Indonesia merupakan negara
kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang
lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati
maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut.
Oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau
lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Salah satu komunitas yang
hidup di daerah ekoton adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove adalah
hutan yang terdapat di daerah pantai yang
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air
laut, tetapi tidak terpengaruh iklim. Hutan mangrove dikenal juga
dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau
juga hutan payau. Kata mangrove
mempunyai dua arti, pertama sebagai
komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan
terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies
(Macnae,1968 dalam Supriharyono, 2000). Hutan mangrove oleh masyarakat sering
disebut dengan hutan bakau atau hutan
payau. Penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat, karena bakau merupakan salah satu nama kelompok
jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove terdiri dari
pohon atau semak yang tergolong ke dalam
8 familia, dan terdiri atas 12 genera yaitu: Avicennie, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus
(Bengen,2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus
terdapat semua jenis mangrove. Pada mintakat ke arah darat ditumbuhi oleh jenis paku
laut (Acrostichum aureum).
Ekosistem hutan ini merupakan tipe sistem fragile yang
sangat peka terhadap perubahan lingkungan.
Tumbuhan mangrove
mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001),
menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : (1) Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove
memiliki bentuk perakaran yang khas. Akarnya bertipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora, misalnya: Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia
spp. Pada Rhyzophora spp.,
akarnya bertipe penyangga/tongkat yang
mempunyai lentisel. (2) Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi, menyebabkan
mangrove memiliki sel-sel khusus dalam
daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Selain itu, daunnya kuat dan tebal yang banyak mengandung air
untuk mengatur keseimbangan garam. Stomata pada daunnya memiliki struktur khusus untuk mengurangi penguapan. (3)
Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan
cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Sebagai salah
satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Kegunaan hutan mangrove tidak
terlepas dari letaknya antara daratan dan laut. Letak itulah yang membuat hutan
mangrove berfungsi utama sebagai penahan abrasi air laut dan pengikisan pantai
oleh air laut (Danielsen, F. 2005).
Hasil identifikasi tahun 1997-2000, luas potensial hutan mangrove di Indonesia mencapai ± 8,6 juta Ha; terdiri 3,8 juta Ha dalam kawasan hutan dan 4,8 juta Ha di luar kawasan. Pada tahun 2005,
diperkirakan 1,7 juta Ha atau 44,73 % hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan
dan 4,2 juta Ha atau 87,50
% yang berada di luar kawasan hutan
dalam kondisi rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan
manusia dalam mendayagunakan sumber daya tersebut.
Bencana tsunami 26 Desember 2004 telah
menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Provinsi Aceh seluas 174.590 Ha, terumbu karang 19.000 Ha,
dan hutan pantai 50.000 Ha (BRR
NAD-Nias, 2005). Menurut Suryadiputra (2006), sebagai akibat tsunami, lahan-lahan basah di provinsi Aceh diduga
telah banyak mengalami perubahan bentuk, luasan, maupun kualitas air dan
substrat dasarnya. Lahan basah yang sempit telah menjadi laguna dengan genangan
air asin yang lebih luas. Sebaliknya, di Pulau Simeulue diduga telah kehilangan
sekitar 25.000 Ha lahan basah pesisirnya akibat pulau ini terangkat 1 – 1,5
meter. Garis pantainya berkurang dan banyak tanaman mangrove yang mati kekeringan
akibat substratnya tidak tersentuh air.
Hasil pengamatan di berbagai kawasan di Kabupaten Aceh Jaya, tentang kualitas vegetasi pantai pasca tsunami
menunjukkan fisiognomi vegetasi telah mengalami perubahan mendasar. Hasil penanaman mangrove pada kawasan ini belum
menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan ditinjau dari laju
pertumbuhannya maupun luas tutupan wilayahnya (covered). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena kurang tepat dalam memilih jenis dan lemahnya pemeliharaan terhadap tanaman Dampak ekologis akibat
berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies
flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Dalam jangka
panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem
pesisir umumnya. Nasution (2010) dari
Koalisi Advokasi untuk Laut Aceh (KuALA) menyatakan “eksploitasi mangrove menyebabkan kerusakan
yang berlarut dan tanpa tindakan konkrit dari pemerintah Provinsi
Aceh. Kekinian ini adalah sebuah tragedi lingkungan yang memalukan bila
direfleksikan dengan kebijakan Gubernur Aceh
terkait moratorium logging dan Aceh Green-nya. Selain itu, sejumlah hasil rehabilitasi mangrove dalam
periode 5 tahun rehabilitasi-rekonstruksi Aceh diberbagai titik di pesisir
Aceh, terutama di kabupaten/kota yang terkena dampak berat tsunami
keberadaannya semakin terancam, bahkan diantaranya telah rusak dan hilang tanpa
bekas akibat pemantauan yang lemah serta arah dan kebijakan pembangunan pesisir
yang tidak berwawasan lingkungan”.
