Pendahuluan
Pengobatan osteoporosis hingga saat ini masih jauh
dari memuaskan. Pada umumnya baik para dokter yang mengobati maupun pasien
osteoporosis sendiri masih banyak merasakan ketidakpastian apakah intervensi
pengobatan yang diberikan akan dapat cukup meningkatkan massa tulang sehingga
dapat mengurangi rasa nyeri dan kemungkinan terjadinya fraktur. Masalah ini
terutama disebabkan oleh karena sebagian besar pasien osteoporosis simtomatik
adalah penderita usia lanjut (usila) di atas 65 tahun di mana kecepatan turn over tulang pada kelompok ini telah
menurun sehingga setiap usaha untuk menghambat resorpsi tulang atau
meningkatkan formasi tulang akan memerlukan waktu yang cukup lama ini umumnya
juga akan menimbulkan banyak efek samping dan sangat berpengaruh pada ketaatan
berobat pasien.
Pengobatan yang diberikan pada pasien osteoporosis
dalam usaha untuk meningkatkan masa tulang tidak selalu diikuti dengan
perbaikan kekuatan mekanik tulang, terutama jika arsitektur trabekular tulang
telah mengalami kerusakan.
Massa tulang yang hilang pada pasien osteoporosis
umumnya sangat sukar untuk dapat dikembalikan dengan sempurna seperti
sediakala. Dengan demikian dalam penatalaksanaan osteoporosis, selain usaha
pengobatan untuk memperbaiki osteoporosis yang telah terjadi, tindakan
pencegahan seharusnya diberikan terlebih dahulu jauh sebelum timbul gejala
klinis osteoporosis.
Beberapa
jenis hormon dan obat yang memiliki efek pada tulang dan digunakan dalam
pengobatan osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai:
1. Obat-obatan
yang terutama bekerja dalam mengurangi atau mencegah terjadinya resorpsi
tulang.
2. Obat-obatan
yang merangsang terjadinya formasi tulang.
Pencegahan Osteoporosis
Pencegahan osteoporosis adalah tindakan yang sangat
penting dalam penatalaksanaan osteoporosis, karena hingga saat ini belum
terdapat suatu regimen terapeutik yang telah terbukti dapat mengembalikan
kehilangan massa tulang dengan sempurna pada pasien osteoporosis lanjut.
Pencegahan osteoporosis dapat dibedakan menjadi pencegahan osteoporosis primer
dan pencegahan osteoporosis sekunder.
1. Pencegahan
Osteoporosis Primer
Pencegahan
osteoporosis primer merupakan usaha untuk mencapai kondisi puncak massa tulang
(peak bone mass) yang optimal pada
masa dewasa muda. Dengan tercapainya puncak massa tulang optimal pada masa
dewasa muda, osteoporosis yang mungkin timbul pada usia tua akan lebih ringan.
Pada
umumnya puncak massa tulang akan tercapai pada usia antara 16 sampai 40 tahun,
dimana kemudian akan terjadi peningkatan turn
over tulang yang menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang secara
bertahap antara 2-3% setiap tahun. Kecepatan turn over tulang akan menurun kembali setelah 10 tahun pasca
menopause atau sekitar usia 65 tahun. Faktor penting yang menentukan puncak
massa tulang adalah faktor genetik dan konstitusional, status hormonal, asupan
kalsium serta aktivitas fisik.
Karena
faktor genetik dan konstitusional seperti ras, jenis kelamin dan faktor
hereditas lainnya tidak mungkin untuk dimanipulasi, faktor lingkungan seperti
nutrisi, aktivitas fisik, vitamin D dan sinar matahari (yang tidak merupakan
masalah pada sebagian besar daerah di Indonesia) merupakan hal yang penting
untuk dimanfaatkan dalam pengobatan osteoporosis.
Puncak massa tulang optimal pada
usia dewasa harus diusahakan agar tercapai dengan menjamin asupan nutrisi yang
mengandung cukup kalsium selama masa kanak-kanak sampai pada saat terhentinya
pertumbuhan tulang. Latihan fisik yang teratur juga penting untuk meningkatkan
massa tulang selama masa pembentukan tulang. Setelah puncak massa tulang
tercapai pada masa dewasa, maka asupan kalsium yang adekuat, latihan fisik yang
teratur serta menstruasi yang teratur harus tetap dipertahankan selama usia
dewasa sampai seseorang memasuki tahap usila.
