Thursday, August 1, 2013

SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN DAN RITUAL MASYARAKAT ACEH



  1. RUANG LINGKUP MASALAH

1.      Simbol-simbol masyarakat Aceh
a.       Rencong
  1. Warna kuning
c.       Warna Merah
1). Simbol kenangan masyarakat aceh
2). Simbol malasnya orang aceh
2.      Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh
a.       Ritual keagamaan dikuburan massal
b.      Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
  1. Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil

  1. LANDASAN TEORI
  1. Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat Aceh berhubungan dengan kepercayaan, satu-satunya yang paling menonjol di dalam masyarakat Aceh adalah simbol "bulan bintang" di puncak-puncak mesjid. Simbol ini merata di seluruh daerah Aceh dan menunjukkan masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam.
2.      Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh
a.Ritual keagamaan dikuburan massal
b.Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
c.Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil



  1. PEMBAHASAN

1.      Simbol-simbol Mayarakat Aceh
Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat aceh berhubungan dengan kepercayaan, satu-satunya yang paling menonjol di dalam masyrakat Aceh adalah simbol "bulan bintang" di puncak-puncak mesjid. Simbol ini merata di seluruh daerah Aceh dan menunjukkan masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam. Simbol yang kedua adalah warna hijau dalam bentuk panji-panji atau bendera, menunjukkan pada simbol masyarakat Islam. Panji-panji warna putih di cat pada suatu benda (misalnya pelepah kelapa) dan ditancapkan di tengah-tengah sawah sebagai alat ajimat penolak bala terhadap penyakit padi. Dan ada beberapa simbol-simbol yang berhubungan dengan upacara adapt dikemukakan sebagai berikut:
  1. Rencong menunjukkah simbol keberanian masyarakat adat Aceh melawan Belanda. Rencong inipun merupakan sebagian dari pakaian adat orang Aceh.
  2. Warna kuning ini menunjukkan simbol kebesaran dan kehormatan yang pernah dipakai oleh raja-raja pada masa kerajaan, di dalam kerajaan Aceh dahulu. Sekarang simbol-simbol itu masih digunakan secara insidentil apabila datang tamu-tamu dari luar daerah atau luar negeri.
  3. Warna merah biasanya menunjukkan simbol keberanian dalam peperangan maupun dalam mempertahankan kebenaran.

1).  Simbol Kenangan Masyarakat Aceh
            Meusium Tsunami adalah Bangunan megah itu begitu perkasa. Dengandesain yang berbeda dari gedung biasa, dibangun di atas lahan seluas lebih kurang 10.000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Aceh, Kotamadya Banda Aceh. Jika dilihat dari udara, bangunan ini tampak seperti stadion sepakbola dengan diameter yang tak terlalu besar. Bangunan itu adalah museum tsunami Aceh, simbol kenangan masyarakat Aceh atas peristiwa tsunami yang meninggalkan luka lama di Aceh 6 tahun silam itu.
Lokasi Museum Tsunami Aceh ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda (dekat Simpang Jam), di seberang lapangan Blangpadang, persisnya di bekas kantor Dinas Peternakan Aceh sebelah Pemakaman Kuburan Belanda (Kerkhoff) dan berjarak kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh ini memiliki banyak fungsi, di antaranya sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami, sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami, sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami serta untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum Tsunami yang telah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 23 Februari 2008 kabarnya juga terhubung dengan pusat penelitian tsunami di AS dan Jepang. Selain itu, museum ini ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa membayangkan seolah berjalan di antara celah air, di samping juga bisa melihat foto-foto korban, kisah-kisah mereka yang selamat, serta simulasi elektronik gempa di bawah laut yang menyebabkan munculnya gelombang setinggi 30 meter.
Sejak diresmikan, museum ini ramai dikunjungi masyarakat Aceh dan sekitarnya. Museum tsunami ini berdiri kokoh seperti mercusuar di Banda Aceh dengan bentuk kapal yang terdiri dari 4 tingkat dan dihiasi dekorasi bermotif Islam. Atapnya menggambarkan ombak, sedangkan di lantai pertama dipamerkan rumah tradisional Aceh yang dilengkapi dengan peralatan untuk bisa bertahan menghadapi tsunami.
  