Selain itu, usaha dari berbagai pihak untuk menyelamatkan
hutan mangrove perlu digalakkan. Salah
satu caranya adalah pemberian pemahaman bagi generasi mendatang tentang hutan
mangrove melalui pendidikan formal maupun non-formal (pendidikan masyarakat). Berdasarkan uraian tesebut, maka ining
diteliti keadaan hutan mangrove di Aceh
Jaya sesudah tsunami, sekaligus mencari
solusi pengembangan model pendidikan masyarakat dalam
restorasi hutan manggrove pasca di
pesisir pantai barat Aceh, khusunya di Kabupaten Aceh Jaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada
latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah persepsi masayarakat terhadap kondisi
hutan mangrove hasil restorasi setelah tsunami di Kabupaten Aceh Jaya ?
2.
Bagaimanakah
persepsi masyarakat tentang pengelolaan kawasan mangrove setalh tsunami di Kabupaten
Aceh Jaya ?
3.
Bagaimanakah
pemahaman masyarakat sekolah terhadap hutan mangrove di Kabupaten Aceh Jaya ?
4.
Bagaimanakah
partisipasi masyarakat terhadap
pengelolaan kawasan mangrove setalh tsunami di Kabupaten Aceh Jaya ?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi hutan
mangrove hasil restorasi setelah tsunami di kabupaten Aceh Jaya
2.
Mengetahui persepsi masyarakat tentang pengelolaan kawasan
mangrove setelah tsunami di kabupaten
Aceh Jaya ?
3.
Mengetahui
pemahaman masyarakat sekolah terhadap
hutan mangrove di Kabupaten Aceh Jaya?
4.
Mengetahui
partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan
kawasan mangrove setelah tsunami di
Kabupaten Aceh Jaya ?
D. Definisi
Istilah
Untuk
menghindari kesalahpahaman terhadap variable dalam penelitian ini, maka perlu
diberi definisi dari variable tersebut.
1.
Restorasi
Hutan Mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove, baik yang dilakukan
oleh masyarakat, pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
2.
Pengelolaan
Hutan mangrove adalah usaha yang dilakukan masyarakat untuk kelestarian dan
member manfaat bagi masyarakat.
3.
Persepsi
masyarakat adalah teanggapan masyarakat tentang keberadaan hutan mangrove.
Persepsi dapat dilakukan, jika masyarakat sudah memiliki pengetahuan tentang
hutan mangrove.
4.
Partisipasi
masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove
5.
Masyarakat
yang diamksud dalam penelitian ini adalah masyarakat biasa yang bertempat tinggal
di kawasan hutan mangrove dan masyarakat sekolah, khususnya siswa SMA/SMK
E. Ruang
lingkup penelitian
Penelitian ini dibatasi hanya pada kegiatan restorasi
(perbaikan) dan pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat dan siswa sekolah
SMA/SMK yang berdomosili di kawasan mangrove.
F. Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk pembelajaran bagi
masyarakat dalam mengelola hutan mangrove yang bermanfaat ditinjau dari segi
ekologi dan ekonomi bagi masyarakat. Manfaat
yang lain adalah dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang manfaat
serta kerugian akibat rusaknya kawasan hutan mangrove.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan
yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air
laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh
iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh
pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam
Santoso, 2000).
Menurut
Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang
tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda,
dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata
mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadargaram/salinitas (pasang
surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono,
2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila
berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat
sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali
(1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh
pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas
dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam
suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies
mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi
pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies
dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe
tanah
B.
