- RUANG LINGKUP MASALAH
1.
Simbol-simbol masyarakat Aceh
a.
Rencong
- Warna kuning
c.
Warna Merah
1). Simbol kenangan masyarakat aceh
2). Simbol malasnya orang aceh
2.
Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh
a.
Ritual keagamaan dikuburan massal
b.
Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
- Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil
- LANDASAN TEORI
- Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat Aceh berhubungan dengan kepercayaan, satu-satunya yang paling menonjol di dalam masyarakat Aceh adalah simbol "bulan bintang" di puncak-puncak mesjid. Simbol ini merata di seluruh daerah Aceh dan menunjukkan masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam.
2.
Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh
a.Ritual keagamaan dikuburan massal
b.Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
c.Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil
- PEMBAHASAN
1. Simbol-simbol Mayarakat Aceh
Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat aceh berhubungan dengan kepercayaan,
satu-satunya yang paling menonjol di dalam masyrakat Aceh adalah simbol "bulan
bintang" di puncak-puncak mesjid. Simbol ini merata di seluruh daerah Aceh
dan menunjukkan masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam. Simbol yang kedua
adalah warna hijau dalam bentuk panji-panji atau bendera, menunjukkan pada
simbol masyarakat Islam.
Panji-panji warna putih di cat pada suatu benda (misalnya pelepah kelapa) dan
ditancapkan di tengah-tengah sawah sebagai alat ajimat penolak bala terhadap
penyakit padi. Dan ada beberapa simbol-simbol yang berhubungan dengan upacara
adapt dikemukakan sebagai berikut:
- Rencong menunjukkah simbol keberanian masyarakat adat Aceh melawan Belanda. Rencong inipun merupakan sebagian dari pakaian adat orang Aceh.
- Warna kuning ini menunjukkan simbol kebesaran dan kehormatan yang pernah dipakai oleh raja-raja pada masa kerajaan, di dalam kerajaan Aceh dahulu. Sekarang simbol-simbol itu masih digunakan secara insidentil apabila datang tamu-tamu dari luar daerah atau luar negeri.
- Warna merah biasanya menunjukkan simbol keberanian dalam peperangan maupun dalam mempertahankan kebenaran.
1). Simbol Kenangan Masyarakat Aceh
Meusium
Tsunami adalah Bangunan megah itu begitu perkasa. Dengandesain yang berbeda
dari gedung biasa, dibangun di atas lahan seluas lebih kurang 10.000 persegi
yang terletak di Ibukota provinsi Aceh, Kotamadya Banda Aceh. Jika dilihat dari
udara, bangunan ini tampak seperti stadion sepakbola dengan diameter yang tak
terlalu besar. Bangunan itu adalah museum tsunami Aceh, simbol kenangan
masyarakat Aceh atas peristiwa tsunami yang meninggalkan luka lama di Aceh 6
tahun silam itu.
Lokasi Museum Tsunami
Aceh ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda (dekat Simpang Jam), di
seberang lapangan Blangpadang, persisnya di bekas kantor Dinas Peternakan Aceh
sebelah Pemakaman Kuburan Belanda (Kerkhoff) dan berjarak kira-kira 1 km dari
Masjid Raya Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh ini memiliki banyak fungsi, di
antaranya sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat
penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami, sebagai simbol kekuatan
masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami, sebagai warisan kepada
generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi
tsunami serta untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang
mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di “Cincin Api”
Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik.
Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat
memicu tsunami.
Museum Tsunami yang
telah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 23
Februari 2008 kabarnya juga terhubung dengan pusat penelitian tsunami di AS dan
Jepang. Selain itu, museum ini ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa
membayangkan seolah berjalan di antara celah air, di samping juga bisa melihat
foto-foto korban, kisah-kisah mereka yang selamat, serta simulasi elektronik
gempa di bawah laut yang menyebabkan munculnya gelombang setinggi 30 meter.
