Pendahuluan
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sering
dijumpai pada semua kelompok usia, namun pada pasien usia lanjut (usila) dapat
merupakan masalah yang serius. Penyakit ini dapat memberikan gejala yang berat,
biasanya memerlukan perawatan, dan dapat menyebabkan kematian. Menurut American Thoracic Society (ATS) tahun
1993, pneumonia meningkat jumlahnya dalam 10 tahun terakhir ini diantara
pasien-pasien usia lanjut. Di Amerika Serikat, pada usila berusia 73 tahun atau
lebih, pneumonia merupakan salah satu dari 5 penyebab kematian. Diperkirakan
sekitar 2-4 juta kasus pneumonia terjadi setiap tahunnya, dan 20% dari pasien
tersebut memerlukan perawatan. Di antara pasien yang memerlukan perawatan,
mortalitas mencapai 25% dan hampir 50% di antara mereka memerlukan perawatan
intensif (ICU). Di ruang kelas II dan III Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN. Dr.
Cipto Mangunkusumo, pneumonia merupakan penyakit yang paling sering dijumpai
pada pasien usia lanjut. Pada tahun 1995, dari 54 kasus pneumonia yang dirawat,
38% meninggal dunia.
Keterlambatan dalam mengenali penyakit ini, dan
adanya penyakit-penyakit lain yang menyertai seperti gagal jantung kongestif
kronik dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), menyebabkan menurunnya
kemampuan pasien untuk bertahan hidup. Faktor predisposisi utama adalah
imunitas yang menurun, adanya multipatologi dan kolonisasi basil gram negatif
pada faring yang besar jumlahnya. Perubahan fungsi paru yang merupakan bagian
dari proses penuaan namun meningkatkan kerentanan, antara lain disebabkan
menurunnya efektivitas batuk, kapasitas difusi paru dan saturasi oksigen. Di
samping itu, beberapa faktor lain yang juga meningkatkan kerentanan untuk
terjadinya pneumonia adalah kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi
seperti penggunaan sedatif, penyakit neurologis dan keadaan-keadaan lain yang
berkaitan dengan penurunan kesadaran atau disfagia.
Selain itu, beberapa masalah lain juga berpengaruh
buruk terhadap kemampuan usila untuk sembuh dari penyakit ini, antara lain
meliputi keterlibatan lobus paru multipel, bakteremia, timbulnya syok septik,
dan leukopenia yang menetap. Pneumonia bacterial berulang terjadi pada pasien
usila dengan penggunaan menelan akibat penyakit esofagus dan gangguan
neurologis. Pneumonia berulang juga cenderung mudah terjadi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik, alkoholik, karsinoma paru, atau myeloma
multipel.
Perubahan Struktur dan Fungsi Paru
pada Usila
Meningkatnya usia pada manusia dapat menyebabkan
perubahan pada sistem pernapasannya. Keadaan ini dapat menurunkan fungsi normal
pernapasan atau mempermudah terjadinya gagal napas pada penyakit paru yang
diderita oleh usila.
Pada usila, penurunan PO2 arteri hanya
memberikan sedikit kenaikan curah jantung, sehingga pengiriman oksigen ke
jaringan berkurang, selain itu terjadi pula penurunan rangsang terhadap
terjadinya hiperkapnia (peningkatan PCO2 arteri).
Pada usila juga terjadi penurunan kekuatan seluruh
otot rangka, termasuk otot-otot pernapasan, sehingga menurunkan inspirasi
maksimal dan ekspirasi maksimalnya. Di samping itu juga terjadi penurunan
kekuatan dinding dada karena perubahan struktur dinding dada berupa kalsifikasi
kartilago iga, kekakuan dinding dada dan berkurangnya elastisitas dinding dada.
Kartilago dinding jalan pernapasan usila sering
mengalami kalsifikasi dan sifatnya berubah menjadi lebih kaku. Keadaan ini
dapat meningkatkan volume residu dan menurunkan volume ekspirasi paksa.
