Tuesday, July 2, 2013

GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM ACQUIRED IMMUNODEFFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI JAKARTA

Pendahuluan
Sejak ditemukannya AIDS pada tahun 1981, pengetahuan mengenai spektrum manifestasi klinis infeksi HIV telah berkembang dengan pesat. Telah semakin jelas pula bahwa kejadian klinis sekunder terhadap infeksi HIV timbul secara kronologis dan dapat diramalkan berdasarkan nilai hitung limfosit CD4+. Infeksi oportunistik tertentu timbul sesuai dengan derajat defisiensi imun yang direflikasikan oleh hitung CD4+ yang menurun secara bertahap. Gambaran klinis AIDS berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan geografi, lingkungan mikrobiologi, strain kuman dan kepekaan genetis host. Di Amerika dan Eropa, pneumonia P. carinii merupakan jenis infeksi terbanyak, sementara di Asia dan Afrika penyakit tuberkulosis dan jamur. Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap AIDS perlu diketahui mengenai gambaran klinis penyakit tersebut di Indonesia. Berikut ini laporan mengenai gambaran klinis dan laboratorium pasien AIDS di Jakarta.
Seorang laki-laki berumur 43 tahun, sebut saja namanya Tn.D, pendidikan S-3, bekerja sebagai dosen di sebuah Universitas terkenal di Jakarta. Pada bulan Januari 1995 menderita herpes-zoster yang luas di daerah dada, yang kemudian sembuh setelah berobat ke dokter. Tiga bulan kemudian sering diare 3-4 kali sehari, demam naik-turun dengan pola panas yang tidak menentu. Dia berobat ke dokter di Jakarta sampai beberapa kali, panas kadang-kadang turun sebentar, namun beberapa hari kemudian timbul lagi hal yang serupa. Di samping itu, dia sering sariawan akhir-akhir ini disertai sakit menelan, berat badan turun dari 65 kg menjadi 45 kg. Pada bulan Juli 1995, dikulitnya timbul bercak keunguan. Laki-laki tersebut, memutuskan untuk berobat ke Singapura. Dokter di Singapura segera melakukan pemeriksaan serologi HIV, ternyata hasilnya positif. Kecurigaan dokter tersebut sangat beralasan, karena manifestasi klinis yang dijumpai amat menyokong untuk infeksi HIV. Ia, mengalami wasting syndrome, yaitu penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan sebelumnya, disertai diare selama satu bulan atau lebih, disertai panas selama satu bulan atau lebih dan malaise.
Sindrom ini ditemukan pada > 90% pasien AIDS. Sariawan disertai sakit menelan yang dikeluhkannya ternyata suatu kandidiasis oral dan esofagus, sedangkan bercak keunguan pada kulit ternyata sarkoma Kaposi. Gejala inipun cukup karakteristik pada pasien  AIDS, artinya bila didapatkan salah satu dari gejala ini telah merupakan indikasi untuk tes HIV.

Bahan dan Cara
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mempelajari catatan medik pasien AIDS yang dikelola oleh kelompok studi khusus (POKDISUS) AIDS RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, selama periode November 1990 sampai Februari 1996.
Tempat penelitian adalah enam rumah sakit di Jakarta, yaitu: RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, RS. Metropolitan Medical Center, RS. Kramat-128, RS. Medistra, RS. Kanker Dharmais dan RS. Infeksi Prof. Sulianti Jakarta.

Hasil Penelitian
1.      Karakteristik Demografi
Selama kurun waktu November 1990 sampai dengan Februari 1996, didapatkan 44 catatan medik pasien AIDS, terdiri dari 41 orang laki-laki (93,2%) dan 3 orang wanita (6,9%), perbandingan laki-laki dengan wanita 13,6:1. Kelompok umur yang paling banyak ditemukan 30-39 tahun (52,3%), rata-rata umur 35,8 tahun. Sebagian besar pasien berpendidikan tinggi (86,4%). Kewargaan Negara terutama Negara Indonesia (WNI) 38 orang (86,4%). Pasien terdiri dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia, terutama suku bangsa Jawa (30%), Tionghoa (26,3%) dan Minang (15,8%). Sebagian besar pasien belum menikah (59,2%), sedangkan yang sudah menikah (22,7%). Rincian karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel 1.

2.      Cara Penularan
Penularan penyakit terutama melalui hubungan seksual, yaitu pada 41 orang (93,1%). Penularan melalui transfusi darah/produk darah 1 orang (2,3%) dan melalui pemakaian narkotik suntikan (IVDU) + heteroseksual 1 orang (2,3%). Pada 1 orang pasien (2,3%) tidak diketahui cara penularannya. Dari 41 orang penularan melalui hubungan seksual didapatkan homoseksual + biseksual 35 orang (85,4%) dan heteroseksual 6 orang (14,6%). Tabel 2 dan 3 menggambarkan cara penularan.