Arti Penting
Ekosistem Mangrove
Ekosistem
utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem
terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut
dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan
antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi tersendiri.
Ekosistem
mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang
dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun
berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem
terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen
(sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan
terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut.
Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di
samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar
berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun
kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).
Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis
(Santoso, 2000; Ahmad, S. 2009). Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: (1). Sebagai
peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai oleh
air laut, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap
sedimen; (2) Sebagai penghasil detritus bagi plankton yang merupakan sumber
makanan utama biota laut; (3) Sebagai daerah asuhan (nursery grounds),
tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah pemijahan (spawning
grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya; (4). Sebagai
habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan
mamalia (monyet); dan (5) Sebagai
pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonomi hutan mangrove antara lain: (1) Sebagai
penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas;
dan (2). Sebagai tempat ekowisata.
C.Hutan Mangrove Sebelum Tsunami Aceh
Provinsi Aceh wilayahnya dikelilingi
oleh perairan laut. Sebelah Utara berbatasan dengan perairan Selat Malaka dan
Laut Andaman; sebelah Timur dengan perairan Selat Malaka; sebelah Barat dan
Selatan dengan Perairan Samudera Indonesia. Panjang pantainya mencapai 1.660 km
dengan kawasan pesisir dan lautan seluas 57.365,57 Km2. Sebelum
peristiwa tsunami, provinsi Aceh di kawasan pesisir dan lautan terdiri atas
sumber daya dapat pulih (renewable
resources), sumber daya tidak dapat pulih (non- renewable resources),
dan jasa-jasa lingkungan dan pesisir (environmental
services).
Pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk pengelolaan hutan
mangrove sebelum tsunami oleh pemerintah
Aceh dapat dibedakan dalam 2 periode, yaitu: 1) Periode tahun 1956 – 1998. Periode
dimulai pada saat berdirinya Provinsi Aceh hingga sebelum masa reformasi. 2) tahun
1999 – 2004, periode ini merupakan periode awal desentralisasi dimana pemerintah
daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sumber daya
pesisir, laut dan perikanan (Pemerintah
Aceh, 2007).
Pada periode kedua, permasalahan yang berkenaan dengan pemanfaatan
pesisir dan laut di Provinsi Aceh
diantaranya: 1) Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu
karang; 2). Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai; 3). Pencemaran laut
akibat limbah rumah tangga dan kapal; 4). Tidak adanya ketentuan yang jelas
mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yang boleh dikonversi untuk
pengembangan pertambakan; 5). Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan
(konflik antar sektor, antar tingkat pemerintahan, dan antar daerah
otonom) (Pemerintah Aceh, 2007).
Hutan mangrove di provinsi Aceh telah mengalami puncak alih fungsi
menjadi tambak sejak tahun 1980-an. Pada
lokasi tertentu alih fungsinya bahkan telah berlangsung lebih awal. Seperti di
kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, alih fungsi tersebut telah berlangsung sejak
tahun 1960-an. Kondisi demikian, telah menyebabkan lanskep kawasan pesisir
menjadi rentan terhadap bencana. Hal ini diperlihatkan saat terjadi tsunami
pada bulan Desember 2004, yaitu banyak tanggul pematang tambak rusak/hancur dan
tambak terisi endapan lumpur.Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan
pesisir masih memadai, diduga hantaman gelombang tsunami tidak menimbulkan
kerusakan separah tersebut (Green Coast, 2009).
Menurut Wibisono dan Suryadiputra (2006) sampai tahun 1999 hutan
mangrove seluas 36.000 ha telah berubah menjadi tambak dan kayunya dijadikan
arang. Mengenai luas hutan mangrove
sebelum tsunami di provinsi Aceh yang diperoleh dari berbagai sumber disajikan
pada table 1 berikut.
