengurangi
karbon dioksida di udara.
Kondisi tumbuhan sebagai cara mitigasi telah mengalami banyak kerusakan. Dephut
mempunyai tiga data yang terbagi dalam tiga periode, yakni periode 1985-1997
dengan tingkat kerusakan 1,87 juta hektar/tahun, tahun 1997-2000 tingkat
kerusakannya 2,83 juta hektar/ tahun, dan tahun 2000-2005 tingkat kerusakan
hutannya 1,188 juta hektar/tahun. Secara total sebenarnya hutan yang
terdegradasi seluas 59,6 juta hectare (Sinar Harapan, 2007).
Untuk mengembalikan tumbuhan
dan perbaikan lahan telah banyak dilakukan penanaman dengan istilah
rehabilitasi tumbuhan. Sebagai contoh adalah Program Indonesia menanam 2008 yang
ditetapkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 24 Tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia . Selanjutnya
dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.377/Menhut-II/2008.
Rehabilitasi
lingkungan yang dilakukan saat ini masih
memiliki beberapa kekurangan,
selama ini program penghijauan telah banyak dilakukan namun belum menampakkan
keberhasilan. Hal itu disebabkan program penghijauan yang dilakukan selama ini
masih mengalami banyak kekurangan. Kekurangan yang teridentifikasi adalah: Pertama:
pemilihan waktu yang tidak tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan
Pebruari setelah bencana banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal
musim hujan hampir berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan
mati kekeringan. Kedua: pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan
kondisi iklim (ketinggian dan suhu) setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari
jenis tumbuhan sumbangan masyarakat tanpa sebuah kriteria. Ketiga:
kegiatan sangat bersifat ceremonial dan kolosal namun tidak ada jaminan keberlanjutan, sehingga
setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta, 2006).
Sumber Data
Data
dan fakta yang berhubungan dengan pembahasan tema ini didapatkan dengan
tahapan-tahapan pengumpulan data dengan cara pembacaan kritis terhadap ragam literatur
yang berhubungan dengan tema pembahasan.
Data
yang digunakan adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada
masyarakat melalui literatur yang diterbitkan, surat kabar, buletin, jurnal
upun internet. Dengan demikian penulis mengelompokan atau menyeleksi data dan
informasi berdasarkan ktegori dan relevansi untuk selanjutnya dianalisis dan
disimpulkan.
Analisis Data
Dalam penulisan ini teknik analisa data
yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (1998),
analisa deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata
atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menganalisa data dan
informasi yang didapat, digunakan analisis isi (content analysis). Analisis isi adalah suatu teknik yang
sistematik untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. Analisis
isi selalu melibatkan kegiatan menghubungkan atau membandingkan penemuan berupa
kriteria atau teori. Langkah yang dilakukan dalam menganalisis data pada
penelitian ini menggunakan interaktive model dari Miles dan Huberman
(Miles dan Huberman, 1994). Model ini terdiri dari 4 komponen yang saling
berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data,
(3) penyajian data dan (4) penarikan dan pengujian atau verifikasi kesimpulan.
ANALISIS DAN SINTESIS
Analisis
Berdasarkan pustaka yang telah
dikumpulkan didapatkan data bahwa global warming telah menjadi permasalahan
dunia (Suryani, 2007), pemicu munculnya global warming adalah akumulasi gas
rumah kaca di atmosfer dengan komposisi terbesar adalah CO2 yaitu
sebesar 85% 15% CH4, N2O, dan CO
(Fadeli, 2004). Dengan demikian cara mitigasi yang tepat adalah mengurangi
emisi maupun menyerap karbondioksida yang telah berada di atmosfer (Wikipedia,
2008). Solusi dengan mengurangi emisi justru banyak ditentang negara besar
penghasil emisi (Mufid A. Busyairi, 2007), dengan demikian solusi yang paling
mungkin adalah menyerap CO2 yang telah berada di atmosfer dengan
penanaman sebanyak mungkin tumbuhan, hal ini disebabkan tumbuhan memiliki
kemampuan menyerap CO2 (Ahmadi Susilo, 2008). Penanaman tumbuhan
dapat dilakukan dengan rehabilitasi tumbuhan, namun demikian rehabilitasi
tumbuhan selama ini masih banyak kekurangan (Prihanta, 2007).
