BAB 1
PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini telah
menyebabkan degradasi hutan yang berdampak pada perlunya upaya pelestarian
satwaliar di berbagai ekosistem habitat hujan tropika. Kekhawatiran akan
semakin menurunnya populasi satwaliar akibat pemanfaatan hutan dan habitatnya
telah disadari oleh banyak fihak. Dari tahun 1981 sampai tahun 1985, setiap
tahunnya 4,4 juta hektar hutan di seluruh dunia ditebang di antaranya 3,8 juta
ha diubah menjadi lahan untuk tujuan bukan hutan, sehingga laju pengurangan
hutan di dunia sekitar satu persen per tahun dari luas hutan yang tersisa (WWF,
1990).
Di Indonesia, dalam kurun waktu antara 1998-2004
telah terjadi perubahan luas hutan tropika dari kondisi primer menjadi hutan
sekunder rata-rata 1,15 juta ha per tahun dan perubahan dari hutan sekunder
menjadi hutan terdegradasi 2,15 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2005).
Laju peningkatan lahan kritis dari tahun 2000-2006 rata-rata 3,62% per tahun
bahkan untuk Kalimantan laju peningkatan lahan kritis sebesar 4,4% setahun
(Departemen Kehutanan, 2007). Menurut teori biogeografi, luas pulau atau
habitat sepuluh kali lebih luas maka peluang jumlah jenis yang menghuninya akan
meningkat dua kali lipat (Diamond, 1975). Dengan demikian keragaman jenis,
populasi satwaliar, dan habitat akan mengikuti kaidah di atas, sebagai dasar penetapan
kawasan konservasinya.
Perlindungan satwaliar di Indonesia, terutama satwa
langka, sudah dimulai sejak tahun 1931 dengan adanya Peraturan Perlindungan
Binatang Liar 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No.
513). Primata yang dilindungi di antaranya adalah bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb.), semua jenis gibbon (Hylobates spp.), dan orangutan (Pongo
pygmaeus).Upaya peningkatan konservasi satwa juga terus dilakukan melaIui
penetapan dan penataan berbagai kawasan konservasi, yang saat ini kawasan
konservasi darat mencapai 17% (22.702.527,17 ha) dari kawasan hutan Indonesia
(Departemen Kehutanan, 2007). Kawasan konservasi ini tidak hanya memelihara
kelangsungan proses ekologi dan evolusi yang menentukan keragaman jenis, tetapi
juga untuk pelestarian plasma nutfah alami yang bernilai ekologis dan ekonomis
tinggi.
Pembangunan kawasan konservasi ini merupakan
realisasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Dengan adanya berbagai peruntukan dan
kepentingan kawasan hutan maka tidak semua populasi primata yang langka dan
dilindungi tercakup dalam kawasan konservasi. Untuk melindungi satwa yang ada di
luar kawasan konservasi seperti di kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), tentunya pemanfaatan hutan
perlu mempertimbangkan batas toleransi satwa maupun habitatnya terhadap
kerusakan, di samping mengembangkan Wilayah Konservasi di dalam kawasan HPH
(dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993) dan
berkembang hingga Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/Kpts-II/2002 tentang
Keriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari).
Pelestarian
hutan di luar kawasan konservasi penting artinya bagi kelestarian satwa dan
lingkungannya. Dalam pelestarian hutan tersebut perlu dicari suatu indikator
ekologis sebagai penentu kualitas lingkungan hutan, seperti satwaliar yang
sangat tergantung pada tegakan hutan. Pada kawasan hutan di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi yang dihuni oleh satwa langka yang dilindungi, primata
dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengelola hutan dan menentukan strategi
konservasi. Jenis satwa ini dalam hidupnya sangat tergantung pada tegakan pohon
dalam melakukan aktivitas hariannya, terutama pohon sebagai sumber pakan utama.
Dalam hal ini pengetahuan tentang faktor-faktor ekologis yang mempengaruhi pola
perilaku makan (feeding behavior) atau ekologi makan (feeding ecology) dapat
menunjang sistem pengelolaan habitat dan populasi satwa di dalam kawasan konservasi
maupun di kawasan hutan produksi (Bismark, 1993; Meiyaardet al., 2006).
1.1.
Bekantan Satwa Endemik
Bekantan
(Nasalis larvatus Wurmb.) adalah jenis satwa yang termasuk ke dalam Ordo
(bangsa) Primata, Famili (suku) Cercophitecidae, dan Subfamili (anak suku)
Colobinae (Jolly, 1972) dengan status konservasi endangered (IUCN,
2008),termasuk dalam Appendix I CITES dan mendapat perhatian sangat tinggi
dalam upaya konservasinya. Jenis ini tergolong sangat langka dan endemik,
dengan habitat terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai, dan habitat
rawa gambut di mana sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia.
Menurut
McNeely et al. (1990), dari 29.500 km persegi habitat bekantan, saat ini telah
berkurang seluas 40%, sedangkan yang berstatus kawasan konservasi hanya 4,1%.
Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per tahun (Supriatna, 2004).
Dari enam tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi
penurunan luas habitat antara 20-88% (Meijaard, 2000) dan laju penurunan
habitat ini di dalam dan di luar kawasan konservasi dua persen per tahun (PHVA
Proboscis monkeys, 2004). Akibat dari penurunanluas habitat tersebut maka
populasi bekantan cenderung menurun karena primata ini kurang toleran terhadap
kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992).Secara morfologi,
warna rambut bekantan bervariasi. Di bagian bahu dan punggung atas berwarna
coklat kemerahan. Ujung-ujung rambutnya berwarna merah kecoklatan, sedangkan
dua pertiga nya berwarna abu-abu. Punggung berwarna kuning keabuan, perut
berwarna keku-ningan atau abu-abu, kadang-kadang ada bagian yang berwarna
kuning kecoklatan. Tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna coklat kemerahan,
dan leher ber warna putih keabuan. Ciri khas bekantan yang mudah dikenali
adalah ukuran hidung yang besar dan panjang padajantan (Gambar 1) dan runcing
pada betina.Adanya variasi warna bulu pada bagian-bagian tubuh tersebut merupakan
dasar dalam membedakan sub-spesies bekantan yang ada, yaitu Nasalis larvatus
larvatus dan Nasalis lavartus orientalis (Kern, 1964).
1.2.
Dukungan Penelitian dalam Program Konservasi Bekantan
Beberapa aspek penelitian tentang bekantan telah
dilakukan antara lain menyangkut populasi di Tanjung Puting dan ekologi makan
di hutan bakau (Bismark, 1980, 1989), ekologi dan perilaku sosial di habitat
hutan rawa gambut Kalimantan Tengah (TN Tanjung Puting) (Yeager, 1989, 1990),
organisasi sosial di hutan bakau Sarawak (Bennett dan Sebastian, 1988),
sebaran, habitat dan populasi di Sarawak (Salter et al., 1985), dan distribusinya
di berbagai tipe habitat (Meijaard dan Nijman, 2000).
Dalam hal ini, penelitian ekologi secara mendalam
terhadap bekantan yang hidup di habitat hutan bakau belum banyak dilakukan.
Walaupun demikian, Sunjoto (2004) telah mengkaji aspek ekologi dan habitat
bekantan yang hidup di hutan karet di Kalimantan Selatan.Laporan hasil
penelitian terdahulu sudah banyak mengemukakan dan mendiskusikan fungsi dan
manfaat serta potensi hutan bakau. Hutan bakau merupakan salah satu bagian dari
ekosistem estuaria dengan produktivitas tinggi ter utama ekosistem hutan bakau
tipe “riverine”(Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan Gosselink, 1984) dan
mempunyai fungsi ekologisdalam pelestarian jaringan makan (Dingwall, 1983).
Seperti halnya di New Guinea terdapat 204 jenis ikan yang sangat bergantung
pada hutan bakau, sedangkan di Kalimantan bagian utara diketahui ada 40 jenis
dari 33 genus ikan (Collette, 1983).
Selain nilai ekologis tersebut hutan bakau juga
mempunyai nilai dalam perlindungan pantai, habitat satwa, estetika, dan nilai
ekonomis (Dingwall, 1983). Terbatasnya sebaran dan luas hutan bakau serta
tingginya nilai kepentingan ekosistem tersebut mendorong peningkatan upaya pelestarian
hutan bakau terutama sebagai habitat satwaliar. Oleh sebab itu hasil penelitian
sekarang lebih banyak menggali aspek sosial ekonomi dan biodiversitas dalam kegiatan
rehabilitasi areal mangrove untuk tujuan pelestarian fungsi sebagai daerah
penyangga kehidupan kawasan perairan. Sebaran dan luas hutan bakau di
Kalimantan (Gambar 2) sangat terbatas yaitu 383.450 ha (Darsidi, 1984) dan yang
menjadi habitat bekantan hanya seluas 15.600 ha. Pada tahun 1995 habitat ini
hanya tersisa 9.200 ha. Penurunan sebesar 41% ini berdampak pada habitat dan sebaran
populasi bekantan yang tidak merata (Salter et al.,1985; Yasuma, 1989; Bismark,
2004) dan perubahan sifat bekantan yang kurang toleran terhadap kerusakan
habitat (Wilson dan Wilson, 1975) serta meningkatnya kebutuhan lahan untuk
pertanian, pemukiman yang memanfaatkan hutan bakau dan hutan di sepanjang
sungai. Hal ini menjadi kekhawatiran besar terhadap keterancaman populasi
bekantan.
Sumber
pakan primata dalam habitat merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan
terhadap kelestarian populasi primata (Bismark, 1994, 2004; Meijaard et
al.,2006). Kualitas dan kuantitas pakan dapat mempengaruhi perilaku dan
organisasi sosial primata (Raemaker dan Chivers, 1980), mempengaruhi luas
daerah jelajah dan perilaku pergerakan primata (Whitten, 1982), dan juga
mempengaruhi pakan sebagai sumber energi, pertumbuhan dan perkembangbiakan.
Potensi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya kelompok dan populasi bekantan
(Iskandar, 2006). Mengingat besarnya peranan sumber pakan terhadap perilaku dan
kelangsungan hidup primata, maka pengelolaan populasi dan habitat bekantan
dapat ditetapkan berdasarkan parameter ekologi makan, yaitu hubungan faktor
lingkungan habitat terhadap pola perilakumakan dan aktivitas harian dalam
habitatnya (Bismark, 2004; Sunjoto, 2005). Mengingat bahwa pakan bekantan
banyak tersimpan di hutan bakau,maka penyelamatan hutan bakau akan sekaligus
menyelamatkan populasi bekantan. Dalam program pelestarian bekantan tersebut
diperlukan informasi tentang perilaku dan faktor lingkungan habitat yang
mendukung terhadap kebutuhan pakannya dan keamanan dari perburuan.
1.3.
Biofisik Lingkungan Habitat Bekantan
Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat bekantan
(Nasalis larvatus) berbeda dengan hutan rawa gambut dan hutan tepi sungai
lainnya,di mana hutan bakau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan kadar
garam (salinitas) tinggi. Keadaan ini berpengaruh pada drainase tanah dan
kondisi salinitas tanah (Lear dan Turner, 1977).
Pasang surut air laut juga berperan sebagai pembawa
unsur hara dan menstabil kan salinitas tanah, sehingga tidak terjadi
kompetisitumbuhan bakau dengan tumbuhan yang tidak toleran terhadap tanah
bersalinitas tinggi. Selain itu sungai juga berperan dalam mengatur kondisi
fisik dan kimia tanah hutan bakau sehingga terjadi perbedaan vegetasiyang ada
di tepi sungai dengan hutan yang ada di bagian dalam (Mitsch dan Gosselink,
1984). Di samping pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia tanah, dan vegetasi,
sungai yang merupakan habitat satwa predator dan parasit berpotensi membawa
polutan yang akan berpengaruh terhadap kehidupan bekantan. Lingkungan
fisik hutan mangrove seperti disebutkan di atas akanberpengaruh terhadap
produktivitas, sebaran, kerapatan, dan biodiversitas tumbuhan. Kondisi ini akan
menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan, yaitu
kandungan protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan mineral dari daun,
bunga, dan buah. Selanjutnya, kuantitas dan kualitas sumber pakan tersebut akan
membentuk pola perilaku bekantan. Primata sangat selektif dalam memilih habitat
yang sesuai dengan potensi sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
sehingga pohon sumber pakan mempunyai korelasi positif dandapat menjadi penduga
populasi jenis Hylobates(Iskandar, 2006).
Secara teori, sumber pakan merupakan faktor yang
paling penting dalam pemilihan habitat tersebut. Satwa dalam melakukan seleksi
terhadap habitat yang disukainya dapat dipandang dari dua segi. Pertama,secara
genetik, setiap individu mampu bereaksi terhadap keadaan lingkungan sehingga
dapat melakukan pemilihan habitat yang sesuai. Kedua, adanya hubungan antar
jenis atau kelompok serta proses belajar sejak dari umur muda atau belajar dari
pengalaman yang didapat dari individu yang lebih tua. Kedua faktor ini dapat
terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (home range) primata yang
sesuai dengan perilaku sosial dan perilaku makandalam lingkungan habitat
(Whitten, 1982; Bismark, 1994).
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai
habitat, secara terpisah atau bersamasama akan menyediakan berbagai relung
(niche) ekologi yang potensial dalam sebaran satwa, terutama besarnya volume
tajuk sebagai penghasil produk tivitas primer yang akan menentukan
produktivitas sekunder (satwa). Hutan tropika dataran rendah di Asia, Afrika,
dan Amerika, menghasilkan serasah kering sebanyak/sebesar 6-7 ton/ha/tahun, di
Malaysia sekitar 7,5 ton/ha/tahun (Raemakers et al., 1980), dan hutan bakau
dapat menghasilkan daun muda 5 ton/ha/ tahun (Clough et al., 1983). Struktur
fisik hutan terbentuk akibat adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur
maupun sifat tumbuhnya. Keadaan ini membentuk stratifikasi yang menciptakan
relung ekologi tertentu, seperti adanya perbedaan ketinggian dan posisi tempat
makan jenis primata simpatrik pada pohon. Berbagai relung ekologi akan
memberikan tempat bagisatwa mamalia herbivora lain danburung untuk mencari
makan. Satwa-satwa tersebut dapat membantu percepatan regenerasi hutan melalui
penyebaran biji tumbuhan sebagai sisa makanan, baik oleh primata atau burung
serta mempercepat proses daur ulang unsur-unsur penting ke lingkungan. Bekantan
dapat meningkatkan biodiversitas jenis tumbuhan di habitatnya melalui cara
makan yang mengurangi jumlah biji tumbuhan dominan, sehingga memberikan
kesempatan bagi biji tumbuhan yangtidak dominan untuk tumbuh dan berkembang
(Yeager dan Blondal, 1992).
Hutan tropika Indonesia memiliki keragaman jenis
primata yang tinggi, baik primata pemakan daun (folivorous) maupun pemakan buah
(frugivorous). Hal ini didukung oleh ekologi dari setiap jenis primata dalam
memanfaatkan sumber pakan yang berbeda sesuai dengan jenis pakan yang disukai,
penggunaan stratifikasi tajuk hutan, dan pola pergerakannya (Curtin dan
Chivers, 1979; Meijaard et al., 2006). Keragaman jenis tumbuhan yang tinggi di
habitat primata, terutama primata simpatrik akan memungkinkan tingginya
keragaman jenis pakan menurut ruang dan waktu. Walaupun di hutan primer banyak
terdapat pohon besar dan tinggi, pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak
berkisar pada ketinggian antara 25-35 m dan 15-30 m, kecuali pada habitat
tertentu seperti di tepi sungai (Curtin dan Chivers, 1979).
Ekosistem mangrove dengan segala proses interaksi
dan inter-relasi komponen di dalamnya yang terkait dengan pertumbuhan populasi
satwa adalah ketersediaan atau potensi pakan yang tersedia dalam habitatnya. Populasi
primata arboreal sangat tergantung pada kerapatan pohon (Bismark, 2006;
Iskandar, 2006). Oleh karena itu upaya konservasi habitat dan populasi primata
langka endemik termasuk bekantan diawali dengan pengetahuan status dan potensi
tegakan pohon yang berfungsi sebagai pakan maupun pohon tidur yang menentukan
daya dukung habitat.
Sumber pakan primata di alam dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori yaitu bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif
tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini dapat berupa daun, bunga, buah, telur burung
maupun serangga, dan bagian tumbuhan berupa umbi dengan nilai nutrisi sama
dengan buah yang mengandung protein, asam amino bebas, vitamin C, dan gula yang
bermanfaat. Pada umumnya bagian vegetatif pohon dan tanaman memanjat dapat dima
kan primata, termasuk daun muda atau daun tua (Chivers dan Raemakers, 1980).
Orang utan dapat memakan kulit kayu (Rijksen, 1978) demikian juga jenis-jenis
tupai (Whitten dan Whitten, 1987).
Masalah dalam pakan primata di hutan tropika adalah
senyawa fitokimia yang bersifat toksin, selulosa, dan lignin (Oates, 1977,
Hoshino, 1985). Jenis primata pemakan daun terutama dari anak suku Colobinae,
dalam mencerna selulosa bersimbiose dengan mikroba lambung (Bauchop, 1978),
tetapi proses ini akan kurang efektif bila terdapat kadar lignin yang tinggi
(Oates, 1977). Senyawa fitokimia yang terdapat dalam daun (tergolong senyawa
sekunder) berpengaruh terhadap tingkat kesukaan mamalia herbivora untuk
memakannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan tropika yang miskin nutrisi banyak
mengandung senyawa fitokimia sebagai senyawa untuk pertahanan, seperti terhadap
insekta (Curtin dan Chivers, 1979). Senyawa sekunder tersebut dapat berupa asam
amino non protein, alkaloid, dan fenol yang kesemuanya berpengaruh pada
perilaku makan satwa (Hladik, 1978). Tanin sebagaimana terdapat pada daun
mangrove mengandung komponen senyawa yang dapat mengkoagulasikan protein dan
enzim pencernaan, namun pada beberapa jenis primata terlihat tidak ada korelasi
yang nyata antara intensitas makan dengan senyawa sekunder tersebut (Whitten
dan Whitten, 1987).
Perbedaan komposisi pakan dapat terjadi pada habitat
yang berbeda, terutama perbedaan tingkat kesuburan tanah yang akan mempengaruhi
keragaman jenis tumbuhan. Perbedaan perilaku makan juga terlihat pada bekantan
yang berbeda lokasi habitat seperti di hutan bakau Taman Nasional (TN) Bako dan
di Suaka Margasatwa (SM) Samunsam, Sarawak, di mana pada TN Bako aktivitas
makan bekantan sejumlah 63,2%, sedangkan di hutan bakau SM Samunsan 13,1%
(Salter et al.,1985). Bekantan sebagai primata pemakan daun yang bersifat
seperti ruminansia (Hladik, 1978) butuh pakan yang perbandingan protein dengan
serat kasarnya rendah (Bennett dan Sebastian, 1988). Di hutan dipterocarpaceae,
dengan tanah miskin hara menghasilkan daun dengan rasio protein dan serat yang
rendah pula, tetapi kekurangan unsur lain seperti mineral, menyebabkan bekantan
tidak dapat menempati habitat yang demikian (Bennett dan Sebastian, 1988).
Hutan bakau yang menerima masukan unsur hara dari
sungai dan dari pasang air laut, melalui endapan dan proses dekomposisi oleh
jasad renik (Lear dan Turner, 1977) menyebabkan tanah hutan bakau kaya unsur
hara, seperti unsur N yang berperan dalam peningkatan produktivitas daun bakau
(Clough et al.,1983). Di samping itu daun bakau lebih banyak mengandung mineral
yang sangat dibutuhkan oleh satwa ruminansia. Dalam habitat hutan, pakan
primata tersebar secara vertikal dan horizontal, dengan demikian primata akan
bergerak secara vertikal maupun horizontal untuk mencari makan sesuai dengan
tingkat kesukaan terhadap jenis pakan, terutama kaitannya dengan kadar nutrisi
dan keamanan, serta menghindarkan kompetisi (Bismark, 1994).
Dalam buku ini akan dikemukakan rangkuman hasil
penelitian penulis terhadap populasi dan perilaku bekantan di hutan bakau serta
hasil penelitian para pakar yang relevan termasuk hasil penelitian pada program
doktor di mana penulis ikut sebagai Tim Promotor. Sebagaimana uraian pendahuluan
di atas, kajian ekologi dan konservasi bekantan akan diarahkan pada potensi
habitat, sebaran populasi bekantan, dan perilaku terutama yang terkait dengan
pakan, daya dukung, dan aspek konservasi bekantan di luar kawasan konservasi.
BAB
2
HABITAT
2.1.
Tipe dan Sebaran Habitat
Pada umumnya bekantan endemik Borneo menyukai
habitat hutan lahan basah, baik di dalam dan di luar kawasan konservasi. Di
Kalimantan Selatan, bekantan dapat ditemukan di hutan karet yang berada di luar
kawasan konservasi yang berdekatan dengan sumber air berupa sungai atau danau
kecil (Soendjoto et al., 2005). Meijaard et al.(2000) telah mengidentifikasi
luasan ekosistem habitat bekantan di Kalimantan.
Jika melihat kondisi habitat bekantan pada tahun
1995 (Meijaardet al., 2000) luasan terkecil merupakan hutan mangrove yang masih
tersisa sebesar 59%. Kondisi ini akan mengalami perubahan pada tahun
selanjutnya akibat perubahan fungsi dan vegetasi hutan mangrove, sedangkan
bekantan sangat tergantung pada hutan mangrove (Kern,1962). Bismark (1980)
melaporkan keberadaan primata ini tersebar di berbagai tipe habitat yang
dilalui sungai termasuk di hutan rawa gambut. Bekantan juga diketahui
menggunakan pohon yang ada di tepi-tepisungai untuk tempat tidurnya sehingga
identifikasi sebaran dan habitatprimata ini lebih mudah dilakukan termasuk
penggunaan metoda sensus populasi bekantan melalui sungai.
Jenis bekantan juga dijumpai di hulu sungai yang
jauh dari laut, seperti di Sungai Murung Barito Utara (laporan Chivers dan
pengamatan pribadi, 1994) serta di hulu Sungai Sangatta yang didominasi hutan
dipterocarpaceae (Bismark, 1997). Bekantan ditemukan di pulau kecil, seperti
Pulau Kaget seluas 247 ha di Kalimantan Selatan dengan habitat tumbuhan
mangrove dan masih terpengaruh oleh kadar garam.