Pada
usila terjadi pula emfisema senilis
(emfisema fisiologis) dimana terjadi pelebaran ujung terminal rongga dada
pernapasan. Akibatnya terjadi penurunan jumlah alveolus dan menurunnya jumlah
seluruh permukaan rongga udara pernapasan usila. Selain itu, terjadi pula
penurunan elastisitas jaringan paru, jalan udara intra-parenkim paru berkurang,
kapasitas vital paru menurun, tenaga aliran udara ekspirasi menurun secara
progresif dan pertukaran udara alveolus terganggu, sehingga tekanan dan
saturasi oksigen dalam kapiler paru akan menurun.
Faktor Risiko
Beberapa
faktor risiko dikaitkan dengan pasien pneumonia yang berkomplikasi dan
meningkatnya angka kesakitan dan kematian (tabel 1). Adanya faktor-faktor ini
harus diwaspadai, sehingga dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi di rumah sakit
agar dapat diperoleh respons yang baik.
Gejala
Pneumonia
pada usila dapat timbul secara dramatis, menyerupai syok septik atau adult respiratory distress syndrome
(ADRS). Selain itu juga dapat muncul secara samar, dengan gejala utama
anoreksia dan perubahan status mental (confusion).
Frekuensi pernapasan lebih dari 24 kali per menit harus diobservasi secara
cermat. Sekitar 20% pasien tanpa demam. Pada pasien-pasien bronkopneumonia yang
dirawat di ruang rawat Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, demam dijumpai pada 41% pasien.
Diagnosis
Pada
pasien yang kondisinya tidak terlalu berat, ATS merekomendasikan untuk
mengevaluasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan hitung
darah lengkap dan foto dada PA dan lateral. Kriteria klinis sering kali
digunakan untuk mengidentifikasi pneumonia termasuk infiltrate yang baru dan
progresif pada foto dada, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala/tanda berikut
ini:
1. Demam
(> 37,7oC oral),
2. Leukositosis
(> 10.000 sel/mm3),
3. Produksi
sputum yang purulen.
Evaluasi laboratorium lainnya antara lain: kultur
darah, pemeriksaan sediaan apus Gram dan kultur sputum yang sahih (valid). Hitung leukosit sering tidak
memberikan informasi diagnostik yang khas, dan 20 sampai 25% pasien usila
dengan pneumonia tidak menunjukkan leukositosis. Di RSUPN-CM didapatkan 39%
pasien pneumonia tanpa leukositosis. Kultur darah merupakan komponen penting
dalam evaluasi diagnostik dan bahkan mempunyai peran dalam mengkaji pasien
tanpa gejala demam.
Sampel sputum yang sahih seyogyanya harus diperoleh.
Namun sayangnya sekitar sepertiga pasien usila tidak dapat mengeluarkan sputum
dan sampel yang diperoleh dari duapertiga pasien usila lainnya seringkali tidak
sahih karena terkontaminasi oleh secret atau mikroflora saluran napas atas.
Pada pasien yang dirawat di RSUPN-CM hanya 15% yang dilakukan pemeriksaan
sputum, dengan kuman yang sering dijumpai adalah Pseudomonas. Namun hasil ini agaknya belum dapat digenerasikan
karena sedikitnya sampel.
Pemeriksaan foto dada dianggap merupakan baku emas (gold standard) untuk memastikan
kecurigaan dokter akan adanya pneumonia. Para klinisi hendaknya jangan
ragu-ragu meminta pemeriksaan foto dada pada usila dengan penyakit otak
organik, karena gejala pneumonia seringkali samar, dan terdapat banyak hambatan
untuk melakukan pemeriksaan fisik pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi
tersebut. Foto dada dapat pula membantu mengkaji beratnya penyakit terutama
bila terdapat infiltrate pada lebih dari satu lobus. Gambaran foto dada pada
pneumonia karena Streptococcus pneumoniae
akan lebih menyerupai pola gambaran bronkopneumonia daripada gambaran
konsolidasi pada lobus paru.
Diagnosis pneumonia perlu dipertanyakan bila hasil
foto dada tidak menunjukkan adanya infiltrate pada paru. Adanya dehidrasi saja
tidak dapat menjelaskan bersihnya foto dada tersebut.