Dengan demikian perlu
dilakukan pembaharuan strategi rehabilitasi sebagai upaya mitigasi global
warming dengan melakukan rehabilitasi menyeluruh yaitu kegiatan konservasi
tumbuhan yang telah ada, memperbaiki strategi
rehabilitasi tumbuhan dan konservasi menyeluruh pada satwa penyebar tumbuhan karena memiliki fungsi
ekologi dalam penyebaran biji yang menunjang keberhasilan rehabilitasi.
Sintesis
Pembaharuan strategi Rehabilitasi Tumbuhan Sebagai Upaya Mitigasi Global Warming
Mitigasi
global warming yang paling efektif adalah dengan melakukan rehabilitasi
tumbuhan yang menyeluruh, jika selama ini hanya diartikan menanam tumbuhan
hendaknya kegiatan tersebut diperluas dengan melakukan rehabilitasi integratife
dalam arti tidak hanya menanam tetapi juga perlu mengkonservasi yang telah ada.
Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan tidak sekedar menanam tapi juga
harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai dengan musim tanam dan
pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam rangka konservasi
tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa pelestari tumbuhan sebab
secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran yang besar dalam
penyebaran tumbuhan.
Konservasi Tumbuhan
Tumbuhan memiliki peran yang sangat tinggi
dalam penyerapan karbondioksida, namun kerusakan hutan saat ini semakin
meningkat. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai
level yang mengkhawatirkan. Angka kerusakan hutan semakin tahun mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Di tahun 1950-1985, angka kerusakan mencapai
32,9 juta Ha atau 942 ribu hektar per tahun atau 2,616 ribu hektar per hari.
Tahun 1985-1993 jumlah hutan yang hilang mencapai 45,6 juta hektar per tahun,
hingga tahun 2004 jumlah kerusakan mencapai 59,17 juta Ha dengan lahan kritis
di luar kawasan hutan sebesar 41,47 juta hektar (Jawa Pos, 5/6/2007).
Selain kerusakan hutan,
hilangnya tumbuh-tumbuhan terjadi di kawasan non hutan. Prihanta menyebutkan
kerusakan tumbuhan yang memiliki pern penting dalam mitigasi global warming
adalah kerusakan tanaman tepi jalan, dimana tanaman tepi jalan memiliki peran
dalam penyerapan gas yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi yang makin
meningkat (2007). Perusakan tanaman tepi jalan dari jenis Asam Jawa yang telah berumur 200 tahun banyak
ditebang di Situbondo (Surya, 4/2-2001), pembangunan jalan di Lumajang (RCTI,
9/2-2001) dan di Jombang (TEB, 2001) (dalam Prihanta, 2007).
Dalam bulan April di Jalur Batu – Malang
sepanjang 10 km, 2 pohon trembesi dalam kondisi sehat di tebang, 2 pohon
trembesi lain dibakar pangkalnya (Data Tim Ekspedisi Biokonservasi seperti yang
dilaporkan ke Kapolwil, 15 Maret 2007 dalam Wahyu Prihanta, 2007). Hilangnya
tumbuhan juga terjadi akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan manusia
sebagai contoh pertanian, perumahan maupun industri.
Berdasarkan fakta di atas,
mitigasi global warming dapat dilakukan dengan meningkatkan penyerapan
karbondioksida oleh tumbuhan. Menambah jumlah tumbuhan menjadi kurang efektif
jika disisi lain perusakan tumbuhan terus dilakukan. Untuk itu selain menanam
kegiatan konservasi tumbuhan perlu ditingkatkan.
Pembahruan Sistem Rehabilitasi Tumbuhan
Hilangnya tumbuhan
akibat berbagai aktifitas manusia dan bencana alam dapat diperbaiki dengan rehabilitasi atau yang sering disebut dengan
reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya, reboisasi saat ini belum mendapatkan
hasil yang maksimal. Hal ini disebabkan karena pelaksanaannya masih memiliki
bebarapa kekurangan.
Kekurangan yang
teridentifikasi adalah: Pertama: pemilihan waktu yang tidak
tepat. Biasanya penghijauan dilakukan pada bulan Pebruari setelah bencana
banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Padahal musim hujan hampir
berakhir, dengan demikian setelah hujan berakhir tumbuhan mati kekeringan. Kedua:
pemilihan tumbuhan tidak memperhatikan kondisi iklim (ketinggian dan suhu)
setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis tumbuhan sumbangan masyarakat
tanpa sebuah kriteria. Ketiga: kegiatan sangat bersifat
ceremonial dan kolosal namun tidak ada
jaminan keberlanjutan, sehingga setelah penanaman tidak pernah ada monitoring (Prihanta,
2006).