Kekhawatiran akan cepatnya pengurangan luas habitat
yang berdampak negatif pada penurunan populasi bekantan adalah terjadinya
degradasi habitat hutan dataran rendah, seperti kasus di Taman Nasional Gunung
Palung. Dari tahun 1998-2002, penurunan luas tutupan di TN Gunung Palung sangat
meningkat dari sekitar 500 sampai 8.000 haper tahun dan di daerah penyangga
sekitar 600 ha per tahun (Curran et al.,2004). Kerusakan hutan mangrove lebih
disebabkan oleh konversi lahan menjadi tambak. Tambak di hutan mangrove di
kawasan hutan produksi PT Karyasa Kencana Tarakan dalam kurun waktu 10 tahun
sejak tahun 1982 meningkat dengan drastis. Luas tambak yang awalnya125 ha
meningkat menjadi 50 kali lipat (Sardjono, 1995) sebagai bentuk penyusutan
areal mangrove. Secara umum, upaya perbaikan ekosistem mangrove melalui
rehabilitasi di Kalimantan dalam kurun waktu tahun 1999-2006 telah terealisasi
sejumlah 4.173 ha.
Di Kalimantan Selatan, habitat bekantan mencakup
hutan mangrove, hutan campuran di pantai, rawa gambut, dan hutan rawa yang
didominasi oleh galam (Melaleuca cajuputi). Selain itu populasi bekantan juga
ditemukan di hutan bukit kapur dan hutan karet (Sunjoto et al.,2005). Sebaran
bekantan pada beberapa kawasan di luar kawasan konservasi di Kalimantan Selatan
telah diidentifikasi oleh Sunjoto et al.(2003).
2.1.1.
Hutan Rawa Gambut
Kondisi vegetasi habitat bekantan di hutan rawa
gambut Taman Nasional Tanjung Puting telah dilaporkan oleh Yeager pada
tahun1989. Analisis vegetasi lebih diarahkan pada potensi pakan bekantan.
Dengan data tersebut dimungkinkan untuk mengembangkan penelitian silvikultur
jenis-jenis penting yang perlu untuk merehabilitasi habitat atau memperkaya
pohon sumber pakan di habitat, restorasi kawasan konservasi dan kawasan hutan
terdegradasi yang potensial memiliki populasi bekantan.
Tinggi pohon di habitat bekantan berkisar 6-27 m
(rata-rata 11,4 m), diameter pohon 9,6-45,2 cm (rata-rata 18,11 cm), dan basal
areal 71,6-1.604,6 cm² (rata-rata 350,3 cm2) serta luas kanopi 9,1-54 m²
(rata-rata 22,9 m²). Sejumlah 71% dari hasil identifikasi pohon adalah pohon
pakan yang meliputi 80,4% total basal area dan 71,6% dari luas kanopi(Yeager,
1980). Jenis pohon yang disenangi oleh bekantan sebagai sumber pakan adalah
Ganua motleyana(Yeager, 1989; Bismark, 1980).
Bekantan di Samboja Kuala, Kalimantan Timur yang
lokasi habitatnya berdekatan dengan kampung menunjukkan terjadinya adaptasi
bekantan terhadap areal pemukiman masyarakat. Atau sebaliknya, telah terjadi
invasi pemanfaatan lahan habitat bekantan oleh masyarakat setempat. Di habitat
ini pohon dominan adalah Sonneratia casiolaris (Indek Nilai Penting (INP)
38,37%), Vitex pubescens (INP 30,38%), Sandoricum koetjapi (INP 24,15%), dan
Syzygium sp. (INP 18,9%). Selain itu juga terdapat pohon karet (Hevea brasiliensis)
28,95 pohon/ha (Alikodra et al.,1995).
Habitat bekantan di sekitar pemukiman penduduk
dengan tumbuhan dominan Sonneratia caseolaris pada hutan tepi sungai hitam
Samboja, Kalimantan Timur yang kondisinya sangat terdegradasi juga dilaporkan
oleh Ma’ruf (2004). Analisis habitat hutan mangrove yang detail di komplek
hutan Sangkimah, Taman Nasional Kutai telah dilakukan pada tahun 1994. Analisis
dilakukan dalam areal 1 km persegi mulai dari tepi sungai sampai 500 m ke dalam
hutan (Bismark, 1994).
2.1.2.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove sebagai contoh habitat bekantan
dengan populasi tinggi adalah mangrove tipe “riverine” di tepi Sungai Sangkimah
Taman Nasional (TN) Kutai (Bismark, 1994). Kawasan hutan mangrove tersebut
terbentang mulai dari pantai hingga 2 km ke arah hulu sungai. Tepi sungai
didominasi oleh nipah (Nypa fruticans), pohon apiapi (Avicennia officinalis),
Bruguiera parviflora, dan Rhizophora apiculata. Sebagian lokasi penelitian di
bagian pantai terdapat vegetasi hutan pantai yang didominasi oleh Casuarina
equisetifolia. Jenis tumbuhan yang ditemui di lokasi penelitian tertera pada
Tabel 5. Contoh habitat ini dapat menjadi model habitat bekantan di hutan
mangrove.
Di hutan mangrove umumnya terdapat zonasi atau
kelompok jenis yang dominan. Terbentuknya zonasi ini dipengaruhi oleh pasang
surut, jauhnya vegetasi dari pantai serta faktor geomor fologi, ekofisiologi
tumbuhan, suksesi serta dinamika populasi jenis (Watson, 1928; Anwar et
al.,1984). Zonasi vegetasi di areal penelitian selain digunakan untuk melihat
penge lompokan jenis juga dapat menggambarkan sebaran jenis pohon mangrove yang
potensial sebagai pakan bekantan. Contoh zonasi jenis tumbuhan yang dipetakan
antara lain Aglaia cucullata, Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata,
Bruguiera gymnorhiza, Ceri ops tagal, dan Bruguiera parviflora.
Dari zonasi tersebut terlihat bahwa R. apiculata
mendominasi vegetasi bahkan tumbuh bersama dengan jenis lainnya. Keadaan ini
dapat terjadi karena keadaan tanah hutan yang relatif padat dan bergambut dengan
lantai hutan didominasi oleh Acrostichum aureum. Zonasi jenis ditentukan oleh
kondisi tanah, di mana kondisi tanah yang lunak atau berlumpur dalam ditumbuhi
oleh Avicennia dan Sonneratia, sedangkan pada tanah relatif keras ditumbuhi
Rhizophora (Sugiarto, 1984). R. apiculata tumbuh ke arah daratan tapi
Rhizophora mucronata tumbuh pada tanah berlumpur dalam (Anwar et al., 1984).
Diameter, tinggi, luas tajuk, dan kerapatan pohon
berperan dalam pembentukan struktur vegetasi. Dari pengamatan dan pengukuran
diameter serta tinggi pohon pada jalur pengamatan vegetasi diketahui bahwa
pohon bakau bisa mencapai diameter 140 cm.
Pohon berdiameter > 50 cm dengan tinggi di atas
30 m, mempunyaifungsi perlindungan dan pergerakan bekantan, terutama terhadap
iklim mikro yang memberikan kenyamanan sebagai tempat istirahat bekantan. Pohon
dengan tinggi antara 10-30 m berdiameter 20-40 cm mencapai jumlah 52%. Potensi
ini mendukung aktivitas makan dan sumber pakan bekantan.
Hubungan luas tajuk dengan diameter pohon dihitung
dari jumlah pohon yang ada dalam petak berukuran 10 m x 100 m, yaitu petak yang
dibuat untuk menggambarkan diagram profil vegetasi hutan bakau dari tepi sungai
hingga 100 m ke dalam hutan. Dari analisis didapatkan hubungan linier antara
luas tajuk (Y, dalam m²) dan basal area (X, dalam cm²) dengan persamaan Y =
11,0559 + 0,01343 X (r = 0,69; n = 78; p < 0,005)
Tanah hutan mangrove berbeda dengan tanah hutan
lainnya, di mana tidak ada drainase, kadar garam tinggi, kondisi anaerob, dan
mempunyai kandungan organik yang tinggi. Pembentukan tanah hutan mangroveini
dipengaruhi oleh faktor fisik, melalui transportasi nutrisi oleh pasang,
gelombang, dan sungai, melalui endapan kimia dan faktor biotik yaitu proses
dekomposisi oleh jasad renik (Lear dan Turner, 1977).
Salinitas dan nitrogen merupakan faktor ekologis
yang mempengaruhi pertum buhan hutan mangrove (Peng dan Xin-Men, 1983) dan
parameter Na/K merupakan faktor kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
anakan di samping salinitas (Bhosale dan Shinde, 1983). Sukardjo (1987)
melakukan analisa kadar C dan N tanah vegetasi mangrove kaitannya dengan jumlah
pohon dalam plot pengamatannya.
Di hutan mangrove TN Kutai, tidak terlihat perbedaan
nyata antara kadar N dan C pada masing-masing zonasi, demikian pula dengan Na/K
dan salinitas. Dari analisis ini dapat dikatakan bahwa kandungan organik, Na,
dan K serta salinitas tanah dalam konsentrasi yang merata di hutan mangrove
riverine (Tabel 7). Keadaan ini dapat disebabkan oleh zonasi R. apiculata yang
sangat dominan. Selain itu dominasi A. aureum sebagai tumbuhan bawah secara
fisik dapat berpengaruh dalam pengendapanunsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi
C di dalam tanah antara 4,996-5,995% menunjukkan konsentrasi yang relatif
stabil di mana konsentrasi di bawah 2,86% termasuk dalam kategori tidak stabil
(Soegiarto,1984). Tingginya kadar organik tanah hutan ini dimungkinkan oleh
karena sebagian besar struktur tanahnya didominasi gambut dan tingginya
produksi serasah serta hara dari sungai.
Kadar N tanah di habitat mangrove tepi sungai
habitat bekantan berkisar 0,904-1,325%. Laporan Sukardjo (1987) menunjukkan
bahwa mangrove di Indramayu mempunyai kadar N tanah 0,08-0,203% sedangkan
Soegiarto (1984) menyebutkan angka kisaran 0,28-1,26%di Pulau Rambut. Tingginya
unsur C dan N dalam tanah ini memungkinkan vegetasi hutan bakau tumbuh dengan
baik sehingga kerapatan pohon di hutan mangrove yang belum terganggu mencapai
755 pohon per ha dengan produktivitas hutan yang tinggi. Hasil penelitian Peng
dan Xin-Men (1983) menunjukkan adanya kolerasi antara tinggi (Y) hutan bakau
dengan konsentrasi N (X) yang terdapat pada lapisan tanah 20-40cm. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan persamaan log Y = 0,9373 + 3,124 X. Dilihat dari
kandungan organik (C), zonasi C. tagal mempunyai kadar C tanah tertinggi yaitu
5,995 %. Kondisi tersebut juga dilaporkan oleh Johnstone (1983), sedangkan
nilai Na/K lebih tinggi pada zonasi Rhizophora (Spenceley, 1983).
Habitat bekantan yang didominasi oleh R.
apiculata(jumlah maupun sebarannya) dapat mencapai indeks nilai penting (INP)
lebih dari 200% untuk tingkat pohon dan tingkat tiang. Kondisi ini juga
terlihat di hutan mangrove yang didominasi oleh R. apiculata di Sulawesi yang
menunjukkan INP tinggi, seperti di Sungai Ranu (Morowali, Sulawesi Tengah) yang
memiliki INP pohon R. apiculata sebesar 203,58% dan INP tiang 249,60% dengan
kerapatan 300 pohon/ha (pohon diameter > 10 cm) (Darnaedi dan Budiman,
1982).
Salinitas sebenarnya tidak terlalu penting bagi
kelangsungan hidup jenis pohon bakau, namun diperlukan untuk menghindari
kompetisidengan jenis yang tidak toleran terhadap salinitas tinggi (Mitsch dan
Gosselink, 1984). Pada tanah bersalinitas rendah (0,876%) akan terbentuk zonasi
R. apiculata murni (Sukardjo, 1987). Kondisi kadar garam tanah yang relatif
tinggi (6,44-7,475%), mendukung pembentukan zonasijenis lain walaupun tetap
didominasi oleh R. apiculata. Pada kondisi salinitas tanah cukup tinggi,
tumbuhan menyimpan garam pada daun tua sebelum gugur dan pada Avicennia, garam
dapat dikeluarkan melalui kelenjar daun (Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan
Gosselink, 1984; Field et aI., 1984).2.2. Degradasi Habitat Degradasi lahan
habitat bekantan terjadi relatif cepat akibat nilai ekonominya yang tinggi.
Habitat tepi sungai adalah areal yang pertama dilalui oleh masyarakat untuk
menginvasi lahan di belakangnya, yang dibuka untuk lahan pemukiman dan
pertanian. Demikian pula dengan terbentuknya perkampungan yang semuanya ini
merupakan bentuk degradasi habitat yang umum terjadi di hulu hingga ke muara
sungai hutan riparian yang berpotensi sebagai habitat bekantan.
Berkembangnya pemukiman dan areal pertanian di
sepanjang hutan tepi sungai menyebabkan penurunan dan berpencarnya populasi
bekantan antara 15-40 km (Bismark, 2002; Ma’ruf, 2004). Pada akhirnya, bekantan
yang tersisa, yang seharusnya merupakan penghuni asli, dianggapsebagai hama
pertanian oleh sebagian masyarakat (Sunjoto et al., 2005). Pada tahun 1990
habitat bekantan telah dilaporkan hilang seluas49% dan pada tahun 1995
dilaporkan tinggal 39% dan hanya 15% dari habitat aslinya yang ada di kawasan
konservasi (Meijaard et al.,2000). Diperkirakan telah terjadi penurunan habitat
sekitar 2% setahun.
Kerusakan habitat tidak hanya terjadi di luar
kawasan konservasi, bahkan telah memasuki kawasan konservasi. Pada tahun 2001
hutan dataran rendah di kawasan konservasi Kalimantan telah terdegradasi lebih
dari 56% (Curran et al.,2004). Degradasi habitat terlihat di Pulau Kaget, di
mana hanya 10% kawasan berhutan dan 90% menjadi areal pertanian(Meijaard,
2000). Habitat tumbuhan pohon hanya berada dalam 20-50 m dari tepi sungai
dengan kerapatan pohon 150 pohon per ha (Bismark, 1997). Kebakaran hutan yang
luas terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting pada tahun 1997 menyebabkan
habitat hilang sekitar 75% dan pada tahun 1998 kebakaran hutan Taman Nasional
Kutai menyisakanhabitat berhutan 5%.
Habitat bekantan yang spesifik, keterbatasan sumber
pakan, dan kompetisi dengan jenis primata lain, menyebabkan bekantan
lebihsensitif terhadap kerusakan habitat. Berdasarkan dampak peningkatan arus
lalu lintas sungai, pemanfaatan hutan berupa pengelolaan HPH mempercepat
kerusakan habitat dan percepatan ini dipacu oleh kebakaran hutan, illegal
logging, konversi lahan hutan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian.
Kerusakan hutan karena illegal logging, dampak
penambangan emas, dan timbulnya tumbuhan pakupakuan di lahan hutan yang
menghambat regenerasi hutan juga mempunyai andil dalam penurunan kualitas
habitat bekantan. Namun jenis kerusakan yang sangat berdampak negatif terhadap
habitat bekantan adalah pemanfaatan hutan mangrove. Walaupun keberadaan
mangrove cukup luas di pantai, namun habitat bekantan sangat terbatas pada tipe
riverine mangrove.
Identifikasi Meijaard (2000) menunjukkan beberapa
kawasan yang prioritas dalam perlindungan habitat bekantan serta tekanan yang
menyebabkan degradasi habitat di Kalimantan. Degradasi habitat dan dampaknya
terhadap perburuan dan konversilahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar
90% dalam 20 tahun dan di hutan mangrove penurunan populasi 3,1% per tahun
(Bismark, 2002). Selain itu telah terjadi proses adaptasi bekantan yang
terdesak ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap
sumber air, danau dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai sempadan sungai
atau danau kecil (Soendjoto et al.,2004).
2.3.
Keanekaragaman Fauna di Habitat Bekantan
Habitat hutan hujan Kalimantan mempunyai
keanekaragaman jenis fauna yang tinggi, di mana lebih dari 420 jenis burung dan
222 jenis mamalia hidup di hutan Kalimantan. Lebih dari 50% burung dan lebih
dari 35% jenis mamalianya adalah endemik Kalimantan, di mana 60% jenis burung
dan 81% jenis mamalia hidup di hutan dataran rendah (Curran et al., 2004).
Keanekaragaman hayati di Kalimantan ini merupakan
bagian besar dari keanekaragaman hayati Indonesia termasuk flora fauna, yang
menjadi modal dasar bagi berkembangnya beragam budaya dan suku. Berbagai
kegiatan seremonial dan ritual yang biasa dilaksanakan oleh banyak suku di
Indonesia tidak terlepas dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman
hayati (keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem) Indonesia adalah yang
tertinggi di dunia, dan sumberdaya alam ini sebagai modal pembangunan, namun
persoalan yang dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan keanekaragaman hayati
secara lestari (Sumardja, 2000).
Ancaman terhadap keanekaragaman fauna di Kalimantan
juga dipicu oleh adanya El-Nino penyebab kekeringan yang berdampak pada
perubahan musim berbuah yang tidak sejalan dengan reproduksi fauna sebagai
faktor penentu kelestarian populasi. Selain itu konsesihutan yang berbasis
hasil hutan kayu, pembangunan hutan tanaman, dan lemahnya pengawasan telah
meningkatkan terjadinya fragmentasi dan deforestasi habitat fauna (Curran et
al., 2004).
2.3.1.
Mamalia
Umumnya tanah di Kalimantan miskin hara terutama di
hutan bagian hulu yang didominasi oleh hutan dipterocarpaceae. Rendahnya unsur
hara tanah berdampak pada produktivitas tumbuhan terutamatumbuhan sumber pakan
satwa (Meijaard et al., 2006), sehingga biomas satwa herbivor rendah. Dalam hal
ini satwa herbivor besar, ungulata membutuhkan garam (salt lick), termasuk
bekantan membutuhkan sumber pakan bermineral tinggi seperti di hutan mangrove.
Rendahnya mineral pada tanah hutan Dipterocarpaceae mempengaruhi sebaran dan
kestabilan populasi satwa herbivora (Bennet dan Sebastian, 1988).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah menyebabkan
tumbuhan memproduksi senyawa sekunder sehingga daunnya kurang disukai satwa,
tetapi ada jenis satwa herbivor yang tidak terpengaruhi dengan unsur tersebut.
Unsur yang penting bagi vertebrata adalah Ca sebagai mineral kunci. Rendahnya
biomas, terbatasnya sebaran dan populasi herbivor menyebabkan populasi mamalia
predator juga rendah. Di Kalimantan misalnya, hanya ditemui satu jenis macan,
yaitu macan dahan, Neofelis nebulosa yang jejaknya pernah ditemui di lantai
hutan di bawah tegakan pohon tidur bekantan (Bismark, pengamatan pribadi).
Jenis mamalia yang menyukai habitat bekantan di rawa
gambut di antaranya adalah orangutan (Pongo pygmaeus), Macaca fascicularis,
Presbytis spp.,Hylobates agilis,dan Helarctos malayanus. Sedangkan di hutan
mangrove jenis mamalia yang lebih sering ditemui adalah Macaca fascicularis dan
Presbytis cristata.Sistem perakaran pohon mangrove yang ada di atas permukaan
tanah cukup menyulitkan bagi satwa teresterial seperti Cervus unicoloruntuk
bergerak di lantai hutan, sedangkan mamalia kecil jenis linsang cukup dominan
di lantai hutan mangrove.
2.3.2.
Burung
Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan
pohon yang tinggi dan mempunyai beberapa strata menurut pertumbuhan pancang dan
tiang membuat habitat yang baik bagi jenis burung. Keragaman jenis biota dalam
suatu komunitas besar artinya dalampendugaan terhadap keadaan lingkungan dari
komunitas tersebut. Dalam hubungan dengan keragaman jenis burung di suatu
komunitas, Karr(1975) telah mengemukakan hipotesa bahwa keragaman jenis di
suatu komunitas mempunyai hubungan korelasi dengan sumberdaya yang ada di
komunitas serta berkorelasi pula dengan produktivitas maupunlaju aliran energi
yang terdapat dalam komunitas tersebut.
Keterbatasan jumlah burung di hutan tropika
disebabkan oleh kompleksnya interaksi ekologi antara komunitas burung dengan
habitatnya. Di antara masalah ekologi yang erat kaitannya dengan komunitas
burung adalah faktor tingkat suksesi yang telah dicapai oleh suatu hutan,
keadaan curah hujan yang berhubungan dengan populasi serangga dan musimbuah,
keragaman habitat serta hubungan antara burung dengan satwa liar lainnya.
Perbedaan keragaman jenis antara satu habitat dengan habitat lainnya sebagian
besar dipengaruhi oleh faktor fisik berupa keadaan iklim serta struktur maupun
komposisi vertikal dari tajuk pada masing-masing habitat (Bismark, 1986).
Hutan mangrove mempunyai keragaman jenis pohon yang
rendah dan jarang terdapat buahbuahan yang berdaging sebagai makanan burung,
terutama burung pemakan buah. Tingginya keragaman jenis burung di hutan
mangrove disebabkan oleh keadaan ekosistem habitat yang relative stabil pada
hutan yang belum terganggu sehingga terdapat kemantapan sumber pakan terutama
jenis serangga dan stabilnya iklim mikro.
Dalam komunitas yang mempunyai keragaman jenis pohon
yang tinggi terdapat lebih banyak jenis burung yang langka dan ditemukan
burung-burung khas pada komunitas tersebut. Bila pada komunitas dengankeragaman
jenis pohon yang rendah terdapat keragaman jenis burung yang tinggi, maka
jenis-jenis yang banyak adalah jenis yang mempunyai sebaran luas, terutama
terhadap mikro habitat (Thiollay, 1992).
Berdasarkan King et al. (1975), dari 42 jenis burung
yang ditemukan di hutan mangrove yang didominasi R. apiculata,satu jenis burung
yang hanya hidup di hutan bakau (2,4%), yaitu Cyornis rufigastra. Sedangkan
jenis lainnya mempunyai habitat yang luas, meliputi hutan dataran rendah, hutan
sekunder, bahkan ada yang hidup di habitat yang lebih terbuka.