3.      Manifestasi Klinis
Semua pasien (100%) mengalami demam yang lama (lebih dari 1 bulan), batuk-batuk didapatkan pada 40 pasien (90,9%), sariawan + sakit menelan 37 orang (84,1%). Sebanyak 36 orang (81,8%) didapatkan penurunan berat badan yang menyolok (> 10% berat badan sebelumnya), wasting syndrome dijumpai dalam jumlah yang sama. Diare ditemukan pada 33 orang (75%), sesak napas 20 orang (45,4%). Sebanyak 14 orang pasien didapatkan pembesaran kelenjar getah bening setempat (31,8%). Penurunan kesadaran ditemukan pada 9 orang pasien (20,4%), 7 orang (15,9%) mengeluh adanya penurunan visus, dimana 1 orang diantaranya mengalami kebutaan. Ensefalopati HIV dan neuropati HIV terdapat pada masing-masing 2 orang (4,5%). Penyakit keganasan yang dijumpai adalah sarkoma Kaposi 5 orang (11,4%) dan limfoma malignum non-Hodgkin 1 orang (2,3%). Untuk lebih jelas mengenai manifestasi klinis dapat dilihat pada tabel 4.

4.      Infeksi Oportunistik
Pola infeksi oportunistik yang ditemukan paling banyak kandidiasi oral dan esofagus 37 pasien (84,1%). Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik nomor dua terbanyak, yaitu 19 orang (43,2%), masing-masing terdiri dari tuberkulosis paru + ekstra  pulmonal 9 pasien (20,4%), tuberkulosis paru 7 pasien (15,9%) dan tuberkulosis  paru ekstrapulmonal 3 orang (6,8%). Infeksi cyctomegalovirus terdapat pada 15 pasien (34,1%), 8 orang diantaranya (18,2%) mengalami CMV retinitis. Pneumonia rekuren dijumpai pada 14 orang (31,8%), ensefalitis toksoplasma 8 orang (18,6%). Pneumonia P. Carinii terdapat pada 6 orang (13,6%). Infeksi virus herpes simpleks (HSV) ditemukan pada 4 orang (9,1%), 2 orang (4,5%) mengalami M.A.C. bakteremia. Masing-masing pada 1 orang pasien (2,3%) dijumpai Crystosporidiosis dan histoplasmosis. Pola infeksi oportunistik ini tergambar  pada tabel 5.

5.      Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan hitung limfosit CD4+ saat pertama kali diagnosis AIDS ditegakkan, kurang dari 200/ul sebanyak 37 pasien (84,1%), antara 200-500/ul 6 orang (13,6%). Tidak dijumpai pasien dengan hitung CD4+ nya. Hitung limfosit total pada darah tepi didapatkan < 1000/ul sebanyak 38 orang (86,3%), hanya 5 orang (11,4%) nilai hitung limfosit totalnya diantara 1000-2000/ul. Tidak dijumpai pasien dengan hitung limfosit total > 2000/ul, 1 orang pasien (2,3%) tidak ada data. Anemia ditemukan pada 37 pasien (84,1%), leukopenia 23 orang (52,3%), trombositopenia 5 orang (11,4%). Ada 2 orang pasien tidak ada data pemeriksaan ini. Hampir semua pasien, 42 orang (95,4%) mendapat terapi antiretrovirus terutama AZT, beberapa pasien lain mendapat kombinasi AZT dengan DDI atau DDC. Lebih dari separuh pasien, 26 orang (60%) telah meninggal dunia.