Gambaran
klinis dan radiologis pada pneumonia didapat di masyarakat (Community Acquired Pneumoniae/CAP)
kadang-kadang sulit dibedakan dari emboli paru, gagal jantung kongestif, kanker
paru, ARDS dan pneumonitis aspirasi kimia. Bila foto dada ulangan menunjukkan
perbaikan dalam 3-5 hari, pasien sangat mungkin menderita gagal jantung akut
atau pneumonia kimiawi. Dalam hal ini harus diingat bahwa ahli radiologi tidak
dapat membedakan pneumonia bacterial atau bukan bacterial, dan gambaran foto
toraks tidak khas untuk setiap agen penyebab.
Etiologi
Pada tabel 2 terlihat beberapa bakteri yang sering
menyebabkan pneumonia didapat di masyarakat (CAP) terutama pada pasien usila
dengan penyakit penyerta, antara lain Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenza, batang gram negatif aerob, bakteri
anaerob dan Staphylococcus aureus.
Pada pasien-pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit, spectrum kuman
pathogen agak berbeda dengan yang tercantum pada tabel 2, yakni kuman-kuman
tersebut di atas, Legionella sp dan Chlamydia pneumoniae juga dapat
ditemukan. Selain itu basil gram negatif sering ditemukan seperti Coliform, Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumonia, terutama di ICU.
Tuberculosis paru terjadi pada pasien usila yang
mengalami reaktivasi fokus laten yang sebelumnya sudah ada pada mereka, atau
usila mendapatkan penyakit tersebut di panti rawat werdha melalui inhalasi droplet yang infeksius dari pasien tuberkulosis
di panti tersebut.
Penyebab
pneumonia yang baru dikenali namun jarang dijumpai pada usila meliputi Chlamydia pneumonia dan Pneumocystis carinii. Organisme terakhir
ini sering didapat pada usila pria homoseksual dengan AIDS.
Terapi
-
Pedoman
Perawatan
Tidak ada pedoman khusus untuk
merawat pasien usila dengan pneumonia di rumah sakit. Secara umum, perawatan
diindikasikan pada pasien-pasien dengan penyakit penyerta yang berat (gagal
jantung kongestif, PPOK, keganasan yang memerlukan kemoterapi), adanya
keterlibatan ekstra paru (meningitis, empiema, perikarditis) atau hasil
laboratorium menunjukkan adanya leukopenia atau PaO2 < 60 torr. Pasien juga harus dirawat di rumah
sakit bila ada pertimbangan mengenai kepatuhan berobat atau perlunya pemantauan
yang adekuat.
-
Pedoman
Umum
Umumnya
pengobatan terdiri dari bantuan pernapasan dan dukungan nutrisi,
penatalaksanaan cairan dan elektrolit, pengobatan penyakit penyerta (gagal
jantung kongestif, aritmia, ketoasidosis), mengenali dan menatalaksana
komplikasi (empiema, meningitis, perikarditis, ARDS), dan pemberian antibiotik
yang sesuai.
Pasien
dengan frekuensi pernapasan 30 kali/menit atau lebih dan atau mengalami
hipoksia yang berat harus segera dirawat di ICU. Selain itu, beberapa faktor
telah diidentifikasi akan merupakan risiko besar terjadinya perburukan, antara
lain: pneumonia yang melibatkan beberapa lobus, pneumonia dengan infiltrate
paru yang meluas dengan cepat, adanya oliguria, hipotensi dan diperlukannya
dukungan ventilator.
Pada pasien-pasien dengan kerusakan
otak luas dan ireversibel atau disertai penyakit yang fatal, penatalaksanaan
harus dibatasi pada tindakan paliatif saja.
-
Terapi
Antibiotik Empirik
Pemeriksaan
sputum yang sahih untuk sediaan apus Gram secara seksama merupakan pedoman yang
paling bermanfaat untuk memulai terapi antibiotik yang tepat, sementara
menunggu hasil kultur sputum dan resistensinya serta hasil kultur darah.
Bila
sputum yang sahih tidak dapat diperoleh, klinisi harus memulai program
antimikroba secara empiris. Bagi pasien rawat jalan dengan penyakit penyerta
dan atau berusia 60 tahun atau lebih, antibiotik yang direkomendasikan meliputi
sefalosporin generasi kedua, trimetropin/sulfametoksazol atau inhibitor beta
laktam. Namun demikian antibiotik-antibiotik tersebut diatas kurang spesifik
untuk agen yang jarang dijumpai seperti Legionella
sp. Dalam hal ini eritromisin merupakan antibiotik yang efektif mengatasi Legionella sp atau derivatnya seperti
azitromisin dan klaritromisin.
