Kapan
sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian
tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh
suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan
penyelidikan atas beberapa sumber sementara , terutama yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti
Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer,
H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai
baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini
adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297.
Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam
seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak
tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan Berkembangnya
Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10
s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia
(diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad
Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula
melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang
lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan
diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan
dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil
Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh
,mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak
abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan sebagai pendiri
serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang
memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian
dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang
dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai Timur Laut
Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di
kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P. Rouffaer, salah
seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini menyatakan bahwa
Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudera
berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan Pasai ini menjadi
satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai
kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang
ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini
pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber
Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara
Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan
tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens,
kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat
sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M,
saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman
di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel
Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul
Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada
keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini
menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal
di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan
musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat
fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang
beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia
yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh,
dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan
Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang
populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam
laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat Raja-raja
Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur
Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu keterangan
yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya
akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu
lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut
besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu dimakannya.
Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang
sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka
Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala
rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya
semut yang amat besar.
Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat
Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai
itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga.
Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.
Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis tersebut,
maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal
dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik
untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme
dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudera
Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini
sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya.
Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja
Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik As Salih.
Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia
mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan
tahun 1297 M.Tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat
pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan
sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala
lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di
Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri
di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami
suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri
masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan
didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala
wali Allah djadi dalam negeri itu”.
Dan tentang pengislaman serta penggantian nama Raja Merah Silu dengan nama yang
baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada
seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja
dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua
kalimah Sjahadat”.
Maka sahut Merah Silu “Tiada hamba tahu mengutjap akan dia”.
Maka Udjarnya: “Bukakan mulutmu”. Maka dibukanja mulut Merah Silu, maka
diludahinja mulut merah silu itu rasanya lemak manis. Maka udjarnja akan merah
silu “Hai Merah Silu engkaulah Sultan Malikul’-Saleh namamu sekarang Islamlah
engkau dengan mengutjap dua kalimah itu…”
Hikayat itu juga menyebutkan bahwa orang yang menyebarkan/mengislamkan Sultan
Samudera Pasai itu adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Rasul Allah
Salla’llahu’alaihi wasallam, yaitu seorang Syarif berasal dari Mekah yang
bernama Syarif Syaih Ismail .
Selain menurut hikayat tersebut, tradisi setempat juga menyebutkan bahwa raja
pertama yang memeluk agama Islam di wilayah itu adalah Sultan Malik Al Salih.
Tetapi menurut catatan atau suatu sumber yang dimiliki oleh M. Junus Jamil,
menyebutkan bahwa pada awal bulan Zulkaidah 610 Hijrah (1213 M), telah
meninggal di kerajaan itu (Samudera Pasai) seorang Wazir Sultan Al Kamil yang
bernama Maulana Quthubulma’ali Abdurrahman Al Pasi. Kalau sumber ini benar maka
keterangan tersebut bermakna bahwa jauh sebelum Malik As Salih sudah terdapat
sultan yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Seperti telah disebutkan bahwa
raja Samudera Pasai yang pertama berdasarkan sumber sejarah yang konkrit ialah
Malik As Salih yang meninggal tahun 1297. Kalau dalam tahun 1297, kita kenal
sebagai tahun kematian raja itu, tentunya masyarakat Islam di kerajaan itu
telah terdapat jauh sebelumnya. Karena pertumbuhan sesuatu biasanya menghendaki
suatu proses, suatu tempo yang lama. Demikian juga dari keterangan yang
diberikan Hikayat Raja-raja PasaiI seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa
Nabi Muhammad telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan juga agar penduduk
kerajaan itu diislamkan oleh salah seorang sahabat beliau, maka bukan tidak
mungkin Islam sudah masuk ke kerajaan itu tidak lama sesudah Nabi Muhammad
wafat. Jadi pada sekitar abad pertama Hijrah atau bertepatan dengan abad
ketujuh/kedelapan tahun Masehi. Dan dapat pula diperkirakan bahwa Islam yang
masuk itu langsung datang dari Mekah.
Bukanlah maksud penulis di sini untuk membuat suatu uraian panjang lebar
tentang masalah proses masuknya Islam ke Kerajaan Samudera Pasai. Sebagaimana
telah penulis singgung pada awal tulisan ini, adalah masih sangat sukar untuk
merekonstruksikan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia pada periode
sebelum tahun 1500, oleh karena bukti sejarah tentang hal itu masih belum
memadai. Di sini penulis hanya mencoba merangkaikan suatu gambaran sejarah
berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada tentang kerajaan itu. Maka untuk
mendapat suatu gambaran historis dari perkembangan Kerajaan Islam Samudera
Pasai, berikut ini akan ditinjau beberapa aspek, terutama tentang sistem sosio
kulturil yang penulis perkirakan berlaku di kerajan itu.
Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam
dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya
memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai atau
kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang termasuk dalam
struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan Islam
Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan,
terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau
Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima
Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris
Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang
Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota
pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar
ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam Samudera Pasai
dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut yang cukup besar
menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di
wilayah kekuasaannya. Dan karena sebagai kerajaan maritim, kerajaan ini sedikit
sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan berada sekitar sebelah
–menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja, dimana terdapat sejumlah
kampung-kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan unit daripada bentuk
masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu itu. Dan selain itu
meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga pemerintahan terkecil pula dari
Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu.
