Pendahuluan
Sekitar
beberapa puluh tahun yang lalu dunia kedokteran belum dapat menjelaskan apa
sebabnya sel kanker dapat berproliferasi secara ganas dan tidak terkendali.
Saat ini orang telah dapat menjelaskan secara tepat dan rinci. Dunia kedokteran
tidak saja dapat mengidentifikasi bagian dari kromosom yang berperan dalam
proses terjadinya proliferasi tanpa kendali tadi, bahkan dapat menunjukkan
adanya perubahan dan lokasi urutan nukleotid dari gen yang berperan dalam
proses terjadinya kanker. Saat ini dunia kedokteran telah dapat mempelajari
beberapa protein yang diproduksi gen baik dalam keadaan normal, sebelum
terjadinya mutasi gen maupun setelah terjadi mutasi gen. Selanjutnya telah
dipelajari fungsi dan lokasi berbagai protein yang diproduksi gen, bahkan
sampai pada tahap apakah protein tadi dikeluarkan sel ke dalam cairan
intraselular atau ditempatkan pada dinding sel, bahkan apakah berada dalam
sitoplasma atau dalam inti sel. Walaupun demikian besar kemampuan yang dicapai
selama kurun waktu yang singkat ini, namun masih teramat banyak hal yang belum
selesai dipelajari. Merupakan tantangan bagi dunia kedokteran kita untuk turut
terjun dan bahu-membahu dengan para peneliti di berbagai belahan dunia ini
meneruskan penelitian dan mencari jawaban untuk beratus bahkan beribu
pertanyaan perihal proses terjadinya kanker yang macamnya berjumlah puluhan
bahkan ratusan jenis kanker pada manusia.
Peran
Gen Dalam Terjadinya Keganasan
Gen
merupakan unit fungsional terkecil dalam tubuh manusia. Tiap-tiap gen mengatur
pembentukan sejenis protein tertentu. Protein-protein yang dikode (ditetapkan
susunan asam aminonya) oleh gen ini mengatur seluruh pertumbuhan manusia. Gen
diturunkan dari kedua orang tua kepada turunannya ke dalam ovum (telur) yang
telah dibuahi (yang merupakan asal dari seorang manusia). Telur yang telah
dibuahi ini mengandung gen-gen yang tersusun rapi dalam 2 (dua) rantai yang
terdiri dari DNA. Telur yang dibuahi ini harus mengalami pembelahan berkali-kali
(tak terbilang jumlahnya) untuk akhirnya dapat membentuk makhluk yang dinamakan
manusia yang terdiri dari berbagai kelompok sel yang berbeda bentuk, perangai
maupun fungsinya dan jumlahnya sekitar 1013 sel.
Hubungan
antara virus dan kanker telah diketahui sejak cukup lama. Beberapa jenis virus
dapat hidup cukup lama dalam sel manusia tanpa menghancurkan sel tersebut. Hal
ini dapat terlihat dari adanya partikel dari virus tersebut dalam inti sel.
Karena terdiri dari hanya beberapa gen saja (berkisar dari 5 gen sampai dengan
100 gen) sebagian dari gen virus ini acapkali dijumpai bergabung dengan gen
manusia. Beberapa gen ini berkat keberadaannya diantara gen-gen normal maupun
membuat sel normal tadi menjadi sel yang bersifat kanker. Beberapa dengan
kanker yang terjadi bukan akibat virus, dimana perubahan beberapa di antara
50.000 sampai dengan 100.000 gen sampai dengan terjadinya kanker memerlukan
waktu bertahun-tahun. Tetapi pada binatang percobaan virus dapat membuat sel
normal menjadi sel kanker hanya beberapa hari saja.