Sejak diresmikan,
museum ini ramai dikunjungi masyarakat Aceh dan sekitarnya. Museum tsunami ini
berdiri kokoh seperti mercusuar di Banda Aceh dengan bentuk kapal yang terdiri
dari 4 tingkat dan dihiasi dekorasi bermotif Islam. Atapnya menggambarkan
ombak, sedangkan di lantai pertama dipamerkan rumah tradisional Aceh yang
dilengkapi dengan peralatan untuk bisa bertahan menghadapi tsunami.
2). Simbol Malasnya Orang Aceh
Warung
kopi di Aceh dengan segala tradisinya tak ubahnya laksana miniatur terkecil
wajah kehidupan rakyat Aceh. Hiruk pikuk keseharian sebagian besar elemen
masyarakat Aceh hampir tidak pernah terlepas dari persentuhan langsung dengan
warung kopi. Hal ini tentu menarik untuk dikaji. Warung kopi telah menjadi center
atau pusat perkumpulan beragam komunitas masyarakat Aceh yang
mengawali beragam aktifitas dan rutinitas kesehariannya pada berbagai
lini.
Sementara di masa lalu,
warung kopi yang kebanyakan didirikan di samping mesjid merupakan ‘rahim’ yang
melahirkan sistem kultural yang partisipatorik dan iklim positif dalam
kehidupan masyarakat Aceh yang akhirnya turut serta menanam saham peradaban
Islam di Aceh yang tersohor hingga ke seluruh penjuru dunia. Bila azan
berkumandang, maka bergegaslah mereka berbondong-bondong ke mesjid, bila telah
datangnya waktu ’pangajian’ niscaya mereka pun meninggalkan warung kopi menuju
tempat pengajian untuk belajar ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum lainnya,
bila ada permasalahan-permasalahan maka akan didiskusikan di warung-warung kopi
dengan segala etika untuk kemudian akan dibawa ke mesjid jika dirasa didapatnya
jalan buntu untuk menyelesaikannya. Maka itu, kita akan menjumpai banyak warung
kopi yang posisinya berdekatan dengan mesjid.
Jika kita amati,
ternyata hampir semua komponen masyarakat Aceh bisa kita
katakan menjadi pelanggan setia warung kopi. Mulai dari pegawai,
pelajar/mahasiswa, aktivis-aktivis pergerakan, para elit parpol, kaum
agamawan(teungku-teungku/ustazd) dan sebagainya. Selain itu, hampir tak ada
persoalan klasik maupun kekinian masyarakat Aceh yang tidak dibicarakan di
sini. Bahkan, di desa-desa, warung kopi merupakan pusat informasi warga. Inilah
sepintas gambaran warung kopi yang dirasa bagai sub sistem dalam kehidupan
kontemporer rakyat Aceh. Selain itu, pasca tsunami lima tahun yang lalu, kini kita telah menyaksikan
fenomena baru, sebagian masyarakat kita khususnya dari kalangan
pelajar/mahasiswa,warung kopi laksana rumah kedua bagi mereka. Tak elok dirasa
jika melewati hari tanpa nongkrong di warunng kopi. Bahkan, kini kaum hawa pun
terlihat semakin terbiasa kita saksikan menjadi penghuni kursi-meja di warung
kopi.
Fenomena
kesibukan masyarakat Aceh di warung kopi ini dalam analisa saya telah dijadikan
sebagai potret kehidupan rakyat Aceh bagi orang luar. Sehingga
menghasilkan aneka penilaian dari tatapan siapapun yang memandang Aceh.
Dari banyak wawancara yang penulis lakukan dengan masyarakat luar Aceh,
baik komunikasi dan perjumpaan langsung maupun lewat dunia maya.
Terungkap, bahwa sebagian di antara mereka memandang dan meyakini bahwa
menjamurnya warung kopi di Aceh sebagai “simbol kemalasan” masyarakat Aceh.
Apalagi ditunjang oleh fakta bahwa warung kopi di Aceh tak pernah sepi
pelanggannya meski di jam kerja sekalipun; jam 08 hingga jam 14.00 siang,
bahkan hingga sore dan sampai larut malam.