Diskusi
Sebagian besar pasien pada penelitian ini adalah laki-laki (93,2%), kelompok usia produktif (30-39 tahun) sebanyak 52,3%. Data ini tidak jauh berbeda dengan data di Indonesia secara keseluruhan, dimana mayoritas pada kelompol usia 20-29 tahun (46,6%) dan kelompok usia 30-39 tahun (28,5%).
Penularan infeksi HIV umumnya melalui 4 cara, yaitu hubungan seksual, transfusi darah atau produk darah, jarum suntik pecandu narkotik (IVDU) dan transmisi perinatal. Dari semua ini yang paling banyak berperan adalah penularan melalui hubungan seksual (80-90%). Di Negara maju penularan terutama melalui hubungan homo/biseksual (Kanada, Inggris) hampir 80%, Amerika Serikat 56% menyusul IVDU. Akhir-akhir ini banyak Negara maju melaporkan kecenderungan peningkatan penularan di kalangan heteroseksual. Di Negara berkembang seperti Afrika dan Thailand penularan terutama melalui heteroseksual di samping IVDU. Data di Indonesia sampai bulan April 1996 menunjukkan penularan melalui heteroseksual yang paling banyak (58,8%), sedangkan homo/biseksual 21%. Sementara laporan dari Bali melalui program out-reach pada bulan Januari 1992-Juli 1995, dari 14 orang pasien HIV positif, 85,7% diantaranya penularan melalui homoseksual dan biseksual. Pada penelitian ini penularannya melalui hubungan seksual (93,1%), dimana 85,4% diantaranya homo+biseksual.
Manifestasi klinis yang sangat menyolok adalah demam yang lama lebih dari 1 bulan (100%). Sebuah study di Bombay melaporkan bahwa wasting syndrome dijumpai pada 88% pasien, sementara beberapa laporan lain mengatakan ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Etiologi penurunan berat badan bersifat multifaktorial, antara lain karena malabsorbsi, asupan kalori yang rendah, gangguan metabolik dan hormonal. Diare merupakan gangguan saluran cerna terbanyak, menurut laporan paling sedikit 50% pasien mengalami gangguan ini. Penyebabnya sebagian besar karena mikroorganisme patogen seperti cryptosporidia, isospora, cytomegalovirus, campylobacter, salmonella dan shigella serta M. avium intracellulare (MAC). Di Jakarta dijumpai 75% pasien mengalami diare yang lebih dari 1 bulan, 2,3% diantaranya terbukti cryptosporidiosis, 4,5% dijumpai MAC bakteremia, 2,3% hasil biopsi CMV positif pada saluran cerna. Penyebab yang lain tidak dapat ditentukan secara pasti. Pada keadaan tidak ditemukan mikroorganisme patogen, infeksi HIV sendiri pada epitel intestinal juga dapat menimbulkan gejala ini. Keluhan sariawan yang disertai sakit menelan (odinofagia) umumnya disebabkan karena infeksi jamur kandida. Keluhan sesak napas yang dialami oleh 45,4% pasien disebabkan oleh pneumonia rekuren 31,8% dan PCP 13,6%. Limfadenopati pada stadium lanjut infeksi HIV paling sering diakibatkan tuberkulosis, sebab lain infeksi M.A.C ataupun limfoma. Sedangkan pada tahap awal, infeksi HIV sendiri menimbulkan persistent generalized lymphadenopathy (PGL). Maniar JK dkk, pada penelitiannya di Bombay menemukan limfadenopati pada 61,5% pasien. Dari 9 orang (20,4%) pasien yang mengalami penurunan kesadaran, 8 diantaranya karena ensefalitis toksoplasma dan satu orang lagi karena meningitis tuberkulosis. Neuropati HIV pada penelitian ini didapatkan 4,5% ditunjang dengan pemeriksaan elektromiografi (EMG). Gejala neurologi lainnya yang sering ditemukan adalah ensefalopati HIV (AIDS dementia complex), timbul sekitar 16% pada pasien infeksi HIV. Gejalanya berupaya daya piker melambat, inisiatif berkurang dan daya ingat memburuk, kadang-kadang disertai distonia, ataksia dan tetraparesis. Gambaran neuropatologinya > 90% menunjukkan atrofi serebri. Sebanyak 4,5% pasien penelitian ini yang menderita ensefalopati HIV menunjukkan gejala menurunnya daya ingat dan proses berfikir yang melambat. Dari pemeriksaan CT-Scan kepala, semuanya menunjukkan atrofi serebri. Sarkoma Kaposi merupakan salah satu penyakit keganasan yang sering dijumpai pada infeksi HIV. Pasien HIV positif laki-laki homoseksual dan biseksual mempunyai risiko 20 kali lebih besar untuk mendapatkan sarkoma Kaposi dibanding HIV positif hemophilia. Akhir-akhir ini diduga ada peran sejenis virus herpes yang disebut Kaposi’s sarcoma-associated herpes virus (KSHV) terhadap timbulnya penyakit ini. Sebanyak 11,4% pasien penelitian ini dijumpai adanya sarkoma Kaposi, jenis keganasan lain limfoma malignum non-Hodgkin hanya ditemukan 2,3%.