Daerah
tropika terkhusus Indonesia memiliki putaran musim yang relatif stabil, dimana
memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Kegiatan rahabilitai yang dilakukan
saat ini sering tidak sesuai dengan musim yaitu awal musim hujan sekitar bulan
Nopember sampai dengan Januari. Sehingga banyak tumbuhan mati akibat tidak
cocok secara klimatologi sehingga ketersediaan air yang sangat dibutuhkan
tumbuhan krang terpenuhi. Sebagai contoh program rehabilitasi tumbuhan di Kota
Malang yang dengan program Malang Ijo Royo-Royo (MIRR) tahun 1 dan ke 2
dilaksanakan pada bulan Juli dimana merupakan bulan terkering sepanjang tahun
(Radar malang, 15 Juli 2004). Demikian juga rehabilitasi lingkungan di Kota
Batu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2003, pada saat akhir musim hujan.
Selain
itu hal tersebut di atas pemilihan tumbuhan tidak sesuai dengan klimatologi
yang dipersyaratkan tumbuhan. Tumbuhan rambutan dan mangga digunakan alam
program Malang Ijo Royo (Radar Malang, 15/6/2004), secara klimatologi kedua
jenis tumbuhan tersebut sesuai hidup pada dataran rendah (0-200 dpl) (Stenis,
1987). Sedangkan Kota Malang merupakan daerah dataran tinggai (sekitar 450
dpl). Setiap tumbuhan memiliki syarat
tumbuh dalam ketinggian daerah tertentu (dpl), sehingga dikenal dengan nama
tumbuhan dataran rendah dan dataran tinggi. Hal ini disebabkan ketinggian
tempat mempengaruhi klimatologi dan klimatologi sangat mempengaruhi kehidupan
tumbuhan (Stenis, 1987).
Program
penanaman tumbuhanpun tidak disertai dengan program perawatan. Sebaiknya
program penanaman harus disertai program perawatan untuk tanaman yang berumur
kurang dari tiga tahun setelah penanaman (Departemen Kehutanan, 2007).
Berdasarkan
hal tersebut pelaksanaan rehabilitasi tumbuhan untuk mitigasi global warming
perlu diperbaiki
Konservasi Menyeluruh pada Satwa Penyebar Tumbuhan
Alam
tercipta dalam keterkaitan dan keseimbangan yang sempurna, berbagai komponen
kehidupan keberadaannya saling menunjang. Selama ini banyak satwa yang berperan
dalam membantu penyebaran biji-biji tumbuhan sehingga secara automatis membantu
menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan ang secara ekologi sesuai. Banyak jenis
burung yang memakan buah dan menyebarkan bijinya bersama feces di tempat yang
sangat jauh dari pohon induknya (Pulonin, 1994).
Penyebaran
biji atau alat reproduksi lain yang dibantu satwa memiliki banyak keuntungan,
burung mampu menyebarkan biji di daerah yang tak terjangkau oleh manusia,
selain itu daerah edar harian burung relatif pada ekologi sistem ekologi dimana tumbuhan berada
sehingga secara klimatologi akan banyak kesesuaian (McKinnon, 1986).
Mempertimbangkan
hal tersebut maka rehabilitasi tumbuhan dalam rangka mitigasi global warming
akan memberikan hasil yang sempurna jika disertai dengan kegiatan konservasi
berbagai jenis burung yang memiliki manfaat dalam penyebaran alat reproduksi
tumbuhan. Mengingat saat ini banyak penangkapan jenis-jenis burung tersebut
dengan berbagai alasan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan tentang beberapa hal diantaranya adalah global warming
merupakan permasalahan seluruh dunia yang bisa di antisipasi dengan 2 hal yaitu
pengurangan produk emisi dan pengurangan GRK dengan memperbanyak tumbuhan dan
strategi memperbanyak tumbuhan tidak hanya menanam tetapi juga perlu
mengkonservasi yang telah ada. Selain itu pada penanaman pohon perlu perbaikan
tidak sekedar menanam tapi juga harus dilakukan perawatan dan juga harus sesuai
dengan musim tanam dan pemilihan jenis harus sesuai dengan klimatologi. Dalam
rangka rehabilitasi tumbuhan harus memperhatikan pula peranan satwa-satwa
pelestari tumbuhan sebab secara ekologi satwa pelestari tumbuhan memiliki peran
yang besar dalam penyebaran tumbuhan.