Ciconia episcopus, Egretta, dan Anhinga menggunakan
hutan mangrove sebagai tempat beristirahat. Sedangkan Leptoptilos javanicus
menggunakan pohon B. mucronata sebagai tempat bersarang. Jenis-jenis dari
famili Cuculidae, Picidae, Muscicapidae, Eurylamiidae, danSylviidae, terutama
pemakan serangga, mencari makan di hutan mangrove. Pada musim kemarau di
Kalimantan, populasi serangga meningkat hingga3-9 kali lipat sebagai sumber
pakan burung (Pearson, 1975).
Pada habitat burung, keadaan stratifikasi tajuk
pohon secara vertikal, kerapatan daun, luas tajuk, dan jumlah pohon akan
mempengaruhi keanekaragaman jenis burung di setiap strata. Adanya kesamaan
struktur tajuk pada tempat yang berbeda akan memungkinkan adanya kesamaan
jumlah jenis burung, serta sebaliknya adanya kesamaan struktur daun, tetapi
terdapat jenis-jenis satwa lain sebagai persaing burung akan menyebabkan
keragaman jenis burung rendah.
Tingginya frekuensi burung pada strata 0-15 m dapat
disebabkan oleh keadaan habitat mikro yang sesuai, karena di ketinggian
tersebut memudahkan burung untuk terbang melakukan foragingseperti mencari
makanan. Di samping itu tajuk yang rapat pada strata tinggi berfungsi sebagai
pelindung terhadap kestabilan habitat mikro di strata bawah sehingga
keseimbangan suhu dan kelembaban strata di bawah tidakberfluktuasi tinggi.
Berdasarkan pengamatan perbedaan fluktuasisuhu dalam satu hari menyebabkan
burung bermigrasi dari strata atas ke strata bawah.
2.3.3.
Reptilia
Reptil yang berpengaruh terhadap populasi bekantan
di antaranyaadalah buaya sungai Tomistoma schlegelisebagai predator (Galdikas,
1985), Varanus salvator,dan Ophiophagus hannah (kobra). Varanus
salvator(biawak) lebih sering kontak dengan tanah atau lantai hutan, sehingga
berpotensi untuk menyebarkan ektoparasit bekantan, karena bekantan sering ada
di lantai hutan pada waktu istirahat siang. Jenis ektoparasit yang hidup di
habitat dan di tubuh biawak adalah Aponomma lucasi. Perilaku biawak yang
mencari makan di daerah lembab dekat dengan sumber air memungkinkan biawak
terserang ektoparasit darah.
Parasit darah dapat mengurangi kadar besi dalam
darah dan anemia yang berakibat pada proses respirasi dan metabolisme (Moen,
1973; Baker dan Warthon, 1952). Reptil yang hidup di lantai hutan dimungkinkan
pula terkena berbagai jenis endoparasit, seperti bakteri yang hidup disaluran
pencernan. Graves et al. (1988) telah menganalisis jenis bakteri yang terdapat
pada kotoran (feses) reptil di Krakatau, di antaranya ditemukan bakteri
Citrobacter, Enterobacter, Pseudomonas, Acromonas, dan Escherichia coli.
Pergerakan, daerah jelajah, dan waktu aktivitas
biawak sangat dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Untuk itu biawak
menempati mikrohabitat di bawah batu besar untuk menjaga keseimbangan suhu
tubuh (Christian et. al., 1983).
Perilaku biawak dalam mencari mikrohabitat di
batu-batuan dan daerah lembab dekat sumber air yang teduh dapat mendukung
perkembangan populasi caplak (ixodidae) di mana telur caplak betina yang
menetas di tanah akan segera mencari induk semang. A. lucasi mempunyai sebaran
yang luas, sehingga kemungkinan terserangnya biawak dan ular oleh caplak
tersebut cukup besar pada habitat yang mengalami penurunan kualitas terutama
larva ektoparasit A. lucasi, besar kemungkinan dapat juga menyerang bekantan.
Ixodidaedapat menimbulkan masalah dalam kesehatan
pada manusia atau satwa. Pada satwa dapat menyebabkan penyakit anemia dan dapat
menularkan penyakit tipus, tularemia, dan “Q fever” pada manusia (Baker dan
Wharton, 1952).
2.3.4.
Fauna Perairan
Fauna yang hidup di habitat di perairan sekitar
habitat bekantan di hutan mangrove terutama udang, kepiting serta jenis-jenis
ikan.Kepiting dan udang ini termasuk sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh
bekantan. Fauna sungai yang sangat bernilai ekonomis di habitatbekantan hutan
rawa gambut adalah ikan arwana (Sclerophagus formosus) yang sekarang
populasinya sudah terancam akibat polusi air, tingginya lalu lintas di perairan
sungai, dan penangkapan di alam.
Selain permasalahan lingkungan perairan berupa
polusi, penebangan hutan juga berpengaruh pada keragaman dan populasi jenis
ikan di hulu sungai, terutama kawasan hutan riparian yang menjadi bagian
pengelolaan hutan produksi. Hasil penelitian perbandingan dampak pengelolaan
hutan konvensional (CNV) dan sistem reduce impact logging(RIL) terhadap aliran
nutrisi dan kualitas air di hulu sungai di Malinau Kalimantan Timur menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
Tingginya N/P rasio dan residu tersuspensi di
perairan RIL menunjukkan tingginya bahan organik yang diproduksi dan
dilepasdari hutan bekas tebangan RIL sebagai sumber mineral dan hara bagi biota
perairan. Walaupun demikian nilai N/P rasio dengan angka di atas 20 tetap
menunjukkan bahwa perairan sungai ada dalam kondisi oligotropik yaitu input
nutrientdan produsen pertama rendah, transparansi tinggi, dan penyebaran jenis
ikan merata (IETC, 1999).
Di stasiun penelitian Sungai Seturan, Malinau di
mana terdapat areal percobaan RIL dan CNV telah teridentifikasi 28 jenis ikan.
2.3.5.
Parasit
Interaksi populasi primata dengan parasit akan
berakibat negatif terhadap pertumbuhan dan ketahanan populasi. Parasit dapat
pulamengakibatkan penurunan efisiensi energi metabolisme satwa inang dan
menurunnya fungsi dari sistem yang ada pada tubuh, seperti sistem peredaran dan
keseimbangan panas tubuh (Moen, 1973).
Endoparasit bekantan dapat diketahui melalui feses
dan dapat diidentiftkasi di laboratorium. Sementara ini diketahui jenis
endoparasit bekantan yang dominan adalah cacing Trichiuris. Selain itu dalam feses
bekantan ditemukan telur Ascaris dan jenis Nematoda lainnya.
Trichiuris cukup berbahaya pada primata, dan jenis
ini umumnya ditemukan pada Macaca fascicularis (Matsubayashi et al., 1981),
orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987). Jenis endoparasit lain dalam saluran
pencernaan orangutan adalah Strongyloides, Enterobius buckleyi, Arborviata
caucasia, Pithecostrongyloides, Trichostrongyloides, dan Gasterodiscoides; dan
pada orangutan yang direhabilitasi ditemukan Ankylostoma basiliensi (Rijksen,
1978). Sedangkan pada M. fascicularis ditemukan Oesophagustinum,
Streptopharagus, Strongyloides, dan Bertiella (Matsubayashi, 1981). Di hutan
mangrove, bekantan hidup bersamaan dengan kelompok M. fascicularis dan oleh
karena itu sangat dimungkinkan parasit yang ada pada M. fascicularis juga
ditemukan pada bekantan.
BAB
3
STRUKTUR
KELOMPOK
Di alam tidak ada jenis mamalia yang betul-betul
hidup soliter.Paling tidak kebutuhan pasangan dalam perkawinan atau
kebutuhanpemeliharaan, seperti menyusu pada saat bayi. Dengan demikian satwa
membutuhkan hubungan sosial, dan kehidupan sosial primata dapatterlihat melalui
sistem sosial dengan berkelompok.
Faktor penting yang mempengaruhi besar kelompok dan
organisasi sosial primata adalah sumber pakan (Jolly, 1972; Clutton-Brock dan
Harvey, 1977; Gittin dan Raemakers, 1980), tekanan predator (Jolly, 1972;
Tilson, 1977), dan pengaruh parasit (Freeland, 1976). Menurut Terborgh (1984)
besar kelompok primata terbentuk oleh hasil interaksi jenis dengan lingkungan,
meliputi besar tubuh dan demografi, serta seleksi dalam jenis kelamin. Primata
bersifat poligami, dan dalam kehidupannya terkait dengan kompetisi terseleksi
melalui perbedaan besar tubuh dan perkembangan otot pada jenis jantan
(Clutton-Brock, 1977).
3.1.
Morfologi dan Geometri
Bekantan dewasa menunjukkan perbedaan bentuk dan
ukuran tubuh yang nyata antara jantan dan betina (seks dimorphisme) (Kern,
1964; Bennett dan Sebastian, 1988; Yeager, 1989). Perbedaan ini terlihat pada
besar tubuh dan bentuk hidung. Jenis jantan memiliki hidung yang relatif besar,
alat kelamin eksternal, terdapat warna putih ber bentuk segi tiga pada bagian
pinggul (Gambar 10) serta berkembangnya otot yang kuat. Betina relatif lebih
kecil, puting susu jelas serta hidung lebih kecil dan runcing. Berat badan
jantan berkisar antara 20-22 kg dan betinaantara 10-12 kg (Yeager, 1990). Berat
badan bekantan jantan di hutan mangrove berkisar antara 22-27 kg dan betina
antara 8-17 kg (Bismark, 2005).
Perbedaan bentuk dan ukuran tubuh bekantan jantan
dan betina (dikenal sebagai geometri tubuh) meliputi panjang badan dan kepala
(atau tinggi saat duduk), lebar bahu, panjang ekor, dan luas permukaan tubuh.
Tinggi
duduk, lebar bahu, dan panjang ekor ditentukan sebagai parameter geometri tubuh
bekantan yang mudah digunakan untuk membedakan kelas umur bekantan saat satwa
beristirahat pada posisi duduk dengan ekor terjuntai ke bawah.
Perbedaan geometri bekantan jantan dan betina
terlihat pada bentuk hidung, di mana hidung yang jantan lebih besar dan yang
betina lebih runcing. Di samping itu lebar bahu betina (17,5-18 cm), sama
dengan 2/3 lebar bahu jantan (23-32 cm) dan tinggi betina (55-58 cm),
samadengan 4/5 dari tinggi jantan (60-73 cm) sehingga luas permukaan tubuh betina
sama dengan 2/3 luas permukaan tubuh yang jantan. Ukuran tubuh betina dewasa
hampir sama dengan jantan setengah dewasa.
Menurut Bennett dan Sebastian (1988) besar tubuh
bekantan setengah dewasa lebih dari 3/4 tubuh dewasa sedangkan yang remaja
kurang dari 3/4 bagian tubuh dewasa. Walaupun tinggi duduk jantan setengah
dewasa sama dengan 3/4 dari jantan dewasa, namun lebar bahunya sama dengan 2/3
dari dewasa dan luas permukaan tubuhnya sama dengan1/2 dari luas tubuh dewasa.
Selain dari ukuran besar tubuh dan tanda-tanda yang
dikemukakanBennett dan Sebastian (1988), penentuan kelas umur bekantan dapat
dilihat dari perbandingan panjang ekor dengan tinggi duduk (E/Td) serta tinggi
duduk dengan lebar bahu (Td/B). Perbandingan ini dapat diamati di lapangan saat
bekantan dalam keadaan istirahat dengan posisiduduk.
Untuk kelas umur dewasa dan setengah dewasa, nilai
E/Td sekitar1 di mana tinggi dan panjang ekor relatif sama, sedangkan untuk
kelas umur remaja, panjang ekor adalah 1⒟tinggi
badan sedangkan bayi, ekornya lebih dari 13/4 tinggi duduk.
Indeks Td/B untuk jantan adalah 2,63 atau tinggi
badan sama dengan 22/3 lebar bahu. Indeks pada betina dewasa sama dengan indeks
pada jantan setengah dewasa yaitu 3, atau tinggi duduk 3 kali lebar bahu,
sedangkan untuk kelas umur remaja dan bayi, panjang badan dan kepala sama
dengan 22/3 lebar bahu, sama dengan indeks pada jantan dewasa.
Parameter geometri yang mudah diamati di lapangan
dan erat kaitannya dengan besar tubuh bekantan yang dicirikan dengan luas
permukaan tubuh adalah tinggi duduk dan lebar bahu. Analisis parameter tersebut
secara matematik sangat ditentukan oleh variasi dan jumlah sampel yang ada.
Dari sampel yang ada, bekantan jantan dan betina dapat mewakili setiap kelas
umur walaupun tidak dalam jumlah yang sama.
Luas permukaan anggota gerak (kaki dan tangan)
bekantan rata-rata adalah 52,65% dari luas permukaan tubuh. Pada rusa dengan
berat badan 60 kg, luas anggota geraknya hanya 36,9%. Dalam hal ini, pelepasan
panas secara konveksi melalui kaki rusa relatif besar dibandingkan dengan luas
permu kaannya (Moen, 1973). Bekantan yang melakukan aktivitas secara arboreal
dengan luas permukaan anggota gerak relatif lebih besar dari rusa (52,65%)
memungkinkan terjadinya pelepasan panas tubuh secara konveksi yang relatif
lebih besar melalui anggota gerak pada saat melakukan pergerakan quadrupedal (pergerakan
dengan menggunakan empat kaki).
Menurut pengamatan, bekantan lebih banyak istirahat
setelah aktif makan (42,3%). Pada waktu istirahat satwa ruminansia memproses
makanan dalam saluran pencernaan dan pada saat ini pula panas banyak terlepas
melalui saluran pencernaan (Moen, 1973). Dalam hubungan ini bekantan memiliki
volume saluran pencernaan lebih besar dari primata pemakan daun lainnya, yaitu
8.371 cm³ sedangkan jenis Presbytis melalophos, P. rubicunda, dan P. obscura
masing masing 3.168, 3.113, dan 3.805 cm³ (Bennett, 1983). Untuk menjaga
keseimbangan suhu, bekantan melakukan istirahat atau tidur dalam posisi duduk
dengan anggota gerak mendekap ke bagian tubuh agar pelepasan panas secara
konveksi dan evaporasi dapat dikurangi.
3.2.
Sistem Sosial
Faktor yang mempengaruhi jumIah individu dalam
kelompok dan organisasi sosial primata adalah kepadatan populasi, sumber pakan,
predator, dan lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara anak dengan baik.
Faktor yang sangat berpengaruh di antara faktor di atas juga tergantung pada
jenis satwanya. Selain itu juga dipengaruhi oleh phylogenetiksatwa dalam
berperilaku (Raemakers dan Chivers, 1980) maupun jenis kelamin, seperti perilaku
betina sangat tergantung pada sumber pakan dibandingkan dengan jantan (Bennett,
1983).
Faktor utama yang menentukan perilaku sosial primata
adalah seleksi pakan dan kecenderungan dari mamalia untuk menganut
polygyni(Raemakers dan Chivers, 1980). Pada burung, sistem monogami benar-benar
berperan karena jantan akan melakukan apa saja terutama saat betina bertelur
(Clutton-Brock dan Harvey, 1977; Raemakers dan Chivers, 1980).
Kelompok primata dalam jumlah kecil dengan
teritorial sempit, jarang ber pencar dalam mencari makan sehingga memaksa
kelompokini membentuk sistem sosial monogami (kelompok 2-6 individu) terutama
jantan, karena yang betina tidak dapat mempertahankan teritorial sendiri.
Perilaku menjaga teritorial ini akan memungkinkan untuk menjamin anaknya agar
dapat berkembang (Raemaekers dan Chivers, 1980). Presbytis yang berkelompok
dalam jumlah relatif besar (5-19 individu) mencari makanan di dalam ruang
pengembaraan (home range) secara berpencar dengan membentuk anak kelompok
sebagai adaptasi terhadap keterbatasan dan tersebarnya sumber pakan (Curtin,
1980).
Predator juga mempengaruhi perilaku sosial. Primata
dalam kelompok besar akan berkomunikasi lebih baik dalam mendeteksi predator
dan sumber pakan sehingga meningkatkan upaya penyelamatan terhadap ancaman
predator (Sussman, 1977). Hal ini sangat penting dilakukan pada habitat yang
struktur fisiknya sudah terganggu. Habitat yang terganggu dapat mempengaruhi
perubahan komposisi dan jumlah individu dalam kelompok bekantan (Yeager, 1991).
3.3.
Komposisi Kelompok
Populasi bekantan tersebar dari pantai hingga hutan
hulu sungai yang didominasi dipterocarpaceae yang berjarak 70 km dari pantai
(Bismark dan Iskandar, 2002), di Sungai Murung Barito Utara, 600 km daripantai,
dan bahkan di hutan karet Kalimantan Selatan yang berjarak 300 km dari pantai
(Soendjoto et al.,2005). Populasi bekantan ditemukan tersebar tidak merata, di
Sungai Sangatta Kalimantan Timur (1986) tersebar antar kelompok 4-25 km
(rata-rata 10,6 km) dan tersebar dalam jarak 18-40 km (Bismark dan Iskandar,
2002).
Daya dukung habitat terlihat dari besaran struktur
kelas umur dalam populasi bekantan. Populasi bekantan dibangun oleh
kelompok-kelompok bekantan dengan jumlah individu yang sangat bervariasi, yaitu
antara 6-16 individu per kelompok (Bennet dan Sebastian, 1988), 3-17 individu
(Yeager, 1992), dan 17-25 individu (Bismark, 1994). Di Pulau Kaget yang luasnya
247 ha pernah terdapat 19 kelompok bekantan dengan jumlah individu kelompok
berkisar antara 4-24 individu (Bismark, 1997).
Rata-rata individu kelompok bekantan di hutan
mangrove Taman Nasional Kutai adalah 21 individu (17-25 individu). Jumlah
individu kelompok bekantan cukup bervariasi yaitu antara 6-16 individu (Bennett
dan Sebastian, 1988), 12-27 individu (Kern, 1984), 11-56 individu (Ruhiyat,
1986), dan 3-17 individu (Yeager et al.,1989).
Pada umumnya jumlah anggota kelompok primata dalam
selang waktutertentu memiliki sistem sosial yang sama. Untuk kelompok dengan
variasi jumlah 5-25 individu kemungkinkan punya lebih dari satu sistem sosial.
Sistem sosial yang dimak sud adalah sistem multi-males(banyak jantan), satu
jantan dengan beberapa betina, sistem berpindah antar anggota kelompok (fission
fusion), poligami, monogami, dan soliter.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai sistem sosial
bekantan. Kern (1964) mengemukakan bahwa sistem sosial bekantan agak longgar
sehingga dapat terjadi perpecahan dan penggabungan anggota antar kelompok yang
berbeda. Dengan sistem ini dapat ditemui kelompok yang lebih dari 60 individu
(Kern, 1964; Bismark, 1986). Salter et at. (1985) menemukan kelompok hingga 50
individu yang kemudian berpencar saat meninggalkan lokasi tempat tidur dan
kelompok ini dapat digolongkan pada fission fussion.
Yeager (1989, 1990, 1991) melaporkan bahwa sistem
sosial harem pada bekantan adalah stabil sedangkan sebelumnya Kawabe dan Mano
(1972) dalamYeager (1990) mendeskripsikan bahwa sistem kelompok bekantan adalah
multi-male. Bila dilihat dari jumlah individu kelompok bekantan yang bervariasi
antara 17-25 individu maka menurut sistem sosial primata yang dikemukakan
Terborg (1984), kemungkinan sistem sosial bekantan adalah harematau
multi-male.Sistem sosial bekantan lebih ditentukan pada jumlah dan stabilitas
jantan dalam kelompok.
Sistem haremterlihat saat pembentukan sub kelompok.
Sistem sosial bekantan di hutan mangrove lebih mengarah pada sistem multi-male,
di mana dalam tiap kelompok terdapat lebih dari satu jantan dewasa.
Perbandingan individu jantan dewasa dengan betina dewasa (seksrasio) adalah
1:2,55. Di samping itu perpindahan anggota antar kelompok juga terjadi
(Bismark, 1994). Penelitian Ruhyat (1986) menunjukkan bahwa kelompok bekantan
yang diteliti mempunyai jantan dewasa antara 1-5 individu untuk kelompok 11-56
individu.
Peran jantan dalam kelompok seksdimorphismeadalah
untuk mempertahan kan teritorial, terutama kaitannya dengan sumber pakan. Bagi
jenis primata yang kurang selektif terhadap sumber pakan, organisasi sosialnya
akan menjurus kepada kelompok besar multi-maledan seks dimorphismedan bahkan
sistem sosial fission-fusion (Raemakers dan Chivers, 1980).
Perbedaan sistem sosial bekantan berkaitan erat
dengan kondisi habitat dan sumber pakan. Habitat bekantan di hutan mangrove
riverinememiliki ciri-ciri keragaman jenis pohon yang rendah namun kerapatannya
tinggi, dan terdapat jenis pohon yang sangat dominan, yaitu R. apiculata yang
menjadi sumber pakan pokok (71,9%) dalam komposisi pakan bekantan. Jenis ini
dominan dan membentuk zonasi dengan kerapatan 391 pohon per ha serta mempunyai
kualitas kandungan organik dan mineral yang baik. Kondisi ini dapat
menghindarkan persaingan antar jantan dalam mempertahan kan ruang pengembaraan
dan ini terlihat pula pada sempitnya ruang pengembaraan kelompok bekantan yaitu
19,4 ha. Dari analisis ini terlihat bahwa kondisi habitat, kualitas dan
kuantitas sumber pakan di hutan bakau dapat mengurangi kompetisi antar jantan
sehingga mengarah terbentuknya kelompok yang multi-male.
Kompetisi juga dapat terhindari oleh adanya
kemampuan bekantan dalam memanfaatkan lantai hutan sebagai tempat istirahat dan
mudahnya anggota kelompok terpecah membentuk anak (sub) kelompok yang relatif
kecil jumlah anggotanya. Pembentukan sub-kelompok ini merupakanstrategi dalam
perilaku makan. Penggunaan lantai hutan untuk berjalan akan menguntungkan bagi
penghematan energi serta memudahkan dalam pemisahan dan penggabungan
sub-kelompok (Raemaker dan Chivers, 1980). Perilaku pembentukan sub-kelompok
dan semi teresterial terlihat pula pada M. fascicularis (Kurland, 1973;
Aldrich-Blake, 1980), Presbytis obscura dan Presbytis melalophos (Curtin dan
Chivers, 1979).