Ciri utama infeksi HIV adalah imunodefisiensi kuantitatif dan kualitatif progresif limfosit CD4+, limfosit ini berperan dalam mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis. Berdasarkan hitung CD4+ derajat defisiensi imun pasien HIV diklasifikasikan menjadi ringan (dini) bila CD4+ lebih dari 500/ul, defisiensi imun sedang bila CD4+ 200-500/ul dan defisiensi berat bila jumlahnya kurang dari 200/ul. Hitung CD4+ kurang dari 200/ul merupakan salah satu petanda stadium AIDS menurut kriteria CDC 1993 yang direvisi. Untuk Negara berkembang dimana fasilitas pemeriksaan CD4+ belum memadai, WHO menganjurkan hitung limfosit total dari pemeriksaan darah tepi, dapat digunakan sebagai tolok ukur. Baltt dkk, pada penelitiannya mendapatkan bahwa hitung limfosit kurang dari 1000/ul berhubungan erat dengan hitung CD4+ kurang dari 200/ul. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan oleh WHO. Pada penelitian ini 84,1% pasien mempunyai CD4+ kurang dari 200/ul, dalam jumlah yang hampir sama (86,3%) nilai limfosit total < 1000/ul. Sedangkan leukopenia (L< 4000/ul) didapatkan 52,3%. Anemia sering pula dijumpai pada pasien AIDS, meliputi 70-90% pasien, pada penelitian ini dijumpai 84,1%. Banyak faktor yang berperan terhadap timbulnya anemia seperti infeksi, supresi sel progenitor oleh HIV, anemia defisiensi dan penyakit keganasan. Trombositopenia yang dilaporkan timbul pada 30% pasien AIDS. Pada pasien kami dijumpai 11,4%.
Penurunan hitung CD4+ diikuti oleh meningkatnya risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik dan penyakit keganasan. Sering pula terjadi reaktivasi infeksi laten seperti tuberkulosis, infeksi CMV dan toksoplasmosis. Infeksi oportunistik ini timbul sesuai dengan derajat defisiensi imun yang direfleksikan oleh hitung CD4+. Informasi hitung CD4+ sangat penting untuk membuat keputusan klinik seperti pemberian terapi antiretrovirus, profilaksis infeksi oportunistik dan penilaian progresivitas penyakit.
Jenis infeksi oportunistik terbanyak adalah kandidiasi oral dan esofagus (84,1%). Pasien mengeluh adanya sariawan disertai sakit menelan (odinofagia). Pada pemeriksaan biakan usapan lidah tumbuh koloni kandida. Satu orang pasien dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas, disepanjang esofagus dipenuhi oleh kandida. Bila ditemukan pasien dengan kandidiasis oral dan disertai keluhan odinofagia atau disfagia, diagnosis kendidiasis esofagus dapat ditegakkan. Biasanya timbul bila CD4+ < 200/ul. Pada pasien kami penyakit ini timbul pada CD4+ rata-rata 104/ul. Prevalensi kandidiasis oral dan esofagus pada AIDS bervariasi luas. Di Amerika prevalensinya rendah ± 14% tetapi di Afrika 35%. Di Negara tetangga Thailand, kandidiasis oral dan esofagus hanya didapatkan pada 4,2% pasien. Infeksi oportunistik terbanyak di Negara ini oleh golongan jamur Cryptococcus (25,8%) dan penicillosis (16,2%). Sedangkan di Amerika dan Eropa infeksi oportunistik terbanyak adalah Pneumonia pneumocystis carinii. Respons pengobatan dengan pengobatan anti jamur umumnya baik, obat pilihan adalah flukonazol. Karena angka kekambuhan tinggi dianjurkan pemberian terapi profilaksis sekunder bila infeksi sudah teratasi.
Jumlah pasien tuberkulosis di beberapa Negara di dunia meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah pasien AIDS. Di Amerika, dari tahun 1985-1993 jumlah pasien tuberkulosis meningkat sampai 14%, padahal di Negara ini sebelumnya insidensi tuberkulosis cenderung menurun. Di beberapa Negara di Afrika jumlah pasien per tahun meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat dibanding dengan sebelum adanya epidemi AIDS. Di Asia, misalnya di Thailand, hasil studi di RS. Chiangmai, menunjukkan bahwa prevalensi HIV positif pada kasus tuberkulosis paru yang baru meningkat dari 1,5% pada tahun 1990 menjadi 45,5% pada tahun 1994. Tuberkulosis pada infeksi HIV umumnya disebabkan karena reaktivasi infeksi laten akibat menurunnya imunitas selular pasien. Dibandingkan dengan jenis infeksi oportunistik lain yang biasanya timbul pada hitung CD4+ < 200/ul, tuberkulosis umumnya muncul lebih awal. Studi di San Francisco menunjukkan bahwa tuberkulosis timbul pada median hitung CD4+ 326/ul, di Perancis 281/ul. Akan tetapi di Zaire 70% dari HIV positif yang menderita tuberkulosis paru mempunyai hitung CD4+ < 200/ul. Pada penelitian ini jauh lebih rendah 103,4/ul. Rata-rata hitung CD4+ masing-masing pada tuberkulosis paru 97,43/ul, tuberkulosis paru + tuberkulosis ekstra pulmonal 107,8/ul dan tuberkulosis ekstra pulmonal 103,6/ul, tampak di sini tidak banyak perbedaannya. Pada penelitian lain didapatkan rata-rata hitung CD4+ pada tuberkulosis ekstra pulmonal lebih rendah (153/ul) dibanding tuberkulosis paru (367/ul). Semua pasien dengan tuberkulosis ekstra pulmonal bermanifestasi sebagai limfadenitis tuberkulosis. Sedangkan pada 9 orang pasien dengan tuberkulosis paru + tuberkulosis ekstra pulmonal, bermanifestasi ekstra pulmonal yang dijumpai adalah 1 orang meningitis dan limfadenitis tuberkulosis, 1 orang koroiditis tuberkulosis, 1 orang efusi pericardial dengan kultur tuberkulosis positif dari cairan perikardialnya + limfadenitis tuberkulosis. Studi-studi terdahulu melaporkan kebanyakan tuberkulosis pada pasien HIV berupa ekstra pulmonal dan diseminata, namun pada studi terbaru setelah tahun 1990 menunjukkan gambaran klinis yang tidak jauh berbeda.