2. Pencegahan
Osteoporosis Sekunder
Manfaat
pencegahan osteoporosis sekunder untuk menghambat kecepatan kehilangan massa
tulang pada wanita pasca menopause, pasien yang memerlukan imobilisasi lama
atau pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid jangka panjang tanpa gejala
osteoporosis klinis saat ini masih bersifat controversial. Hingga saat ini
belum diperoleh kesepakatan apakah pencegahan osteoporosis sekunder memiliki
manfaat yang cukup memuaskan. Pada keadaan seperti ini, hal terpenting adalah
usaha untuk menentukan apakah pasien tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi
untuk menderita osteoporosis.
Pengobatan Osteoporosis
Pasien osteoporosis yang memerlukan pengobatan
umumnya telah mengalami kehilangan massa tulang yang cukup berat sehingga pada
umumnya telah mengalami satu atau beberapa kali fraktur tulang. Dengan demikian
tujuan utama pengobatan osteoporosis simtomatik adalah mengurangi rasa nyeri
dan berusaha untuk menghambat proses resorpsi tulang sampai di atas ambang
fraktur. Jika hal ini tidak dapat dicapai dengan regimen terapeutik yang
tersedia, maka harus selalu diusahakan agar intervensi pengobatan yang
diberikan sekurang-kurangnya dapat menahan progresi kehilangan massa tulang
sehingga fraktur yang mungkin terjadi kemudian dapat dicegah.
Beberapa
jenis hormon dan agen farmakologi yang umum digunakan dalam pengobatan
osteoporosis saat ini akan dibahas di bawah ini.
Terapi Pengganti Hormonal
1. Estrogen
Istilah
terapi pengganti hormonal atau hormon
replacement therapy (HRT) digunakan untuk terapi estrogen baik secara
tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan progestogen.
Estrogen
memiliki sifat anti resorptif yang kuat pada sel tulang dan penurunan kadar
estrogen pada saat menopause merupakan penyebab utama kehilangan massa tulang
pada wanita. Bagaimana mekanisme estrogen menghambat resorpsi tulang hingga
kini masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Diduga hal ini terjadi karena:
1. Estrogen
menurunkan sensitivitas tulang terhadap hormon paratiroid (PTH).
2. Estrogen
meningkatkan produksi kalsitonin.
3. Estrogen
meningkatkan produksi kalsitriol.
Walaupun memiliki sifat anti resorptif
yang kuat, estrogen tidak memiliki efek stimulatif terhadap proses formasi
tulang. Dengan demikian walaupun estrogen memiliki peran penting dalam
pencegahan kehilangan massa tulang, akan tetapi estrogen tidak dapat
memperbaiki gangguan arsitektur tulang yang telah terjadi.
Respons
peningkatan massa tulang pada penggunaan HRT bergantung pada dosis dan lamanya
pemberian estrogen. Pada umumnya pengaruh estrogen baru dapat terlihat setelah diberikan selama 5 tahun.
Dalam pengobatan osteoporosis pasca menopause estrogen harus diberikan selama
10 tahun atau sampai usia 70 tahun, bergantung pada mana yang tercapai lebih
dahulu. Setelah 10 tahun HRT harus dievaluasi kembali untuk menentukan apakah
pengobatan selanjutnya akan tetap bermanfaat dan aman untuk diteruskan. Pada
wanita pasien osteoporosis dengan kehilangan massa tulang yang berat, estrogen
sedapat mungkin harus diberikan seumur hidup selama masih efektif dan tidak
menimbulkan efek samping. Hal ini disebabkan karena estrogen dapat menurunkan
risiko fraktur yang akan terus meningkat jika kehilangan massa tulang
berlangsung terus-menerus.
Efek samping
estrogen meliputi retensi cairan, nyeri tekan payudara dan sakit kepala. Efek
samping ini umumnya jarang dijumpai jika estrogen digunakan bersama
progestogen. Efek samping lainnya adalah nausea,
kejang otot tungkai, dyspepsia dan perdarahan uterus disfungsional.