Virus
kanker dapat ditemukan pada semua jenis binatang golongan vertebrata. Dengan
hanya memiliki beberapa gen saja yang berkisar dari 5 sampai dengan 100
virus-virus ini ternyata dapat merubah sel normal menjadi sel kanker dalam
beberapa hari saja. Virus penyebab kanker yang terpenting adalah golongan virus
yang gennya terdiri dari RNA. Di samping virus retro terdapat 4 kelompok virus
DNA yang dapat merubah sel normal menjadi sel kanker yaitu: 1. Virus Polioma;
2. Virus Papiloma; 3. Virus Adenoma; dan 4. Virus Herpes. Di antara berbagai
virus penyebab kanker yang paling banyak diteliti adalah virus retro dan virus
polioma. Hal ini selain karena virus-virus tersebut termasuk virus yang
memiliki jumlah gen yang terkecil juga karena beberapa gen yang dimilikinya
mempunyai kemampuan untuk merubah sel normal menjadi sel kanker pada binatang
percobaan. Gen semacam ini disebut oncogene
yaitu sebuah gen yang memiliki kemampuan untuk berperan penting dalam kehidupan
sebuah sel dan membantu proses perubahan sel normal menjadi sel kanker.
Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa sel normal memiliki sekurangnya satu gen yang
dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi oncogen. Gen semacam ini sebenarnya termasuk gen normal namun
karena memiliki sifat gen onko yang laten disebut sebagai proto-oncogene. Proto-oncogene
adalah gen yang apabila mengalami mutasi memiliki peran fungsional dalam proses
terjadinya kanker. Salah satu faktor yang dapat merubah proto-oncogene sehingga sel yang terkait berubah menjadi sel kanker
adalah translokasi kromosom. Sebagai contoh kita lihat penyakit leukemia
granulositik menahun. Pada masa lalu penelitian dapat membuktikan adanya
translokasi kromosom 9 ke kromosom 22 pada pasien leukemia granulositik
menahun. Translokasi ini sangat spesifik pada penyakit ini. Bentuk baru
kromosom 22 yang terjadi akibat translokasi ini dinamakan kromosom Philadephia.
Setelah
manusia mampu melakukan mapping gen
pada kromosom normal, para peneliti dapat membuktikan kromosom Philadephia
terjadi karena adanya fusi antara gen abl
kromosom 9 bcr dengan gen
berkromosom 22. Penelitian mengenai urutan DNA pada kromosom Philadephia
menunjukkan pula bahwa gen abl yang
berfusi ke kromosom 22 tidak memiliki segmen pertama dari urutan DNA gen abl yang normal. Leukemia granulositik
menahun baru terjadi apabila translokasi kromosom 9 dan 22 terjadi tepat pada
lokasi yang sama dan dalam keadaan gen abl
yang sama pula yaitu tanpa segmen pertamanya.
Penelitian
menunjukkan bahwa protein yang dibentuk gen bcr pada pasien leukemia granulositik menahun, berbeda dengan
protein yang dibentuk gen bcr pada
orang normal. Hal ini menunjukkan adanya fusi antara gen bcr dengan “sebagian” dari gen abl.
Fusi ini menghasilkan gen hybrid yang baru (bcr-abl) yang selanjutnya mengkode sejenis protein hybrid yang baru
pula yang memiliki kekuatan proliferasi sel yang tinggi yang berperan penting
dalam proses terjadinya penyakit leukemia granulositik menahun.
Selain
masuknya oncogene virus dan
translokasi kromosom, proses terjadinya kanker dapat pula diakibatkan oleh hal
lain. Salah satu kelainan kromosom yang dapat menyebabkan terjadinya kanker
adalah gangguan dalam proses duplikasi kromosom. Dalam hal ini suatu gen yang
dalam keadaan normal terdapat sepasang dalam satu sel (2 kopi) karena sesuatu
sebab jumlahnya berlipat menjadi sepuluh, bahkan kadang-kadang menjadi 100 kali
lebih. Keadaan ini mudah dilihat dengan mikroskop biasa pada saat pemeriksaan
kromosom. Pertama bagian kromosom yang berlipat ganda tersebut melekat semua
pada kromosomnya. Disini kromosom yang terkait akan tampak mewarnai sehingga
dapat terlihat seolah-olah sebagai suatu gumpalan. Kemungkinan yang kedua
adalah bahwa gen yang berlipat ganda tadi melepaskan diri dari kromosom yang
terkait. Disini gen berlipat ganda akan terlihat sebagai partikel-partikel DNA
yang jumlahnya beratus-ratus dalam satu sel.
