I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan
tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, faktor internal yang mengitegrasikan
berbagai sel, jaringan dan organ menjadi satu kesatuan struktural dan
fungsional serta faktor lingkungan (Loveless, 1991). Faktor genetik tanaman
meliputi umur tanaman, kondisi hormon dan kemampuan adaptasi terhadap
lingkungan, sedangkan faktor lingkungan meliputi cahaya matahari, suhu dan
kelembaban, ketersediaan unsur hara dan air serta kompetisi antar tanaman
(Crowder, 1986; Loveless, 1991). Selain itu, sistem budidaya suatu tanaman yang
tepat melalui pemilihan varietas dan pengolahan lingkungan tumbuh melalui
perbaikan cara bercocok tanam seperti pengolahan tanah, pemupukan, pengairan
dan sebagainya merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendapatkan
pertumbuhan dan produktivitas tanaman secara optimal.
Faktor yang sangat menentukan
keberhasilan tumbuh tanaman adalah kondisi tanah atau lahan yang digunakan.
Semakin baik kondisi tanah atau subur, maka pertumbuhan tanaman akan meningkat.
Salah satu masalah yang banyak ditemukan pada lahan-lahan pertanian adalah
salinitas tanah. Dalam hubungannya dengan salinitas, tanah dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis tanah (Buckman and Brady, 1982). Pertama, adalah tanah salin
yaitu tanah yang mengandung konsentrasi garam terlarut netral yang jumlahnya
cukup besar bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sekitar 15% kemampuan
pertukaran kation tanah ini diduduki oleh ion natrium dan pH biasanya kurang
dari 8,5. Hal ini disebabkan oleh garam terlarut kebanyakan bereaksi netral dan
hanya sebagian kecil natrium yang dapat tertukar. Tanah semacam ini kadang-kadang
disebut tanah alkali putih, karena terdapat kerak di permukaan yang berwarna
muda/cerah.
Kedua adalah tanah salin-sodik
yaitu kelompok tanah yang mengandung cukup banyak garam netral terlarut dan ion
natrium teradsorpsi yang sangat merugikan tanaman. Kemampuan pertukaran kation
natrium lebih dari 15% dengan pHnya kurang dari 8,5. lectric conductivity (EC)
pada tanah ini lebih dari 4 mmhos/cm. Perbedaan dengan tanah salin adalah
pelindian akan menaikkan pH tanah salin-sodik dengan nyata. Kenaikan pH ini
tidak akan terjadi apabila garam-garam yang terdapat didalam tanah salin-sodik
adalah garam Ca dan Mg. Hal ini sangat merugikan karena ion natrium menjadi
aktif dan dapat mendispersi koloida mineral yang membentuk struktur tanah yang
kuat dan kedap. Dengan demikian dapat terjdi keracunan natrium yang nyata.
Tanah sodik dalah tanah yang
mengandung banyak garam terlarut netral. Pengaruh merusak pada tanaman sebagian
besar disebabkan oleh keracunan ion Na dan ion OH. Natrium yang dapat tertukar
lebih dari 15% dari kemampuan pertukaran total tanah ini, bebas untuk
dihidrolisa. EC pada tanah ini lebih kecil dari 4 mmhos/cm dengan pH lebih dari
8,5 bahakan sampai 10. Kebasaan tanah ini sangat tingi disebabkan oleh
kandungan Na2CO3 pada permukaan tanah yang dapat
menimbulkan perubahan warna tanah menjadi gelap, sehingga sering disebut alkali
hitam. Tanah semacam ini sering terdapat di daerah sempit yang licin (slick-spots)
yang dikelilingi oleh tanah-tanah produktif.