Infeksi CMV timbul 30-40% pada penderita AIDS, biasanya pada hitung CD4+ yang sangat rendah (< 100/ul). Umumnya terjadi akibat reaktivasi infeksi laten pada masa lampau. Berbagai organ dapat terkena seperti mata, saluran cerna, otak dan paru-paru. Infeksi CMV pada mata paling sering dijumpai, rata-rata mencapai 25% pada pasien AIDS, bermanifestasi sebagai retinitis CMV dengan gejala penurunan visus. Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan adanya eksudat disertai perdarahan retina, gambaran ini dikenal sebagai pizza pie appearance. Apabila tidak segera diobati, dalam waktu cepat pasien akan mengalami kebutaan. Terapi inplantasi ganciclovir pada mata memberikan hasil yang cukup baik. Pada penelitian ini, 34,1% pasien dengan infeksi CMV, lebih dari separuhnya (8 dari 15 pasien) mengalami retinitis CMV. Semua pasien retinitis CMV mengeluh adanya penurunan visus, 1 orang diantaranya buta total. Semua pasien terdeteksi adanya antibodi IgG terhadap CMV, kecuali pada 1 orang tidak ada data. Rata-rata CD4+ pada pasien ini 72,6/ul.
Didapatkan pula peningkatan insidens pneumonia bakterial pada pasien infeksi HIV, biasanya disebabkan Streptococcus pneumoniae dan Haemophyllus influenza. Respons dengan antibiotik pada mulanya baik, namun kemudian sering terjadi rekuren. Pneumonia rekuren pada penelitian ini cukup banyak, yaitu 32,5%. Jenis pneumonia lain yang didapatkan pada pasien penelitian ini adalah Pneumonia pneumocystis carinii (PCP) sebanyak 14%. Di Negara maju seperti Amerika dan Australia, PCP merupakan infeksi oportunistik terbanyak. Sebelum era terapi profilaksis PCP dengan kotrimoksazol, di Amerika 60-85% pasien AIDS mengalami PCP. Di Negara berkembang seperti Afrika, PCP didapatkan < 10%, lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan tuberkulosis pneumonia bakterial. Sebelum ada epidemi AIDS penyakit ini sangat jarang dijumpai. Trias klasik gejala penyakit ini berupa batuk kering, panas dan sesak napas. Pada toraks foto tampak gambaran infiltrate interstisial pada kedua paru, analisis gas darah menunjukkan hipoksemia. Lebih dari 90% pasien PCP ternyata mempunyai hitung CD4+ < 200/ul. Pada penelitian ini CD4+ rata-rata pada pasien PCP 116,2/ul. Menurut laporan National Health Statistic Center, angka kematian pasien AIDS karena PCP telah menurun dari 32% menjadi 14% setelah diterapkan terapi profilaksis. Demikian juga insidens PCP sebagai penyakit indikator AIDS telah pula berkurang dari 63% tahun 1987 menjadi 32% pada tahun 1993. Di samping sebagai terapi profilaksis, kotrimoksazol juga merupakan obat pilihan utama pada pengobatan PCP.
Toksoplasmosis pada pasien AIDS merupakan infeksi oportunistik yang menyerang otak dan menimbulkan ensefalitis toksoplasma, bila tidak segera diobati akan bersifat fatal. Seperti juga PCP, insidens penyakit ini meningkat tajam setelah ditemukannya penyakit AIDS. Diperkirakan ensefalitis toksoplasma ditemukan pada ± 30% pasien AIDS, biasanya timbul bila CD4+ < 200/ul dan hampir semuanya akibat reaktivasi infeksi laten. Penyakit ini berperan pula sebagai penyebab utama timbulnya lesi fokal pada otak pasien AIDS, yaitu sebanyak 50-70% pada pemeriksaan CT-Scan otak tampak gambaran yang khas berupa multiple ring enhancement. Sebanyak 18,6% pasien pada penelitian ini mengalami ensefalitis toksoplasma rata-rata hitung CD4+ 76,1/ul. Satu orang pasien tidak ada rata-rata CD4+ nya. Obat pilihan utama pada penyakit ini kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine. Pada penelitian bila diberikan pada tahap awal sangat efektif (80-90%), tetapi obat banyak pula menimbulkan efek samping. Karena angka kekambuhan besar (50-80%), pada pasien yang telah mengalami resolusi dianjurkan untuk melanjutkan terapi pemeliharaan dengan obat yang sama.
Infeksi oportunistik lainnya dijumpai dalam jumlah kecil pada penelitian ini, infeksi Herpes simplex virus (HSV) 9,3%. Pada semua pasien dideteksi adanya IgM dan IgG HSV. Rata-rata hitung CD4+ nya 47,5/ul. Infeksi HSV biasanya mengenai daerah mukokutan pada orolabial atau onogenital. Respons terapi dengan acyclovir cukup baik. Mycobacterium avium complex (MAC) bakteremia sangat jarang ditemukan sebelum epidemi AIDS. Penyakit ini timbul pada stadium yang sangat lanjut (CD4+ < 100/ul) dan akan makin meningkat risikonya bila CD4+ < 500/ul, yaitu 10-20%. Diagnosis ditegakkan melalui isolasi mikobakterium dari darah atau sumsum tulang. Sebanyak 4,6% pasien penelitian ini mengalami MAC bakteremia dengan kultur darah positif, rata-rata hitung CD4+ nya sangat rendah (65,5/ul). Cryptosporidiosis adalah infeksi oleh protozoa yang menimbulkan gejala diare, insidensnya bervariasi pada berbagai Negara, di Amerika 10-15% namun di Afrika sampai 50%. Satu orang pasien kami yang mengalami infeksi ini, hitung CD4+ nya 74/ul. Histoplasmosis pada pasien AIDS biasanya bersifat sistemik, ditemukan terutama di daerah endemik (daerah sepanjang sungai di Amerika Serikat dan Amerika Latin). Di daerah yang tidak endemik sangat jarang dijumpai (< 1%). Hanya satu orang (2,3%) pasien penelitian ini yang mengalami histoplasmosis. Pasien ini berasal dari Amerika, penyakit ini diderita sewaktu berada di Negara tersebut.