Sub kelompok bekantan berkisar antara 1-19 individu
(rata-rata 8,5). Sub kelompok ada yang tidak memiliki jantan, dalam hal ini
hanya terdiri dari betina dewasa, setengah dewasa, remaja, dan bayi;
sub-kelompok lainnya ada yang memiliki satu, dua, dan tiga jantan dewasa.
Freksuensi terbentuknya sub-kelompok dengan satu
jantan dewasa adalah yang tertinggi (43,86%) dengan jumlah individu 2-17 atau
rata-rata 9,12 individu. Pembentukan sub-kelompok ini terjadi saat bekantan
melaksanakan aktivitas harian, mencari makan, dan istirahat. Sub kelompok dapat
pula terjadi sewaktu berada di lokasi tidur, di tepi sungai. Frekuensi dari
masing-masing jumlah individu dalam sub kelompok. Sub-kelompok yang memiliki
satu jantan dewasa dengan jumlah rata-rata 9,12 individu sama dengan besar
kelompok rata-rata bekantan (9 individu) dengan sistem sosial harem(uni-male)
yang stabil (Bennett dan Sebastian, 1988).
Pembentukan sub-kelompok yang dimulai sejak bekantan
meninggalkan pohon tempat tidur berhubungan dengan efisiensi pemanfaatan waktu
mencari makan dan penghematan energi untuk aktivitas pergerakan. Hal ini dimung
kinkan pula dengan tersebar ratanya sumber pakan utama yaitu Rhizopora
apiculata. Sebaran sub-kelompok yang berjarak antara 50-150 m (rata-rata 96 m)
satu dengan lainnya juga bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
konflik antar individu dalam kelompok dan bermanfaat dalam pengontrolan daerah
jelajahnya. Penggabungan sub -kelompok kembali terjadi saat akan kembali ke
tepi sungai untuk bermalam.
Pemisahan dan penggabungan individu tidak hanya
ter-jadi pada beberapa sub- kelompok dari kelompok yang sama. Penggabungan terjadi
pula antar kelom pok, terutama di lokasi tempat tidur di tepi sungai (Bismark,
1986). Pada tahun 1985 kelompok bekantan di Sungai Sangkimah Taman Nasional
Kutai bergabung dalam jumlah lebih dari 80 individu dan 117 individu dalam
waktu 3-7 hari (rata-rata 5,5 hari). Pada saat tersebut belum banyak terjadi
pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak dan pemukiman. Penggabungan
kelompok satu dengan yang lain berhubungan dengan perilaku anti predator
(Yeager, 1992).
Dengan kecenderungan meningkatnya jumlah anggota
pada sub-kelompok yang beranggotakan lebih dari satu jantan memperkuat bahwa
kelompok bekantan di hutan bakau lebih cenderung bersifat multi-male.Hal ini
diperkuat pula dengan jarang ditemukan (3,5%) agonistikantar jantan dalam satu
kelompok atau antar kelompok. Kasus agonistik dapat dilihat dari adanya
aktivitas menggoyang cabang pohon dan mengangakan mulut serta ereksi penis pada
jantan (Yeager, 1992).
Dalam Tabel 20 terlihat bahwa sub-kelompok dapat
terdiri dari jantan saja dan ada pula jantan yang terpisah (soliter). Oleh
karena individu-individu tersebut berupa sub-kelompok maka dapat bergabung
kembali dengan kelompoknya. Menurut Bennett dan Sebastian (1988) kelompok
jantan dan jantan soliter umumnya bergabung dengan kelompok harem, terutama
bila berada di tepi sungai.
Kasus fission-fusiondalam kelompok bekantan terlihat
pada kelompok dengan jumlah individu 17, pada bulan Agustus 1993 berubah
menjadi 22 individu. Perubahan akibat penambahan 4 betina dewasa dengan 2 bayi
dan keluarnya satu jantan dewasa (Bismark, 1994). Kasus perpindahan betina
dewasa dengan bayi juga dila porkan oleh Bennett dan Sebastian (1988).
Perpindahan betina dewasa dari satu kelompok ke
kelompok lain terjadi saat berasosiasi atau penggabungan kelompok dengan
kelompok lain di tepi sungai. Perpindahan betina dewasa di antara kelompok
berlainan juga terjadi pada monyet Papio hamadryas, Colobus badius, Alouatta
seniculus, Alouatta palliata, Gorilla gorilla, Pan troglodiates, dan Colobus
satanas (Bennett dan Sebastian, 1988). Perpindahan betina ini menguntungkan
dalam menghindari terjadi inbreeding, memperbaiki status sosial betina,
menghindari kompetisi dalam mendapat pakan, dan menghindari kemungkinan
pembunuhan bayi oleh jantan dominan, serta untuk menda patkan kelompok yang
stabil guna memelihara anak dengan baik.
BAB
4
POPULASI
DAN SEBARAN
Hutan lahan basah yang meliputi hutan rawa gambut,
hutan tepi sungai, dan hutan payau, dinilai sangat potensial dikembangkan
menjadi kawasan budidaya untuk menunjang perekonomian masyarakat lokal maupun
regional. Pemanfaatannya dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan produksi,
pengembangan lahan pertanian maupun pengembangan wilayah. Dari segi ekosistem,
hutan rawa berperan sebagai penampung air hujan sehingga berfungsi sebagai
pengendali banjir, sumber air minum, dan pencegah intrusi air laut (Claridge,
1994). Apabila penebangan hutan lahan basah dilakukan secara tidak terkendali,
maka akan berdampak pada perubahan tata air sehingga frekuensi banjir meningkat
dan air cepat mengalir menuju sungai (Bennet dan Gombek, 1991). Di samping itu
kawasan lahan basah memiliki keragaman jenis hayati berupa flora dan fauna yang
tinggi dan berfungsi sebagai habitat dari beragam jenis satwaliar, bermanfaat
untuk menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dalam bentuk
pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti getah jelutung, buah-buahan, dan ikan
sungai sumber protein hewani masyarakat.
Okupasi masyarakat ke dalam kawasan hutan lahan
basah dimulai dari sungai sebagai sarana transportasi utama di wilayah kawasan
tersebut. Peningkatan frekuensi penggunaan sungai sebagai sarana transportasi
menyebabkan meningkatnya pertumbuhan pemukiman dan pemanfaatan hutan riparian
berupa hasil hutan maupun penggunaan lahan hutanuntuk perluasan ladang atau
kebun. Padahal kawasan hutan sempadan sungai selebar 100 m termasuk dalam
kategori kawasan lindung.
Di Kalimantan, hutan rawa di sepanjang tepi sungai
dan riverine mangrove di pantai, merupakan kawasan potensial sebagai habitat
satwaliar. Bekantan adalah salah satu jenis primata pemakan daun endemik
Kalimantan, yang populasinya sangat bergantung pada kualitas ekosistem lahan
basah, khususnya hutan mangrove dan hutan riparian, dan tidak toleran terhadap
gangguan habitat (Wilson dan Wilson,1975; Bennet dan Gombek, 1991; Yeager,
1992). Berdasarkan laporan McNeely et al. (1990) dari 29.500 km persegi habitat
bekantan, 40% telah hilang, sedangkan habitat bekantan yang termasuk ke dalam
kawasan konservasi hanya 4,1%. Oleh karena pembangunan pemukiman dan areal
pertanian di sepanjang sungai cenderung meningkat, maka dampaknya akan
berpengaruh terhadap penurunan kualitas habitat dan populasi satwa endemik.
Salah satu indikator dampak kerusakan habitat hutan rawa terhadap biodiversitas
satwa, di antaranya adalah penurunan populasi bekantan.
Distribusi bekantan di Kalimantan telah didokumentasikan
oleh Meijaard dan Nijman (2000) di 30 lokasi dan diperoleh informasi sebaran
bekantan di 123 lokasi lainnya yang tersebar di hutan mangrove, pulau kecil,
delta, sepanjang sungai, dan hutan rawa gambut. Lebih dari 20% populasi
tersebar di daerah pantai, 18% tersebar antara 100-200 km dari pantai, 16%
antara 20-100 km, dan 58% populasi tersebar 50 km dari pantai, bahkan ditemukan
di kawasan 300 km dari pantai dan sampai 750 km dari pantai. Sebesar 90% lokasi
sebaran bekantan terletak pada ketinggian di bawah 200 m dari permukaan laut
(dpl) dan tertinggi pernah dilaporkan terletak pada 350 m dpl.
Sebaran bekantan dan tipe habitat di Kalimantan
Selatan telah dilaporkan oleh Soendjoto (2005) dan Bismark (1997), di
Kalimantan Timur oleh Bismark dan Iskandar (2002) dan Ma’ruf et al. (2005).
Areal prioritas sebaran bekantan yang mengalami tekanan sampai tahun 1997 telah
diidentifikasi oleh Meijaard (2000).
Habitat bekantan yang mudah dikunjungi di Kalimantan
Selatan diantaranya adalah Pulau Kaget yang sebagian kawasannya berupa cagar
alam dihuni oleh 3 kelompok bekantan (4-10 dan 11 individu) dengan sistem
kelompok 1 jantan dewasa dan 3-4 betina dewasa. Total populasi di Pulau Kaget
pada tahun 1996 adalah 288 individu di dalam areal seluas 267 ha (Bismark,
1997). Di sekitar Pulau Kaget, Pulau Puduk, dan Pulau Temurung masih ditemukan
kelompok bekantan dengan 7-25 individudan di Pulau Tempurung terdapat 3
kelompok masing-masing 7, 7, dan 12 individu (Bismark, 1997).
Pengamatan populasi bekantan di Delta Sungai Mahakam
KalimantanTimur dilakukan oleh Ma’ruf et al. (2005). Studi ini dilakukan di
daerah muara Sungai Mahakam dengan letak geografis 00’26”06,2-00’41”26,2 LU dan
117’19”13,7-117’31”26 BT. Muara Sungai Mahakam yang dikenal dengan Delta
Mahakam memiliki keragaman satwa dan salah satunya adalah bekantan. Populasi
satwa ini belum banyak diketahui, sementara di Delta Mahakam kegiatan
masyarakat meningkat seiring dengan pembangunan pertambakan dan pertambangan
batubara. Kegiatan tersebut akan berpengaruh pada habitat dan sumber pakan
bekantan. Arus lalulintas muara Sungai Mahakam yang cukup padatoleh kapal
pengangkut batubara, kayu gelondongan, dan tankerminyak dari Samarinda, juga
dapat mempengaruhi populasi bekantan. Sebaran populasi bekantan di muara Sungai
Mahakam.
Sementara itu habitat bekantan kini telah berkurang
akibat pemanfaatan daerah tepi sungai menjadi tambak, pemanfaatan pohon pakan
yaitu rambai laut dan pohon untuk beristirahat Heritiera littoralis maupun
nipah. Dari Gambar 15 terlihat bahwa areal pemanfaatan pantai (warna ungu) oleh
masyarakat untuk tambak, rata -rata setiap tambak berukuran antara 2-5 hektar.
Interpretasi awal menunjukkan bahwa 75% muara Sungai Mahakam telah dikelola
menjadi tambak. Kemungkinanbertambahnya pembukaan areal untuk tambak atau usaha
lain sangat besar. Sisanya 25% merupakan areal yang terbagi menjadi 10% habitat
bekantan (terdapat pohon pakan) dan 15% habitat nipah (Ma,ruf, 2005).
4.1.
Populasi
Survei populasi bekantan sudah banyak dilakukan para
peneliti di Taman Nasional (TN) Kutai, di antara peneliti yang melaporkan
populasi bekantan tersebut adalah Wilson dan Wilson (1975) dan Rodman (1987).
Keduanya melaporkan bahwa bekantan sulit ditemukan selama penelitian mereka
berlangsung. Wilson dan Wilson (1975) menemukan tiga kelompok bekantan di muara
Sungai Sangatta dan Rodman (1978) menemukan bekantan di hulu Sungai Sangatta.
Populasi bekantan di hutan bakau terkonsentrasi di komplek hutan Sungai
Sangkimah, Teluk Kaba, Sungai Pemedas, dan Sungai Padang. Di Sungai Sangkimah
sepanjang 2 km dari pantai terdapat sejumlah 117 individu bekantan (Bismark,
1986).
Kepadatan populasi bekantan di beberapa tempat yaitu
dilaporkan antara 8,3-58 individu/km² (Tabel 21). Beberapa penelitian populasi
bekantan dilakukan oleh Yeager dan Blondal (1992), Ruhiyat (1986), Yasuma
(1989), dan Bennett dan Sebastian (1988). Yeager dan Blondal (1992) telah
mengemukakan hasil analisisnya bahwa pada habitat yang rusak berat, kerapatan
bekantan 9 individu per km², selanjutnya yaitu 25 individu per km² pada
kerusakan yang agak berat, 33 individu per km² pada habitat dengan kerusakan
sedang, dan 62 individu pada habitat dengan kerusakan ringan. Bekantan sensitif
terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975) sehingga populasi bekantan
dapat dijadikan indikator terhadap tingkat kerusakan hutan mangrove dan hutan
tepi sungai.
Sungai yang panjang, cukup lebar (7->10 m), dan
dalam, keberadaan pohon mangrove yang relatif tinggi dan berdiameter besar
serta tersedia sumber air tawar yang memungkinkan terbentuknya hutan riverine
mangrove di habitat tersebut, menunjang kebutuhan ekologis dan perilaku
bekantan. Sungai termasuk komponen ekologis penting yang mem pengaruhi
pemilihan habitat oleh kelompok bekantan di hutanbakau termasuk bekantan di
hutan karet yang membutuhkan sumber air atau danau kecil sebagai bagian
habitatnya (Soendjoto et al., 2006). Hutan mangrove di sekitar sungai lebih
tinggi produktivitasnya dibandingkan dengan tipe hutan mangrove lain (Mitsch
dan Gosselink, 1984). Pohon yang lebih tinggi akan memberikan keamanan bagi
kelompok bekantan. Selain itu perilaku tidur bekantan yang selalu memilih
lokasi di tepi sungai untuk tujuan pengamanan kelompok dari predator dan untuk
berkomunikasi (Bismark, 1986; Yeager, 1990). Bagi bekantan, sungai berfungsi
sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang; sedangkan A. officinalis
yang ada di tepi sungai, selain sebagai pohon tempat tidur jugasebagai sumber
pakan daun dan buah yang mengandung protein dan mineral tinggi. Perbedaan
ukuran kelompok dan populasi menurut perubahan ekosistem dari muara hingga ke
hulu sungai.
Di Sungai Sangatta terdapat 3 sub populasi bekantan
yang tersebar dari muara hingga hulu sungai dalam jarak 18-40 km. Sub populasi
ini terdiri dari 1-4 kelompok bekantan dalam kawasan 1-2 km hutan riparian
(Bismark dan Iskandar, 1997). Sebelumnya, Suzuki (1986) melaporkan bahwa
sebaran sub populasi bekantan di TN Kutai antara 4-25 km (rata-rata 10,6 km),
keadaan sekarang sub kelompok terpencar dalam jarak rata-rata 30 km (Bismark dan
Iskandar, 2002). Keadaan ini merupakan indikasi menurunnya kualitas hutan
sebagai habitat bekantan.
Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh
kualitas dantipe habitat. Di hulu sungai, satu kelompok bekantan terdiri dari
6-15 individu sedangkan 10 km dari muara, kelompok bekantan pada umumnya
berkisar antara 10-25 individu. Kelompok bekantan di hutan mangrove yang
terganggu berkisar antara 6-10 individu, di hutan mangrovedengan tutupan
vegetasi baik, besar kelompok antara 17-25 individu. Pengamatan di beberapa
lokasi survei menunjukkan ada perbedaan jumlah bekantan yang teramati,
pengamatan jumlah pada hari pertama berbeda dengan pengamatan hari berikutnya.
Perbedaan ini menunjukkan suatu nilai koreksi data dalam penghitungan populasi
bekantan, yaitu 1,8. Menurut Yasuma (1989), nilai koreksi ini adalah 2,46.
Berdasarkan nilai korelasi, maka populasi bekantan di TN Kutai (Tabel 23)
diduga berjumlah 400 individu.
Tingginya frekuensi perjumpaan bekantan di habitat
hutan mangrove dan nipah juga dilaporkan oleh Bennett dan Sebastian (1986);
Salter et al.(1985), dan Ma,ruf (2004). Mengingat terbatasnya habitat bekantan
di hutan mangrove maka ancaman terbesar bagi populasi bekantan adalah rusaknya
hutan mangrove, terutama di kawasan konservasi yang hanya mengkonservasi 8%
luasan mangrove di Kalimantan. Laporan tentang populasi bekantan dan kondisi
sekarang relatif sedikit.
Pada tahun 90-an, di TN Tanjung Puting dengan
habitat hutan rawa gambut diperkirakan hanya terdapat 2.000 individu bekantan
dan di Sarawak total populasi bekantan diperkirakan 1.000 individu dan 300
individu di antaranya ada di kawasan konservasi (Yeager dan Blondal, 1992).Pada
tahun 1986 McKinnon memperkirakan jumlah populasi bekantan hanya 250.000
individu, 25.000 di antaranya berada di luar kawasan konservasi, sedangkan
bekantan yang ada di kawasan konservasi kurang dari 5.000 individu (Yeager dan
Blondal, 1992), sedangkan dalam kawasan konservasi sendiri hanya mencakup 4,1%
dari seluruh habitat bekantan (McNeely et al., 1990) dan pada tahun 1994
populasi bekantan di Kalimantan ditaksir sejumlah 114.000 individu (Bismark,
2002).
4.2.
Ancaman Populasi Bekantan
Di hutan mangrove populasi bekantan dapat mencapai
60 individu per km² (Bismark, 1986). Dilihat dari komposisi umur dalam kelompokdan
jumlah bayi mencapai 4 individu dalam kelompok menunjukkan bahwa tingkat
reproduksi bekantan cukup tinggi. Dalam 9 tahun pengamatan populasi bekantan di
TN Kutai jumlah individu per km² menurun sebesar 28,2% atau rata-rata 3,1% seta
hun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh bertambahnya intensitas kerusakan
habitat di tepi sungai dan kerusakan hutan mangrove.
Pada tahun 1985, populasi bekantan di TN Tanjung
Puting adalah 62,9 individu per km², pada tahun 1989 turun menjadi 27,7
individu per km², dan 41 individu per km² pada tahun 1991. Dalam waktu 6 tahun
telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% setahun. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya polusi air sungai akibat penambangan emas,
degradasi habitat, dan meningkatnya lalulintas angkutan sungai (Yeager, 1992).
Penurunan populasi dapat disebabkan oleh meningkatnya populasi predator akibat
pembukaan hutan. Di hutan rivarianpopulasi biawak (Varanus salvator) cukup
tinggi dan biawak adalah salah satu predator primata yang potensial (Rodman,
1978; Yeager, 1990).
Perbedaan populasi di antara jenis-jenis primata,
selain dipengaruhi oleh tingkat kerusakan habiat (Yeager dan Blondal, 1992;
Wilson dan Wilson, 1975; Happel et al., 1987; Marsh dan Wilson, 1981)
ditentukan pula oleh tekanan predator (Jolly, 1972; Tilson, 1977; Bennett,
1983), parasit (Rijksen, 1978, Freeland, 1976), dan geografi sebaran (Happel et
al., 1987; Chivers, 1974), sistem sosial (Happel et al., 1987) serta pola dan
perilaku makan, seperti primata pemakan daun lebih tinggi populasinya daripada
primata pemakan buah (Chivers dan Raemaker, 1980; Clutton-Brock dan Harvey,
1977), dan perbedaan fisiologi pencernaan (Bennett, 1983).
Perkembangan populasi yang baik pada habitat
terdegradasi terlihat di Pulau Kaget. Habitat yang didominasi pohon Sonneratia
caseolaris yang tersebar antara 20-55 m dari tepi sungai dengan kerapatan 150
pohon per ha, kelompok bekantan masih bertahan dalam jumlah hampir 300 individu
dalam areal 267 ha. Hanya 25% populasi yang terlihat kurang teradaptasi dengan
kondisi ini (Bismark, 1997). Populasi ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan
populasi bekantan di TN Kutai dengan luas 200.000 ha, sejumlah 400 individu
(Bismark dan Iskandar, 1996). Populasi di Pulau Kaget terlihat dapat
beradaptasi dengan sumber pakan tumbuhan air Limnocharis flava, Agapanthus
africanus, Hymenachne amplicaulis, dan vittis trifolia. Tumbuhan air yang
dimakan primata mempunyai kadar mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan
primata di dataran kering (Oates, 1978). Untuk mempertahan kan populasi,
bekantan butuh mineral yang cukup banyak (Bennett dan Sebastian, 1988), seperti
K, dibutuhkan sejum lah 179,9 mg/kg berat badan/hari (Bismark, 1995), sedangkan
Vittis trifolia diketahui mengandung konsentrasi K tinggi, yaitu 1,06%.
Perburuan primata bagi masyarakat eksosistem sesuatu
yang umum untuk kebutuhan protein hewani. Perburuan primata di Pulau Siberut
misalnya sudah merupakan bagian kebudayaan dan adat masyarakat.Hal ini sebagai
kontrol populasi karena di pulau tersebut tidakterdapat mamalia predator.
Perburuan dan perladangan adalah masalah utama dalam penurunan populasi
bekantan, terutama sejak 35 tahun lalu di mana kepemilikan senjata buru dan
speed boatmulai berkembang di masyarakat (Meijaard dan Nijman, 2000), di mana
tepi sungai habitat bekantan adalah areal yang pertama dibuka. Berkembangnya
perladangan dengan menanam buah-buahan menyebabkan bekantan mendatangi ladang
untuk mendapatkan pakan. Hal ini menimbulkan anggapan bekantan sebagai hama dan
diburu (Soendjoto, personal komunikasi), selain itu bekantan juga diburu
sebagai umpan untuk menangkap biawak (V. salvator) guna mendapatkan kulit
biawak sebagai sumber mata pencaharian tambahan.
Kebakaran hutan sangat berpengaruh pada lingkungan
habitat bekantan. Akibat kebakaran hutan di Tanjung Puting (1997) telah merusak
75% hutan lahan basah dan di TN Kutai menyisakan 5% habitat bekantan akibat
kebakaran hutan (Meijaard dan Nijman, 2000). Kebakaran hutan dapat meningkatkan
mortalitas akibat berkurangnya sumber pakan,kehilangan habitat, dan timbulnya
penyakit yang mewabah (PHVA Proboscis Monkey, 2004).