II. SALINITAS TANAH DAN
PERMASALAHANNYA
A. Permasalahan Salinitas Tanah
Masalah salinitas tanah merupakan
masalah umum dalam bidang pertanian di seluruh dunia, yang dapat menyebabkan
penurunan produktivitas dan hasil panen terutama di daerah kering (arid-semi
arid). Jutaan hektar tanah menjadi tidak produktif karena adanya penimbunan
garam dalam tanah dimana pada daerah-daerah tersebut tumbuhan akan menghadapi
dua masalah. Pertama dalam memperoleh air dari tanah dan kedua dalam mengatasi
konsentrasi ion-ion natrium, karbonat dan klorida yang tinggi yang kemungkinan
beracun (Salisbury and Ross, 1995). Dalam skala yang lebih luas, masalah
salinitas akan menimbulkan dampak pada lingkungan,
sosial dan ekonomi, yang akan dirasakan oleh masyarakat setempat atau bahkan
masyarakat yang lebih luas. Secara umum pengaruh salinitas akan berdampak pada
bidang pertanian, penurunan kualitas air, kerusakan infrastruktur masyarakat di
desa dan perkotaan serta berkurangnya keanekaragaman sumberdaya hayati.
Tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi
akan banyak yang mati bahkan dapat terancam kepunahan.
Dalam bidang
pertanian banyak dilaporkan bahwa peningkatan salinitas menyebabkan penurunan
produksi dan produktifitas tanaman pertanian. Menurut Brinkman and Singh (1982)
dalam Sembiring dan Gani (2006) melaporkan bahwa dengan peningkatan
salinitas tanah menjadi 6-10 ds/m menyebabkan penurunan hasil gabah sampai 50%.
Secara umum salinitas menyebabkan terbatasnya pertumbuhan dan produktivitas
tanaman (Ghazi and Al Karaki, 2006 dalam Sharifi et al, 2007).
Dilaporkan pula bahwa sekitar 10-35% tanah pertanian di dunia mengalami
penurunan kualitas akibat salinitas dan menjadi tidak bisa dimanfaatkan untuk
penanaman tanaman pertanian (http://www.liv.ac.uk/~sd21/stress /salt.htm).
Salinitas yang tinggi
akan meningkatkan konsentrasi garam dalam air sungai dan mengurangi kualitas
air tanah. Hal tersebut akan berdampak negatif bagi manusia, ternak dan air
irigasi untuk pertanian. Selain diperlukan biaya yang tinggi untuk pengolahan
air, juga dapat menyebabkan berkaratnya pipa-pipa air dan berbagai mesin serta
peralatan rumah tangga. Dampak kerusakan dirasakan pula pada infastruktur
lainnya seperti bangunan rumah, pagar, jalan, pipa bawah tanah, kabel dan
lain-lain yang pada akhirnya dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia.
B. Pendugaan dan Pengukuran Salinitas Tanah
Tingkat salinitas tanah
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, bahkan dan satu lokasi pun
bisa bervariasi. Perbedaan tingkat salinitas tanah dapat disebabkan oleh
tingkat penutupan vegetasi, pengaruh penggenangan air laut, bencana alam
tsunami, tingginya kandungan garam di dalam tanah, pengairan/irigasi dengan air
yang mengandung garam-garaman tinggi dan faktor iklim (terutama curah hujan).
Untuk mengatasi dampak buruk yang bisa ditimbulkan akibat salinitas tanah pada
suatu lokasi maka perlu dilakukan pendugaan dan pengukuran salinitas tanah.
Dengan usaha ini, maka dapat ditempuh langkah-langkah pengelolaan tanah yang
tepat dan mengurangi kerugian ekonomi.