2. Kombinasi
Estrogen dan Progestogen
Walaupun
dalam dosis yang amat tinggi progestogen dapat menghambat resorpsi dan
merangsang formasi tulang, akan tetapi penggunaan kombinasi progestogen siklik
pada HRT dimaksudkan untuk mencegah terjadinya efek samping estrogen terutama
perdarahan disfungsional uterus dan menekan proliferasi atau keganasan
endometrium.
Progestogen
yang digunakan dalam HRT dapat diklasifikasikan sebagai derivate 17-hidroksi
progestogen seperti medroksiprogesteron asetat serta derivate 19-nortestosteron
seperti noretisteron. Derivate 19-nortestosteron umumnya lebih disukai untuk
digunakan dalam HRT karena golongan ini memiliki efek samping yang lebih ringan
terhadap metabolisme lipid dan fungsi hati. Efek samping progestogen sangat
bervariasi dan bergantung pada dosis, androgenisitas dan lama penggunaannya.
Efek samping
yang sering kali dijumpai pada wanita yang menggunakan progestogen siklik
adalah gangguan metabolisme lipoprotein plasma, retensi cairan, nyeri payudara,
sakit kepala, perubahan mood dan akne
vulgaris.
Kontra Indikasi HRT
Terdapat
beberapa kontra indikasi penggunaan HRT pada osteoporosis. Kontra indikasi ini
dapat dibedakan menjadi kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif
seperti yang tercantum pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel
1. Kontra indikasi HRT
Kontra
Indikasi Absolut
|
|
Keganasan
payudara aktif
Keganasan
endometrium aktif
Kehamilan
|
Perdarahan
uterus idiopatik
Penyakit
hati berat dan aktif
Melanoma
malignum (?)
|
Kontra
Indikasi Relatif
|
|
Hipertensi
tidak terkontrol
Migren
Riwayat
thrombosis vena
Riwayat
emboli paru
Tromboflebitis
superficial
Varises
Obesitas
Diabetes
melitus
|
Riwayat
kelainan jantung iskemik
Osteosklerosis
Batu
empedu
Penyakit
hati menahun
Endometriosis
Tumor
fibroid
Riwayat
keganasan payudara
Perokok
berat
|
Pada
keadaan dimana terdapat kontra indikasi absolut, penggunaan HRT harus
dihindarkan. Walaupun demikian HRT masih dapat diberikan pada keadaan
terdapatnya kontra indikasi relatif jika pasien dapat mengerti risiko yang akan
dihadapi dan bersedia untuk mencobanya.
Testosteron
Testosteron merupakan hormon yang sangat penting
untuk memelihara integritas tulang pada pria sebagaimana halnya estrogen pada
wanita, karena sindroma hipogonadisme juga dapat merupakan penyebab terjadinya
osteoporosis baik pada pria maupun pada wanita. Pada pria pasien sindroma
hipogonadisme pemberian testosteron terbukti dapat meningkatkan massa tulang
dengan merangsang proses formasi tulang. Walaupun testosteron nyata dapat
meningkatkan formasi tulang, penggunaan testosteron pada wanita pasien
osteoporosis umumnya akan menimbulkan banyak efek samping androgenik. Umumnya
testosteron hanya digunakan pada wanita pasien osteoporosis pasca menopause
yang menunjukkan gejala penurunan libido yang gagal diatasi dengan pemberian
estrogen.
Steroid Anabolik
Steroid anabolik telah banyak digunakan dalam
pengobatan osteoporosis. Pemberian nandrolon dekanoat intramuscular terbukti
dapat meningkatkan massa tulang yang diduga terjadi akibat stimulasi proses
formasi tulang. Selain itu steroid anabolik juga memiliki efek pencegahan
resorpsi tulang. Karena steroid anabolik memiliki efek samping androgenik yang
tinggi, umumnya obat ini jarang digunakan untuk wanita.
Penggunaan
steroid anabolik jangka panjang juga diketahui dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati sampai terbentuknya keganasan hepatoselular. Karena itu penggunaan
steroid anabolik baik pada pria maupun wanita hanya dilakukan jika pasien tidak
menunjukkan perbaikan yang memuaskan dengan obat-obatan yang lain dan sebaiknya
dilakukan oleh ahli yang telah berpengalaman.