Berdasarkan permasalahan di atas, dalam PHVA
Bekantan (2004) diidentifikasi 12 lokasi populasi bekantan beserta jumlah
individu Perkiraan total individu bekantan di Kalimantan adalah 25.000
individu, di dalam kawasan konservsi sekitar 5.000 individu. Dalam pelestarian
bekantan ini diperlukan upaya pencegahan kerusakan dan penurunan luas habitat
oleh illegal loggingyang dapat memicu kebakaran hutan dan perburuan, pengamanan
hutan sempadan sungai sebagai habitat serta upaya konservasi spesies di luar
kawasan mangrove dan rawa gambut, seperti di areal perkebunan.
BAB
5
PERGERAKAN
HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
Aktivitas harian bekantan meliputi aktivitas
berjalan, mencari makan, bermain, istirahat, dan saling berkutu atau
menyelisik. Aktivitas harian dimulai dari tepi sungai di mana tempat kelompok
dan sub kelompok bermalam. Bekantan bangun sekitar pukul 05.30 untuk memulai
aktivitas dengan bergerak dari cabang tempat posisi tidur dan pada pukul 06.15
memu lai aktivitas makan, aktivitas hariannya berakhir pada pukul18.30 sore.
Di hutan mangrove, aktivitas bekantan di tepi sungai
dapat berlangsung dari subuh pagi hari hingga pukul 07.45, seperti makan
daunAvicennia officinalis atau Rhizophora apiculata di sekitar pohon tidurnya.
Bila bergerak lebih awal, bekantan dapat mencapai radius 400 m dari tepi
sungai. Pada umumnya pukul 07.00, bekantan sudah ada pada posisi 100 m dari
tepi sungai. Selama aktivitas harian berlang sung, kelompok bekantan dapat
terbagi menjadi 2-3 sub kelompok. Pola pergerakan, bentuk, dan luas ruang
pengembaraan primata pada umumnya berhubungan erat dengan penyebaran dan jumlah
sumber pakan (Jolly, 1972; Whitten, 1982), sebaran pohon tempat tidur, dan
cuaca (Chivers, 1974).
Parameter aktivitas pergerakan harian bekantan
meliputi panjang jalur yang dilaIui bekantan dalam satu hari (DR,daily range),
radius maksimum yang ditempuh bekantan yaitu diukur dari lokasi tempattidur
(MR,maximum radius) dan jarak antara perpindahan lokasi tidur semula dengan
malam berikutnya (NPS,night posisition shift) (Chivers, 1974; Gumarya, 1986,
Megantara, 1989) dalam kurun waktu pergerakan bekantan. Jarak terjauh dari tepi
sungai (TS) juga diukur sebagai parameter pergerakan.
5.1.
Pergerakan Harian
Pergerakan harian bekantan dipimpin oleh betina
dewasa. Pergerakan dimulai dari pohon tempat tidur di mana arah pergerakan
ditentukan. Keadaan ini juga dilaporkan oleh Rajanathan dan Bennett (1990)
karena betina lebih membutuhkan sumber pakan yang baik untuk anaknya (Bennett,
1983).
Hutan karet dengan sedikit variasi vegetasi di tepi
sumber air (dalam pengertian ini termasuk wilayah bervegetasi atau wilayah
daratan dalam jarak 100 m dari tepi sumber air) merupakan bagian habitat
penting bagi bekantan. Berdasarkan perjumpaan dengan bekantan di 18 lokasi
dalam wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Soendjoto et al. (2005)
mengungkapkan bahwa secara statistik, terdapat korelasi positif dan nyata
antara sumber air di hutan karet dengan kehadiran bekantan. Sumber air tidak
hanya merupakan titik awal bekantan untuk memulai aktivitas pada siang hari
atau titik akhir untuk menghentikan aktivitas pada siang hari, tetapi juga
untuk melakukan aktivitas sosial, termasuk istirahat.
Perpindahan kelompok bekantan terjadi dua kali dalam
satu hari. Perpindahan pertama terjadi dari sumber air tertentu yang
dipergunakan sebagai lokasi tidur ke sumber air lain, tempat bekantan melakukan
sebagian besar aktivitas pada siang hari. Perpindahan kedua terjadi dari sumber
air untuk aktivitas siang ini ke sumber air berikutnya yang dipergunakan
sebagai lokasi tidur pada malam harinya. Penjelasan ini memperkuat pendapat
Bismark (1986) bahwa pola pergerakan bekantan berorientasi pada lokasi tempat
tidur, tempat makan, dan istirahat.
Perpindahan antar sumber air sebanyak dua kali
sehari dilakukanoleh 70% dari kelompok bekantan, dan 30%-nya melakukan
perpindahan satu kali sehari. Perpindahan antar sumber air dilakukan oleh
bekantan pada pagi, tengah, dan petang hari. Perpindahan lebih sering dilakukan
pada jam 06.00-08.00 dan jam 15.00-17.00 serta jarang dilakukan pada jam 11.00-14.00.
Pergerakan harian bekantan di hutan mangrove
rata-rata adalah 497 m seperti yang dilaporkan Bennett dan Sebastian (1988)
yaitu 300-590 m (rata-rata 483 m). Menurut Bennett dan Sebastian (1988) ada
kelompok bekantan yang berjalan sejauh 1.400 m sampai pukul 12.30 dan
diperkirakan perjalanannya satu hari mencapai 2.000 m. Jarak pergerakan harian
bekantan dari tepi sungai mencapai 750 m (Salter et al.,1985). Pada umumnya
pergerakan harian tersebut hanya mencapai 600 m (Bennett dan Sebastian, 1985).
Per gerakan harian bekantan sangat bergantung pada pola pemilihan lokasi pohon
tempat tidur di tepi sungai sehingga terbentuk pola setengah lingkaran atau
elips. Perpindahan lokasi tidur pada sisi sungai yang berseberangan dilakukan
melalui berenang.Jarak pergerakan primata berkorelasi positif dengan berat
badan dan jumlah individu sub kelompok dalam men cari makan (Clutton-Brock dan
Harvey, 1977).
Pada umumnya lokasi tempat tidur primata posisinya
terletak di tengah ruang pengem baraan, seperti Hylobates klossii yang
menempati pohon tidur di tengah daerah jelajah dua kali lebih banyak daripada
di bagian tepi ruang pengembaraan (Whitten, 1980). Lokasi tidur Presbytis
aygula posisinya ada ditepi ruang pengembaraan (Ruhiyat, 1986), sehingga pola
pergerakan hariannya dipengaruhi oleh perpindahan lokasi tempattidur.
Presbytis aygula berjalan (DR) antara 300-600 m
(rata-rata 500 m) per hari, MR 250- 900 m dengan NPS 0-400 (rata-rata 221 m)
(Ruhiyat, 1986). Presbytis femoralis berjalan, DR rata-rata 929 m per hari, MR
237 m, dan NPS 130 m (Megantara, 1989). Presbytis thomasi berjalan, DR 150-1300
m (rata-rata 640 m), MR 140-590 m, dan NPS 110- 590 m (Kunkun, 1986).
Pola aktivitas bekantan menunjukkan korelasi
sebagaimana telah didiskusikan (MR = 101,86 + 0,669 NPS dan DR = 41,30 + 1,825
MR). Dalam ruang pengembaraan bekantan di hutan mangrove tidak terdapat kendala
dari segi sumber pakan, namun vegetasi di tepi sungai sebagai lokasi tempat
tidur dan sumber pakan sangat mempengaruhi pola pergerakan bekantan. Pemilihan
lokasi tempat tidur bagi primata berfungsi untuk menghindari predator dan
parasit (Freeland, 1976). Jarak pengembaraan primata dari tepi sungai juga
dipengaruhi oleh komposisi pakan,dalam hal ini perbandingan antara daun dan
buah. Primata “frugivorous” akan lebih jauh dari tepi sungai (Rodman, 1978).
Perbedaan DR di antara jenis Colobinae dipengaruhi
oleh kualitas habitat dan keragaman jenis sumber pakan, seperti P. melalophos
(DR = 754 m) dengan keragaman jenis pakan lebih tinggi dari P. thomasi (DR =
640 m) (Kunkun, 1986). Pergerakan juga dipengaruhi oleh kebutuhan energi sesuai
dengan berat badan. Semakin berat badan maka makin banyak butuh energi untuk
pergerakan, terutama pergerakan vertikal. Dengan demikian orangutan dengan
berat 55 kg berjalan sepanjang453 m per hari lebih pendek dibandingkan dengan
M. fascicularis dengan berat badan 5 kg yang berjalan sejauh 1.869 m per hari
(Wheatley, 1982). Berat badan bekantan yang lebih besar dari jenis
Ceropithecidae lainnya memungkinkan untuk melakukan pergerakan harian lebih
pendek dari jenis lainnya. Pembentukan dan penyebaran sub kelompok dalam
mencari makan dan sebaran pohon yang merata di hutan mangrove merupakansalah
satu faktor yang menyebabkan pendeknya perjalanan harian bekantan.
Secara statistik, jarak perpindahan harian bekantan
berkorelasinegatif dan nyata dengan curah hujan. Jarak itu menurun pada
bulan-bulan dengan curah hujan cukup tinggi dan meningkat pada bulan-bulan
curah hujan rendah (musim kemarau).
Seperti satwaliar pada umumnya, bekantan berpindah
terutama untuk menghadapi keterbatasan pakan dan air di lingkungan sekitarnya.
Keterbatasan ini berkaitan dengan keragaman jenis pakan, tempat perolehannya,
dan jauh dekatnya dengan sumber air. Peningkatan suhu harian saat hari cerah
memungkinkan bekantan berjalan jauh mencari tempat untuk berlindung, mencari
makan dan istirahat serta memungkinkan pula bagi bekantan untuk kembali dengan
cepat ke tepi sungai pada sore hari. Saat cuaca cerah, bekantandi hutan
mangrove dapat berjalan mencapai jarak maksimum dari tepi sungai (TS) sejauh
400 m pada pukul 08.15 atau dalam waktu 2 jam, untuk kemudian makan dan
istirahat sampai pukul 14.30. Perbedaan suhu udara ditepi sungai dengan lokasi
yang berada 100 m ke dalam hutan berkisar antara 0,5-1,5°C, sedangkan perbedaan
suhu di tajuk dengan lantai hutan pada ketinggian pohon 15 m pada lokasi 100 m
dari tepi sungai berkisar 0,5-1,5°C.
Jauhnya perjalanan bekantan ke dalam hutan saat suhu
udara meningkat adalah salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan pengaturan
suhu (termoregulasi) tubuh karena di dalam hutan suhu udara lebih rendah. Pada
saat peningkatan suhu udara maka pelepasan panas tubuh melalui penguapan juga
meningkat (Montheith dan Unsworth, 1990). Bila suhu udara meningkat maka satwa
akan mengalami penurunan aktivitas makan dan konsumsi air minum meningkat,
demikian pula dengan peningkatan kelembaban udara (Church et al., 1971).
5.2.
Penggunaan Strata Hutan
Kondisi fisik habitat primata dibangun oleh struktur
vegetasi, pohon pencahayaan, suhu dan kelembaban, yang berpengaruh pada pola
pergerakan primata, terutama pola pergerakan vertikal yaitu pergerakan primata
menurut strata (ketinggian) tajuk pohon. Pada beberapa jenis primata simpatrik
perbedaan penggunaan strata menunjukkan perbedaan relung ekologi masing-masing
jenis yang sesuai dengan anatomis organ pergerakannya (MacKinnon dan MacKinnon,
1980).
Pergerakan bekantan meliputi pergerakan arboreal dan
terestrial. Pergerakan arboreal pada pohon terdiri dari pergerakan quadrupedal,
memanjat, meloncat, dan bergelantung (pergerakan dengan tangan). Pola
pergerakan bekantan menurut strata tajuk menunjukkan bahwa aktivitas pergerakan
vertikal bekantan di hutan mangrove lebih banyak terjadi pada strata 0-5 m
(33,19%),pada strata 5-10 m (24,28%), dan pada strata 10-15 m (27,53%)
dengantipe pergerakan quadrupedalyang menjadi dominan (berjalan dengan 4
anggota gerak) (Gambar 19); sedangkan aktivitas harian seperti makan,
istirahat, bermain, dan aktivitas sosial pada habitat hutan karet.
Umumnya aktivitas harian bekantan ada pada level
ketinggian kurang dari 15 m dengan tajuk yang rimbun oleh dedaunan. Kondisi ini
tidak hanya menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk duduk
istirahat atau bermain, tetapi juga menyediakan tempat yang aman untuk
menghindari perilaku agonistik,pertengkaran antar individu, bersembunyi atau
melarikan diri dari predator. Di hutan karet dan tepi danau, pohon yang biasa
dipergunakan untuk aktivitas tersebut antara lain Macaranga pruinosa, Vitex
pubescens, Dillenia exelsa, dan Elaeocarpus stipularis (Soendjoto et al.,
2005).
Frekuensi penggunaan lantai hutan (0-5 m) lebih
banyak dibanding dengan strata lain dalam aktivitas pergerakan.Hal ini
berhubungan dengan faktor berat badan bekantan (betina dewasa 12,5 kg dan
jantan dewasa 25 kg) yang memerlukan keseimbangan sewaktu berjalan, di samping
membutuhkan pohon dengan percabangan yang agak besar sebagai prasarana
pergerakannya. Fleagle (1980) menyatakan bahwa penggunaan strata vegetasi oleh
primata berkorelasi dengan strategi mencari makan. Di hutan mangrove dengan
kondisi habitat yang cukup homogen, ketersediaan sumber pakan (daun) pada
setiap strata, bekantan akan memilih strata untuk makan dan tempat isitirahat,
terutama pada strata 10-15 m. Pemilihan ini berkaitan dengan peran strata di
atasnya yaitu sebagai pelindung. Dalam hal ini perbedaan suhu udara pada tajuk
di atas 20 m dengan di bawah 15 m mencapai 1,5°C (Bismark, 1994). Perbedaan
suhu di atas tajuk (> 20 m) dengan lantai hutan pada pukul 08.40 sebesar 1°C
dan meningkat menjadi 2,5°C pada pukul 12.00.
Keadaan ini juga menyebabkan bekantan turun ke
lantai hutan untuk istirahat maupun berjalan, baik di dalam hutan maupun di
tepi sungai.
5.3.
Ruang Pengembaraan
Ruang pengembaraan adalah areal yang digunakan oleh
individu atau kelompok dengan aktivitas normal untuk mencari makan, kawin, dan
memelihara anak; dan ada pula yang mengartikan sebagai total areal yang
digunakan (Mah dan Aldrich-Blake, 1980). Rijksen (1978) mengartikan sebagai
total areal yang digunakan oleh individu atau kelompok sebagai rumah. Dalam
penelitian ini yang dimaksud sebagai ruang pengem-baraan adalah luas areal
total yang digunakan kelompok bekantan selama penelitian berlangsung. Jolly
(1972) mendefinisikan home range(ruang pengembaraan) sebagai daerah yang biasa
dihuni satwa sepanjang hidup dewasanya.
Yeager (1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan
bekantan berkisar antara 125-137,5 ha (rata-rata 130,3 ha) dengan areal tumpang
tindih 95,9%, sedangkan areal yang menjadi bagian per kelompok (adjusted home
range) adalah 19,3 ha. Luas ruang pengembaraan bekantan di TN Kutai adalah 19,4
ha, tidak berbeda dengan adjusted home rangeyang dikemukakan Yeager (1989).
Sempitnya ruang pengembaraan bekantan selain akibat kerusakan habitat juga
keterbatasan jarak tempuh harian dari tepi sungai. Keterikatan bekantan pada
sungai dan vegetasi tepi sungai sebagai lokasi tempat tidur, sumber pakan, dan
sumber air minum juga mengakibatkan terbatasnya ruang pengembaraan. Daerah
jelajah yang sempit dipertahankan melalui pergerakan harian dan pembentukan
sub-kelompok, bersuara, dan perilaku agonistik yang menyebabkanadanya tumpang
tindih ruang pengembaraan sebesar 20,7-62,8%.
Sedangkan areal tumpang tindih di tepi sungai
sebagai lokasi tidur yang kurang dipertahankan berkisar antara 23,8-100%.
Kurangnya upayamempertahankan lokasi tempat tidur terlihat dari jarak antar
kelompok yang mencapai 50 m antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Kondisi ini merupakan bentuk penggabungan antar kelompok sebagai perilaku anti
predator (Yeager, 1991), kerena pemilihan lokasi tempat tidur oleh primata
menjadi kriteria utama dari segi keamanan dari ancaman predator (Roosmalen,
1980; Whitten, 1982).
Ruang pengembaraan jenis Colobinae saling tumpang
tindih. Ruangpengem baraan P. aygula seluas 38 ha mengalami tumpang tindih
sebesar 10% (Ruhiyat, 1983), P. melalophosdengan ruang pengembaraan antara
14-31,3 ha tumpang tindih arealnya mencapai 15-79% (Bennett, 1988), P.
femoralis,dengan ruang pengembaraan sebesar 23,8 ha memiliki tumpang tindih
antara 15,8-36,7% (Megantara, 1989). Tumpang tindih ruang pengembaraan dapat
disebabkan oleh luasnya areal untuk dipertahankan sehingga membutuhkan energi
lebih banyak. Di samping itu jumlahdan sebaran sumber pakan yang merata
menyebabkan tidak terjadinya kompetisi yang intensif (Bennett, 1988).
Aktivitas harian bekantan di tepi sungai hutan
mangrove pada siang hari adalah untuk mencari makan, istirahat, dan bermain.
Lokasi dan frekuensi kunjungannya berhubungan dengan basal area pohon Avicennia
officinalis. Ketersediaan pakan, daun, dan buah A. officina lis dipengaruhi basal
area dan luas tajuk pohon yang menyediakan daun. Selain itu kehadiran bekantan
akan lebih sering pada saat A. officinalis berbuah sehingga keberadaan buahnya
di tepi sungai sangat penting bagi populasi bekantan. Pada habitat P.
melalophos, basal area Leguminoceae berkorelasi positif dengan kepadatan
populasinya (Marsh dan Wilson, 1981). Asosiasi individu dalam kelompok dan
antar kelompok umumnya terjadi di lokasi bermalam di tepi sungai. Perilaku ini
berperan dalam pengamananlokasi tidur dari satwa lain maupun predator (Yeager,
1991). Asosiasi kelompok bekantan dapat terlihat dari tumpang tindih pemakaian
areal di tepi sungai sebagai lokasi tidur.
Bekantan tidur di atas pohon A. officinalis dan
Rizophora apiculata yang posisinya terletak antara 0-50 m dari tepi sungai.
Pohon yang dipilih sebagai tempat tidur, selain dekat tepi sungai, juga
mempunyai tajuk yang lebar dengan sejumlah percabangan yang mendatar. Kondisi
ini diperlukan agar posisi tubuh sewaktu istirahat atau tidur ada dalam
keseimbangan. Pohon yang lebih dekat ke tepi sungai yang digunakan untuk
bermalam umumnya tidak terlalu tinggi, yaitu 10-15 m. Sedangkan pohon yang
digunakan yang berada 20 m dari tepi sungai adalah R. apiculata dengan
ketinggian antara 20-30 m dan lokasi tajuk pohon yang terpisah dengan pohon di
sekitamya. Pohon tempat tidur yang dipilih dapat ditempati oleh 3-15 individu,
sehingga sewaktu tidur kelompok bekantan terlihat membentuk sub kelompok yang
tersebar antara 50-150 m.
Yeager (1989) melaporkan, alur tepi sungai yang
panjang di rawa gambut yang ditempati kelompok bekantan berkisar antara
1.575-1.750 m dengan tumpang tindih antara 92-97,7%. Peneli tian Bennett dan
Sebastian (1988) menunjukkan bahwa 19 kelompok bekantan yang ada di sungai
sepanjang 13,5 km masing-masing menempati antara 1.650-7.500 m tepi sungai.
Sempitnya penggunaan tepi sungai oleh kelompok bekantandi TN Kutai disebabkan
oleh terbatasnya panjang sungai dan lebar hutan bakau yang menjadi habitatnya,
di samping tidak ada kasus perburuan bekantan. Faktor perburuan memungkinkan
terjadinya perpindahan lokasi tidur bekantan yang relatif lebih jauh. Walaupun
di areal penelitian tidak ada kasus perburuan namun perusakan habitat lebih
berdampak terhadap penyempitan ruang pengembaraan dan daerah jelajah di tepi
sungai.
Pada umumnya (90%) lokasi tidur bekantan akan
berpindah setiap hari. Satu lokasi dapat dipergunakan untuk dua, tiga, dan
empatmalam berturut-turut. Areal tepi sungai sepanjang 50 m dapat ditempati
oleh 1-3 sub kelom pok yang terdiri dari 2-15 individu. Pemilihan lokasi dan
perpindahan lokasi pohon tempat tidur, posisi istirahat atau tidur di ujung
cabang dan di puncak tajuk pohon yang tidak berhubungan dengan pohon di
sekitarnya adalah cara bekantan untuk mengurangi kemungkinan serangan predator
pada malam hari. Pemilihan lokasi tidur dan asosiasi bekantan di tepi sungai
adalah perilaku sosial bekantan dalam strategi anti predator (Yeager, 1991).
Tidur pada pohon dengan tajuk yang luas dengan
posisi istirahat berpencar di bagian tepi dan puncak tajuk merupakan strategi
anti predator yaitu untuk memudahkan dalam mendeteksi kehadiran predator dan
kemudahan untuk meloncat. Predator yang mungkin menyerang bekantan di pohon
tidurnya adalah jenis ular dan biawak. Biawak (V. salvador) dan buaya
(Tomistoma sclegeli) adalah predator bekantan yang potensial (Yeager, 1991),
namun dalam hal ini bekantan tidak mengembangkan strategi anti predator
terhadap buaya (Galdikas, 1984).
BAB
6
PERILAKU
MAKAN
Primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai
dengan habitat dan musim (Curtin dan Chivers, 1979; Iwamoto, 1982; Harrison,
1984) sehingga keadaan ini dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan.
Perilaku makan primata berkaitan erat dengan kualitas sumber pakan seperti
tingginya kadar selulosa yang tidak dapat dicerna serta adanya senyawa sekunder
seperti tanin dalam pakan sehingga kedua komponen ini merupakan faktor utama
dalam ekologi makan (feeding ecology) primata (Harison, 1984).