Tabel.1. Luas Hutan Mangrove di Provinsi Aceh Sebelum Tsunami dari
Berbagai Sumber
Sumber Data
|
Tahun
|
Luas (ha)
|
Bina Program
|
1982
|
54.355
|
Silvius et al.
|
1987
|
55.000
|
INTAG
|
1996
|
60.000
|
Giesen et al.
|
1991
|
60.000
|
Forestry Planology Agency
|
2002
|
24.000
|
Sumber: Wibisono dan Suryadiputra (2006)
Pada tahun 2000, hutan mangrove di provinsi Aceh yang kondisinya baik hanya seluas 30.000 ha;
286.000 ha kondisinya moderate, dan
25.000 ha dalam kondisinya rusak. Pada tahun 2004, Departemen Kehutanan
melaporkan luas hutan mangrove di Aceh, yaitu
296.078 ha berada di pantai timur; 49.760 ha di pantai barat, dan 1000
ha di kabupaten Simeuleu.
Berdasarkan hasil penelitian Hasri (2004)
diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh di pantai Banda Aceh dan Aceh
Besar sebelum tsunami adalah: Avicienna marina, A. officinalis, A. alba,
A. lannata, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriop tangal, C. decandra, Lumnitzera littorea, L.
racemosa, Schyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, S. caseolaris, Excoecaria
agallocha, Aediceras cornoculatum, Xylocarpus rumphii, dan X. granatum.
G. Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Pasca Tsunami Aceh
Pemerintah pusat dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah
tsunami membentuk sebuah lembaga, yaitu: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR). Badan tersebut dibentuk berdasarkan Perpu No. 2 Tahun 2005 (selanjutnya
menjadi UU No. 10 tahun 2005), bertugas selama 4 tahun dan dapat diperpanjang
kembali jika diperlukan. Dengan demikian diharapkan jalannya rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh-Nias dapat terkoordinir dengan baik dan terintegrasi menjadi
bagian dari kebijakan pemerintah daerah, bukan hanya menjadi program pemerintah
pusat.
Ha tentang rehabilitasi dan rekonstruksi yang diatur dalam Perpu,
terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan perikanan adalah: (1). Penataan
ruang, dan (2) Penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan
utama yang menjadi acuan dari program rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang
lingkungan hidup dan sumber daya alam, adalah: a) memulihan kembali daya dukung
lingkungan dan mengamankan lingkungan eksisting; b) memulihkan kembali kegiatan
perekonomian masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam; c) melibatkan
masyarakat dan menggunakan pranata sosial dan budaya lokal dalam menghadapi bencana
dan kegiatan pembangunan; dan d) Memulihkan kembali sistem kelembagan sumber
daya alam dan lingkungan hidup di tingkat pemerintah. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana
Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Aceh dan Kepulauan
Nias Provinsi Sumatera Utara yang lebih dikenal dengan “BluePrint”
(Pemerintah Aceh, 2007).
Besarnya kerusakan sumber daya alam dan ekosistem akibat gempa dan
tsunami, terutama di wilayah pesisir, memerlukan perhatian khusus dan menjadi
pertimbangan dalam melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Strategi
pemulihan kembali daya dukung lingkungan pesisir dan laut di lakukan sebagai berikut: (1) Merehabilitasi terumbu
karang. Kegiatan pokok meliputi pendataan kembali terumbu karang, penanaman
kembali terumbu karang dan penyusunan mekanisme kelembagaan. (2). Merehabilitasi
dan membangun zona penyangga/sabuk hijau (green belt) (Pemerintah
Aceh, 2007).