Protein
Oncogenes
Data
di atas telah menunjukkan bahwa perubahan pada oncogenes mengakibatkan perubahan pada protein oncogenes. Perubahan ini dapat berupa perubahan bentuk protein yang
ditentukan susunannya oleh oncogenes
atau perubahan dalam jumlahnya saja. Dengan demikian perlu diingat bahwa
protein oncogene-lah yang melakukan
tugas sel normal menjadi sel kanker. Karena itu untuk mengetahui proses
terjadinya kanker perlu diketahui bentuk dan aktivitas biokimiawi dari protein proto-oncogenes dalam keadaan normal dan
dalam keadaan penyakit kanker. Salah satu penelitian yaitu penelitian mengenai
protein yang diproduksi (dengan kode dari) oncogene
rsc pada binatang percobaan yang
menderita kanker akibat virus RSV. Penelitian mengekstrasi protein gen rsc dengan antibodi anti-rsc yang dilakukan dengan zat
radioaktif, dapat menunjukkan bahwa protein oncogene-rsc mempunyai aktivitas sebagai suatu
enzim protein. Enzim ini dapat mengambil gugus fosfat dari ATP protein target.
Yang menarik dan penting diketahui adalah beberapa jenis protein yang dapat
menjadi protein target dari enzim ini dan kemudian lagi beberapa besar dampak
perubahan pada berbagai protein target tadi terhadap kesehatan si sakit,
gejala-gejala apa saja yang dapat terjadi akibat perubahan satu jenis oncogene. Perlu diketahui bahwa pada
kanker dapat terjadi perubahan pada beberapa gen sehingga dapat dibayangkan
berapa jenis zat biokimia yang berada abnormal dalam tubuh pasien kanker.
Protein
oncogenes ini dapat berada di dalam
cairan intraselular sehingga dapat menyampaikan informasi ke sel yang lain,
dapat pula berada dalam inti sel, dalam sitoplasma maupun pada dinding sel.
Keberadaan
protein oncogene pada dinding sel
biasanya berfungsi sebagai reseptor untuk penerima informasi-informasi dari
luar sel. Pada sel kanker reseptor-reseptor ini dapat berfungsi sebagai
reseptor faktor pertumbuhan (growth
factor). Meningkatnya jumlah reseptor growth
factor pada dinding sel berperan penting terhadap terjadinya sifat sel
kanker yang pertama yaitu tingkat proliferasinya yang amat tinggi. Beberapa oncogenes langsung mengkode pembentukan
faktor pertumbuhan (growth factor).
Faktor pertumbuhan yang dibentuk sebuah sel dapat berfungsi merangsang
proliferasi sel itu sendiri atau berfungsi merangsang proliferasi sel lain,
misalnya sel endotel pembuluh darah membuat growth
factor yang merangsang proliferasi sel dari sistem granulosit. Sebagai
contoh lain kita lihat protein yang dibentuk oleh oncogenes ras. Pada sel
kanker acapkali terjadi bahwa oncogenes
yang terkait memproduksi faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi sel
kanker itu sendiri (sel yang memproduksi faktor pertumbuhan tersebut). Keadaan
semacam ini dinamakan otostimulasi atau otokrin.
Di
samping protein-protein yang telah dikemukakan di atas sel kanker dapat
mengeluarkan berbagai protein lain. Sebagai contoh adalah protein yang
dikeluarkan oleh sel kanker yang bermetastasis di tulang yaitu TGF-α, TGF-β,
Pro Ca-thepsin D, OAF.
Protein-protein ini mempunyai sifat merangsang osteolisis oleh sel osteoklas.