Richard (1977) menelaah teknik makan, tempat dan
ketinggian, pola aktivitas, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan
dan jumlahnya serta pola pergerakan sebagai parameter perilaku makan. Menurut
jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua tipe, yaitu
frugivorousyang lebih dominan memakan buah dan folivorousyang lebih dominan
memakan daun. Suku Hylobatidae termasuk tipefrugivorous, sedangkan anak suku
Colobinae (Presbytis spp. dan Nasalis larvatus) tergolong dalam tipe
folivorous.
Primata dari anak suku Colobinae mempunyai sistem
pencernaan mirip ruminansia. Sistem pencernaan tersebut dikenal dengan
polygastric, di antaranya terdapat organ forestomach, tempat terjadinya proses
fermentasi makanan oleh bekteri. Dari hasil proses fermentasi tersebut
diperoleh (Bennet, 1983):
1.
Bakteri yang menghasilkan vitamin. Dengan demikian satwa tidak terlalu
bergantung pada vitamin yang dikandung makanan, kecualivitamin A dan D.
2.
Bakteri yang dapat menggunakan nitrogen non protein untuk tumbuh. Urea yang
terjadi akibat katabolisme protein dapat diubah oleh bakteri menjadi protein.
Bakteri dapat lolos dari lambung ke usus halussehingga satwa mendapat tambahan
protein yang berkualitas tinggi.
3.
Penggunaan urea dalam sintesa protein oleh mikro flora menyebabkan penurunan
jumlah urea sehingga menghemat pengeluaran air dalam bentuk urin.
4.
Bakteri yang dapat menetralisir pengaruh tanin yang berasal dari tumbuhan yang
dimakan satwa.
5.
Besarnya jumlah bakteri dan perkembangbiakan yang cepat menyebabkan laju
fermentasi juga cepat sehingga proses pembuatan tanin pada makanan baru tidak
aktif. Di samping itu terjadi pula degradasi karbohidrat menjadi asam lemak yang
mudah menguap.
Primata monogastricseperti Hylobates spp. umumnya
memakan pakan yang mudah dicerna, banyak mengandung gula serta tidak mengandung
alkoloid. Perbedaan lain antara primata monogastricdengan jenis Colobinae
adalah dalam menenuhi kebutuhan nutrisi tertentu di mana primata
monogastricmemakan pakan dengan nutrisi rendah dalam jumlah besar karena proses
pencernaan lebih cepat, sedangkan Colobinaeakan mengkonsumsi tumbuhan yang
bergizi tinggi (Bennett, 1983).
Menurut Milton (1981) perilaku memilih pakan pada
primata berkaitan dengan ukuran tubuh dan anatomi pencernaan. Hubungan dengan
anatomi pencernaan yaitu volume saluran pencernaan bekantan lebih besar di
antara jenis Colobinae lain.
6.1.
Waktu Aktivitas
Bekantan aktif mulai pukul 05.30 sampai 18.30 atau
13 jam sehari. Selama waktu tersebut berlangsung aktivitas berjalan, bermain,
mencari makan, atau tidur siang. Alokasi kegiatan atau aktivitas harianbekantan
sepanjang hari bervariasi menurut waktu (Gambar 22). Dalam satuhari terdapat
tiga puncak aktivitas yaitu sekitar pukul 8.30, 12.30, dan pukul 15.30.
Aktivitas mulai meningkat pukul 7.00 yaitu berjalan dari tepi sungai ke dalam
hutan hingga mencapai radius maksimum (MR).
Puncak aktivitas makan tertinggi terjadi pada sore
hari, sedangkan puncak aktivitas pergerakan terlihat tidak berbeda namun
mengikuti fluktuasi aktivitas makan. Hal ini memperlihatkan bahwa bekantan
mencari makan dengan cara berpindah pindah pohon. Sekitar pukul 12.00 aktivitas
makan meningkat hingga pukul 12.30 kemudian menurun, dan aktivitas berikutnya
diikuti dengan istirahat dan tidur hingga pukul 14.00.
Aktivitas makan terlihat berlangsung terus-menerus
dalam satu hari. Hal ini menggambarkan bahwa selain waktu makan yang intensif,
sebagian dari anggota kelompok tetap ada yang makan di selang waktu
istirahatnya meskipun tidak dalam frekuensi tinggi. Keadaan serupa juga
dilaporkan Ruhiyat (1983) pada P. aygula di Jawa Barat, P. femolaris, dengan
aktivitas makan terus-menerus tetapi puncak aktivitasnya terjadi pada pagi dan
sore hari (Megantara, 1989). Gurmaya (1986) melaporkan bahwa aktivitas makan P.
thomasi mempunyai tiga puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00, 12.00, dan
17.00 dengan puncak tertinggi pada sore hari. Salter et al. (1985) meneliti
bahwa puncak aktivitas makan dan berjalan bekantan di Sarawak terjadi pukul
09.00 pagi dan pukul 13.00.
Frekuensi makan anggota kelompok serta aktivitas
pergerakan yang mengikuti fluktuasi makan, menunjukkan bahwa aktivitas makan
bekantan tidak tetap pada satu pohon saja, dan selalu diikuti aktivitas
berjalan di antara cabang atau dari pohon ke pohon lain. Dalam hal ini
perpindahan lokasi makan bekantan terjadi antara 10-15 menit. Selain itu jumlah
dan sebaran pohon pakan yang merata memungkinkan untuk menunjang aktivitas
makan bekantan di setiap saat.
Bermain dan berkutuan (saling mencari kutu) terjadi
saat istirahat di pagi dan sore hari. Aktivitas bermain dilakukan oleh remaja
dansetengah dewasa dan antara induk dengan bayinya, sedangkan jantan dewasa lebih
banyak istirahat dan tidur. Betina dewasa dan remaja membutuhkan gizi pakan
yang lebih baik untuk pemeliharaan dan pertum buhan bayi, sedangkan jantan
dengan berat badan yang dua kali berat badan betina lebih banyak istirahat.
Aktivitas bekantan pada beberapa tempat menunjukkan
pola yang berbeda, seperti aktivitas bekantan di hutan bakau TN Bako dan Suaka
Margasatwa Samunsam di Sarawak (Salter et al.,1985). Pola aktivitas ini
disajikan pada Tabel 29. Hasil pengamatan yang dilakukan di TN Kutai berada
dalam selang pengamatan Salter et al.(1985). Perbedaan aktivitas ini dapat
disebabkan oleh perbedaan zonasi dan jenis tumbuhan mangrove yang dominan dari
masing-masing habitat, sehingga ada kaitannya dengan kuantitas dan kualitas
gizi sumber pakan.
Aktivitas bekantan berlangsung secara arboreal dari
lantai hutan hingga tajuk pohon dengan tinggi 30 m. Sedangkan tinggi pohon di
habitat bekantan dapat mencapai 43 m (R. apiculata dan B. gymnorrhiza).
Fluktuasi aktivitas harian utama yaitu makan, berjalan, dan istirahat dalam
strata hutan disajikan dalam Gambar 23. Dari keenam tingkat strata vegetasi di
habitat bekantan, strata yang dominan untuk ketiga kegiatan utama bekantan
adalah strata 10-15 m, terutama untuk aktivitas makan (42%) dan istirahat
(37%), sedangkan aktivitas ber jalan lebih banyakpada strata 0-5 m (34%) dan
sedikit sekali pada strata 25-30 m (8%).
Tingginya frekuensi pemanfaatan strata 10-15 m ini
disebabkan oleh rapatnya pohon mangrove berdiameter antara 10-35 cm (188
pohon/ha) dan ketinggian 10-15 m ini merupakan bagian dasar dan tengah tajuk.
Bagian tengah tajuk dengan percabangan yang datar dan besar dapat mendukung
pergerakan quadrupedal. Di samping itu bagian tengah tajuk cukup memberikan
kenyamanan karena ternaungi oleh tajuk bagian atas sehingga terdapat perbedaan suhu
lebih rendah 1,5°C serta percabangan yang sesuai dengan berat badan bekantan.
Perbedaan penggunaan strata dalam habitat primata
simpatrik menunjukkan adanya perbedaan relung ekologi dari masing-masing jenis
primata. Selain itu juga tergantung pada tipe pergerakan, produktivitas daun
atau buah, suhu maupun kelembaban dari masing-masing strata (MacKinnon dan
MacKinnon, 1980). Penggunaan strata oleh primate juga berhubungan dengan
efisiensi pergerakan primata arboreal dalam mencari pakan, dan bahkan apabila
sumber pakan terpencar maka perjalanan lebih efisien melalui lantai hutan,
seperti perilaku M. nemestrina (Rodman, 1978). Strategi ini juga terlihat pada
aktivitas bekantan saat berjalan jauh ke dalam hutan dengan waktu yang relatif
singkat. Di hutan mangrove perjalanan bekantan mencapai jarak 400 m dari tepi
sungai dalamwaktu 1,25 jam atau 320 m per jam. Pergerakan yang cepat tanpa
berhenti jarang terjadi, namun kecepatan perger akan bekantan dapat mencapai
450 m per jam (Salter et al., 1985).
6.2.
Teknik Makan
Bekantan tergolong primata folivorous(pemakan daun)
(Rodman, 1978; Yeager, 1989; Bennett dan Sebastian, 1989). Golongan
folivorousmendapat protein esensial dari daun, sedangkan golongan frugivorous menambah
kebutuhan proteinnya dari buah dan biji (Hladik, 1978). Bekantan memakan daun,
bunga, dan buah yang ada di ujung-ujung cabang, namun posisi bekantan pada
cabang besar di tengah tajuk, meraih ranting di sekitarnya atau duduk di atas
ranting. Posisi bekantan sewaktu mencari makan serupa dengan teknik P. obscura
dan P. melalophos yang dilaporkan Fleagle (1980). Gaya dan teknik bekantan
tersebut seperti yang terlihat.
Daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun muda
dengan urutan 1 sampai 3 dari ujung ranting. Pakan tersebut dapat diambil
langsung dengan mulut atau dengan cara memetik. Daun dimakan satu per satu atau
dua lembar dengan cara menggigit hingga tiga kali. Setiap gigitan dikunyah
antara 10-30 kali, buah A. officinalis dimakan satu per satu dan dikunyah 15-30
kali, sehingga dalam 5 menit bekantan mengkon sumsi 7,5 lembar daun atau 15,6
buah A. officinalis. Mengunyah sebanyak 10-30 kali adalah salah satu strategi
bekantan untuk membantu pencernaan secara fisik dan merangsang keluarnya air
liur guna mempertahankan pH lambung agar proses fermentasi pakan oleh bakteri
lambung dapat berjalan optimum (Bismark, 1994). Pada umumnya Na+yang ada dalam
rumen ruminansia berasal dari air liur (Durand dan Kawashima, 1980), yang
berperan untuk menjaga kestabilan pH lambung (Bennet, 1983).
6.3.
Jenis dan Keragaman Pakan
Habitat bekantan di hutan mangrove dengan komunitas
R. apiculata, yang terdiri dari R. apiculata, A. officinalis, Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, dan beberapa jenis dalam jumlah terbatas misalnya
B. sexangula dan Avicennia marina; jenis yang bukan golongan mangrove, seperti
Ardisia humilis, Ficus binnendykii, Allophyllus cobbe, dan Aglaia cuculata.
Keragaman jenis tumbuhan mangrove di ruang pengembaraan bekantan di TN Kutai
adalah 2,08 (Indek Shannon-Wiener). Rendahnya keragaman jenis tumbuhan di
habitat tersebut menyebabkan keragaman jenis pakan bekantan rendah dengan
kuantitas besar.
Jenis tumbuhan mangrove yang dimakan bekantan adalah
R. apiculata, A. officinalis, B. gymnorrhiza, B. parviflora, dan A. cobbe.
Bagian yang dimakan meliputi daun, bunga, buah dan kulit batang dengan indeks
keragaman 1,748.
Dari hasil pengamatan feces, selain daun, bunga,
buah, dan kulit batang ditemukan pula partikel kepiting dan rayap. Bekantan
juga dilaporkan memakan cendawan Stereum lobatum (Bismark, 1980), dan bunga
Nipa fruticans (Bennett dan sebastian, 1988).
Penelitian Yeager (1988) menyebutkan ada 47 jenis
tumbuhan yangdimakan bekantan di hutan rawa gambut tapi tiap bulan hanya
dikonsumsi 10-23 jenis (rata rata 14,9 jenis) dengan keragaman jenis 0,86-2,21.
Salter et al. (1985) menyebutkan bahwa jenis pakan bekantan di dua lokasi
penelitian (TN Bako dan Suaka Margasatwa Samunsam) meliputi habitat mangrove,
rawa nipah, hutan tepi sungai, hutan Dipterocarpaceae dan kerangas yang
memiliki jenis pakan tidak kurang dari 90 jenis tumbuhan.
Dari beberapa hasil penelitian terdapat korelasi
posistif antara berat badan primata dengan komposisi daun dalam pakannya
(Clutton-Brock dan Harvey, 1977) dan primata yang mengkonsumsi daun lebih
banyak kemungkinan dapat mencapai biomas yang tinggi (Hladik, 1977; Bennett,
1983) (Gambar 26). Bekantan dengan komposisi pakan 51,94% daun mempunyai biomas
499,5 kg/km² (Yeager, 1989), dan yang memakan daun sejumlah 41% dari jumlah
pakannya mempunyai biomas 45,8 kg/km² (Bennett dan Sebastian, 1988), sedangkan
komposisi pakan bekantan yang terdiri dari 81,14% mempunyai biomas 792,06 kg/
km².
6.4.
Komposisi Pakan dan Seleksi Rasio
Dalam kaitan dengan perilaku makan dan pakan
bekantan, empat hal yang mendukung kajian perilakunya (Soendjoto et al., 2005).
Pertama, bekantan memakan jenis pakan (daun, bunga, buah) dari berbagai spesies
tumbuhan. Keragaman pakan merupakan upaya bekantan atau satwa lain pada umumnya
untuk menjaga keseimbangan dan kebutuhan nutrisi. Nutrisi yang tidak diperoleh
dari spesies tumbuhan atau dari jenis pakan tertentu diperoleh dari jenis pakan
atau spesies tumbuhanlainnya.
Kedua, bekantan ditemukan lebih sering memakan pucuk
atau daun muda daripada daun tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennett dan
Sebastian (1988) bahwa bekantan mengutamakan daun muda walaupun daun tua
melimpah. Primata akan memakan daun tua apabila daun muda tidaktersedia lagi.
Penyebab pemilihan daun muda ini adalah kadar airnya lebih banyak. Diketahui
bahwa kadar air pada pucuk mencapai 88% dan pada daun muda 67%. Bismark (1987)
melaporkan bahwa di hutan mangrove bekantan memakan daun dengan kandungan air
68%. Faktor lain adalah tingkat kemudahan untuk mencerna yang tinggi pada daun
muda yang diindikasikan dari rendahnya serat kasar yang dikandung oleh pucuk
atau daun muda (Tabel 32). Pakan yang mengandung kemudahan untuk dicerna tinggi
pada umumnya memiliki kandungan serat rendah.
Ketiga, setelah memetik pakan, bekantan tidak selalu
memakan seluruh bagian tumbuhan yang dipetik seperti daun karet kadang-kadang
hanya dimakan sebagian saja. Tidak diketahui dengan pasti alasan bekantan
berperilaku demikian. Di hutan mangrove, bekantan juga memakan sebagian daun
dan membuang sisanya. Cara ini merupakan upaya bekantan untuk mengefisiensikan
energi dalam pencernaan pakan dan untuk memperoleh gizi lebih baik (Bismark,
1986).
Keempat, bekantan memakan dan menyukai sumber pakan
yang justru memiliki kadar tanin tinggi. Hal ini menunjukkan toleransi yang
besar terhadap kadar tanin pakan. Leinmuller et al. (1991) melaporkan beberapa
publikasi tentang dampak toksik tanin, yaitu pengurangan nafsu makan dan
kehilangan berat tubuh pada domba dan kambing serta adanya racun pada ginjal
dan hati hewan yang memiliki sistem pencernaan sederhana (monogastrik).
Pakan bekantan terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah,
7,68% bunga, 1,05% kulit kayu, dan 1,75% serangga. Dari analisis feses
diketahui komposisi pakan berupa daun 72,90%, buah 17,79%, kulit kayu 7,05%,
serangga dan kepiting 1,13%. Komposisi pakan bekantan yang diamati di lapangan
tidak berbeda nyata dengan hasil analisis feses. Fragmen tumbuhan dalam feses
satwa ruminansia tidak berbeda dengan proporsi tumbuhan yang dimakannya (Todd,
1973).
Dilihat dari kandungan kimia, kulit pohon (R.
apiculata) yang dimakan bekantan tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
dengan daun dan buah, kecuali dari jumlah serat kasar (63,78%) dan Ca (0,958%)
kulit kayu (lebih tinggi). Konsentrasi Ca pada kulit kayu mencapai 5 kali lebih
tinggi dari daun. Kalsium (Ca) dalam pakan ruminansia berguna untuk pencernaan
selulosa, untuk pembentukan dinding sel bakteri dan untuk proses fiksasi
nitrogen oleh bakteri (Durand dan Kawashima, 1980).Rasio seleksi pakan
tertinggi adalah A. officinalis (Tabel 34). Tingginya rasio seleksi terhadap A.
officinalis karena kadar protein dan mineral esensial yang tinggi serta
posisinya dekat tepi sungai di mana aktivitas makan bekantan lebih sering
dilakukan pada jarak 0-100 m dari tepi sungai (73,53 %), terutama pada pagi
hari dan sore hari. Salter et al. (1985) juga melaporkan bahwa aktivitas makan
bekantan lebih sering ada di sekitar tepi sungai. Jenis pakan bekantan yang
dominan adalah R. apiculata dan A. officinalis masing-masing 71,9% dan 22,7%.
Di Sarawak, Rhizophora hanya mendapat porsi 0,8% dan Avicennia 7,6% dari waktu
makan bekantan (Salter et al.,1985).
Perbandingan protein dengan serat dan tanin dalam
pakan bekantan adalah 0,35. Perbandingan ini lebih tinggi dari pakan Presbytis
(0,15-0,25) (Bennett, 1983). Hal ini menunjukkan bahwa bekantan toleran
terhadap tanin dan serat yang rendah serta butuh pakan berprotein tinggi. Tidak
terdapat korelasi rasio seleksi pakan dengan konsentrasi tanin dan serat kasar,
karena serat kasar dan tanin dapat difermentasi dan dijadikan tidak aktif oleh
mikroflora saluran pencemaan (Hladik, 1977; Bauchop, 1978; Bennett, 1983; dan
Lindroth, 1989). Volume saluran pencernaan bekantan lebih luas dari volume
saluran pencernaan Colobinae lain sehingga sistem pencernaan akan lebih
efisien.
Daun adalah komponen pakan utama bekantan (81,14%).
Walaupun buah hanya dikonsumsi 8,38% namun mempunyai seleksi rasio 65,57.
Kesukaan bekantan terhadap buah (A. officinalis) berhubungan dengan rendahnya
kadar serat dan tanin (11,02%) dibanding dengan daun (rata-rata 23,903%).
Selain itu buah A. officinalis mengandung Cu (18,8 ppm) lebih tinggi dari
sumber pakan lain (Tabel 41) di mana Cu berperan dalam mengaktifkan sintesa
protein (Durand dan Kawashima, 1980). Kekurangan Cu dapat menyebabkan anemia
pada ruminansia (Church et al., 1971). Untuk mencukupi kebutuhan asam amino
esensial bekantan memakan serangga atau rayap (Coptotermes) dan kepiting.
6.5.
Kebutuhan Pakan
Berdasarkan kelas umur, individu bekantan betina
dewasa, setengah dewasa, dan remaja dengan berat badan rata-rata adalah 8,84 kg
mengkonsumsi pakan dengan komposisi terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah, 7,68%
bunga; serta serangga, kepiting, dan kulit kayu sejumlah 2,8% dengan jumlah
pakan 900 g berat basah atau 270,25 g dalam beratkering. Waktu yang diperlukan
untuk mengkonsumsi adalah 3,01 jam per hari (Tabel 40). Bila dibandingkan
dengan produksi daun muda, hanya 1% dari produktivitas hutan mangrove yang
dikonsumsi bekantan. Hladik (1978) melaporkan bahwa primata pemakan daun hanya
mengkonsumsi daun dalam total produktivitas hutan yang berkisar antara 0,5-4%.
Berdasarkan pengamatan tiga jenis tumbuhan pakan
bekantan di hutan karet (Tabel 38), maka jumlah pakan individu bekantan perhari
bervariasi antara 919,96-1.537,59 g berat basah (Soendjoto, 2005). Bismark
(1987) melaporkan tumbuhan yang dimakan bekantan di hutan mangrove berberkisar
1.500-1.750 g daun.
Kandungan kalori pakan yang dikonsumi bekantan,
rata-rata adalah 3,9475 kcal per gram berat kering. Dengan demikian konsumsi
pakan bekantan seberat 270,252 g kering (30,57 g berat kering pakan/kg berat
badan) mengandung kalori sebesar 1066,8 kcal atau 120,68 kcal/ kg berat badan.
Menurut penelitian Iwamoto (1982), Macaca fuscata
dengan berat 8 kg butuh pakan rata -rata 254 g berat kering (31,75 g/kg berat
badan) dengan kalori sebesar 1.050 kcal (131,25 kcal/kg berat badan). Sedangkan
menurut penelitian Hasan (1983), P. melalophos yang ditangkarkan dengan berat
badan rata-rata 4,6 kg mengkonsumsi pakan sejumlah 28,3 gberat kering per kg
berat badan dengan kandungan kalori 110,7 kcal per kg berat badan. Dibanding
dengan hasil penelitian di atas, kebutuhan pakan dan kalori per kg berat badan
bekantan rata-rata tidak berbeda dengan M. fuscata dan P. melalophos.
Waktu makan berpengaruh terhadap kecukupan kalori,
dalam hal ini P. melalophos jantan dan betina tidak berbeda dalam waktu makan
karena tidak terjadi sexual dimorphisme(Bennett, 1983) tentunya berbeda dengan
N. larvatus di mana berat jantan dua kali berat betina. Untuk kecukupan kalori,
bekantan melakukan efisiensi, di mana bekantan jantan berjalan lebih lambat,
turun ke lantai hutan, dan tidak melaku kan aktivitas bermain.
6.6.