Terapi Non-hormonal
Selain
HRT, terdapat pula terapi non-hormonal yang dapat digunakan untuk mencegah dan
memperbaiki osteoporosis. Saat ini telah diketahui beberapa agen farmakologis
yang dapat berpengaruh pada metabolisme tulang dan memperbaiki osteoporosis
seperti kalsitonin, bifosfonat dan kalsium. Obat-obatan ini dapat mencegah atau
sekurang-kurangnya dapat menghambat kecepatan kehilangan tulang pada pasien
osteoporosis senilis maupun pasca menopause.
Kalsitonin
Peran fisiologis kalsitonin dalam mencegah resorpsi
tulang dan regulasi homeostatis kalsium pada manusia masih belum diketahui
dengan jelas. Diduga kalsitonin bekerja dengan menghambat aktivitas, lama
hidup, recruitment dan pembentukan
sel osteoklas baru.
Kalsitonin menghambat tesorpsi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium plasma dengan cepat sehingga menyebabkan terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder transien. Karena itu, untuk mencegah terjadinya
respons homeostatic tersebut, kalsitonin umumnya diberikan bersama suplementasi
kalsium dan vitamin D.
Kalsitonin diduga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan massa tulang, dengan menyebabkan uncoupling antara proses resorpsi dan formasi tulang terutama
selama masa dini pengobatan. Kemungkinan hal ini disebabkan karena walaupun
resorpsi tulang telah terhambat akan tetapi formasi tulang masih terus
berlangsung pada lokasi resorpsi sebelumnya, sehingga dapat diharapkan
terjadinya peningkatan massa tulang.
Pengaruh kalsitonin pada osteoporosis tidak
berlangsung selamanya. Setelah tahun pertama pengaruh kalsitonin akan menurun
secara bertahap sampai akhir tahun kedua. Berkurangnya efek kalsitonin pada
penggunaan jangka panjang diduga disebabkan karena terbentuknya atibodi
terhadap kalsitonin atau penurunan fungsi reseptor kalsitonin.
Kalsitonin terbukti dapat memberikan efek analgesik
akibat osteoporosis terutama pada fraktur kompresi vertebral. Efek analgesik
ini umumnya timbul segera dalam 1 atau 2 hari setelah kalsitonin digunakan.
Efek samping kalsitonin yang paling sering dijumpai
adalah nausea yang umumnya terjadi
segera setelah suntikan diberikan. Nausea
dapat diatasi dengan pemberian antiemetik bersama kalsitonin yang keduanya
diberikan pada waktu tidur. Efek samping lainnya adalah flushing, muntah, diare dan nyeri lokal pada lokasi suntikan.
Kalsitonin
agaknya merupakan obat yang sangat aman dan tidak berinteraksi dengan obat-obat
lain yang diketahui. Selama ini tidak terbukti bahwa kalsitonin bersifat toksik
pada manusia.
Bifosfonat
Penggunaan
bifosfonat pada pasien osteoporosis akan menyebabkan penurunan resorpsi tulang.
Hal ini sebagian disebabkan karena bifosfonat akan terikat pada Kristal
hidroksiapatit dan mineral tulang lainnya, sehingga Kristal tersebut menjadi
lebih resisten terhadap proses hidrolisis enzimatik. Hambatan resorpsi tulang
pada penggunaan bifosfonat juga terjadi akibat pengaruh bifosfonat pada sel
osteoklas yang dapat menyebabkan terjadinya:
-
Perubahan morfologi sel osteoklas.
-
Penurunan jumlah dan fungsi sel
osteoklas.
-
Penurunan recruitment sel osteoklas ke arah lokasi remodeling sehingga menurunkan kedalaman kavitas yang terbentuk
akibat erosi.
Penggunaan bifosfonat intermitten pada osteoporosis
akan menurunkan kecepatan turn over
tulang dan mungkin dapat menyebabkan terjadinya sedikit peningkatan massa
tulang terutama pada tulang trabekular. Secara klinis hal ini dapat terlihat
dari penurunan insidens fraktur vertebra dan peningkatan kekuatan torsional
tulang panjang pada pasien yang menggunakan kalsitonin secara intermitten.