Akibatnya terjadi osteoporosis baik pada tempat metastasis maupun pada
bagian-bagian tulang dimana tidak ada metastasis. Belum lagi terbentuknya
berbagai protein oleh sel sistem imun tubuh manusia sebagai reaksi terhadap
adanya sel abnormal (sel kanker). Sitokin yang diproduksi oleh sistem imun
tersebut menyebabkan berbagai rantai reaksi yang kemudian mengakibatkan
dikeluarkannya sitokin lain oleh sel imun yang lain. Protein yang dibentuk
sel-sel dari sistem imun kita sebagai reaksi adanya sel kanker antara lain
adalah TNF (Tumor Necrotizing Factor),
interferon, interleukin, dan lain-lain. Kehadiran masing-masing protein
imunologis ini menimbulkan berbagai gejala, sebagai contoh kadar TNF yang
tinggi dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh manusia yaitu: 1.
Peningkatan metabolisme tubuh; 2. Peningkatan produksi glukosa; 3. Peningkatan
pemecahan protein (proteolisis); 4. Peningkatan pemecahan lemak/lipolisis.
Gen
Supresor Tumor
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya oncogenes
mengkode produksi berbagai protein oncogene
yang merangsang transformasi sel normal menjadi sel kanker. Hal ini terjadi
dengan cara mengaktifkan berbagai reaksi biokimia yang bertujuan menyebabkan sel
bermitosis. Berbagai protein oncogene
ini ada yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth factor). Ada yang berfungsi sebagai reseptor yang menerima
isyarat dari berbagai protein stimulator pertumbuhan sel, ada yang berfungsi
meneruskan informasi yang diterima reseptor untuk diteruskan pada gen, ada yang
berfungsi memudahkan proses metastasis, dan sebagainya. Di samping sistem yang
merangsang proliferasi sel dalam tubuh kita terdapat pula suatu sistem (mulai
dari gen sampai dengan berbagai protein yang terkait) yang menghambat
proliferasi sel. Dengan cara inilah tubuh kita mengatur pertumbuhan berbagai
sel dalam tubuh manusia. Pengaturan ini tentu saja bertujuan agar berbagai
organ dalam tubuh manusia ini dapat berfungsi tepat guna dan berhasil guna.
Gen-gen
yang berperan dalam proses menghambat proliferasi sel dinamakan gen supresor (suppressor genes atau anti-oncogenes). Peran gen supresor ini
dalam proses terjadinya kanker cukup penting karena apabila gen supresor tidak
berfungsi maka proliferasi sel menjadi tidak terkendali dan hal ini tentu saja
dapat turut menunjang terjadinya kanker. Berbagai penelitian kemudian dapat
menunjukkan bahwa kedua sistem ini yaitu sistem oncogene dan sistem gen supresor keduanya bersama-sama berperan
dalam seorang pasien kanker. Jadi pada pasien tersebut terjadi hiperaktivitas
sistem oncogene bersamaan dengan
penurunan atau hilangnya fungsi gen supresor.
Gen
supresor yang pertama-tama ditemukan fungsinya adalah gen supresor pada pasien
penyakit retinoblastoma. Dalam penelitiannya, para pakar sitogenetik menemukan
keadaan dimana satu bagian tertentu (q14) yang seharusnya ditemukan pada lengan
panjang kromosom 13 acapkali hilang. Gen ini kemudian dinamakan gen Rb. Isolasi
gen Rb dari sel normal dan kemudian memindahkannya pada mikroorganisme
menghasilkan mikroorganisme yang memproduksi protein gen Rb ini (gen supresor).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa protein gen supresor Rb ini memang
mempunyai kemajuan menghambat proliferasi sel. Gen Rb adalah gen supresor
manusia yang pertama ditemukan orang, setelah itu para peneliti sitogenetik
dapat menemukan gen-gen supresor lainnya.
Gen
supresor yang sering ditemukan abnormalitasnya pada pasien kanker adalah p53.
Protein gen supresor p53 ini berbeda dengan protein gen supresor lain karena
bentuk protein ini adalah bentuk tetramer dimana empat atau lebih protein gen
p53 ini bersatu membentuk protein yang berfungsi aktif dari protein ini. Karena
itu proliferasi yang ganas tidak perlu diikuti oleh hilangnya gen ini karena
cukup dengan adanya perubahan susunan gen yang dapat mengakibatkan kelainan
pada salah satu dari empat protein yang bergabung jadi protein aktif tadi.