2). Simbol Malasnya Orang Aceh
            Warung kopi di Aceh dengan segala tradisinya tak ubahnya laksana miniatur terkecil wajah kehidupan  rakyat Aceh. Hiruk pikuk keseharian sebagian besar elemen masyarakat Aceh hampir tidak pernah terlepas dari persentuhan langsung dengan warung kopi. Hal ini tentu menarik untuk dikaji. Warung kopi telah menjadi center atau  pusat perkumpulan  beragam  komunitas masyarakat Aceh yang mengawali  beragam aktifitas dan rutinitas kesehariannya pada berbagai lini.
Sementara di masa lalu, warung kopi yang kebanyakan didirikan di samping mesjid merupakan ‘rahim’ yang melahirkan sistem kultural yang partisipatorik dan iklim positif dalam kehidupan masyarakat Aceh yang akhirnya turut serta menanam saham peradaban Islam di Aceh yang tersohor hingga ke seluruh penjuru dunia. Bila azan berkumandang, maka bergegaslah mereka berbondong-bondong ke mesjid, bila telah datangnya waktu ’pangajian’ niscaya mereka pun meninggalkan warung kopi menuju tempat pengajian untuk belajar ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum lainnya, bila ada permasalahan-permasalahan maka akan didiskusikan di warung-warung kopi dengan segala etika untuk kemudian akan dibawa ke mesjid jika dirasa didapatnya jalan buntu untuk menyelesaikannya. Maka itu, kita akan menjumpai banyak warung kopi yang posisinya berdekatan dengan mesjid.
Jika kita amati,  ternyata hampir semua komponen masyarakat Aceh  bisa  kita  katakan menjadi pelanggan setia warung kopi. Mulai dari pegawai, pelajar/mahasiswa, aktivis-aktivis pergerakan, para elit parpol, kaum agamawan(teungku-teungku/ustazd) dan sebagainya. Selain itu, hampir tak ada persoalan klasik maupun kekinian masyarakat Aceh yang tidak dibicarakan di sini. Bahkan, di desa-desa, warung kopi merupakan pusat informasi warga. Inilah sepintas gambaran warung kopi yang dirasa bagai sub sistem dalam kehidupan kontemporer rakyat Aceh. Selain itu, pasca tsunami lima tahun yang lalu, kini kita telah menyaksikan fenomena baru, sebagian masyarakat kita khususnya dari kalangan pelajar/mahasiswa,warung kopi laksana rumah kedua bagi mereka. Tak elok dirasa jika melewati hari tanpa nongkrong di warunng kopi. Bahkan, kini kaum hawa pun terlihat semakin terbiasa kita saksikan menjadi penghuni kursi-meja di warung kopi.
Fenomena  kesibukan masyarakat Aceh di warung kopi ini dalam analisa saya telah dijadikan sebagai  potret kehidupan rakyat Aceh bagi orang luar. Sehingga menghasilkan aneka penilaian dari  tatapan siapapun yang memandang Aceh. Dari banyak wawancara yang penulis lakukan dengan masyarakat  luar Aceh, baik komunikasi  dan perjumpaan  langsung maupun lewat dunia maya. Terungkap, bahwa sebagian di antara mereka memandang dan meyakini bahwa menjamurnya warung kopi di Aceh sebagai “simbol kemalasan” masyarakat Aceh. Apalagi ditunjang oleh fakta bahwa warung kopi di Aceh tak pernah sepi pelanggannya meski di jam kerja sekalipun; jam 08 hingga jam 14.00 siang, bahkan hingga sore dan sampai larut malam.
Mereka mempertanyakan; kapan orang Aceh bekerja jika terus-terusan sibuk di warung kopi?, atau, kapan para mahasiswa “belajar” jika dari pagi sampai sore dan berlanjut ‘nonton bola’ hingga larut malam di warung kopi?. Selain itu, sebagian masyarakat Aceh juga memilki pandangan yang sama bahwa warung kopi merupakan “sombol kemalasan”.
Namun demikian, saya meyakini bahwa rutinitas keseharian masyarakat Aceh yang banyak dihabiskan di warung kopi pada dasarnya merupakan sebuah energi positif yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sebagai sebuah entitas yang peradabannya pernah dikenal dunia. Eksisnya ‘diskusi-diskusi’ ringan di warung kopi adalah sebagian diantara alasan saya.   Banyak teman saya yang mengakui bahwa mereka ‘banyak sekali’ mendapatkan inspirasi, ide maupun gagasan-gagasan berawal dari diskusi ringan di warung kopi, bahkan ada yang berlanjut menjadi suatu  yang spektakuler, semisal diskusinya berakhir dengan berdirinya sebuah parpol, berdirinya penerbit buku, berbagai macam model usaha,  dan sebagainya.
Apapun pandangan orang luar terhadap tradisi minum kopi kita orang Aceh adalah sah-sah saja. Namun, perlu ada kajian yang lebih dalam untuk membuktikan tradisi kita di warung kopi adalah hal yang positif. Dari beberapa hasil survey kecil-kecilan yang penulis lakukan, terungkap beberapa orientasi penghuni warung kopi di Aceh, misalnya; ke warung kopi sekedar candu ie kupi, cari internet gratis, nonton bola, sekedar nongkrong, berkumpul dengan teman-teman sejawat, rekan kerja dan sebagainya. Disini terlihat bahwa tradisi minum kopi ini telah membentuk sebuah kultur budaya yang tidak jelas arahnya kemana, berbeda dengan tradisi di masa lalu yang seperti yang penulis sebutkan di paragraf pertama, dimana tradisi minum kopi masyarakat Aceh ketika itu pada akhirnya menjadi cikal bakal bagian dari lahirnya peradaban Aceh yang elegan dan memiliki nilai sosial yang kuat.
Dari aspek historis, ternyata tradisi minum kopi di Aceh sudah ada sejak masa kerajaan Islam Aceh. Sebagian sejarawan meyakini tradisi ini merupakan budaya imporan dari Dinasti Turki Usmani (Khilafah Islamiyah) yang saat itu juga memiliki tradisi yang sama. Kita ketahui bahwa Kerajaan Islam Aceh Darussalam dahulu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekhalifahan Islam Turki Usmani, hubungan erat ini pula yang akhirnya menyebabkan terjadinya asimilasi(percaburan) budaya Hal ini misalnya seperti yang diakui oleh Muhammad Alkaf, bahwa tradisi minum kopi masyarakat Aceh di era sekarang ini merupakan bagian dari pertemuan Aceh dengan peradaban lama Turki Usmani yang Islam ketika itu, maka sangat relevan bila kemudian penulis memilki inisiatif bagaimana agar pengaruh dari tradisi minum kopi di Aceh kita kembalikan ruhnya sebagai titik tolak bagaimana melihat perdaban Aceh masa depan berkaca pada peradaban awal Aceh yg telah bersentuhan dengan Turki Usmani sebagai ’Kekhalifahan Islam’ di masa lalu.
Dengan demikian, tradisi minum kopi dengan segala topik komunikasinya mestinya bisa diarahkan ke dalam wacana peradaban impian Aceh di masa depan dengan tetap berlandaskan pada frame (kerangka) dasar nilai-nilai Islam. Hal ini tentu sangat mudah dilakukan, mengingat fasilitas warung kopi di Aceh yang semakin lengkap setelah mayoritas warung kopi di Aceh menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi) gratis bagi para pelanggan yang dengannya berbagai informasi penting bisa sangat mudah dan cepat didapatkan. Dengan ini, remaja-remaja Islam di Aceh bisa melihat dunia dari meja warung kopi. Mereka juga tidak memiliki kendala jika hendak beribadah di warung kopi, sebab, meskipun saat ini warung kopi di Aceh didirikan jauh dari mesjid namun disana menyediakan mushalla. Begitu juga diskusi-diskusi yang sangat berkembang disana mestinya bisa lebih terarah ke hal-hal yang positif dan produktif, jadi warung kopi bukan lagi sebatas tempat nongkrong menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi jika ke warung kopi hanya untuk huru-hara bersorak tanpa makna yang bahkan justru menyemaratkan Aceh sebagai serambi Mekkah yang sedang membangun peradaban Islam baru. Dengan mengembalikan kembali ruh tradisi ’warung kopi’ kita seperti sedia kala, niscaya berbagai persepsi miring orang luar yang selama ini memandang warung kopi sebagai ’simbol kemalasan’ akan terbantahkan dengan sendirinya, jika ’tidak’ mungkin persepsi miring tadi akan menjadi fakta yang tak akan pernah terbantahkan.

