I.
Pendahuluan
Manusia
adalah makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan, sejak kelahirannya hingga
kematiannya tidak pernah hidup sendiri, tetapi selalu dalam suatru lingkungan
sosial yang saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain, yang
kemudian disebut masyarakat (Parsudi,1986:89). Masyarakat adalah kumpulan sekia banyak individu kecil
atau besar yang terkait oleh satuan adat, ritus atau hukum khas dan hidup
bersama untuk mencapai tujuan (Quraish Shihab, 1996). Dalam setiap masyarakat,
jumlah kelompok dan kesatuan sosial tidak hanya satu, sehingga seorang warga
masyarakat dapat menjadi anggota dari berbagai kesatuan atau kelompok sosial.
(Parsudi, 1986). Dalam al-qur’an untuk
menunjuk masyarakat digunakan kata; qaum, ummah, syu’ub dan qabail, disamping
menggunakan kata al-mala’, al-mustakbirin, muatadh’afin dan lain-lain.
Apapun
namanya, manusia yang tergabung dalam kesatuan sosial di dalam usaha memenuhi
kebutuhan hidupnya selalu mengalami perubahan dan perkembangan kea rah yang
lebih baik, lebih maju, tentunya melalui sebuah proses. Dalam hal usaha
memenuhi kebutuhan hidup ada yang berlebihan dan ada yang kekurangan (bai
materi maupun spiritual), artinya dalam usaha tersebut manusia (masyarakat
menghadapai banyak masalah dan tantangan yang membutuhkan pemecahan, kaitannya
dengan hal ini ada orang atau masayarakat yang mampu mengatasinya sendiri ada
yang memerlukan bantuan orang lain, disinilah dakwah dengan segala macam bentuk
dan wujudnya ikut ambil andil mengatasi dan menjawab persoalan yang dihadapi
masyarakat tersebut. Mengenai arah perubahan dan perkembangan dalam kehidupan
masyarakat dari sudut pandang sosiologi, terdapat berbagai pandangan, antara
lain Augute Comte mengatakan bahwa perubahan terjadi dari metafisikan ke
posivistik, Durkheim melihat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organic,
sementara itu Max Weber melihat bahwa perubahan dari non rasional menuju
rasional dan masih banyak pandangan yang lain. Terlepas dari berbagai pandangan
di atas yang jelas beberapa teori di
atas sangat membantu kiprah dan aktivitas dakwah, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi arah atau tujuan pengembangan masyarakat Islam.
II.
Arah
Pengembangan Masyarakat Islam
Membangun
(mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi meju, mandiri dan berbudi
bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut
tidak saja membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak
kenal lelah. Berbagai teori pembangunan
bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa dan negara seperti teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan
Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia
pada masa Orde Baru dengan Istilah masyarakat tingggal landas. Walaupun pada
akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia
terpuruk ke titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek
mental bangsa.
Masalah
lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangnan
masyarakat Islam? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini layak kiranya kita telaah terlebih dahulu
makna masyarakat Islam. Yusuf Qardhawy mengemukakan bahwa masyarakat Islam
adalah masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah “Laa ilaaha Illallah Muhammadan Rasulullah”(menolak
keyakinan lain) tertanam dan berkembang dalam hati sanubari, akal dan perilaku
diri pribadi menularkan kepada sesama dan generasi penerus. Sedangkan yang akan
dituju dalam pengemabangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam Ideal,
seperti gambaran masyarakat yang diabangun oleh Rasulullah bersama umat Islam
pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah
dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun (civilization) yang berarti peradaban,
maka masyarakat Madinah atau Madani
(civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan dengan
masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah
(Nomaden) dan belum mengenal norma aturan (Nurcholish Madjid, 1992: 312-315).