Program
terapi yang sesuai disarankan bagi pasien dari rumah yang dirawat di rumah
sakit. Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik pilihan. Komponen
antibiotik ini menunjukkan aktivitas hambatan terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus
influenza, termasuk strain yang
memproduksi beta laktamase. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
trimetoprim-sulfametoksazol dapat menggantikan sefuroksim.
Pasien yang gagal setelah pemberian
terapi empiris selama 72 jam harus dipertimbangkan untuk menjalani bronkoskopi
sikat. Selain itu perlu pula dipertimbangkan adanya diagnosis lain, seperti
keganasan paru atau infark paru.
-
Lama
Terapi
Belum
ada penelitian yang menetapkan lama pengobatan pneumonia yang optimal. Semuanya
tergantung pada pengalaman klinis. Secara umum, antibiotik harus dilanjutkan
sampai sekitar 10-14 hari, dan pasien harus ditindaklanjuti secara ketat untuk
menjamin adanya respons pengobatan yang baik. Pada pasien yang diterapi secara
tepat, perbaikan seyogyanya akan tampak setelah 2-4 hari pemberian antibiotik,
dimana demam dan leukositosis akan turun. Pemeriksaan fisik dan foto dada
mungkin akan lebih lama penyembuhannya sampai beberapa minggu, terutama pada
pasien dengan penyakit paru kronik.
Pada
beberapa pasien, terapi parenteral mungkin dapat dibatasi selama 3-4 hari dan
selanjutnya diteruskan dengan terapi oral. Pasien dengan pneumonia disebabkan
oleh Haemophillus influenza dapat
memperoleh antibiotik selama kurang lebih 10 hari. Terapi antibiotik untuk
pneumonia akibat Legionella biasanya
dilanjutkan sampai 3 minggu.
Kurang
dari 70% pasien usila baru akan memperoleh gambaran foto dada yang bersih
(resolusi) 3 bulan setelah terapi diberikan. Pertimbangan untuk memulangkan
pasien dari rumah sakit dan menyelesaikan pengobatan dengan terapi antibiotik
oral dimulai bila pasien sudah mengalami perbaikan. Pengobatan secara oral ini
tidak harus diselesaikan di rumah sakit.
Pada
pasien-pasien yang tidak berespons baik dengan antibiotik, perlu dipikirkan
beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Organisme
mungkin resisten terhadap antibiotik yang diberikan atau antibiotik tersebut
tidak diberikan secara adekuat.
2. Terdapat
patogen yang jarang dijumpai seperti jamur atau bakteri lain seperti M. tuberkulosis.
3. Adanya
penyebab yang noninfeksius seperti emboli paru atau gagal jantung kongestif.
4. Terdapat
penyakit yang menyertai seperti kanker paru yang menyebabkan pneumonitis
obstruktif yang mungkin mengganggu/menghalangi penyembuhan.
Jika penyembuhan hanya
sedikit atau justru terjadi perburukan setelah 2-4 hari pengobatan yang
adekuat, kemungkinan-kemungkinan di atas tadi perlu dievaluasi.
-
Antibiotik
pada Usila
Antibiotik
sebenarnya relatif tidak berbahaya dibandingkan obat-obat lain. Namun pada
usila masalah seperti polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan, dan
interaksi obat seringkali muncul dan dapat menyulitkan pengobatan antimikroba.
Beberapa masalah perlu dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik pada usila.
Sejalan dengan proses penuaan, perbandingan massa lemak tubuh dengan berat
badan total menurun. Hal ini berarti kita harus menurunkan dosis obat yang
terutama didistribusikan dalam jaringan lemak (seperti aminoglikosida).
Kemampuan
ekskresi ginjal juga menurun. Bila klirens kreatinin menurun, kita perlu
menurunkan dosis beberapa antimikroba, meliputi aminoglikosida dan kuinolon.
Serum kreatinin yang normal tidak memastikan normalnya klirens kteatinin,
terutama pada individu yang kurus dan rapuh.