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota pantai yang berada
di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai merupakan sendi-sendi kerajaan yang
memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar selain
upeti-upeti yang dipersembahkan oleh kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya.
Perdagangan yang menjadi basis hubungan-hubungan yang tetap dengan
kerajaan-kerajaan luar seperti dengan Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah
menjadikan Kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang
sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke
XIV dan XV. Karena kebesarannya itu, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai telah
pula dapat mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di
Nusantara pada waktu itu.
Diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, Jawa dan beberapa
kerajaan pantai di sekitarnya. Pada abad ke XIV Kerajaan Islam Samudera Pasai
menjadi pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari
berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keduniawian dan
keagamaan. Berdasarkan berita dari Ibn.Batutah, seorang pengembara asal Maroko
yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345/6, kerajaan ini berada pada
puncak kejayaannya. Ibn-Batutah berada dikerajaan ini selama dua minggu dan
telah melihat banyak tempat ini(kraton Samudera Pasai), mempunyai benteng di
sekelilingnya. Dia telah diterima oleh wakil laksamana di Balairung dan telah
diberi persalinan menurut adat setempat. Pada hari ketiga di sana Ibn Batutah
mendapat kesempatan untuk menghadap sultan yang memerintah pada ketika itu
yaitu Sultan Malikul Zahir yang dianggapnya sebagai sultan yang termasyur dan
peramah. Selama di Samudera Pasai Ibn Batutah telah berjumpa dengan tiga orang
ulama terkenal, yang masing-masing bernama Amir Dawlasa berasal dari Delhi
(India), Kadi Amir Said berasal dari Shiraz dan Tajuddin berasal dari Ispahan.
Dan disebutkan bahwa sultan Samudera Pasai sangat suka berdiskusi
masalah-masalah agama dengan ulama-ulama itu.
Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan para ulama
seperti tersebut di atas dan sesuai dengan yang telah diutarakan oleh
Prof.A.Hasjmy, bahwa banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai disiplin
pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari Daulah
Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai, maka dapat dipastikan
bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya seirama
dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan daulah Abbasiyah. Dan menurut
catatan Ibn Batutah, diantara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera Pasai yang
ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jum’at yaitu Al Wuzara (para
menteri) dan Ak Kuttab (para sekretaris) dan para pembesar lainnya . Selain itu
menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera
Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan
jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas,
Prof.A.Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam
Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan
Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Untuk lebih mempererat hubungan antar kerajaan-kerajaan yang berada di bawah
pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula lewat jalan perkawinan. Dapat disebutkan
di sini misalnya, perkawinan antara putri-putri dari Kerajaan Perlak dengan
sulthan-sulthan Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu juga Raja Malaka yang
pertama Parameswara setelah memeluk agama Islam telah mempersunting puteri
Kerajaan Pasai sebagai isterinya. Dan dengan adanya perkawinan ini telah
meningkatkan pula hubungan perdagangan antara Malaka dengan Kerajaan Samudera
Pasai. Juga pada masa kejayaan kerajaan ini seorang ulama Pasai yang bernama
Fatahillah, telah melakukan dakwah Islam sampai ke Pulau Jawa. Dan setelah
mengislamkan Banten serta memperisteri putri dari kerajaan tersebut, kemudian
mendirikan suatu kesultanan di sana.
Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut deureuham, yang berhasil
diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan dari kerajaan itu,
menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur pada kurun waktu
seperti tersebut di atas. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan mata
uang emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur
menurut ukuran masa itu. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah
diperkenalkan pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan
di Nusantara pada waktu itu, diantaranya ke bandar Malaka.
Atas dasar mata uang emas yang pernah diketemukan itu, dapat diketahui pula
beberapa nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Islam Samudera
Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian yang mendasarkan atas mata uang emas tersebut,
urutan-urutan raja yang memerintah di kerajaan tersebut adalah sebagai berikut:
sebagai sulthan yang pertama adalah sulthan Malik As Salih yang memerintah pada
tahun 1297. Sulthan ini diganti oleh puteranya yang bernama Sulthan Muhammad
Malik Az Zahir (1297-1326); sebagai sulthan yang ketiga yaitu sulthan Mahmud
Malik Az-Zahir (1326 ± 1345); sulthan yang keempat adalah Mansur Malik Az-Zahir
(?- 1346); sulthan yang kelima adalah Sulthan Ahmad Malik Az-Zahir yang
memerintah (ca. 1346-1383); sebagai sulthan yang keenam yaitu Sulthan Zain
Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405); sulthan yang ketujuh
yaitu Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412); sebagai sulthan yang
kedelapan yaitu Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?); sulthan yang
kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455); sebagai sulthan yang
kesepuluh yaitu Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477); sulthan
yang kesebelas yaitu Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500); sebagai
sulthan yang sebagai kedua belas yaitu Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah
(ca.1501-1513); dan sebagai sulthan yang terakhir dari Kerajaan Islam samudera
Pasai adalah Sulthan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524.
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah pengaruh
kesultanan Aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.
(Baca:
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh-Badan Perpustakaan Prov. NAD)
No comments:
Post a Comment