Pengaruh bifosfonat pada tulang dapat bertahan
sampai 1 atau 2 tahun walaupun penggunaannya telah dihentikan. Belum diketahui
apakah penggunaan klodronat secara terus-menerus akan memiliki khasiat yang
lebih baik.
Efek
samping bifosfonat yang paling sering dijumpai adalah intoleransi intestinal.
Hal ini dapat dicegah dengan membagi dosis total hariannya dalam beberapa kali
pemberian.
Kalsium
Walaupun hubungan antara asupan kalsium diet dan
kecepatan kehilangan massa tulang begitu jelas, akan tetapi asupan kalsium yang
dalam jumlah yang dianjurkan akan dapat meningkatkan kadar kalsium plasma yang
selanjutnya akan meningkatkan sekresi kalsitonin, menurunkan kadar PTH,
kalsitriol serta menurunkan turn over
dan kecepatan resorpsi terutama pada tulang kortikal baik pada masa pra atau
pasca menopause. Pengaruh kalsium akan tampak lebih jelas bila pemberian
suplementasi kalsium juga disertai dengan peningkatan aktivitas fisik.
Dengan demikian, walaupun manfaat kalsium tidak
sebaik estrogen, kalsium penting untuk diberikan kepada pasien yang tidak dapat
atau menolak untuk menggunakan estrogen karena faktor umur, kontra indikasi
atau efek sampingnya. Pada osteoporosis yang telah berlangsung lama tanpa
suplementasi kalsium, risiko fraktur terutama pada panggul akan meningkat
dengan bermakna setelah terjadinya fraktur yang pertama. Pada pasien seperti
itu suplementasi kalsium sangat penting untuk mencegah terjadinya fraktur
berikutnya.
Efek
samping kalsium dalam dosis fisiologis seperti meteorismus dan konstipasi
umumnya jarang dijumpai dan dapat diabaikan. Walaupun demikian, kalsium
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan absorbsi kalsium
intestinal, gangguan ginjal sedang atau berat, nefrolitiasis hiperkalsiurik
atau sarkoidosis.
Vitamin D dan Metabolitnya
Metabolit vitamin D, kalsitriol bekerja dengan
meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat usus, kalsitriol juga meningkatkan
resorpsi kalsium dari tulang. Selain itu, kalsitriol juga berperan secara
langsung pada sel osteoblas dalam sintesis osteokalsin yang dibutuhkan dalam
proses mineralisasi tulang melalui regulasi pertumbuhan Kristal hidroksiapatit.
Kalsitriol juga diketahui dapat menurunkan sensitivitas osteoklas terhadap PTH.
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder yang meningkatkan turn over tulang dan kehilangan massa tulang kortikal, menghambat
mineralisasi osteoid sehingga juga dapat menimbulkan osteomalasia.
Pasien usila seringkali mengalami defisiensi vitamin
D ringan karena keengganan mereka untuk terpajan oleh sinar matahari,
menurunnya asupan makanan yang mengandung vitamin D serta penurunan absorpsi
intestinal vitamin D. Selain itu pada usila, penurunan fungsi ginjal diduga
menyebabkan terjadinya hambatan sekresi enzim 1 α-hidroksilase ginjal, sehingga
terjadi hambatan pada konversi kalsitriol menjadi kalsitriol.
Penggunaan
kalsitriol sangat bermanfaat pada pasien osteoporosis dengan malabsorpsi
kalsium, osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang,
osteodistrofi ginjal dan mungkin juga pada osteoporosis pasca menopause.
Tiasid
Tiasid
telah diketahui dapat menurunkan ekskresi kalsium urin. Tiasid harus diberikan
pada pasien dengan hiperkalsiuria. Juga telah diketahui bahwa pasien usila yang
menggunakan tiasid memikiki risiko yang lebih rendah bagi terjadinya fraktur femoral. Suatu penelitian pada pasien
hipertensi pria yang menggunakan hidroklorotiasid juga menunjukkan peningkatan
massa tulang jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diobati dengan tiasid.
