Tanggal 3 Mei punya banyak makna
bagi warga Aceh Utara, dan juga bagi masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal
tersebut selain bermakna resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga
sebuah kenangan buruk, betapa negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya.
Karenanya, saban tahun—meski tak rutin karena kondisi Aceh tak selalu kondusif
untuk mengenang tragedi—warga Aceh Utara khususnya para korban tragedi Simpang
KKA memperingatinya.
Sekedar merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau sebelas tahun silam, banyak
darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para korban
memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat itu, harga peluru
tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah.
Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku,
banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti
dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan
oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka
parah, sementara 40 orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang
masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban
kebuasan aparat negara.
Sementara data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46
orangmeninggal (dua orang meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA Banda
Aceh), sebanyak 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam insiden
tersebut.
Meskipun banyak pihak melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban.
Jamaluddin, misalnya, sampai sekarang masih terkenang dengan tragedi paling
kejam dalam hidupnya. Jamal, kelahiran Sawang, Aceh Utara mengisahkan, bahwa
saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat banyak sekali korban tembakan yang
rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis dari para ibu dan bapak yang melihat
warga tertembak.
Jamal sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh warga yang kena tembakan
jatuh menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada, mayat-mayat diambil dan
diletakkan di tempat yang layak. Jamal mengaku, tak tahu harus berkata apa saat
itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal berharap Pemerintah Aceh tidak
melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran HAM, pelakunya harus diadili.
Karena itulah keadilan bagi korban.
Kronologi Peristiwa
Sebelum Kejadian
Jumat malam, 30 April 1999, Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat Desa Cot Murong,
Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1 Muharram yang
bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram
yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi
Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari
kesatuan Den Rudal 001/Pulo
Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan
penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya
yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh
Utara).
Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang atau terjadi berbagai
kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang
mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa
yang berarti di Desa Cot Murong.
Sabtu malam, 1 Mei 1999
Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar
dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu
tidak terjadi apa-apa.
Minggu pagi, 2 Mei 1999
Mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom mulai melakukan
operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat sedang
melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk anak-anak yatim
sehubungan dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam
sebelumnya. Masyarakat memotong 4 ekor lembu di halaman Masjid Al-Abror, Cot
Murong.
Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat
kenduri dan dengan dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya
mulai memuli warga setempat. Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang
yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan
dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah terjadi.
Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang
dikeluarkan para anggota TNI yaitu "AKAN KAMI TEMBAK SEMUA ORANG ACEH
APABILA SEORANG ANGGOTA KAMI TIDAK DITEMUKAN".
Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut kemudian para warga dari Desa
Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan
Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, wanita, orang tua serta anak-anak
berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat
militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.
Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari
7 truk anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah
berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan mencoba menghadang.
Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat
Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak
MUI Kecamatan, yang isinya: "TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong
dengan alasan apapun".
Saat Kejadian
Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota
TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang
Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan
milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong,
namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu
tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak
saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Senin pagi, 3 mei 1999.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa
Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa
cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api).
Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai
melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok.
Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh
masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan
kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu
sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan
segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat
Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang
Camat kemudian dipukuli oleh tentara.
Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari
atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang
terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan
juga seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing
mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata.
Letusan senjata itulah yang seperti sebuah "komando" disusul oleh
rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Saat Kejadian.
Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA.
Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar
HN dan Said Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam
moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat
dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling akurat dan
tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang sebenarnya.
Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap
tempur. Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan
belakang berdiri. Selain itu, tentara yang berada di atas truk juga terus
melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan tempur. Saat itu penduduk
yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke
rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga
menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan
melakukan pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak.
Kalimat yang paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang
Aceh". Dalam aksi pembantaian tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya
Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10 diantaranya Hilang sampai saat
ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah tertembak dan tidak
bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka
benar-benar melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.
No comments:
Post a Comment