Penelitian menunjukkan bahwa abnormalitas protein gen supresor p53 seringkali
menyertai berbagai jenis kanker. Disamping itu beberapa penelitian menunjukkan
tanda-tanda bahwa pasien kanker dengan protein gen supresor p53 yang abnormal
lebih buruk prognosisnya.
Peranan
Pemeriksaan Biologi Molekular Dalam Diagnosis Kanker
Diagnosis
dini atau diagnosis keadaan pra-kanker amat besar manfaatnya pada pasien atau
mereka yang berisiko tinggi untuk menderita kanker. Pada keadaan dini jumlah
sel yang abnormal ini masih sedikit dan biasanya sel-sel kanker tersebut belum
bermetastasis ke organ lain bahkan bila cukup dini belum menginfiltrasi
jaringan dimana ia ditemukan. Pada stadium ini pasien masih dapat disembuhkan
dengan cara operasi, radiasi atau operasi yang diikuti dengan radiasi. Keadaan
semacam ini dapat dicapai apabila pada mereka yang mempunyai risiko tinggi
untuk menderita sejenis kanker (misalnya retinoblastoma familial), dilakukan
pemantauan dan pemeriksaan secara teratur, atau apabila pemeriksaan keadaan pra
kanker dapat dilakukan (misalnya tes PAP pada wanita). Sayang sekali pada
sejumlah besar kanker diagnosis dini tidak dapat dilaksanakan karena belum ada
pemeriksaan yang sesuai (misalnya kanker otak). Akibatnya pasien datang saat
sudah ada gejala klinis dimana jumlah sel kanker yang ada sudah mencapai
sekitar 1010 (sepuluh ribu juta).
Teknik
reaksi rantai polymerase (polymerase
chain reaction = PCR) dapat mendeteksi adanya mutasi dalam gen (DNA) sebuah
sel. Saat ini manusia telah dapat mendeteksi beberapa jenis mutasi proto-oncogene dan gen supresor tumor.
Walaupun demikian penerapan teknik ini tidak selalu mampu laksana di dalam
klinik. Masalahnya adalah adanya kesulitan mengambil sampel jaringan dari
berbagai organ dalam tubuh manusia. Salah satu cara yang diharapkan dapat
memecahkan permasalahan ini dikemudian hari adalah apabila kita dapat
mendeteksi sel-sel abnormal tadi dalam materi yang diekskresikan organ-organ
tersebut, sebagai contoh adalah tinja (kolon), dahak (paru), air seni (ginjal,
kandung kemih, prostat). Beberapa peneliti telah melaporkan menemukan gen ras abnormal dalam tinja pasien kanker
kolon.
Berbagai
kemajuan di bidang bioteknologi telah menghasilkan alat diagnostik lain pada
leukemia akut. Walaupun dasar diagnosis saat ini adalah morfologi dan
sitokimia, diagnosis molekular penting untuk klasifikasi dan pemantauan
leukemia akut (misalnya Minimal Residual
Disease). Kemajuan di dalam immunofenotyping
telah memungkinkan kita mengetahui karakteristik dari komponen permukaan sel
leukemia.
Ada
3 teknik analisis molekular yang saat ini digunakan untuk mendiagnosis dan
pemantauan leukemia akut, yakni:
-
Southern
blot analisis
-
PCR (Polymerase
Chain Reaction)
-
FISH (Fouroscent In Situ Hybridization)
Southern Blot Analisis
merupakan metode yang pertama kali dan banyak dipergunakan di antara ke 3 cara
di atas, walaupun kurang sensitif. Metode PCR lebih sensitif daripada Southern Blot Analisis yang dilakukan
dengan cara mengamplifikasi segment kecil DNA dengan denaturasi, primer anrealing dan memperpanjang rantai
berulang-ulang dengan menggunakan enzim DNA polymerase
yang tahan panas. Sementara itu metode FISH cukup sensitif untuk mendeteksi
asam nukleat spesifik pada metafase dan interfase kromosom. Ada 3 langkah dalam
metode FISH ini yaitu: denaturasi DNA, hibridiasi, dan inkubasi dengan avidin fluorescent untuk deteksi
flouresensinya.