Mereka mempertanyakan;
kapan orang Aceh bekerja jika terus-terusan sibuk di warung kopi?, atau, kapan
para mahasiswa “belajar” jika dari pagi sampai sore dan berlanjut ‘nonton bola’
hingga larut malam di warung kopi?. Selain itu, sebagian masyarakat Aceh juga memilki
pandangan yang sama bahwa warung kopi merupakan “sombol kemalasan”.
Namun demikian, saya
meyakini bahwa rutinitas keseharian masyarakat Aceh yang banyak dihabiskan di
warung kopi pada dasarnya merupakan sebuah energi positif yang dimiliki oleh
masyarakat Aceh sebagai sebuah entitas yang peradabannya pernah dikenal dunia.
Eksisnya ‘diskusi-diskusi’ ringan di warung kopi adalah sebagian diantara
alasan saya. Banyak teman saya yang mengakui bahwa mereka ‘banyak
sekali’ mendapatkan inspirasi, ide maupun gagasan-gagasan berawal dari diskusi
ringan di warung kopi, bahkan ada yang berlanjut menjadi suatu yang
spektakuler, semisal diskusinya berakhir dengan berdirinya sebuah parpol,
berdirinya penerbit buku, berbagai macam model usaha, dan sebagainya.
Apapun pandangan orang
luar terhadap tradisi minum kopi kita orang Aceh adalah sah-sah saja. Namun,
perlu ada kajian yang lebih dalam untuk membuktikan tradisi kita di warung kopi
adalah hal yang positif. Dari beberapa hasil survey kecil-kecilan yang penulis
lakukan, terungkap beberapa orientasi penghuni warung kopi di Aceh, misalnya;
ke warung kopi sekedar candu ie kupi, cari internet gratis, nonton bola,
sekedar nongkrong, berkumpul dengan teman-teman sejawat, rekan kerja dan
sebagainya. Disini terlihat bahwa tradisi minum kopi ini telah membentuk sebuah
kultur budaya yang tidak jelas arahnya kemana, berbeda dengan tradisi di masa
lalu yang seperti yang penulis sebutkan di paragraf pertama, dimana tradisi
minum kopi masyarakat Aceh ketika itu pada akhirnya menjadi cikal bakal bagian
dari lahirnya peradaban Aceh yang elegan dan memiliki nilai sosial yang kuat.
Dari aspek historis, ternyata tradisi
minum kopi di Aceh sudah ada sejak masa kerajaan Islam Aceh. Sebagian sejarawan
meyakini tradisi ini merupakan budaya imporan dari Dinasti Turki Usmani (Khilafah
Islamiyah) yang saat itu juga memiliki tradisi yang sama. Kita ketahui bahwa
Kerajaan Islam Aceh Darussalam dahulu memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kekhalifahan Islam Turki Usmani, hubungan erat ini pula yang akhirnya
menyebabkan terjadinya asimilasi(percaburan) budaya Hal ini misalnya seperti
yang diakui oleh Muhammad Alkaf, bahwa tradisi minum kopi masyarakat Aceh di
era sekarang ini merupakan bagian dari pertemuan Aceh dengan peradaban lama
Turki Usmani yang Islam ketika itu, maka sangat relevan bila kemudian penulis
memilki inisiatif bagaimana agar pengaruh dari tradisi minum kopi di Aceh kita
kembalikan ruhnya sebagai titik tolak bagaimana melihat perdaban Aceh masa
depan berkaca pada peradaban awal Aceh yg telah bersentuhan dengan Turki Usmani
sebagai ’Kekhalifahan Islam’ di masa lalu.