Pengukuran salinitas tanah dapat
dilakukan dengan cara pengambilan sampel tanah untuk diekstrak dan dianalisis
di laboratorium dengan cara mengukur daya hantar listriknya (electric
conductivity/EC). Cara kedua adalah dengan pengukuran langsung di lapangan
menggunakan alat induksi elektromagenetik (EM38). Alat tersebut diletakkan pada
tanah dengan posisi tegak untuk mendeteksi salinitas pada kedalaman lebih dari
45 cm dan diletakkan dengan posisi tidur untuk mendeteksi salinitas pada
kedalaman kurang dari 45 cm. Hasil pengukuran ini dipakai untuk menaksir
tingkat salinitas di daerah tersebut (Slavish dkk, 2006). Hubungan tingkat
salinitas dan pengaruhnya terhadap tanaman disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Pengaruh tingkat salinitas pada tanaman (Follet et al, 1981 dalam
Sipayung,2003)
No
|
Tingkat salinitas
|
Konduktivitas (mmhos)
|
Pengaruh terhadap tanaman
|
1
|
Non salin
|
0 – 2
|
Dapat diabaikan
|
2
|
Rendah
|
2 – 4
|
Tanaman yaang peka terganggu
|
3
|
Sedang
|
4 – 8
|
Kebanyakan tanaman terganggu
|
4
|
Tinggi
|
8 – 16
|
Tanaman yang toleran belum
terganggu
|
5
|
Sangat tinggi
|
> 16
|
Hanya beberapa jenis tanaman
toleran yang dapat tumbuh
|
Pada tanaman pertanian umumnya
memiliki toleransi terhadap salinitas sampai 3 ds/m, padahal di lapangan
seringkali terjadi peningkatan salinitas 4-8 ds/m sehingga kebanyakan tanaman
dapat mengalami stress garam (Shofiyanti dan Wahyunto, 2006). Sebagai langkah
awal maka gejala-gejala pertumbuhan tanaman yang ditanam pada lokasi tersebut,
dapat dijadikan dasar untuk menduga tingkat salinitasnya. Menurut Waskom (2003)
gejala-gejala yang ditunjukkan tanaman merupakan akibat dari kondisi tanah pada
lahan tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pendugaan tingginya
derajat keasaman (pH), salinitas atau sodisitas di lapangan
No
|
Permasalahan
|
Gejala potensial
|
1
|
Tingginya pH
|
Terjadi kekurangan unsur-unsur hara yang dicirikan dengan tanaman tumbuh
kerdil dan menguning atau hijau tua sampai keungu-unguan
|
2
|
Tanah salin
|
Terdapat kerak berwarna putih di permukaan tanah
Tanaman mengalami cekaman air (water stress)
Bagian ujung daun seperti terbakar
|
3
|
Pengairan dengan air yang berkadar garam tinggi
|
Daun-daun tanaman seperti terbakar
Pertumbuhan sangat lambat
Tanaman mengalami cekaman kelembaban (moisture stress)
|
4
|
Tanah sodik
|
Darainase tidak baik, banyak mengandung kerak
Kemampuan infiltrasi air rendah
Terdapat residu berbentuk tepung yang berwarna gelap pada permukaan tanah
Tanaman kerdil dan bagian tepi daun terbakar
|
5
|
Tanah salin-sodik
|
Umumnya menunjukkan gejala yang sama dengan tanah salin
|
Sumber : Waskom (2003)
C. Pengendalian Salinitas Tanah
Untuk mendapatkan pertumbuhan
tanaman yang baik, maka salinitas tanah merupakan masalah yang harus diatasi
secara serius. Menurut Buckman dan Brady (1982) cara untuk mengusahakan tanah
yang salin dan sodik agar tidak merugikan tanaman atau mengurangi pengaruh yang
bisa ditimbulkannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Menghilangkan (eradication)
Eradikasi yaitu usaha yang
dilakukan untuk menghilangkan kandungan garam atau mengurangi jumlah garam yang
ada pada tanah dengan cara-cara seperti; (1) penerapan drainase bawah, (2)
pelindian atau pembasahan dan (3) pengerukan garam pada daerah permukaan tanah.
Biasanya kombinasi cara nomor satu dan dua memberikan hasil yang memuaskan
yaitu setelah dipasang pipa penyalur kemudian dilakukan penggenangan. Kalau
cara ini dilakukan di daearh irigasi maka pemberian air harus dilakukan secara
berulang-ulang sehingga garam-garam menjadi terlarut dan mengalir melalui
saluran penyalur. Air yang digunakan harus air yang relatif bebas dari debu dan
garam, terutama yang mengandung natrium.