Tujuan membangun sabuk hijau (green belt) agar garis pantai/tepi dari berbagai badan
perairan dapat diamankan dari pengaruh-pengaruh kekuatan alam yang merusak
(seperti abrasi, erosi, angin dan sebagainya). Dari berbagai kebijakan
tentang sabuk hijau, pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk menyelamatkan
garis pantai/pesisir, antara lain: (1). Melakukan rehabilitasi tanaman mangrove
pada daerah tanaman mangrove sebelumnya tumbuh. Tujuannya adalah: merehabilitasi
dan mengembangkan mangrove seluas 164.840 ha di provinsi Aceh dan 9.750 ha di
Sumatera Utara dalam kurun waktu 2006-2010 untuk kepentingan perlindungan
pantai maupun pemanfaatannya sebagai tempat pemijahan dan perkembangan
perikanan dan ekosistem baru yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan meliputi: a) Memetakan
kondisi kawasan ekosistem mangrove Aceh dan Nias; b) Melakukan kajian tentang
karakter dan poteni pantai; c) Menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi hutan
mangrove dan penanaman pantai lainnya; d) Menyusun rencana teknik rehabilitasi
hutan mangrove dan penanaman tanaman pantai lain jangka menengah; e) Melaksanakan
rehabilitasi hutan mangrove di zona pantai dan zona perikanan/pertambakan
(mengikuti rencana tata ruang) secara terpisah maupun terintegrasi khususnya
dengan metode silvo-fishery (budi daya perikanan berwawasan lingkungan);
f) Menyusun mekanisme kelembagaan untuk memelihara, memantau dan mengevaluasi
hasil rehabilitasi hutan mangrove; (2). Rehabilitasi kawasan tambak dan
ekosistem habitat kritis. Tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi ekologi
pada ekosistem pantai dan habitat kritis guna meningkatkan nilai dan fungsi
ekosistem. Kegiatan yang dilakukan meliputi: a) Mengintegrasikan rencana tata ruang tambak ke dalam rencana umum tata
ruang provinsi, meliputi: menyusun
panduan pengelolaan tambak berbasiskan potensi sumber daya hayati laut lestari,
menyusun rencana rinci terhadap zonasi kawasan pantai yang berfungsi untuk
lindung, tambak dan hutan kota, merehabilitasi
dan menata kembali ekosistem pantai termasuk eksosistem tambak melalui
partisipasi masyarakat, menyusun masterplan dan detail desain setiap kawasan
pengembangan usaha budidaya tambak, melakukan rehabilitasi terhadap vegetasi
perintis selain tanaman mangrove di kawasan pesisir sesuai dengan karakter dan
aspirasi masyarakat pesisir, dan melakukan pemantauan dan memelihara nilai
keanekaragaman hayati di dalam eksosistem kritis; b). Kebijakan revitalisasi kegiatan
perekonomian masyarakat pesisir yang berbasis sumber daya alam, strategi yang
ditempuh, yaitu memulihkan dan meningkatkan kegiatan perikanan. Kegiatan pokok
meliputi: mengembalikan kegiatan perikanan tangkap, merehabilitasi lahan tambak
masyarakat dan perikanan budi daya lainnya, dan
merehabilitasi fasilitas kegiatan
ekonomi masyarakat pesisir (Pemerintah Aceh, 2007).
Strategi yang ditempuh dalam menghadapi bencana dan kegiatan
pembangunan adalah melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bidang
kelautan dan perikanan. Kegiatan pokok meliputi memberdayakan pranata sosial
dan lembaga adat yang ada dalam proses perencanaan dan pelaksanaan serta
membangun mekanisme pengawasan sesuai dengan nilai sosial, budaya dan aspirasi
masyarakat setempat.
H. Kerusakan Hutan Mangrove Akibat Tsunami Aceh
Tsunami 2004 telah mengakibatkan
perubahan bentang alam yang cukup serius, seperti hilangnya daratan dan terbentuknya
rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban jiwa, juga telah menghancurkan
vegetasi mangrove yang ada di pesisir timur dan barat provinsi Aceh. Besarnya
kerusakan hutan mangrove, menurut Lapan
(2005) yang mencapai 32.003 ha, yang secara terperinci disajikan pada Tabel 2
berikut.
Tabel. 2. Luas
Hutan Mangrove yang Rusak Akibat Tsunami di Provinsi Aceh
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Luas (Ha)
|
1.
|
Banda Aceh
|
111.3
|
2.
|
Lhokseumawe
|
308,6
|
3.
|
Aceh Jaya
|
67,6
|
4.
|
Aceh Singkil
|
1.460,4
|
5.
|
Aceh Tamiang
|
16.09500
|
6.
|
Aceh Timur
|
10.453,6
|
7.
|
Pidie
|
32,3
|
8.
|
Aceh Barat Daya
|
2,7
|
9.
|
Aceh Barat
|
361,6
|
10
|
Aceh Besar
|
53,9
|
11
|
Simeulue
|
3.056,9
|
12.
|
Aceh Utara
|
NA
|
13.
|
Aceh Bireuen
|
NA
|
14.
|
Nagan Raya
|
NA
|
15.
|
Aceh Tengah
|
NA
|
16.
|
Bener Meriah
|
NA
|
17.
|
Aceh Tenggara
|
NA
|
18.
|
Gayo Lues
|
NA
|
19.