Kesimpulan
Dari 44 orang pasien AIDS yang dikelola oleh kelompok studi khusus AIDS RSUPN.Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode November 1990 sampai dengan Februari 1996, sebagian laki-laki usia muda, penularan terutama melalui hubungan seksual. Manifestasi klinis terutama demam lama, batuk, sariawan + odinofagia, wasting syndrome, diare dan sesak napas. Infeksi oportunistik yang menyolok adalah kandidiasis oral dan esofagus, tuberkulosis, infeksi CMV, pneumonia rekuren dan ensefalitis toksoplasma. Anemia dan leukopenia didapatkan dalam jumlah yang banyak. Sebagian besar pasien mempunyai hitung CD4+ < 200/ul dan limfosit total < 1000/ul. Lebih dari separuh pasien telah meninggal dunia.

Tabel 1. Karakteristik Demografi

Jumlah
%
Jenis Kelamin:
-          Laki-laki
-          Perempuan

41
3

93,2
6,8
Kelompok Umur:
-          20-29 tahun
-          30-39 tahun
-          40-49 tahun
-          50-59 tahun

10
23
10
1

22,7
52,3
22,7
2,3
Pendidikan:
-          Tinggi (*)
-          Menengah (**)
-          Rendah (***)
-          Tidak diketahui

38
3
2
1

86,4
6,8
4,5
2,3
Kewarganegaraan:
-          WNI
-          WNA

38
6

86,4
13,6
Suku Bangsa:
-          Jawa
-          Tionghoa
-          Minang
-          Sunda
-          Tapanuli
-          Manado
-          Ambon
-          Arab
-          Bali
-          Irian