- Pengubahan (convertion)
Konversi gipsum (CaSO4)
pada tanah-tanah alkali sering dianjurkan untuk mengubah sebagian alkali
karbonat menjadi sulfat. Pemberian gipsum dilakukan pada kondisi tanah yang
lembab dengan cara disebarkan didalam tanah dan tidak dibenamkan. Selanjutnya
dilakukan pelindian tanah dengan air irigasi untuk membebaskannya dari natrium
sulfat. Gipsum bereaksi dengan baik terhadap Na2CO3
maupun dengan natrium teradsorpsi sebagai berikut :
Na2CO3
+ CaSO4 ===== CaCO3 + Na2SO4
+ CaSO4 ===== CaCO3 + Na2SO4
dapat terlindi
Na
+ CaSO4 =====
Ca + Na2SO4
Na
dapat terlindi
Pemakaian sulfur pada tanah
bergaram, terutama pada tanah yang banyak mengandung natrium karbonat. Okidasi
sulfur mengasilkan asam sulfat, tidak saja akan mengubah natrium karbonat menjadi
natrium sulfat, tetapi juga cenderung menurunkan kebasaannya. Reaksi antara
asam sulfat dengan senyawa yang mengandung natrium adalah sebagai berikut :
Na2CO3
+ H2SO4 ===== CO2 + Na2SO4 + H2O
+ H2SO4 ===== CO2 + Na2SO4 + H2O
dapat
terlindi
Na
H
+ H2SO4
===== + + Na2SO4
Na
H dapat terlindi
- Pengendalian (control)
Pengendalian proses
penguapan/evapotranspirasi merupakan usaha yanag penting dalam pengendalian
tanah bergaram. Hal ini tidak hanya menghemat air juga menghambat naiknya garam
larut ke zona perakaran. Pengaturan waktu irigasi juga sangat penting terutama
pada saat musim tanam atau musim semi karena tanaman muda sangat peka terhadap
garam, penanaman segera diikuti dengan irigasi untuk mengangkut garam-garam
kedalam tanah. Umumnya sesudah tanaman menjadi besar maka sifat toleransinya
terhadap garam bertambah.
- Penggunaan jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap garam
Lewis (1976) menjelaskan bahwa
kemampuan tanaman dalam mengkonversi sumber daya tanah, air dan udara menjadi
produk yang berguna bagi manusia tergantung pada interaksi genotipe dan
lingkungan. Oleh karena itu dalam menghadapi kondisi cekaman lingkungan perlu
dikembangkan tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi secara
genetik. Banyak jenis tanaman yang telah menunjukkan toleransi terhadap
salinitas tanah yang bisa diaplikasikan di lahan-lahan yang yang berkadar garam
tinggi. Sifat toleransi tanaman terhadap salinitas menjadi tiga kelompok yaitu;
(1) toleransi rendah seperti apel, lemon, peach, pear, plum, (2)
toleransi sedang misalnya bougenvile, kembang sepatu, krisant, alfalfa,
gandum, anggur, tomat, wortel, jagung manis, kol, brokoli, mentimun dan (3)
toleransi tinggi seperti kapas, salt grass, sugar beets, kurma,
asparagus, bayam dan lain-lain (Buckman and Brady, 1982; FAO, 2005)
- Pemupukan dengan bahan organik, penggunaan mikorisa dan amelioran
biologi.
Pemberian bahan organik (humus)
yang mengandung asam humik berperan untuk menekan penyerapan Na+ oleh
perakaran tanaman (Mac Carthy et al, 1990 dalam Delvian, 2007).
Pemberian asam humik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inang dan produksi
spora mikorisa pada beberapa tingkatan salinitas tanah. Dengan demikian dapat
terbentuk simbosis yang mutualistik bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
maupun cendawan mikorisa (Delvian, 2007; Sharifi et al, 2007).
Penggunaan bahan amelioran bilogi juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman
pada kondisi salinitas tanah yang tinggi karena dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air (water use eficiency), merangsang pertumbuhan akar dengan
memproduksi fitohormon atau mengurangi konsentrasi ethylene pada tanaman
(Yildrim et al, 2006).
III. RESPON TANAMAN TERHADAP
SALINITAS TANAH
A. Pengaruh Salinitas Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Kadar garam yang tinggi pada
tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan, produktivitas tanaman dan
fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara normal, terutama pada jenis-jenis
tanaman pertanian. Salinitas tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan
efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein, serta
penambahan biomass tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak
menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi dalam bentuk
pertumbuhan tanaman yang tertekan dan perubahan secara perlahan (Sipayung,
2003). Dalam FAO (2005) dijelaskan bahwa garam-garaman mempengaruhi pertumbuhan
tanaman umumnya melalui : (a) keracunan yang disebabkan penyerapan unsur
penyusun garam yang berlebihan, (b) penurunan penyerapan air dan (c) penurunan
dalam penyerapan unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman.