Kebutuhan Mineral
Pakan bekantan yang berasal dari tumbuhan adalah
98,25% yang terdiri dari daun, buah, dan bunga. Hasil ana lisis kosentrasi
mineral dan kandungan total mineral P, K, Na, Ca, Mg, CI, Fe, Mn, Cu, dan Zn
yang dalam pakan dikonsumsi bekantan rata-rata setiap harinya.
Jenis pakan yang dikonsumsi dalam jumlah kecil
menunjukkan kelebihan dalam kandungan mineral tertentu yang dibutuhkan bekantan,
seperti Alophyllus cobbe (0,87% porsi pakan) mengandung P dan Zn yang tinggi
dari jenis daun pakan dominan. Walaupun sumber pakan utamanya daun, namun bunga
dan buah dikonsumsi untuk tambahan kebutuhan mineral, seperti bunga R.
apiculata dan buah A. officinalis mengandung Cu lebih tinggi dari daun A.
offici nalis. Kandungan P pada daun dan buah A. officinalis lebih tinggi dari
Rhizophora dan Bruguiera, sedangkan kulit pohon R. apiculata mengandung Ca
lebih tinggi dari sumber pakan lainnya.
Dari jumlah kumulatif (Tabel 41), kandungan mineral
yang termasuk elemen utama konsumsi pakan bekantan dalam satu hari adalah P
431,47 mg; Na 2.275,65 mg; K 1.588,56 mg; Ca 1.314,9 mg; dan Mg 1.053,98 mg,
sedangkan elemen lain (minor) yang dibutuhkan dalam jumlah kecil yaitu Fe, Mn,
Cu, dan Zn mas ing-masing 89,86; 7,965; 2,75; dan 1,79 mg per hari.
Untuk memenuhi kebutuhan mineral, jenis Colobinae
memakan tumbuhan rawa dan tanah liat (Oates, 1978), seperti bekantan memakan
daun A. cobbe. Berda sarkan kandungan mineral feses bekantan di hutan bakau
maka penyerapan atau pemanfaatan mineral pakan elemen utama P, K, Na, Ca, Mg,
dan Cl lebih dari 90% sedangkan elemen lainnya (minor), Cl, Fe, Mn, Cu, dan Zn
bervariasi dari 60-80%. Tampak bahwa kebutuhan mineral bekantan yang tinggi
didukung oleh sistem pencernaan bekantan yang efisien. Efisiensi sistem
pencernaan memungkinkan karena volume salur an pencernaan bekantan yang lebih
besar (8.371 cm³) dari jenis Colobinae lain.
BAB
7
BIOMASA
DAN DAYA DUKUNG HABITAT
7.1.
Parameter Biomasa
Pergerakan primata arboreal sangat tergantung pada
keseimbanganstruktur fisik hutan yang meliputi stratifikasi luas tajuk, tinggi
tegakan, kerapatan pohon, dan komposisi jenis dalam habitatnya. Struktur fisik
tegakan hutan diperlukan untuk mendukung perilaku pergerakan harian, mencari
makan, aktivitas sosial, dan perilaku reproduksi. Selain itu keseimbangan
struktur fisik tegakan juga menentukan kondisi iklim mikro yang mempengaruhi
fisiologi satwa, komsumsi pakan, daya cerna, dan efisiensi pemakaian energi
(Church et al., 1974). Jumlah konsumsi pakan dan energi tergantung pada berat
badan atau biomasa satwa (Moen, 1973; Wheatley, 1984).
Besarnya biomasa populasi satwa arboreal dipengaruhi
oleh daya dukung habitat terutama kerapatan tegakan dan keragaman jenis pohon
pakan dan struktur stratifikasi tajuk yang mempengaruhi pergerakan dan
efisiensi pemakaian energi dalam metabolisme satwa. Kerapatan populasi dan
biomasa sangat dipengaruhi oleh struktur fisik dan biodiversitas tegakan hutan
sebagai parameter kualitas habitatnya.
Pengaruh keseimbangan struktur habitat dan iklim
mikro terhadapefisiensi pemakaian energi terlihat dari perbandingan konsumsi
energi bekantan di penangkaran sebesar 119,46 kcal per kg berat badan (BB) yang
hampir sama dengan kebutuhan energi di hutan bakau sebesar120,68 kcal per kg BB
untuk mendukung semua aktivitas hariannyasecara bebas (Bismark, 1994).
Kecukupan energi populasi satwa arboreal dengan
sumber pakan daun, bunga, buah, dan biji seperti primata sangat ditentukan oleh
produktivitas hutan, berat badan atau biomasa populasi satwa yang menghuninya.
Oleh sebab itu penentuan berat badan satwa arboreal dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat daya dukung, atau untuk menilai kualitas hutan sebagai habitat.
Pengukuran berat badan secara langsung di alam dilakukan denganmenimbang besar
gaya lenturan cabang pohon berdiameter kurang dari 10 cm dengan ketinggian
maksimum 5 m yang digunakan bekantan untuk duduk atau berhenti sesaat sebelum
berjalan atau meloncat. Dahan diikat pada bagian titik berat bekantan dengan
tali dan dikait pada timbangan pegas yang diikatkan pada akar pohon, tegak
lurus di bawah titik berat. Elastisitas dan beban dahan dapat terlihat pada
skala timbanganpegas saat tali ditarik dan lenturan dahan sama dengan saat
ditempatibekantan.
Untuk mencari parameter geometri yang berhubungan
erat dengan berat badan, dilakukan pengukuran tinggi duduk atau panjang badan
dan kepala bekantan. Pendugaan berat badan secara tidak langsung dengan
parameter tinggi duduk lebih baik dan mudah diamati (Bismark, 1994). Pengukuran
tinggi duduk (td) di lapangan dilakukan dengan mengukur jarak kepala ke lantai
hutan atau dahan di mana bekantan duduk.Sebelumnya jarak kedua titik yang akan
diukur diamati dengan teropong untuk menentukan tanda pada dahan, ranting atau
daun yang menyentuh atau sejajar dengan kepala bekantan dan penentuan titik
pada posisi duduknya.
7.2.
Model Pengukuran Berat Bekantan
Bekantan adalah primata dimorfisme, di mana terdapat
perbedaan bentuk tubuh, bentuk hidung, dan ukuran morfologi tubuh yang
berpengaruh pada berat badan. Perbandingan bentuk dan ukuran tubuh yang
berkorelasi dengan berat badan menurut jenis kelamin dan kelas umur bekantan
terhadap tinggi duduk (panjang badan sampai kepala). Bagian geometri tubuh yang
dapat menjadi parameter berat badan bekantan yang dominan adalah tinggi duduk
dan luas permukaan tubuh.
Tinggi duduk ini lebih mudah diamati dan diukur di
lapangan. Parameter lain yang erat kaitan dengan berat badan adalah luas
permukaan tubuh (badan, kepala, dan anggota gerak) di mana luas permukaantubuh
(L) satwa dengan berat antara 0,02-1.400 kg sebanding dengan berat pangkat ¾
bahkan mendekati ⒠(Montheith dan
Unsworth, 1991).
Berdasarkan hasil pengukuran luas permukaan tubuh
bekantan menurut seks dan kelas umur dengan parameter geometri yang mudah
diamati di lapangan, yaitu tinggi duduk (td) dibuat analisis korelasi mengikuti
kesamaan model regresi eksponensial (Bismark, 1994). Analisis regresi hubungan
td (cm) dan L (m²) jantan dan betina menghasilkan :
L (ˁ) = 0,0514e0,0395td. (r = 0,90)
L (˂) = 0,1048e0,0662td. (r = 0,87)
Sesuai dengan perbandingan tinggi duduk bekantan
jantan dan betina, maka persamaan pendugaan L juga berbeda antara jantan dan
betina, selanjutnya L digunakan untuk memperkirakan berat badan bekantan
melalui pengukuran td secara tidak langsung. Dari Tabel 44 diketahui bahwa luas
permukaan tubuh (L dalam m²) berkorelasi dengan berat badan bekantan (BB kg)
mengikuti persamaan: L = 0,134 BB0,67. Pendugaan berat badan jantan
dan betina berdasarkan parameter tinggi duduk (td)dan luas permukaan tubuh (L)
secara sistematik, seperti berikut:
1. Pengukuran tinggi duduk (td dalam cm) di
lapangan
2. Penghitungan luas permukaan tubuh (L dalam
m²)
(1)
……… Lˁ= 0,514e0,039 td
(2) ……… L˂= 0,1048e0,0662 td
3. Pendugaan berat badan (BB)
(3)…………L = 0,1324 BB0,67
Berdasarkan analisis data pada Tabel 44, hasil
pengukuran td dan BB dengan berbagai macam sumber data primer tanpa membedakan
jeniskelamin dan kelas umur maka diperoleh persamaan umum korelasi td dan berat
badan sebagai berikut:
(4) ……… td = 33,03 BB0,25 (r = 0,91)
Hasil pendugaan ini sangat ditentukan dengan akurasi
pengamatantd di lapangan. Untuk pengamatan td harus dipilih pengamatan posisi
bekantan dengan posisi badan relatif tegak pada cabang pohon berdiameter kurang
dari 10 cm dengan ketinggian 5 m agar dapat mengenali dan mengukur td pada
tanda di mana posisi duduk atau penandaan ranting di sekitarnya yang menyentuh
bagian atas kepala bekantan. Untuk mengukur td pengamat harus melakukan
pemanjatan pohon hingga pada posisisatwa primata duduk, sesaat bekantan sudah
berpindah tempat.
7.3.
Estimasi Biomasa
Berdasarkan jumlah dan komposisi kelas umur kelompok
bekantan dalam satu km² hutan mangrove dapat ditaksir biomasa kelompok bekantan.
Yeager (1988) menyatakan bahwa biomasa sekelompok
bekantan di Tanjung Puting berkisar antara 54,1-148,4 kg, sedangkan biomasa
populasinya adalah 499,5 kg per km², di mana kelompok bekantan dengan satu
jantan dewasa, dengan berat jantan dewasa 20,3 kg, bayi 2 kg, remaja 5 kg,
betina setengah dewasa 9 kg, jantan setengah dewasa 12 kg, dan betina dewasa
9,9 kg. Di Suaka Margasatwa Samunsam, Sarawak, biomasa populasi bekantan
sebesar 46 kg per km² (Bennett dan Sebastian, 1988).
Biomasa jenis Colobinae yang tinggi adalah Presbytis
senex di Polonnarua, yaitu 1.450 kg per km². Jenis ini memakan daun dalam porsi
yang besar, yaitu sejumlah 400 kg per individu per tahun (Hladik, 1978). Jenis
Colobinae di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam jumlah
dan komposisi kelompok sosial (Bennett, 1983). Namun perbedaan biomasa di
antara jenis primata sangat ditentukan oleh sumber pakan (Hladik, 1978).
Populasi primata pemakan daun(Colobinae) lebih tinggi dari primata pemakan
buah, hal ini dimungkinkan karena produktivitas daun yang tinggi dan tersedia
setiap musim.
Biomasa primata juga dipengaruhi oleh kondisi dan
perbedaan habitat, seperti P. melalophos dan P. obscura di dataran rendah
masing-masing dengan biomasa 300 kg per km² dan 314 kg per km² (Marsh dan
Wilson, 1981) berbeda dengan yang di dataran tinggi. Perbedaan produktivitas
dan lingkungan habitat di hutan rawa gambut sepanjang sungai dengan hutan
riverinemangrove juga menunjukkan perbe daan biomasa bekantan, yaitu 499,5 kg
per km² dengan 792,06 kg per km², jumlah biomasa tersebut lebih besar dari
biomasa bekantan di habitat lainnya.
7.4.
Daya Dukung Habitat dan Adaptasi
Daya dukung habitat diindikasikan dari populasi
bekantan yang dapat hidup di habitat dalam kawasan tertentu. Daya dukung ini
dipengaruhi oleh tipe, kualitas, produktivitas habitat, sumber pakan serta
faktor luar yang mempengaruhi kualitas dan produktivitas habitat, seperti
pencemaran.Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan pohon (diameter
≥ 35 cm) sebanyak 59 pohon/ha, 118 tiang/ha, dan 508 pancang/ha menunjukkan
produktivitas hutan yang tinggi. Hal ini diprediksi dari produksi serasah di
bawah tegakan. Produksi serasah rata-rata 3,32 g berat kering/m²/hari setara
dengan 13,18 kcal/m²/hari. Produksi serasah hutan mangrove riparian di Florida
yang dilaporkan oleh Mitcsh dan Gosselink (1989) adalah 14 kcal/m²/hari. Dengan
hasil serasah sejumlah tersebut produksi primer bersih dari hutan mangrove
tersebut adalah 57 kcal/m²/hari. Clough et al. (1983) melaporkan bahwa
Rhizophora yang tumbuh baik di Australia menghasilkan daun muda sejumlah 5
ton/ha/tahun. Salah satu indikator hutan mangrove yang berada pada dalam
kondisi produktivitas tinggi adalah hasil serasah yang mencapai1,3-2,0 g/m²/hari
(Champman, 1983).
Kebutuhan kalori individu bekantan tergantung pada
berat badan dan aktivitas berjalan. Dari aktivitas tersebut, 59,92% dilakukan
dengan berjalan quadrupedal, 11,34% memanjat, 23,89% meloncat, dan 4,85%
bergerak dengan cara bergelantungan. Berdasarkan rumus Moen (1973) dan Wheatley
(1982) maka kebutuhan kalori bekantan rata-rata seberat 8,84 kg untuk aktivitas
pergerakan arboreal adalah 133,76 kcal,meliputi kebutuhan meloncat 93,55 kcal,
pergerakan quadrupedal, memanjat dan bergelantungan 4,92 kcal, dan pergerakan
vertikal (gradien 50%), 35,29 kcal. Metabolisme basal 358,89 kcal, makan 14,38
kcal, istirahat 92,89 kcal, dan bermain 47,91 kcal. Aktivitas pergerakan
arboreal tidak pada bidang datar sehingga kebutuhan kalori untuk pergerakan arboreal
adalah dua kali lipat (Wheatley, 1982). Dengan demikian maka total kebutuhan
kalori bekantan dengan berat badan rata-rata 8,84 kg adalah 781,60 kcal. Untuk
memenuhi kalori setiap harinya bekantan dengan berat badan 8,84kg mengkonsumsi
pakan sejumlah 900 g per hari.
Kandungan kalori pakan yang dikonsumsi bekantan
rata-rata adalah 1066,8 kcal atau 120,68 kcal/kg berat badan bekantan. Daya
dukung habitat hutan mangrove adalah 84 individu bekantan/km² dengan biomasa
778,68 kg dan kebutuhan kalori 93.971,1 kcal per hari, sedangkan produktivitas
habitatnya adalah 570.000 kcal/km², dengan demikian konsumsi energi pakan yang
dibutuhkan bekantan dalam populasi optimum adalah 16,5% dari produktivitas
primer habitat.
Dalam habitat hutan mangrove dengan kualitas baik
dan produktivitas tinggi, bekantan dapat hidup dalam populasi relatif padat.
Hal ini terlihat dari penggunaan core areadaerah jelajah yang relatif kecil
(18-20 ha) dengan tumpang tindih ruang pengembaraan sebesar 20-62%.
Yeager(1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan (home range) bekantan di hutan
rawa gambut berkisar antara 125-137,5 ha dengan areal tumpang tindih 95,9%,
sedangkan “adjusted home range” yang intensif digunakan adalah 19,3 ha per
kelompok. Luas ruang pengembaraan bekantan di mangrove adalah 19,4 ha, tidak
berbeda dengan adjusted home rangeyang dikemukakan Yeager (1989). Untuk
mengatasi terjadinya kompetisi dalam penempatan pohon sumber pakan dan pohon
tidur bekantan melakukan perpindahan lokasi tempat tidur rata-rata 220 m setiap
hari dan jarak antar kelompok 50-400 m.
Penggunaan dan perpindahan pohon tempat tidur di
tepi sungai merupakan adaptasi bekantan terhadap penyakit dan predator. Pada
habitat yang telah rusak strategi pemilihan pohon tempat tidur dan perilaku
berpindah-pindah setiap hari adalah cara untuk mempertahankan populasinya.
Efisiensi penggunaan waktu dan perjalanan dalam
aktivitas mencari makan, kelom pok bekantan membentuk sub-kelompok yang
rata-rataterdiri 8,5 individu yang masing-masing tersebar dalam jarak rata-rata
96 m. Empat puluh tiga persen sub-kelompok terdiri dari 1 jantan dewasa dengan
jumlah individu 9,12 dan 22,8% terdiri dari 2 jantan. Pembentukan sub-kelompok
ini selain untuk mengatasi kompetisi antar individu juga berperan dalam
efisiensi penggunaan sumber pakan, pemantauan ruang pengembaraan, dan efisiensi
pengontrolan anggota sub-kelompok yang lebih sedikit jumlahnya oleh jantan
dewasa.
Kepadatan populasi bekantan di sungai terpengaruh
oleh perubahan tipe vegetasi hutan lahan basah dari muara sungai hingga hutan
Dipterocarpaceae campuran di pedalaman hulu sungai. Hutan di pedalaman relatif
miskin unsur hara, sedangkan bekantan sebagai primata pemakan daun (sub-famili
Colobinae) membutuhkan mineral cukup tinggi.
Degradasi habitat bekantan yang serius pernah
terjadi di Pulau Kaget Kalimantan Selatan pada tahun 1996. Kawasan seluas 267
ha tersebut dihuni bekantan sejumlah 228 individu. Habitat didominasi
Sonneratia caseolarisdi tepi sungai setebal 20-55 m dengan kerapatan 150
pohon/ha. Kepadatan pohon ini masih mendukung untuk kebutuhan pohon tidur dan
pakan bagi sejumlah 200 individu bekantan dengan sebaran sub-kelompok antara
25-75 m. Dari segi pakan, dengan indikasi tingkat kekurusan bekantan, secara
kualitatif hanya 25% dari bekantan yang tidak dapat teradaptasi dengan kondisi
habitat, terutama individu yang soliter dan individu kelas umur tua.
Adaptasi bekantan terlihat dari cara bekantan
memanfaatkan tumbuhan air yang bermineral tinggi, karena lantai hutan tepi
sungai didominasi oleh tumbuhan bawah, Eichornia crassipes, Lymnocharis flava,
Pistia stratiotesyang mudah terbawa dan hanyut di sungai. Tumbuhan yang dominan
adalah Agapanthus africanus, sedangkan di bagian tengah Pulau Kaget didominasi
oleh Acrostichum aureum.Tumbuhan bawah tersebut umumnya menutupi akar napas S.
caseolaris.Sebanyak 75% populasi bekantan terlihat dapat beradaptasi dengan
pakan dari tumbuhan air, yaitu Lymnocharis flava, Agapanthus africanus,
Hymnenachne amplexicanlis,dan Vittis trifolia. Tumbuhan air yang dimakan
primata mempunyai kadar mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan primata di
dataran kering (Oates, 1978).
Untuk mempertahankan populasi, bekantan butuh
mineral yang cukup banyak (Bennet dan Sebastian, 1988) seperti K, dibutuhkan sejumlah
197,9 mg/kg berat/hari (Bismark, 1995) sedangkan Vittis trifoliadiketahui
mengandung K 1,06%. Tingginya mineral tumbuhan di pulau ini diindikasikan
dengan hasil analisis kimia akar napas Soneratia caseolaris.
Namun dalam akar napas S. caseolaris, mineral yang
terdeteksi adalah Zn, Cu, dan Al, yang konsentrasinya 2-8 kali dari kandungan
mineraltanah, sedangkan kandungan Al-nya 6-17 kali dari konsentrasi Al tanah;Cd
dan Pb tidak terdeteksi. Tidak terdeteksinya Cd dalam akar napas S.
caseolarisdapat disebabkan tingginya konsentrasi Zn, di mana konsentrasi Zn
yang tinggi dapat menekan penyerapan Cd.
Bekantan yang hidup di hutan riparian Samboja Kuala,
KalimantanTimur yang dekat dengan pemukiman dapat mengkonsumsi Mangifera
caesia, Garcinia mangostana, Durio zibethinus, Sandoricum koetjape,dan Hevea
brasiliensis, namun demikian tetap memakan Sonneratia caseolarissebagai sumber
mineral (Alikodra et al., 1995). Adaptasi bekantan terhadap tipe habitat dan
sumber pakan terlihat dari kerapatan populasi dan jumlah kelompok rata-rata
14,9 individu/kelompok (Alikodra et al., 1995) dan di hulu sungai yang
didominasi Dipterocarpaceae rata-rata 12 individu/kelompok, sedangkan di hutan
mangrove 17,4 dan 21 individu/kelompok.
Kondisi ini menunjukkan perbedaan daya dukung
habitat terutama dalam penyediaan sumber pakan dan mineral. Di hutan karet,
bekantan dapat teradaptasi dengan baik yang ditandai dengan jumlah anggota
kelompok yang mencapai 19 individu. Tingginya kadar protein dan ketersediaan
mineral penting dalam pakan bekantan serta ketersediaan air menjadi pendukung
utama keberadaan dan adaptasi bekantan di luar kawasan hutan rawa gambut atau
hutan mangrove (Soendjoto et al., 2006).
BAB
8
KONSERVASI
8.1.
Degradasi Habitat dan Penurunan Populasi
The South East Asia Zoo Association(SEAZA) dan
Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesai (PKBSI) telah mengindentifikasi
bahwa bekantan menduduki prioritas tinggi dalam upaya pelestarian secara insitu
atau eksitu. Untuk itu telah diadakan workshopkonservasi internasional di Bogor
yang diselenggarakan oleh Conservation Breeding Specialist Group of the IUCN-
the World Conservation Union (CBSG)dan workshop Indonesia Proboscis Monkey
Population and Habitat Viability Assesment (PHVA)pada bulan Desember 2004
(Proboscis monkey PHVA, 2004).
Tingginya tingkat prioritas konservasi bekantan
disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan populasi di alam dengan cepat.
Populasi bekantan di Kalimantan kurang lebih 25.000 individu, dan dari hasil
identifikasi pada 12 lokasi sebaran bekantan, populasi diperkirakan berjumlah
9.200 individu (PHVA Prosboscis monkey, 2004) dan Supriatna (2004) memprediksi
populasi tinggal 15.000 individu dengan lajudeforestasi habitat 2,49%. Pada
tahun 1994 total populasi bekantan di Indonesia sejumlah 114.000 individu
dengan salah satu contoh di TN Kutai berjumlah 400 individu (Bismark dan
Iskandar, 2002).