2.      Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh
  1. Ritual keagamaan dikuburan Massal
Ritual keagamaan di kuburan Massal Siron Aceh Besar dan Kuburan Massal Ule Lheue Banda Aceh dalam rangkaian peringatan lima tahun tsunami. Selain ritual doa, mereka juga menabur bunga di dua kuburan massal tersebut, serta melepas ribuan keranjang kecil berisi lilin, dupa, dan ketan kuning ke laut.
  1. Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
Pada saat bayi telah lahir disambut dengan azan bagi anak laki-laki dan qamat bagi anak perempuan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat yang ditanam ari-ari tersebut dibuat api unggun, hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti : Adanya orang ilmu hitam yang memanfaatkan benda tersebut, tangisan bayi diwaktu malam dan dari serangan binatang pemangsa seperti anjing. Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir, diadakan upacara cukuran rambut dan peucicap, kadang-kadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan dengan mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan: ” Bismillahirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah rezekimu, taat dan beriman serta terpandang dalam kawom”. Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis, asin. Ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa, bisa dia bedakan antara satu rasa dengan rasa yang lainnya. Sebelumnya, bayi hanya mengenal ASI eklusif yang dia dapatkan dari ibunya. Pada zaman dahulu upacara turun tanah dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, bagi kelahiran anak yang pertama upacaranya lebih besar. Namun untuk saat sekarang ini masyarakat tidak mengikutinya lagi, apalagi bagi ibu-ibu yang beraktifitas di luar rumah seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dan karyawati di instansi tertentu. Ke luar rumah sampai satu tahun dan dua tahun itu dianggap tidak efisien dan tidak praktis lagi. Bagi ibu-ibu pada zaman dahulu, selama jangka waktu satu atau dua tahun tersebut mereka menyediakan persiapan-persiapan kebutuhan upacara.

Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah, mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti : pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
  1. Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil
Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya. Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat.

 
  1. RUJUKAN
sekretaris Redaktur Buletin ’Peunawa’ LKAS(Lembaga Kajian Agama dan Sosial) Banda Aceh.

Sunday, 20 December 2009 23:32
Banda Aceh | Harian Aceh