Pengaruh salinitas tanah
tergantung pada tingkatan pertumbuhan tanaman, biasanya pada tingkatan bibit
sangat peka terhadap salinitas. Waskom (2003) menjelaskan bahwa salinitas tanah
dapat menghambat perkecambahan benih, pertumbuhan yang tidak teratur pada
tanaman pertanian seperti kacang-kacangan dan bawang. Viegas et a l,.
(2003) dalam Da Silva et al, (2008) melaporkan bahwa pertumbuhan
tunas pada semai Leucaena leucocephala mengalami penurunan sebesar 60%
dengan adanya penambahan salinitas pada media sekitar 100 mM NaCl. Adanya kadar
garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan penurunan jumlah daun,
pertumbuhan tinggi tanaman dan rasio pertumbuhan panjang sel. Demikian pula
dengan proses fotosintesis akan terganggu karena terjadi akumulasi garam pada
jaringan mesophil dan meningkatnya konsentrasi CO2 antar sel (interseluler)
yang dapat mengurangi pembukaan stomata (Robinson, 1999 dalam Da Silva et
al, 2008). Pada tanaman semusim antara lain meningkatnya tanaman mati dan
produksi hasil panen rendah serta banyaknya polong kacang tanah dan gabah yang
hampa (Anonim, 2007).
Proses pengangkutan unsur-unsur
hara tanaman dari dalam tanah akan terganggu dengan naiknya salinitas tanah.
Manurut Salisbury and Ross (1995) bahwa masalah potensial lainnya bagi tanaman
pada daerah tersebut adalah dalam memperoleh K+ yang cukup. Masalah
ini terjadi karena ion natrium bersaing dalam pengambilan ion K+.
Tingginya penyerapan Na+ akan menghambat penyerapan K+.
Menurut Grattan and Grieve (1999) dalam Yildirim et al (2006),
salinitas yang tinggi akan mengurangi ketersedian K+ dan Ca++
dalam larutan tanah dan menghambat proses transportasi dan mobilitas kedua
unsur hara tersebut ke daerah pertumbuhan tanaman (growth region)
sehingga akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik organ vegetatif maupun
reproduktif. Salinitas tanah yang tinggi ditunjukkan dengan kandungan ion Na+
dan Cl- tinggi akan meracuni tanaman dan meningkatkan pH tanah yang
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan unsur-unsur hara mikro (FAO, 2005).
Demikian pula dengan hasil penelitian Yousfi et al (2007) bahwa
salinitas menyebabkan penurunan secara drastis terhadap konsentrasi ion Fe di
daun maupun akar pada tanaman gandum (barley). Penurunan tersebut
disebabkan karena berkurangnya penyerapan Fe pada kondisi salinitas tinggi.
B. Mekanisme Toleransi Tanaman
Untuk mempertahankan
kehidupannya, jenis-jenis tanaman tertentu memiliki mekanisme toleransi tanaman
sebagai respon terhadap salinitas tanah. Jenis-jenis tanaman memiliki toleransi
yang berbeda-beda terhadap salinitas. Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat,
bit gula, beras belanda lebih toleran terhadap garam dibandingkan tanaman
lainnya (Salisbury and Ross, 1995). Secara garis besar respon tanaman terhadap
salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme
morfologi dan mekanisme fisiologi (Sipayung, 2003).
- Mekanisme morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan
anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat ditemukan pada jenis
halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan huta pantai
dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki
keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat
mempertahankan turgor dan seluruh proses bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas
yang normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun yang lebih kecil, stomata
yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan
kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikasi akar yang
lebih awal (Haryadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).
Ukuran daun yang lebih kecil
sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan lignifikasi akar
diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk untuk memelihara
turgor yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme yang
normal. Dengan adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin
akan menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada
lingkungan salin umumnya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan
daun (pucuk) atau buah. Hal ini diduga karena akibat perbaikan keseimbangan
dengan mempertahankan kemampuan menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat
juga merupakan mekanisme untuk mengencerkan garam. Dalam hal ini bila garam
dikeluarkan oleh akar, maka bahan organik yang tidak mempunyai efek racun akan
tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan
osmotik dengan larutan tanah (Salisbury dan Ross, 1995).