Pada
limfoma folikular hampir sebagian besar (± 85%) dijumpai adanya translokasi
resiprokal t (14;18) (q32;q21), karena sebelumnya tidak diketahui pemetaan c-oncogene pada titik-belah ini, dan
juga karena merupakan tempat/locus
immunoglobulin heavy-chain seperti pada (8;14) dari limfoma Burkitt, ini memberikan tempat baru
untuk cloning c-oncogene yang baru.
Kenyataannya, cloning dari pecahan titik-belah kromosom 14 telah dikenal
sebagai suatu elemen transkripsi yang baru yang dipetakan pada 18q21 dan telah
ditetapkan sebagai bcl-2. bcl-2 telah diketahui amat terekspresi pada limfoma
yang memiliki t (14;18). Translokasi t (11;14) acapkali dijumpai pada limfoma
sentrositik, tetapi juga ditemui pada tipe limfoma sel-B yang lain dan
leukemia. Lokus tersebut dinamakan sebagai bcl-1. Ternyata lokus bcl-1 juga
didapatkan pada kebanyakan adenokarsinoma payudara, dan kanker sel skuamosa
dari daerah kepala dan leher.
Pada
limfoma sel T, sebagaimana pada limfoma sel-B gen-gen immunoglobulin seringkali
terlibat dalam translokasi resiprokal kromosom, maka translokasi kromosom pada
limfoma sel-T seringkali melibatkan 14q11, dari lokasi reseptor sel-T lokus
alfa dan delta (TCR-α/δ). Sedangkan yang agak jarang ialah translokasi pada
7q35 dan 7q15, suatu lokasi dari TCR-β dan TCR-γ. Analogi antara keterlibatan
gen immunoglobulin pada limfoma sel-B dan implikasi dari gen TCR pada limfoma
sel-T hampir nyata terlihat. Terbentuknya gen-gen TCR secara bersamaan, dimulai
ketika diferensiasi sel, dan diekspresikan pada jaringan yang spesifik. Seperti
juga pada limfoma sel-B, dianggap deregulasi atau aktivasi proto-oncogene oleh translokasi kromosom pada limfoma sel-T
disebabkan oleh juxta position dari
elemen aktif TCR cis. Sifat herediter dari retinoblastoma juga dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan biologi molekular.
Bukti
molekular yang menyokong hipotesis dua pukulan, dilakukan berdasarkan atas
analisis hilangnya heterozigositas.
Hilangnya
heterozigositas berdasarkan hipotesis: Jika individu mempunyai alat resesif gen
supresor tumor yang diturunkan (Rb1) (terkena pukulan pertama), untuk
berkembang menjadi tumor harus kehilangan gen (kehilangan fungsi gen) supresor,
berarti terkena pukulan kedua.
Dengan
teknik Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP) penyelidikan dilakukan terhadap keluarga yang ada
anggota yang terkena retinoblastoma. Enzim restriksi dapat mengenal urutan DNA
secara spesifik dan memotong pada tempat tertentu tersebut. Mutasi dari gen
akan menghasilkan urutan dan panjang DNA yang berbeda dari urutan DNA normal.
Dari hasil cernaan enzim tersebut akan menghasilkan potongan DNA yang berbeda
dan bila dilakukan elektroforesa DNA akan menghasilkan dua pita untuk
heterozigot dan satu pita untuk homozigot.