Melihat
gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang
beradab, berwawasan bernorman, maka penulis jika boleh mengusulkan bahwa arah
pengembangan masyarakat islam bukan sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi
seperti Rostow dan Harorod Domar, tetapi harus diimbangi dengan landasan moral
spiritual sebagai alat konrol. Dalam penegrtian dakwah pembangunan atau
pengembangan masyarakat arahnya untuk mencapai kondisi mental (iman, taqwa,
ihsan dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam
kehidupan individu maupun sosial. Dan paradigm yang digunakan Comte, Durkheim
maupun Weber, tetapi paradigm spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an (tentunya
harus dijabarkan lebih lanjut),Yakni “Litukhrijan naasa minadzulimaati ilan
nuri”, dalam bahasa dakwah dipahami dengan apa yang disebut ‘an-nahyu ‘ani
al-munkar, dan lain-lain yang tidak termasuk kategori munkat tetapi memerlukan
perbaikan dan peningkatan, seperti: Kemiskinan, kebodohan, keterbelakngan,
ketertindasan dan sejenisnya. Pendek kata semua bentuk dan jenis masalah yang
dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Sedang ‘ila an-nur, dalam pengertian
dakwah dapat dipahami dalam konsep ‘al Amru bil al-ma’ruf. Mengejaka manusia
kepada iman, taqawa, ihsan akhlakuk karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan
lain-lain. Dalam hal ini bagaimana bagi mereka yang sudah dalam kategori atau
kondisi ‘an-nur atau ‘al-ma’ruf? Apakah mereka tidak perlu lagi pengembangan?
Pertanyaan
di atas dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa seseorang atau kelompok
ataupun masyarakat tentu mengali persoalan, hanya saja berat ringatnya
persoalan berbeda. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah semua orang
atau masyarakat memerlukan usaha pengembangan, hanya saja dalam pengemabnhga
amsyaraat harius dilihat dari skala prioritas, mana yang penting dan mana yang
kurang penting. Bagi masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi sosial,
ekonomi dan budayanya maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan
memelihara kondisi baik tersebut agar tidak terkena virus munkar.
III.
Tujuan
Pengembangan Masyarakat Islam
Berangkat dari
sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti
mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan
tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang
berkaitan dengan persoalan material maupun non material baik individu maupun
kelompok. Setiap manusia anggota masyarakat selalu berusaha untuk mengatasi
masalah tersebut ada yang mampu
mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan segala daya kemampuannnya dan ada pula
yang membutuhkan bantuan orang lain. Artinya ada yang mampu mengaktualisasikan
kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalahnya, ada pula yang yang
membutuhkan bantuan orang lain atau kelompok lain. Disinilah fungsi dakwah
sebagai penyebar an-nur dan rahmat (fungsi pengembang) bagi seluruh umat
manusia bahkan alam semesta.
Dakwah
yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya
maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jamaah, artinya:
jama’a menunjukkan suatu kelompok masyarakat kecil yang lebih luas dari
keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi
persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah,
uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, budaya,
politik dan lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannta dengan
jama’ah Islamiyah yang pernah berkembang di Indonesia ( Munir Mulkhan, 1996:
214).
Pelaksanaan
dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang
atau kelompok orang yang menjadi inti utama gerakan jama’ah (pengembang
masyarakat) atau da’i. sedangkan jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada
dalam lingkup geografis yang sama dengan inti jama’ah dan brsama-sama
mengembangkan potensi yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan
hidup dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup mereka (Amin Rais
dan Watik, 1986:32), jika perlu maka dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi
sebagai coordinator (sesepuh jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan
segala permasalahan yang mereka hadapi.
Inti
jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam
bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentun lainnya
jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah
(pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian: Pertama, Menganalisis
problem sosial keagamaan masyarakat, Kedua, Merancang kegiatan pengembangan
masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelolan dan
melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati.
Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat dan kelima, melatih
jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang dihadapi jama’ah atau
masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan serta
mengevaluasi kegiatan pengembangan.
Berdasrakan
uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa tujuan pengembangan masyarakat Islam
yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulya dan istiqamah serta memiliki
keahlian (skill) yang yang memadai. Secara sistematis arah tujuan pengembangan
masyarakat Islam trsebut adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis problem sosial secara
umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai
akibat adanya perubahan sosial.
2.
Merancang kegiatan pengembangan
masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan skala prioritas.
3.
Mengelola dan melaksanakan kegiatan
pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang disepakati (kemampuan menjadi
pendamping)
4.
Mengevaluasi seluruh proses
pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)
5.
Melatih masyarakat dalam menganalisis
problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola, dan mengevaluasi kegiatan pengembangan
masyarakat (pelatihan pelatihan pendampingan)