- Mekanisme Fisiologi
Bentuk adaptasi dengan mekanisme
fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk sebagai berikut :
- Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)
Tanaman yang
toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan menurunkan
potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Untuk memperoleh air dari tanah sekitarnya
potensial air dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Pada
beberapa halofita mampu menjaga potensial osmotik terus menjadi lebih negatif
selama musim pertumbuhan sejalan dengan penyerapan garam. Pada halofita lainnya
memiliki kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+ dan Cl-)
pada kondisi cekaman salinitas, misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan
100% garam (Ball, 1988 dalam Salisbury and Ross, 1995).
Osmoregulasi
pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solute organik yang
cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot
molekul rendah yang setara dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti
asam-asam organik, asam amino dan senyawa gula disintesis sebagai respon
langsung terhahadp menurunnya potensial air eksternal yang redah. Senyawa
organik yang berperan mengatur osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi
adalah asam-asam organik dan senyawa-senyawa gula. Asam malat paling sering
menyeimbangkan pengambilan kation yang berlebihan. Dalam tanaman halofita,
oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan osmotik akibat kelebihan
kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya, akumulasi sukrosa yang
berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap salinitas
(Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003)
- Kompartementasi dan sekresi garam
Tanaman
halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan
mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan
kompartementasi. Garam disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam
organel-organel atau dieksresi ke luar tanaman. Pengeluaran garam pada
permukaan daun akan membantu mempertahankan konsentrasi garam yang konstan
dalam jaringan tanaman (Salisbury and Ross, 1995). Ada pula tanaman halofita
yang mampu mengeluarkan garam dari kelenjar garam pada permukaan daun dan
menyerap air secara higroskopis dari atmosfir (Mooney at al, 1980 dalam
Salisbury and Ross, 1995).
Banyak halofita
dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut glandula garam
(salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya
tanaman menyerap air dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau
mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus pohon mangrove
yang dapat mensekresikan garam memiliki kelenjar garam di daun yang
memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl-.
Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan garam adalah Aegiceras,
Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan Laguncularia.
- Integritas membran
Sistem membran
semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-kompartemen adalah
struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel. Lapisan
terluar membran sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen
metaboliknya dari larutan tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran
semi permeabel ini berfungsi menghalangi difusi bebas garam ke dalam sel
tanaman, dan memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan aktif atas
unsur-unsur hara essensial. Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute
lainnya dari sitoplasma dan vakuola atau organel-organel sel lainnya termasuk
mitokondria dan kloroplas. Plasmolemma yang berhadapan langsung dengan tanah
merupakan membran yang pertama kali menderita akibat pengaruh salinitas. Dengan
demikian maka ketahanan relatif membran ini menjadi unsur penting lainnya dalam
toleransi terhadap garam (Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).
IV. PENUTUP
Salinitas tanah merupakan masalah
bagi pertumbuhan tanaman, karena dengan meningkatnya salinitas tanah kandungan
garam-garam terlarut dalam tanaman meningkat sehingga menimbulkan stress
salinitas. Tingkat stress yang dialami oleh tanaman berbeda-beda menurut
kemampuan toleransi jenis tanaman tersebut. Demikian pula dengan tingkat
kerusakan yang bisa timbul sangat tergantung pada tingkatan salinitas, jenis
tanaman dan tingkatan pertumbuhannya. Umumnya pengaruh yang ditimbulkan oleh
peningkatan salinitas tanah tidak berbentuk kerusakan secara langsung, akan
tetapi lebih tampak pada terhambatnya pertumbuhan tanaman dan penurunan
produktivitas tanaman, walaupun pada tingkat salinitas yang lebih parah dapat
menyebabkan kematian tanaman.
Oleh karena itu perlu dilakukan
usaha untuk mengatasi permasalahan salinitas tersebut, yang dimulai dari
pengamatan dan pengukuran salinitas, penerapan strategi penurunan salinitas
tanah dengan sistem pengairan dan pengolahan lahan yang tepat serta pemilihan
jenis-jenis adaptif terhadap salinitas. Penggunaan jenis-jenis adaptif terhadap
salinitas penting dilakukan karena jenis tersebut memiliki mekanisme toleransi
terhadap salinitas baik secara morfologi maupun fisiologis yang mampu
mempertahankan hidupnya terhadap cekaman salinitas. Penelitian genetika mungkin
diperlukan untuk mendapatkan varietas-varietas yang tahan terhadap salinitas
untuk meningkatkan produksi khususnya pada jenis-jenis tanaman pangan
(pertanian).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007.