Dengan demikian, tradisi minum kopi dengan
segala topik komunikasinya mestinya bisa diarahkan ke dalam wacana peradaban
impian Aceh di masa depan dengan tetap berlandaskan pada frame (kerangka)
dasar nilai-nilai Islam. Hal ini tentu sangat mudah dilakukan, mengingat
fasilitas warung kopi di Aceh yang semakin lengkap setelah mayoritas warung
kopi di Aceh menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi) gratis bagi para pelanggan
yang dengannya berbagai informasi penting bisa sangat mudah dan cepat
didapatkan. Dengan ini, remaja-remaja Islam di Aceh bisa melihat dunia dari
meja warung kopi. Mereka juga tidak memiliki kendala jika hendak beribadah di
warung kopi, sebab, meskipun saat ini warung kopi di Aceh didirikan jauh dari
mesjid namun disana menyediakan mushalla. Begitu juga diskusi-diskusi
yang sangat berkembang disana mestinya bisa lebih terarah ke hal-hal yang
positif dan produktif, jadi warung kopi bukan lagi sebatas tempat nongkrong
menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi jika ke warung
kopi hanya untuk huru-hara bersorak tanpa makna yang bahkan justru
menyemaratkan Aceh sebagai serambi Mekkah yang sedang membangun peradaban Islam
baru. Dengan mengembalikan kembali ruh tradisi ’warung kopi’ kita seperti sedia
kala, niscaya berbagai persepsi miring orang luar yang selama ini memandang
warung kopi sebagai ’simbol kemalasan’ akan terbantahkan dengan sendirinya,
jika ’tidak’ mungkin persepsi miring tadi akan menjadi fakta yang tak akan
pernah terbantahkan.
2.
Ritual
Keagamaan Masyarakat Aceh
- Ritual keagamaan dikuburan Massal
Ritual keagamaan di kuburan Massal Siron Aceh Besar dan Kuburan Massal
Ule Lheue Banda Aceh dalam rangkaian peringatan lima tahun tsunami. Selain ritual doa, mereka
juga menabur bunga di dua kuburan massal tersebut, serta melepas ribuan
keranjang kecil berisi lilin, dupa, dan ketan kuning ke laut.
- Ritual keagamaan menyambut kelahiran anak
Pada saat bayi telah lahir disambut dengan
azan bagi anak laki-laki dan qamat bagi anak perempuan. Teman bayi yang disebut
adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai
aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman,
di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat yang ditanam ari-ari
tersebut dibuat api unggun, hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan seperti : Adanya orang ilmu hitam yang memanfaatkan benda
tersebut, tangisan bayi diwaktu malam dan dari serangan binatang pemangsa
seperti anjing. Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir, diadakan upacara cukuran
rambut dan peucicap, kadang-kadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara
peucicap dilakukan dengan mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan
ucapan: ” Bismillahirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah
rezekimu, taat dan beriman serta terpandang dalam kawom”. Pada saat inilah bayi
telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis, asin. Ini merupakan
latihan bagi bayi untuk mengenal rasa, bisa dia bedakan antara satu rasa dengan
rasa yang lainnya. Sebelumnya, bayi hanya mengenal ASI eklusif yang dia
dapatkan dari ibunya. Pada zaman dahulu upacara turun tanah dilakukan setelah
bayi berumur satu sampai dua tahun, bagi kelahiran anak yang pertama upacaranya
lebih besar. Namun untuk saat sekarang ini masyarakat tidak mengikutinya lagi,
apalagi bagi ibu-ibu yang beraktifitas di luar rumah seperti pegawai negeri,
pegawai perusahaan, dan karyawati di instansi tertentu. Ke luar rumah sampai
satu tahun dan dua tahun itu dianggap tidak efisien dan tidak praktis lagi.
Bagi ibu-ibu pada zaman dahulu, selama jangka waktu satu atau dua tahun
tersebut mereka menyediakan persiapan-persiapan kebutuhan upacara.
Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah, mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti : pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah, mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti : pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
- Ritual keagamaan apabila istri dalam keadaan hamil
Upacara ini dilaksanakan dalam rangka
menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud
upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya
dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian
masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur
pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata
maka daun tidak kena layur semuanya. Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung
dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia
kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung
dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu
hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang
melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula yang
mengantar sampai lima
atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama
dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil
adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat
orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan
bermanfaat.
- RUJUKAN
sekretaris Redaktur
Buletin ’Peunawa’ LKAS(Lembaga Kajian Agama dan Sosial) Banda Aceh.
Sunday, 20 December 2009 23:32
Banda
Aceh | Harian Aceh