Interaksi
obat mungkin merupakan masalah yang paling sering dijumpai dalam mengobati
pneumonia pada usila, karena usila sering memiliki sejumlah masalah medik
(multipatologi) yang memerlukan obat-obatan berbeda. Sebagai contoh,
eritromisin dapat menurunkan klirens teofilin, warfarin dan karbamazepin dengan
menghambat metabolisme di hati. Azitromisin dan klaritromisin kurang
pengaruhnya pada klirens obat.
Pasien
juga harus diinstruksikan minum antibiotik secara benar. Meminum antibiotik
bersama makanan dapat mempengaruhi absorpsi dan kadarnya dalam serum. Sebagai
contoh, sefuroksim dan klaritromisin meningkat absorpsinya bila diberikan
bersama makanan. Sebaliknya, makanan menurunkan absorpsi antibiotik lain
seperti eritromisin. Absorpsi obat-obat tertentu seperti tetrasiklin menurun
bila diminum bersama susu atau produk lain yang kaya kalsium.
Tabel 1. Faktor-faktor Risiko yang Berkaitan dengan
Perjalanan Penyakit CAP yang Memburuk
1.
Penyakit-penyakit/Kondisi-kondisi
Penyerta
Usia > 60 tahun
PPOK
Diabetes mellitus
Gagal ginjal kronik
Penyakit hati kronik
Perawatan CAP tahun
lalu
Ketergantungan
alkohol
Kecurigaan aspirasi
Status mental berubah
Pasca splenektomi
Malnutrisi
|
2.
Beratnya
Penyakit Saat Pasien Masuk Rumah Sakit
Pemeriksaan
Fisik
Frekuensi pernapasan
> 30 kali/menit
TD Sistolik < 90 mmHg
TD Diastolik < 60 mmHg
Suhu oral > 37,7oC
Delirium
Hasil
Laboratorium
Leukosit > 30.000
atau < 40.000/mm3
Hematokrit < 30%
atau Hb < 9 g/dl
Memerlukan bantuan
ventilasi mekanik
Analisis gas darah
pada udara ruangan:
PO2 < 60 atau PCO2
> 50 mmHg
Kreatinin > 1,2 atau BUN > 20 mg/dl
Data
Laboratorium yang Menunjukkan:
Sepsis
Koagulasi
Intravaskular Diseminata (KID)
Disfungsi Organ
(ginjal, hati)
Hasil
Foto Dada:
Infiltrat multilobus
Kavitas
Efusi pleura
Infiltrat meluas
secara cepat
|
Tabel
2. Bakteri yang Sering Menyebabkan CAP
pada Usila
Organisme
|
Komentar
|
Streptococcus
pneumoniae
Haemophillus
influenza
Klebsiella
sp
Staphylococcus
aureus
Bakteri
anaerob
|
Penyebab
tersering pneumonia
Biasanya
resisten terhadap ampisilin
Sering
dijumpai pada usila di panti rawat jompo
Didahului
dengan influenza, sering pada usila di panti rawat jompo
Kesadaran berubah,
gangguan menelan, alkoholisme atau terdapat pada kanker paru.
|
DAFTAR PUSTAKA
Whitson
B, Campbell D. Community-Acquired Pneumonia: New Outpatient Guidelines Based on
Age, Severity of Ilness. Geriatrics 1994; 49: 24-36.
Setiati
S. Perubahan Status Fungsional dan Kognitif pada Pasien Usia Lanjut yang
Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN. Cipto Mangunkusumo dan RS. Persahabatan. Tesis Akhir Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Februari 1996.
Setiati
S. Karakteristik Pneumonia pada Usila yang Dirawat di RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo Tahun 1995. Sedang Diterbitkan.
Bartlett
JG. Pneumonia In: Hazzard WR, et al (ed). Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology. International Edition, New York. McGraw-Hill Inc, 1994: 565-73.
Gleckman
RA. Pneumonia: Update on Diagnosis and Treatment. Geriatrics 1991;46: 49-58.
Bahar
A. Perubahan Struktur dan Fungsi Paru pada Manula. Dalam: Simposium
Tuberkulosis pada Manula. Pendidikan Berkesinambungan Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
Jakarta 1990: 7-15.
No comments:
Post a Comment