Pengobatan Osteoporosis
Eksperimental
Saat
ini sedang berjalan penelitian tentang manfaat beberapa jenis obat dalam
pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Beberapa obat yang masih dalam
penelitian tersebut adalah tibolon, fluorida, PTH, tamoksifen dan raloksifen.
Pendekatan Terapi Hormonal dan
Farmakologis Osteoporosis
Saat
ini terdapat bebagai pendekatan terapi hormonal dan farmakologis bagi pasien
osteoporosis yang telah terbukti bermanfaat. Pada gambar 1 digambarkan
pendekatan terapeutik dari berbagai obat dan hormon yang digunakan dalam
pengobatan osteoporosis.
Terapi Pengganti Hormonal
Beberapa
preparat yang umum digunakan dalam HRT adalah:
a. Estrogen
-
Estrogen terkonjugasi (Premarin, Wyeth Ayerst, tablet 0.625 mg dimulai
dari ½ tablet yang kemudian ditingkatkan secara bertahap setelah 2 atau 3
minggu menjadi ¾ tablet sehari sampai mencapai 1 tablet/hari.
-
Estradiol transdermal [Estraderm TTS, 25
(2mg), TTS 50 (4 mg) dan TTS 100 (8 mg), Ciba] dalam dosis 25 sampai 50 mg/hari
yang dapat dicapai dengan menggunakan Estraderm TTS patch 25 atau 50 setiap 3
atau 4 hari sekali.
-
Estradiol valerat (Progynova, Schering AG, tablet 2 mg), ½ sampai 1
tablet/hari.
-
Estimilestradiol (Lynoral, Organon,
tablet 50 mg) ½ sampai 1 tablet /hari.
Dalam menentukan kecepatan
peningkatan dosis, harus selalu diperhatikan keluhan pasien. Jika peningkatan
dilakukan terlalu cepat, pasien akan mengalami nyeri pada payudara. Jika nyeri
payudara timbul, peningkatan dosis harus ditunda sementara atau dosis diturunkan
kembali ke dosis semula.
b. Progestogen
Pada
wanita pasca histerektomi, estrogen dapat diberikan secara terus-menerus, akan
tetapi pada wanita yang masih memiliki uterus umumnya estrogen diberikan
bersama progestogen. Jika progestogen dihentikan, umumnya wanita akan mengalami
withdrawal bleeding. Beberapa
preparat progestogen yang umum digunakan dalam hal ini adalah:
-
Noretisteron (Primolut N, Schering AG, tablet 5 mg). Untuk
perdarahan disfungsional uterus, noretisteron diberikan dalam dosis ½ sampai 1
tablet sehari selama 3 minggu untuk kemudian dihentikan selama 1 minggu.
-
Medroksiprogesteron asetat (Provera, Upjohn, tablet 2,5 mg). Obat ini
diberikan 2 atau 3x1 tablet selama 10, 12 atau 13 hari untuk setiap 21 atau 28
hari estrogen.
c. Testosteron
Untuk mengatasi
osteoporosis akibat sindroma hipogonadisme, umumnya diberikan:
-
Ester testosteron (Sustanon, Organon, ampul 250 mg/ml), diberikan
dengan suntikan intramuskular dalam dosis 100-250 mg setiap 3 minggu.
Terapi Non-Hormonal
Agen farmakologis yang digunakan dalam pengobatan
non-hormonal pada osteoporosis adalah:
a. Steroid
Anabolik
-
Nandrolon decanoat (Deca Durabolin, Organon, ampul 25 mg/ml). Untuk
pengobatan osteoporosis umumnya digunakan dalam dosis 50 mg setiap 2 atau 3
minggu.
b. Kalsitonin
-
Kalsitonin (Miacalcic, Sandoz, ampul 50 dan 100 IU, metered nasal spray 50 IU dan 100
IU/spray). Dosis efektif kalsitonin SCT parenteral untuk pengobatan
osteoporosis berkisar 100 IU/hari, akan tetapi efek analgesik SCT sudah dapat
tercapai dalam dosis yang lebih rendah. Kalsitonin umumnya diberikan dalam
dosis 50 sampai 100 mg sc/im selama 14 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan nasal spray 50 sampai 100
IU 3 kali seminggu.
c. Bifosfonat
-
Klodronat (Ostac-Boehringer Manheim, Bonefos-Leiras,
kapsul 400 mg disodium klodronate, ampul konsentrat untuk infuse 300 mg
disodium klodronate). Dalam pengobatan osteoporosis, dosis klodronat oral
umumnya adalah 400 mg selama 14 hari setiap 3 bulan. Pemberian klodronat harus
disertai dengan suplementasi kalsium elemental dalam dosis 800 sampai 1200
mg/hari yang diberikan setiap hari.
d. Kalsium
-
Kalsium laktat glukonat + kalsium
karbonat (Calcium, Sandaz Forte,
mengandung 400 mg kalsium elemental.