11
10
6
3
2
2
1
1
1
1

30,0
26,3
15,8
7,9
5,3
5,3
2,6
2,6
2,6
2,6
Status Marital:
-          Belum menikah
-          Menikah
-          Duda
-          Janda
-          Tidak diketahui

26
10
4
1
3

59,2
22,7
9,0
2,3
6,8

(***)    SD
(**)      SMP, SMA
(*)        Mahasiswa ke atas

Tabel 2. Cara Penularan
Cara Penularan
Jumlah
%
Hubungan seksual
Transfusi darah/produk darah
IVDU + Heteroseksual
Tidak diketahui
41
1
1
1
93,1
2,3
2,3
2,3


Tabel 3. Penularan Melalui Hubungan Seksual

Jumlah
%
Homoseksual + biseksual
·         Homoseksual
·         Biseksual
Heteroseksual
35
22
13
6
79,5
50,0
29,5
13,6


Tabel 4. Manifestasi Klinis

Jumlah
%
Panas lama
Batuk
Sariawan + sakit menelan
Wasting Syndrome
Diare
Sesak napas
Pembesaran kelenjar getah bening
Penurunan kesadaran
Penurunan visus
Sarkoma Kaposi
Neuropati-HIV
Ensefalopati-HIV
Limfoma malignum non-Hodgkin
44
40
37
36
33
20
14
9
7
5
2
2
1
100
90,0
84,4
81,8
75,0
45,4
31,8
20,4
15,9
11,4
4,5
4,5
2,3


Tabel 5. Infeksi Oportunistik

Jumlah
%
Kandidiasis oral/esofagus
Tuberkulosis
Infeksi sitomegalovirus (CMV)
Pneumonia rekuren
Ensefalitis toksoplasma
Pneumonia Pneumocystis carinii
Infeksi herpes simpleks virus (HSV)
M.A.C. bakteremia
Kriptosporidiosis
Histoplasmosis
37
19
15
14
8
6
4
2
1
1
84,1
43,2
34,1
31,8
18,2
13,6
9,1
4,5
2,3
2,3