Saran
Saran yang diberikan kepada semua pihak
bahwasanya global warming merupakan permasalahan dunia sehingga perlu
perhatian, kesadaran dan tindakan semua pihak. Mengingat salah satu cara
mitigasi golbal warming adalah menyerap karbondioksida di atmosfer dengan
mengkonservasi dan menanam sebanyak mungkin tumbuhan. Kegiatan tersebut harus
dilakukan secara menyeluruh, sehingga segera harus dilakukan konservasi
tumbuhan, perbaikan sistem rehabilitasi serta mengkonservasi satwa pelestari
tumbuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi Susilo, 2008. Penghijauan
Kota Secara Konseptual untuk Mengurangi Emisi Karbon. Pusat Studi
Lingkungan Universitas Wijaya Kusuma. a Cipta. Jakarta.Surabaya.
Anonymous.2008.Gas rumah kaca. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca.
tanggal 27 Maret 2008.
Anonymous.2008.Global
Warming Apa dan Mengapa.Diakses dari http://langitselatan.com/2008/02/09/global-warming-apa-dan-mengapa.
Anonymous.2009.Kompas. Com. 2009. 14
Negara Terancam Kehilangan. Pulau.http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/17/10140516/14.Negara.Pulau.Terancam.Hilang.
Arikunto, S.
1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rinek.
Departemen
Kehutanan. 2007. Panduan Kegiatan Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon
Menyongsong Pertemuan Internasional
Tentang Perubhan Iklim Global Di Bali, Desember 2007. Departemen
Kehutanan, 2007.
Dinkes Kutai
Kertanegara. 2009. Global Warming. http://dinkes-kutaikartanegara.org/id/artikel.php?subaction=showfull&id=1219973925&archive=&start_from=&ucat=4&.
Dwijo Seputro.
1994. Fisiologi Tumbuhan. PT
Gramedia. Jakarta.
Eisma, D (ed),
1995. Climate Change: Impact on coastal habitation. CRC Press Inc., USA.
Fadeli, C.2004. Perhutanan
Kota. Fakultas Kehutanan UGM, Jogyakarta.
Ismai Nurmahmudi , 7
Agustus 2002. KTT Johannesburg, Pekatnya GRK, dan Bumi Makin Panas. Sinar
Harapan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0208/27/opi01.html.
Fakuara, et al,
1987. Mekanisme Reaksi dan Laju Reaksi pada Reaksi Kimia yang Terjadi Di
Alam.PT.Gramedia. Jakarta.
Johnson, Kennet D.1984. Biology
An Introduction, The Benyamin/Cummings Publishing Company, Menlo Park Inc,
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas
Indonesia – Press. Jakarta.
Jones and Luchsinger, 1987. Plant
Systematics, McGraw Hill, Singapore.
Mufid A. Busyairi, 15 Mei 2007. Global warming dan
Keamanan Pangan Indonesia, Tempo interaktif.
Polunin, Nikolas. 1994, Pengantar Geografi
Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pratiwi
Sudarmono, 2007. Pengaruh Pemanasan Global pada Kualitas Sumber Daya Manusia
di Indonesia, Makalah Seminar Ancaman Pemanasan Global dan Perubahan Iklim.Jakarta.
Prihanta,Wahyu.
2007. Strategi Pusat Studi Lingkngan dan Kependududkan Universitas
Muhammadiyah Malang dalam Rangka Perang Menyeluruh Terhadap Global Warming.
Seminar Nasional BKPSL.
Prihanta,Wahyu.
2007. Strategi Perlindungan Tanaman Tepi Jalan untuk Penyelamatan Lingkungan
Menyeluruh, Sosialisasi Kebijakan Lingkungan Hidup Tahun 2007. DKLH Kota
Batu.
Prihanta,Wahyu.
2006. Rehabilitasi Lingkungan Integratif dan Kontinu, Seminar Regional,
Pusal Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang, Mei
2007.Malang.
Sinar
Harapan, 4 Mei 2007, Kerusakan Hutan Indonesia Tak Sedahsat
Periode19972000,http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/04/sh02.html.
Soerjani, Arief Yuwono, dan Dedi Fardiaz, 2007, Lingkungan Hidup,
Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kelangsungan Pembangunan, Jakarta,
Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.
Van Stenis CGGJ, 1987, Flora Edisi 4, Pradnya Paramita, Jakarta
Yasuhiro. Prof. Dr. 2007. Which is First Coming Us, Ice Age
or Global Warming. Makalah disampaikan seminar Parallel Events
Cop-13/CMP-3UNFCCC oleh Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkngan Indonesia, 5 -6
Desember 2007. Denpasar Bali.
No comments:
Post a Comment