-
Ossopan (Kenrose, mengandung 176 mg kalsium elemental).
Sebagai suplemen nutrisi, kalsium
elemental dalam dosis 800-1200 mg/hari umumnya dapat menurunkan frekuensi
fraktur pada wanita dengan osteoporosis vertebral yang jelas.
e. Vitamin
D
-
Alphacalcidol (One-Alpha, Kenrose/Leo, kapsul 0,25 mg dan 1 mg).
-
Rocaltrol (Kalsitriol, Roche, kapsul 0,25 dan 0,50 mg).
Untuk memelihara massa tulang dan
mencegah fraktur pada osteoporosis diperlukan alfakalsidol 1 mg/hari atau
kalsitriol dalam dosis antara 0.25 mg sampai 1 mg/hari yang diberikan bersama
kalsium elemental 800 sampai 1200 mg/hari.
Kesimpulan
Pengobatan osteoporosis meliputi pengobatan
hormonal, agen farmakologis dan latihan fisik. Pemilihan obat yang tepat bagi
pasien osteoporosis harus dilakukan berdasarkan patogenesis yang mendasarinya.
Pemantauan yang teliti dalam interval tertentu sangat diperlukan untuk mencegah
timbulnya efek samping pengobatan.
Untuk mencegah osteoporosis yang berat di kemudian
hari, usaha pencegahan harus dimulai sejak puncak massa tulang belum tercapai
dengan meningkatkan asupan gizi seimbang yang cukup mengandung kalsium dan
mineral lain yang diperlukan serta latihan fisik yang teratur dan dimulai sejak
masa muda.
DAFTAR PUSTAKA
Hahn
BH. Osteopenic Bone Diseases. In: McCarty DJ. Ed. Arthritis and Allied
Condition. A Textbook of Rheumatology. Eleventh Ed. Philadelphia: Lea &
Febiger. 1989: 1812-41.
Hahn
TJ. Metabolic Bone Diseases. In: Kelley WN, Harris ED, Sledge CG. Eds. Textbook
of Rheumatology. Forth Ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 1993: 1593-1627.
Francis
RM, Selby PL, Rodgers A, Davison CE. The Management of Osteoporosis. In:
Francis RM. Ed. Osteoporosis, Pathogenesis and Management. Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers. 1990: 145-79.
Kanis
JA. Treatment of Generalized Osteoporosis with Inhibitors of Bone Resorption.
In: Kanis JA. Osteoporosis. Oxford: Blackwell Science. 1994: 168-95.
Dequecker
J, Raspe HH, Sambrook P. Management of Osteoporosis. In: Klippel JH, Dieppe PA.
Eds. Rheumatology. St. Louis: Mosby. 1994: 7.34.1-7.34.6.
Isbagio
H. Diagnosis dan Pengelolaan Osteoporosis. Dalam: Waspaji, Gani RA, Setiati S,
Alwi I. Eds. Bunga Rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1996: 251-67.
WHO
Study Group Report. Assesment of Fracture Risk and Its Application to Screening
for Postmenopausal Osteoporosis. WHO Technical Report Series 843. Geneve: World
Health Organization. 1994.
Daud
R. Struktur dan Metabolisme Tulang Serta Hubungannya dengan Patogenesis
Osteoporosis. Dalam: Waspaji, Gani RA, Setiati S, Alwi I. Eds. Bunga Rampai
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1996: 268-82.
Tilyard
MW, Spears GFS, Thomson J, Dovey S. Treatment of Postmenopausal Osteoporosis
with Calcitriol or Calcium. N Eng J Med 1992; 326: 357-62.
No comments:
Post a Comment