|
Subulussalam
|
NA
|
20.
|
Sabang
|
NA
|
21.
|
Langsa
|
NA
|
Total
|
32.003,0
|
Sumber: Lapan (2005) dalam Wibisono dan Suryadiputra
(2006)
WIIP melalui proyek Green Coast
(didanai oleh Oxfam) sampai Agustus 2008, telah menghijaukan lebih kurang 1000
ha lahan pesisir melalui penanaman mangrove dengan jumlah tanaman hidup
rata-rata 83 %. Proyek green coast sejak Februari 2006 hingga Maret 2009 telah
memfasilitasi suatu program penghijauan tambak melalui penanaman mangrove di
dalam tambak dan disekitarnya, dikenal dengan “tambak tumpangsari tanaman (sylvo-fishery). Program ini digarap oleh
empat kelompok masyarakat (jumlah anggota 40 orang) melalui penanaman 185.000 batang mangrove di
sepanjang sungai dan di saluran tambak.
Teknik analisis data dilakukan dengan cara berikut:
a.
Data hasil angket
Data hasil angket
dihitung persentasenya dan dianalisis secara
deskriptif, yaitu menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pertanyaan.
Hasil pembahasan tersebut ditarik kesimpulan untuk menjawab hipotesis.
Isi angket untuk kepala
sekolah dan guru biologi berkaitan dengan kurikulum dan proses pembelajaran
tentang hutan mangrove.
b.
Data pemahaman siswa
Data uji pemahaman
siswa tentang hutan mangrove dianalisis dengan menggunkan t-tes
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, S. 2009. Recreational
Values of Mangrove Forest in Lariut Matang Perak. Journal of Tropical Forest Science. 21 (2):
81-87.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis
Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman
Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
BRR NAD-Nias. 2005. Rencana Induk
Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara. BRR Satker Pesisir, Banda Aceh.
Dahdouh-Guebas,
F. 2005 "How effective were mangroves as a defence against the recent
tsunami?" Current Biology
15(12): pp. 443–447.
Danielsen,
F. 2005. The Asian tsunami: a protective role for coastal vegetation. Science 310: p. 643-644.
Green Coast. 2009. Menghijaukan Tambak-tambak di Aceh dengan
Mangrove: Menyelamatkan Pesisir. WIIP, Bogor.
Hasri, I. 2004. Kondisi,
Potensi Pengembangan Sumberdaya Moluska dan Krustase pada Ekosistem Mangrove di
Daerah Ulee Lhue, Banda Aceh NAD. Skripsi.
Program Studi Ilmu Kelautan, FPIK-IPB, Bogor.
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas
Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.
Kaswadji,
R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan
kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan
Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Khazali,
M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland
International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Kitamura, Sh., Chairil A.,
Amayos Ch., dan Shigeyuki Baba. 2003.
Handbook of Mangroves in Indonesia (Bali & Lombok). Departemen
Kehutanan-JICA-ISME., Jakarta.
Nasution. M.A. 2010. Kerusakan
Mangrove Aceh Terus Berlanjut: Potret Moratorium Logging yang Banci dan
Kebijakan “Aceh Green” yang Tidak Membumi. Koalisi Advokasi untuk Laut
Aceh (KuALA). www.kuala.or.id.
Diakses 22 September 2010.
Njisuh
Z.Feka., George B. Chuyong., dan Gordon
N. Ajonina., 2009. Sustainable
utilization of mangroves using improved fish-smoking systems: a management
perspective from the Douala-Edea wildlife reserve, Cameroon. Journal - Tropical Conservation
Science Vol. 2
(4):450-468
Pemerintah Aceh. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oxfam, Banda
Aceh.
Santoso, N. 2000. Pola
Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Loka- karya
Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000, Jakarta.
Supriharyono. 2000.
Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suryadiputra, I.N.N.
(editor) 2006. Kajian Kondisi Lingkungan
Pasca Tsunami di Beberapa Lokasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias.
Wetlands International Indonesia Programme /CPSG. Universitas Syiah Kula, Banda
Aceh.
Wibisono, I.T.C dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Study of Lessons Learned from
Mangrove/Coastal Ecosystem Restoration Efforts in Aceh since Tsunami.
Wetlands International Indonesia Programme (WIIP), Bogor