Hasil
produksi Gen Rb1 adalah fosfoprotein nucleus, yang terekspresikan secara luas
di dalam jaringan tubuh manusia. Protein ini ternyata memang mempunyai fungsi
menghambat proliferasi pada fase tertentu dari siklus sel. Pasien
retinoblastoma dengan mutasi konstitusional pada lokus Rb1, mempunyai
kecenderungan mendapat kanker primer kedua, dengan insiden sekitar 15%. Hal ini
mengarah ke studi lebih lanjut bahwa kehilangan fungsi Rb1 merupakan faktor
penting untuk terjadinya kanker sekunder seperti osteosarkoma, sarcoma jaringan
lunak, karsinoma paru jenis sel kecil, kanker ovarium serta kanker payudara.
Dengan demikian studi mengenai retinoblastoma menjadi perhatian banyak peneliti
bukan hanya studi mengenai kanker yang jarang saja, dan membutuhkan pengetahuan
genetika, sitogenetik, biologi molekular serta bioteknologi.
Pada
kanker payudara, beberapa onkogen yang telah dikenal antara lain: ERBB2, HRAS,
MYC, WNT2. ERBB2 adalah protein anggota dari keluarga tirosin kinase yang
merupakan reseptor faktor pertumbuhan. Amplifikasi ERBB2 ditemukan 21% pada
specimen kanker payudara. Tumor payudara mempunyai kemampuan untuk membuat
faktor pertumbuhan yang merangsang pertumbuhannya sendiri dalam bentuk autocrine seperti alpha
transforming growth factor dan insulin
growth factor atau berefek kepada jaringan atau invasif tumor. Sintesis dan
sekresi beberapa faktor pertumbuhan ini diatur oleh estrogen.
Penemuan
yang terbaru dalam bidang biologi molekular adalah gen BRCA1 dan BRCA2. Mutasi
pada gen BRCA1 sering ditemukan pada wanita dengan riwayat keluarga yang
menderita kanker payudara dan ovarium. Pada wanita dengan mutasi BRCA2, risiko
untuk mendapat kanker payudara bisa mencapai 90%. Delesi 2 base pair (bp) adenine
dan guanine pada posisi 185 dalam codon 23 dari exon 2 (185 del AG) merupakan mutasi yang tersering pada BRCA1.
Mutasi 185 del AG ditemukan pada 19-21% pasien kanker payudara. Pemeriksaan BRCA1
dapat mendeteksi risiko orang yang cenderung mendapat kanker payudara di
kemudian hari, pada wanita dengan riwayat keluarga yang mempunyai kanker
payudara. Mengenai gen BRCA2 sampai saat ini, masih dalam penelitian, fungsinya
belum diketahui dengan pasti, dan diduga sebagai kandidat gen supresor tumor.
Aplikasi
Kemajuan di Bidang Molekular Dalam Pengobatan Kanker
Kemajuan
biologi molekular telah mulai dimanfaatkan pula dalam pengobatan kanker. Di
antara cara yang baru ini tiga yang paling banyak diteliti sampai kini yaitu:
1. Menggunakan
antibodi terhadap protein oncogene
yang ada pada permukaan sel (reseptor) sebagai zat yang mengangkut zat-zat
toksik (toksin, sitostatika, dll) ke tempat sel kanker tanpa merusak sel
normal.
2. Menghambat
fungsi berbagai protein oncogene
dengan harapan dapat menghambat jalur komunikasi yang bertujuan merangsang sel
berproliferasi ganas.
3. Mengaktifkan
kembali gen supresor tumor yang menjadi non aktif selama proses terjadinya
perubahan sifat sel normal menjadi sel kanker.
Perlu kiranya diketahui bahwa
berbagai cara pengobatan yang baru dikemukakan tadi, pada dasarnya masih berada
dalam tahap penelitian dan belum digunakan di klinik.
Saat ini para pakar telah mencoba
mengikat toksin bakteri atau sitostatika pada antibodi terhadap reseptor yang
berada pada permukaan sel. Dengan cara ini zat-zat yang amat toksik tadi akan
diangkut hanya ke permukaan sel kanker saja dan tidak mengganggu sel-sel
normal. Walaupun percobaan binatang telah menunjukkan harapan namun sitostatika
yang dikaitkan pada antibodi kekuatannya menjadi berkurang, kadang-kadang
demikian menurunnya sehingga hasilnya tidak memadai. Cara pengobatan seperti
ini telah mulai diterapkan dalam pengobatan beberapa jenis kanker pada manusia.