DAFTAR PUSTAKA

Roenn JHV. Management of HIV-related Body Weight Loss. Med Progr. 1995;22:32-8.
Maniar JK, Saple DG. Presenting Clinical Features of HIV Disease-Bombay Abstract, 3rd International Conference on AIDS in Asia and Pacific. 1995:20.
Steward GJ. The Challenge: Clinical Diagnosis of HIV. In: Steward GJ (ed). Could it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Co. Ltd. 1994:4-7.
Steward GJ. The Chronology of HIV-Induced Disease. In: Steward GJ (ed). Could it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Co Ltd. 1994:1-4.
Colebunders RL, Latif AS. Natural History and Clinical Presentation of HIV Infection Adults. AIDS 5 (Suppl) 1991: 103-12.
Gold JWM. HIV-1 Infection. Med Clin North Am 1992; 76:1-15.
Carne CA. AIDS Parts-1 Opportunistic Infections. AIDS Series. Postgrade Dec Mid East, 1992;9:572-82.
Subdit P2 Kelamin & Prambusia. Ditjen P2MPLP Kesehatan Republik Indonesia.
Donovan B, et al (ed). The AIDS Manual, 3rd ed. MC. L Nan and Pretty Pty Limited. Commonwealth of Australia, 1994:1-11.
Keenlyside RA, Adler MW. Definitions and Epidemiology of AIDS. Med Intern 1989;22(2):29-33.
Editorial Heterosexual AIDS. Pessimism, Pandemis and Plain Hard Facts. Lancet, 1993;341:863-4.
Parwati T. Penemuan Kasus-kasus OHIDA dalam Program Out Reach. Disampaikan pada Seminar Nasional Perawatan dan Dukungan untuk Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (OHIDA) di Masyarakat. Jakarta 1995.
Street AM, Milliken ST. HIV-Related Haematological Disease. In: Stewart GJ (ed). Could it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Company Limited, 1994:24-26.
Brew BJ, Currie JN. HIV-Related Neurological Disease. In: Stewart GJ (ed). Could it be HIV? 2nd ed, Australasian Medical Publishing Company Limited, 1994:21-15.
Petty RKH. Recent Advances in The Neurology of HIV Infection. Postgrad Med J, 1994;70:393-403.
Chung Lin J, Ching Lin S, Chun Mar E, Pellet PE, Stamey FR, Stewart JA. Is Kaposi’s Sarcoma-Associated Herpes-Virus Detectable in Semen of HIV-Infected Homosexual Men? Lancet 1995;346:1601-2.
Lange J. Markers of Disease Progression and Criteria for Monitoring Therapeutic Efficacy. In: Lange J (ed). The Clinical Implications of Recent Advences in the Understanding of HIV Pathogenesis. Expert Opinion Forum on HIV Management. Lisbon, July 1995:10-12.
Blatt SP, Lucey CR, Butzin CA, Hendrix CW, Lucey DR. Total Lymphocyte Count as A Predictor of Absolut CD4+ Percentage in HIV-Infected Persons. JAMA 1993;269:622-26.
Street AM, Milliken ST. HIV-Related Haematologycal Disease. In: Stewart GJ (ed). Could it be HIV 2nd ed, Australasian Medical Publishing Limited 1994:34-6.
Smith GH. Treatment of Infection in The Patients with AIDS. Arch Intern Med, 1994;121:769-85.
Turner BJ, Hech FM, Ismail RB. CD4+ Trymphocyte Measures in The Treatment of Individuals Infected with Human Immunodeficiency Virus Type-1. Arch Intern Med, 1994;154:1561-69.
Laine Loren, Bonacini M. Oesophageal Disease in Human Immunodeficiency. Arch Intern Med, 1994;154:1577.
Kohno S. Overview of Fungal Infections in The Immunocompromised Host. JAMA SEA, 1994:204-7.
Chankrachang S. Cryptococal Meningitis in AIDS. Chiang Mai Expenence 3rd International Conference on AIDS in Asia and The Pacific, 1995.
De Kock KM, Wilkinson D. Tuberculosis in Recourcse-P Countries: Alternative Approaches in Era of HIV. Lancet 1995;346:657-7.
Has DW, Des Poez RM. Tuberculosis and AIDS: A Historitical Perspective on Developments. Am J Med, 1994;96:439-50.
Rosenblum LS, Castro KG, Dooley S, Morgan M. Effect of HIV Infections and Cost of Care for Young Adults in The United States, 1985 to 1990. Ann Intern Med, 1994;121:786-92.
Uthaivoravit W, Panich V, Yanai H, Sawanpanyalar P, Chuchattaworn C, Limpakarnjanarat K. Management of HIV-Related Tuberculosis in Chiang Mai. Abstract. 3rd International Conference on AIDS in The Asia and The Pacific. Chiang Mai 1995:67.
Harries AD. The Association Between HIV and Tuberculosis in The Developing World. In: Davies PD (ed). Clinical Tuberculosis. 1st ed. Madras. Chapman & Hall Medical, 1994:241-64.
Elder NC. Extrapulmonary Tuberculosis. JAMA SEA, May 1993:38-44.
Gazzard BG. Cytomegalovirus Infection. A One Day Conference. Current Issues in The Management of HIV Disease. London 1995:7-9.
Drew WL, Ives D, Lelazari JP, Crumppaker C, Follansbe SE, Spector SA, et al. Oral Gancyclovir as Maintenance Treatment for Cytomegalovirus Retinitis in Patients with AIDS. N Engl J Med, 1995;333:615-20.
Asyari F. Retinitis Cytomegalovirus Penyebab Kebutaan pada Penderita AIDS. Disampaikan pada Penemuan Ilmiah Kelompok Studi Khusus AIDS. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 1996:1-6.
Pigott P, Smith A, Mills J. HIV-Induced Respiratory Disease. In: Stewart GJ (ed). Could it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Company Limited. 1994:18-20.
Peiperl L. Transmission, Prevention, and Primary Care of HIV Infection. In: Peiperl L (ed). Manual of HIV/AIDS Therapy. 2nd ed. CCS Publishing, USA, 1995:7-22.
Hardy WD. Pneumocystis Carinii Infection. A One Day Conference. Current Issues in The Management of HIV Disease. London 1995:13-6.
Mariuz P, Luft BJ. Toxoplasmosis in AIDS. In: Wormser GP (ed). AIDS and Other Manifestations of HIV Infection. 2nd ed. New York. Raven Press 1992:383-90.
Kovacs JA. Toxoplasmosis in AIDS: Keeping The Lid On. Ann Intern Med, 1995;123:230-1.
Podzamczer D, Miro JM, Bolau F, Gatell J, Cosin J, Sirera G, et al. Twice-Weekly Maintenance Therapy with Sulphadiazine-Pyrimethamine to Prevent Recurrent Toxoplamic Encephalitis in Patients with AIDS. Ann Intern Med, 1995;123:175-80.
Smith GH. Treatment of Infection in The Patient with AIDS. Arch Intern Med. 1994;121:769-11.
Charsson RE, The Mycobacterium Avium Complex. A One Day Conference. Current Issues The Management of HIV Disease, London, 1995:11-21.

Changla AH. Mycobacterium Avium Intracellulare Infections in AIDS Patients. Postgrad Doct Mid East, 1992;11:56-60.