Pertanian di Aceh Pasca Tsunami. http://www.dpi.nsw.gov.au/data/assets /pdf diakses tanggal 17 Mei 2008
Buckman, H.O.
and N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bhratara Karya Aksara.
Jakarta.
Crowder, L.,V.
1986. Genetika Tumbuhan. Terjemahan Lilik Kusdiarti. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Da Silva, E.C.,
R.J.M.C. Nogueira, F.P. de Araujo, N.F. de Melo and A.D. de Ajevedo Neto. 2008.
Physiological Respon to Salt Stress in Young Umbu Plants. Journal Environmental
and Experimental Botany. Elsevier. http:.//www.sciencedirect
.com diakses tanggal 6 Mei 2008.
Delvian. 2007.
Penggunaan Asam Humik dan Kultur Trapping Cendawan Mikorisa Arbuskula dari
Ekosistem Dengan Salinitas Tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 9
No. 2, 2007, hal. 124-129. http://www.bdpunib.org/jipi
/artikeljipi/2007/124.PDF diakses tanggal 9 Mei 2008.
Food and
Agricultural Organization (FAO) of United Nations. 2005. Panduang Lapang FAO.
20 hal untuk diketahui tentang dampak air laut pada lahan pertanian di Propinsi
NAD.
http://www.liv.ac.uk/~sd21/stress/salt.htm. Effects of Abiotic Stress on Plants. Diakses tanggal 19 Mei 2008.
Lewis, C.F.
1976. Potensi Genetik untuk Mengatasi Problema Cekaman Mineral Tanah.
Diterjemahkan oleh W.B. Suwarno. http://willy.situshijau.co.id/wp-content/ uploads/2008/05/cekaman-mineral-tanah.pdf. Di akses tanggal 17 Mei 2008.
Loveless, A.R.
1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Gramedia. Jakarta.
Salisbury, F.B.
and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung.
Sharifi, M., M.
Ghorbanli and H. Ebrahimzadeh. 2007. Improved Growth of Salinity Stressedd
Soybean after Inoculation with Salt Pre-treated Mycorrhizal Fungi. Journal of
Plant Physiology. Elsevier. http:.//www.sciencedirect.com
diakses tanggal 6 Februari 2008.
Sembiring, H.
dan A. Gani. 2006. Adaptasi Varietas Padi Pada Tanah Terkena Tsunami. http://www.dpi.nsw.gov.au/data/assets/pdf_file/0009/199449/Adaptability-of-rice-on-tsunami-affected-soil.pdf
diakses tanggal 17 Mei 2008.
diakses tanggal 17 Mei 2008.
Shofiyanti, R.
dan Wahyunto. 2006. Inderaja untuk Indetifikasi Kerusakan Lahan Akibat Tsunami
dan Rehabilitasinya. Warta Pertanian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28 No. 23,
2006. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor.
Sipayung, R.
2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman. Http://www.library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. diakses pada tanggal 25 Maret 2008.
Slavish, P., M.
Mcleod, N. Moore, T. Iskandar dan A. Rachman. 2006. Pengkajian Salinitas Tanah
Secara Cepat di Daerah yang Terkena Dampak Tsunami Pengalaman di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Yildrim, E.,
A.G. Taylor and T.D. Spittler. 2006. Ameliorative Effects of Biological
Treatments on Growth of Squash Plant Under Salt Stress. Scientia Horticulturae
111 (2006) 1-6. Elsevier. http://www.sciencedirect.com diakses
tanggal 6 Mei 2008.
Yousfi, S.,
M.S. Wissal, H. Mahmoudi, C. Abdelly and M. Gharsally. 2007. Effect of Salt on
Physiological Responses of Barley to Iron Deficiency. Journal of Plant
Physiology and Biochemistry. Elsevier. http://www.sciencedirect.com diakses tanggal 13 Maret 2008.
Waskom, R.
2003. Diagnosing Salinity Problems. Adapted by K.E. Pearson. http://waterquality.montana.edu/docs/methane/waskomsummary.pdf. diakses pada tanggal 17 Mei 2008.
No comments:
Post a Comment