Protein yang produknya dikode oleh oncogene dapat bermacam-macam fungsinya:
1. Ada
yang bersifat sebagai enzim protein (tirosinkinase).
2. Ada
yang berupa faktor pertumbuhan (growth factor).
3. Ada
yang menjadi reseptor (penerima isyarat) pada permukaan sel, dsb.
Untuk dapat menghambat fungsi protein oncogene diperlukan obat yang dapat
menetralisasi fungsi protein oncogene
atau proto-oncogene yang telah
bermutasi, namun tidak merusak protein yang normal atau belum bermutasi.
Salah satu cara untuk mengembalikan fungsi
gen supresor tumor adalah dengan mengintegrasikan gen normal yang sesuai ke
dalam sel kanker dengan menggunakan virus RNA. Beberapa peneliti melaporkan
hasil yang memuaskan pada percobaan binatang. Beberapa peneliti telah berhasil
memasukkan gen TNF (Tumor Necrotizing
Factor) ke dalam sel limfosit yang menginfiltrasi kanker (Tumor Infiltrating Limphocyte), dengan
perantaraan virus retro. Sel limfosit yang telah memiliki gen baru ini kemudian
disuntikkan kembali ke dalam tubuh pasien. Kemungkinan terjadinya kanker
sekunder dan gangguan imunologis sebagai akibat memasukkan virus ke dalam
manusia merupakan hal yang perlu mendapat perhatian sebelum menetapkan cara
pengobatan ini sebagai prosedur standar.
Kesimpulan
Telah disampaikan
biologi molekular dalam bidang onkologi medik ditinjau dari aspek peranan gen
dalam terjadinya keganasan, peran protein oncogene
dan gen supresor tumor, manfaat pemeriksaan biologi molekular dalam diagnosis,
serta aplikasinya dalam pengobatan kanker. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan
minat kita untuk melakukan penelitian bidang kanker aspek biologi molekular
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang masih belum diketahui jawabannya sampai
kini.
DAFTAR
PUSTAKA
Reksodiputro AH. Aspek Biologi Molekular Kanker Serta Peranannya dalam Diagnosis dan
Pengobatan Penderita. Orasi Ilmiah Dies Natalis UI 1995 Tingkat FKUI, 5
April 1995.
Ginsberg CH, Kagan J, Hiang JC, Stass SA. Recent Advances in The Diagnosis of Acute
Leukemia. Cancer Bulletin, 1993; 45:1.
Larson RA, Sandler DP, LeBeau MM. Acute Leukemia: Biology and Treatment. In: Education
Program American Society of Hematology Nashville, Tennessee, December 2-6,
1994.
Donnell TJ: Significance
of The t (14;18) Translocation and bcl-2 Gene Deregulation in Non Hodgkin’s
Lymphoma. Diagn. Oncol. 1994;4: 18-21.
Symmans WF, Katz RL. P53 and Non Hodgkin’s Lymphoma. Diagn. Oncol. 1994:4: 22-5.
Manual
of Clinical Oncology, UICC. Fifth Edition, Introduction.
3-6.
Tannoch IA, Hill Rp. The Basis Science of Oncology, Pergamon, New York. 1987.
Harris JR, Morrow M and Bonadonna G. Cancer of The Breast. In: Cancer
Principle and Practice of Oncology. De Vita V (ed). 4th Edition.
Philadelphia. JB Lippincott, 1993; 1 (2): 1264-5.
Offit K, Gilewski T, Mc Guire P. et al, Germline
BRCA1 185del AG Mutations in Jewish Women with Breast Cancer. Lancet, 1996;
347: 1643-5.
Wooster R, et al. Identification of The Breast
Cancer Susceptibility Gene BRCA1. Cancer Update Pharmacia Asia Ltd, 1996;
2(2):1.
No comments:
Post a Comment