Di kawasan konservasi kelompok bekantan terpencar
antara 4-25 km (1986), rata-rata 30 km pada tahun 1994, dan jarak sebaran di
luar kawasan konservasi akan bertambah seiring dengan terjadinya fragmentasi
hutan di sepanjang sungai habitat bekantan, hutan rawa gambut serta terputusnya
koridor yang menghubungkan danau-danau berhutan yang berpotensisebagai habitat
bekantan, seperti sebaran sub-populasi bekantandi Delta Mahakam yaitu rata-rata
50 km (Ma’ruf, 2005).
Fragmentasi habitat tepi sungai akan memutus jalur
migrasi populasi bekantan sewaktuwaktu bila terjadi penurunan daya dukung
habitat. Demikian pula kurangnya pakan pada musim tertentu dan kebutuhanmineral
yang tinggi sebagai komponen pakan bekantan secara langsung yang dapat
berakibat pada penurunan populasi. Dalam setahun kelompok bekantan menggunakan
kawasan hutan seluas 9 km². Fragmentasi habitat dapat meningkatkan ancaman
perburuan, parasit, predator, dan tekanan tinggi yang mempengaruhi penurunan
populasi bekantan.
Pengaruh fragmentasi habitat terhadap populasi
bekantan terutama di hutan riverinemangrove, karena vegetasi mangrove yang
potensial sebagai habitat bekantan hanya 7%. Selain itu habitat di hutan rawa
gambut telah terdegradasi melalui pemanfaatan hutan produksi, pengembangan
areal pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Ancaman penurunan populasi bekantan
akibat pengurangan habitat bekantan adalah 3,1% tiap tahun (Bismark dan
Iskandar, 1997) sedangkan degradasi habitat 3,49% tiap tahun (Supriatna, 2004).
Bila dilihat dari populasi pada tahun 1994 dengan populasi 114.000 individu dan
15.000 individu pada tahun2004, penurunan populasi dalam 10 tahun terakhir mencapai
rata-rata 10% per tahun. Ini menunjukkan bahwa bekantan sensitif terhadap
fragmentasi habitat.
Mengingat aktivitas harian bekantan yang menggunakan
hutan riparian selebar 500 m dan perpindahan harian bekantan antara 300-800 m
di kebun karet, 800-2.000 m di hutan mangrove, maka sebagai upaya pelestarian
habitat bekantan perlu dilakukan perlindunganatau ditetapkan hutan sempadan
sungai sebagai kawasan lindung yaitu seluas minimal 500 m. Perlindungan
sempadan sungai selebar 500 m ini selain menyediakan habitat dengan daya dukung
minimal kepada kelompok bekantan, juga memberikan dampak pengurangan laju
aliran permukaan yang membawa partikel tanah hasil erosi yang dapat menurunkan
kualitas sungai. Percepatan pengurasan hasil mineralisasi serasah sehingga dapat
menyebabkan eutropikasisungai, termasuk kelestarian keanekaragaman jenis fauna
air. Pada hutan produksi yang berbatasan dengan habitat bekantan perlu
diterapkan teknik pemanenan dengan Reduced Impact Logging(RIL) guna
mempertahankan kualitas perairan. Hal ini sangat mendukung bagi kelestarian
habitat bekantan, karena bekantan sangat membutuhkan kualitas perairan yang
baik yang dapat mempengaruhikualitas pakan, pohon tempat tidur, sumber air
minum, dan sebagai sarana untuk aktivitas berenang dan mandi.
Pengamatan Yeager (1992) di TN Tanjung Puting pada
tahun 1985 menunjukkan kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km
persegi, dan 41 individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalamwaktu enam tahun
telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% per tahun. Hal ini
disebabkan oleh polusi air sungai akibat penambangan emas di hulu sungai,
degradasi habitat sungai, dan meningkatnya lalu lintas perahu motor. Mengingat
bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan habitat (Bennett dan Gombek, 1991),
maka populasi bekantan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan hutan
rawa. Populasibekantan dalam kondisi habitat yang mengalami kerusakan berat
mencapai rata-rata sembilan individu per km persegi (Yeager dan Blondan, 1992).
Pencemaran air oleh logam berat terindikasi dari
akumulasi Cd, Pb, Cr, Ni, dan Mo dalam jaringan akar R. apiculatadalam habitat
bekantan di hutan mangrove (Bismark, 1995). Merangasnya Sonneratia
caeolarisakibat logam berat di Pulau Kaget Kalimantan Selatan, menyebabkan
turunnya potensi pakan bekantan. Hutan lahan basah tepi sungai dan pantai yang
berhubungan dengan pasang surut sungai atau laut yang tercemar,maka polutan
yang terlarut dapat berdampak pada kualitas sumber pakan, dan dapat berpengaruh
terhadap keragaman jenis dan populasi satwa langka.
Kerusakan habitat menyebabkan predator bekantan
melakukan pergerakan dengan mudah. Populasi biawak Varanus salvatorsebagai
salah satu predator primata (Rodman, 1998; Yeager, 1992) cukup banyak terdapat
di areal rawa dan mangrove. Selain biawak, jenis reptil yang memungkinkan
sebagai predator bekantan di hutan bakau adalah ular kobra (Ophiophagus
hannah). Permasalahan habitat bekantan bukan saja masalah pengurangan luas
hutan rawa, tetapi juga masalah kualitas air sungai yang menjadi sumber air
minum, mandi, dan berenang bagi bekantan. Berlangsungnya pembangunan pemukiman
dan industri di hulu sungai, dapat menurunkan kualitas sungai, seperti
pencemaran parasit yang penyebarannya dapat melalui air. Bukti ini telah
diketahui dari ditemukannya telur cacing Ascrisdan Trichiurisdalam feses
bekantan. Trichiuris umum ditemukan pada feses primata seperti Macaca
fascicularis (Matsubayashi, 1981), pada orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987).
8.2.
Konservasi Eksitu
Pemeliharaan bekantan di kebun binatang maupun oleh
masyarakat sudah lama dilakukan di dalam maupun di luar negeri, dan
keberhasilan penangkaran bekantan pertama dilaporkan tahun 1993. Dari berbagai
laporan masyarakat, bekantan yang ditangkap dari alam sangat sulit dipelihara
karena mempunyai tingkat stres yang tinggi dan sulitmakan, akibatnya tidak
jarang mati dalam waktu singkat. Percobaan penangkaran bekantan di Kalimantan
Timur pernah dilakukan di areal tanam satwa PT Pupuk Kaltim Bontang (1993) dan
Taman Safari Indonesia (TSI). Bekantan yang ditangkar di PT Pupuk Kaltim
Bontang diberi pakan dengan mie instan, buah pohon simpur (Dillenia sp.),
pisang, pepaya, dan air minum.
Rata-rata berat kering pakan bekantan per hari
adalah 157,93 g atau 27,85 g/kg berat badan dengan kalori pakan 119,46 kcal/kg
berat badan. Di kebun binatang Singapura Zoological Garden (SZG) bekantan
diberi makan dengan apel (25 g), pisang (25 g), kacang panjang (3 ikat), telur
rebus (½), dan nasi dengan daging (25 g) dalam bentuk bola. Selain itu diberi makan
dengan pelet (Zupreem primate dry) dengan minyak ikan dan neotroplek (3-4
pelet) dan daun-daunan (3 ikat atau 4 kg) untuk kebutuhan pakan 5 individu
bekantan. Dilaporkan sejak awal tahun 1998 bekantan yang dipelihara di SZG yang
berasal dari Kebun Binatang Yogyakarta hidup sehat dengan pola makan di atas
dan dapat melahirkan anak.
Di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor bekantan
diberi pakan sayuran 37,42%, protein 3,98%, daun-daunan 49,71%, dan buah 8,89%
dengan perbandingan Ca/P rasio 1,31. Bekantan dengan berat badan 6 kg makan 1,8
kg atau 30,18% dari berat badan dengan kandungan kalori 925,5 kcal (Trihastuti
et al., 2004), kebutuhan kalori pakan bekantan betina dengan berat badan 8,8 kg
adalah 745,41 kcal dan jantan dengan berat badan 5 kg membutuhkan kalori 647,8
kcal (Bismark, 1994). Komponen pakan bekantan di TSI, Bogor.
Jenis daun yang diberikan kepada bekantan di TSI
adalah daun kayu manis, beringin, angsana, jingjing, ketapang, nangka, dan ara
jelateh. Jenis-jenis tersebut memiliki kadar Ca tinggi antara 6-30%, di mana Ca
daun ara jelateh 30,5 ppm, kadar P 0,1-2,3%, dan kadar protein dari 11,3–22,8%.
Komposisi pakan, kadar gizi, dan teknik pemberian pakan yang tepat akan
mendukung percepatan program penangkaran atau konservasi eksitubekantan, yang
diindikasikan dengan berkembangnya populasi bekantan melalui kelahiran anak di
penangkaran.
Konservasi eksitubekantan melalui pengembangan
penangkaran di kebun binatang atau lembaga konservasi lainnya dapat digunakan
sebagai sarana pendidikan konservasi maupun rekreasi yang mendatangkan nilai
budaya menyangkut pelestarian bekantan di alam, terutama dalam hal pencegahan
perburuan atau upaya rehabilitasi habitat tepi sungai, danau, dan hutan dengan
tumbuhan yang dapat menjadi sumber pakan bekantan.
8.3.
Program Konservasi
Berdasarkan hasil PHVA bekantan tahun 2004, telah
diidentifikasi permasalahan kerusakan habitat dan dampaknya pada kelestarian
bekantan seperti terlihat dalam. Pemanfaatan dan konversi lahan hutan habitat
bekantan pada hutan rawa gambut, rawa air tawar atau mangrove menjadi areal
perkebunan, tambak perikanan atau penambangan di hulu sungai yang berdampakpada
kualitas perairan habitat bekantan sebenarnya sudah berjalan lama. Di antaranya
adalah perubahan kualitas air sungai habitat bekantan di TN Tanjung Puting
akibat penambangan emas di hulu sungai. Penurunan kualitas sungai diperkuat
oleh tingginya aktivitas angkutan sungai (speed boat) yang dapat meningkatkan
abrasi tepi sungai, mengurangi keragaman jenis tumbuhan bawah tepi sungai yang
berpotensi sebagai sumberpakan bekantan.
Polusi sungai oleh logam berat terindikasi dari
meningkatnya konsentrasi logam berat di akar tumbuhan mangrove yang menjadi
sumber pakan bekantan, seperti kandungan Zn dan Cu di akar Soneratia
caseolarisdengan kosentrasi 2-8 kali dari kandungan yang ada di tanah dan 6-17
kali untuk mineral Al. Kandungan Pb 20-120 ppm dan 1,04-1-21 ppm Mo ditemukan
pada akar mangrove di TN Kutai (Bismark, 1994), sedangkan di hutan mangrove
yang belum tercemar tidak terdeteksi adanya Mo (Bismark, 2007).
Perluasan tambak yang mencapai lebih dari 50% dalam
waktu 10 tahun (Sarjono, 1997) dan tersisanya habitat bekantan seluas 10% di
muara Mahakam (Ma’ruf et al., 2005) dan terputusnya habitat dan sebaran
bekantan rata-rata sepanjang 30 km adalah kenyataan yang dapat digunakan
sebagai dasar mengapa pelestarian bekantan menjadi prioritas utama, termasuk
kebakaran hutan akibat berbagai dampak intervensi masyarakat ke dalam kawasan
hutan gambut dan hutan tepi sungai secara ilegal.
Untuk mengatasi permasalahan habitat dan penurunan
populasi bekantan perlu dibuat program-program kegiatan sebagai berikut:
1.
Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan.
2.
Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan populasi
bekantan.
3.
Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam melakukan konservasi sempadan
sungai
dan satwa.
4.
Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya
limbah ke
sungai, dan pengembangan bangunan di
sempadan sungai habitat bekantan.
5.
Pengembangan konservasi eksitu.
6.
Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai
ekonomi
masyarakat lokal dan manfaat satwaliar.
7.
Peningkatan peran kelembagaan dan budidaya usaha pengelolaan kawasan hutan yang
terkait
dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu dan
jasa lingkungan.
8.3.1.
Inventarisasi Sebaran Populasi
Peningkatan pemanfaatan lahan sepanjang sungai
habitat bekanta dan peningkatan transportasi sungai telah terbukti menurunkan
populasi dan peningkatan fragmentasi habitat bekantan. Oleh karena itu data
sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi dan
program prioritas penyelamatannya. Hal ini lebih penting bagi pelestarian
bekantan di luar kawasan konservasi. Inventariasi ini juga terkait dengan
program rehabilitasi, restorasi, dan pemanfaatan kawasan dan populasi sebagai
objek wisata dalam kawasan wisata alam.
Saat ini penelitian umumnya terfokus pada penentuan
sebaran danpopulasi, sedangkan penelitian perilaku yang mendukung pelestarian
habitat masih terbatas karena tipe habitat dan sifat semiterestrial bekantan
menyulitkan proses habituasi. Oleh karena itu dalam buku ini disampaikan hasil
penelitian perilaku dan pemanfaatan habitat bekantan dalam 10 tahun terakhir.
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan Soendjoto (2005) adalah penelitian
bekantan di hutan karet. Penelaahan ditujukan pada aspek adaptasi bekantan
terhadap hutan tanaman karet. Hasil inventarisasi juga menunjukkan bahwa
bekantan juga ditemukan di hutan bukit kapur, Kalimantan Selatan.
8.3.2.
Rehabilitasi dan Restorasi Habitat
Hutan tepi sungai adalah kawasan yang pertama kali
dan lebih mudah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam pengembangan
pemukimanatau pertanian, termasuk sebagai lokasi pembangunan untuk pengelolaan
hasil hutan non kayu, industri perkayuan, dan industri angkutansungai sehingga
habitat bekantan sangat rentan terhadap fragmentasi maupun
terbentuknya
lahan kritis.
Sesuai hasil inventarisasi sebaran populasi, perlu dibuat
program lanjutan untuk melaksanakan rehabilitasi atau restorasi habitatbekantan
yang potensial untuk pembinaan populasi. Program rehabilitasi atau restorasi
pada habitat yang telah menurun kualitasnya diarahkanpada pengayaan jenis
tumbuhan pakan yang mengandung mineral dan protein tinggi. Pembinaan habitat
untuk peningkatan populasi diarahkan agar sub populasi yang berkelompok dalam
kawasan tersebut dapat mencapai angka populasi minimum (250 individu).Apabila
kawasan tersebut merupakan bagian areal pertanian, rehabilitasi dapat dilakukan
dengan menanam jenis buah-buahan yang dapat mendukung tersedianya sumber pakan
bekantan seperti dilaporkan Alikodra et al.(1995), atau dengan tanaman karet
(Soendjoto et al., 2005). Daun dan buah dari jenis-jenis tumbuhan yang dapat
dikonsumsi oleh bekantan seperti di SZG Singapura.
8.3.3.
Penangkaran
Upaya konservasi eksitubekantan sudah menunjukkan
hasil dengan berkembangnya jumlah individu bekantan dalam bentuk penangkarandi
kebun binatang dan TSI. Keberhasilan ini didukung pula oleh upaya pengembangan
jenis dan pakan bekantan yang memenuhi kualitas gizi dan kalori yang
dibutuhkan. Keberhasilan diindikasikan dengan berhasilnya kelahiran bekantan di
penangkaran tersebut.Penangkaran merupakan salah satu upaya konservasi yang
dapat meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian
satwa.
Bekantan yang ada dalam areal penangkaran kebun
binatang atau TSI digunakan sebagai sumber atau model dalam pendidikan
konservasi. Hal ini dapat meningkatkan nilai-nilai pelestarian habitat dan
satwa bagi kader konservasi sebagai langkah dalam melakukan pelestarian
insitumelalui peningkatan kesadaran terhadap perlindungan hutan, sempadan
sungai, dan pencegahan perburuan. Di samping itu, dapat pula diterapkan untuk
merubah persepsi masyarakat yang selama ini menganggap bekantansebagai hama
pertanian menjadi objek wisata.
8.3.4.
Pengaturan Pemanfaatan Hutan Tepi Sungai
Hutan tepi sungai (sebagai habitat bekantan), sungai
dan kualitas airnya sangat menentukan dalam pelestarian populasi bekantan.
Hutan sempadan sungai minimal selebar 500 m dengan keragaman jenis pohon dan
tumbuhan yang tinggi untuk pohon tidur dan pakan bekantan penting dilestarikan
sebagai habitat. Di areal dengan keragaman jenis rendah seperti adanya tanaman
perkebunan dan buah-buahan yang dikelolamasyarakat, pergerakan harian bekantan
meningkat menjadi 800-1000 m.
Oleh karena itu pemanfaatan kawasan untuk tujuan
lain seperti kebun dan pemukiman sebaiknya minimal berjarak 500 m dari tepi
sungai. Hal ini dimaksudkan agar tingkat gangguan bekantan terhadap areal
pertanian akan rendah, karena bekantan sangat terikat dengan sumber air.
Adaptasi bekantan terhadap tanaman perkebunan terlihat dari berkembangnya
populasi di hutan karet. Namun sumber air dan hutan sempadan mata air dan
sungai kecil tetap menjadi bagian penting dalam perilaku makan dan perilaku
harian bekantan.Mengingat bahwa peningkatan lalulintas di sungai habitat
bekantan dapat menurunkan populasi bekantan maka diperlukan aturan atau rambu-rambu
di sungai yang dihuni oleh bekantan. Hal ini diperlukan agar pengemudi speed
boatmengurangi kecepatannya agar tidak terjadi kebisingan tinggi yang dapat
menimbulkan stres pada bekantan, terutama di sungai kecil.
8.3.5.
Pengembangan Agrowisata
Program restorasi atau rehabilitasi hutan tepi
sungai habitat bekantan sejalan dengan pengembangan wisata sungai dengan objek
bekantan. Rehabilitasi sempadan sungai dapat dikombinasikan dengan tanaman
buah-buahan dengan pola agroforestrysehingga dapat menjadi bagian program
pengembangan agrowisata.Pakan bekantan yang komposisinya lebih dari 80% daun
dapat dikatakan bahwa ancaman bekantan terhadap buah-buahan relatif rendah,
sehingga model agroforestrymerupakan kombinasi aspek pelestarian bekantan
dengan peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasilahan, dan peningkatan
kualitas sungai. Diharapkan pengembangan wisataalam di habitat bekantan di luar
kawasan konservasi ini segera direalisasikan dan ditingkatkan guna mengurangi
fragmentasi habitat dan populasi di luar kawasan konservasi.
Bekantan berperan dalam mempertahankan biodiversitas
vegetasi habitat. Dalam hal ini bekantan juga memakan biji tumbuhan yang
dominan. Cara ini akan memberikan kesempatan bagi jenis yang tidak dominan
untuk berkembang, sehingga dengan demikian populasi bekantan cukup besar
peranannya dalam perbaikan biodiversitas vegetasi hutan (Yeager dan Blondal,
1992).
Pelestarian bekantan di luar kawasan konservasi
besar peranannya untuk men-jaga penurunan populasi agar jangan sampai berada
pada batas kritis. Sebagian besar habitat bekantan adalah di luar kawasan
konservasi, oleh karena itu habitat bekantan di kawasan hutan produksi sangat
perlu dibina. Walaupun perburuan bekantan jarang terjadi, namun perusakan
habitat bekantan akibat pengembangan areal pemukiman maupun pertanian dan
tambak (perikanan) lebih berdampak negatif terhadap penurunan populasi. Untuk
pelestarian populasi bekantan, perlu dibuat perlindungan pada habitat tepi
sungai di mana bekantan ditemukan minimal sejauh 500 m, sesuai dengan jarak
yang ditempuh bekantan dari tepi sungai dalam aktivitas hariannya. Tepi sungai
yang dihuni bekantan di kawasan hutan produksi perlu dimasukkan sebagai wilayah
konservasi yang menjadi indikator pengelolaan hutan produksi lestari yang dapat
dikelola sebagai hutan wisata.
Di Brunei, upaya pelestarian populasi bekantan
dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekoturisme, sehingga kerusakan
habitat satwa dapat terpantau melalui peningkatan aktivitas rekreasi (Yeager
dan Blondal, 1992). Di TN Kutai, sebagian besar dari turis asing yang
berkunjung berusaha untuk menemukan kelompok bekantan di samping melihat
orangutan di Teluk Kaba. Pengembangan ekoturisme di kawasan konservasi, taman
nasional, dan di luar kawasan konservasi, selain memberikan dukungan bagi upaya
pelestarian habitat dan populasijuga memberikan dampak ekonomi yang positif
bagi masyarakat, terutama di luar kawasan konservasi. Dalam kawasan konservasi
sendiri seperti taman nasional dan suaka margasatwa di mana habitat dan populasi
bekantan dikonservasikan, diperlukan pengawasan dan pembinaan habitat dan
populasi yang intensif mengingat maraknya illegal logging. Kegiatan ini dapat
dilakukan mulai dari hutan yang berada di sempadan sungai.
Kegiatan pengelolaan satwa langka di luar dan dalam
kawasan konservasi masih menjadi tugas pokok Departemen Kehutanan (Dephut),
sementara itu habitat dan keberadaan satwa tidak selamanya ada dalam pengawasan
dan tanggung jawab Dephut, seperti daerah penyangga taman nasional yang
pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Departemen Dalam Negeri). Di
daerah penyangga masih terdapat habitat potensial bagi satwaliar langka,
termasuk bekantan. Dengan tingginya laju fragmentasi, habitat bekantan tidak
disadari sudah berada di bagian wilayah pedesaan di mana habitatnya sangat
berarti bagi pegembangan pertanian dan kebun rakyat untuk pendukung kebutuhan
ekonomi.
Habitat bekantan juga ada di kawasan hutan produksi
di mana keamanan habitatnya menjadi tanggung jawab pemegang Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Walaupun sudah ada arahan kelola
lingkungan dan peraturan untuk menetapkan wilayah konservasi dan areal plasma
nutfah dalam kawasan hutan produksi, namun keberadaan bekantan pada habitat
yang spesifik menyebabkan penetapan dan pengamanan habitatnya dalam kategori di
atas belum sepenuhnya terlaksana.
Koordinasi program pengelolaan daerah aliran sungai,
kawasan lindung gambut, hutan mangrove, pedesaan, dan perkebunan yang terpadu
dan saling sinergis dalam melestarikan habitat dan populasi bekantan sangat
diperlukan terutama di luar kawasan konservasi.Untuk itu diperlukan pembentukan
kelembagaan seperti Lembaga PengarahKonservasi yang dikoordinasikan oleh
Bappeda dengan anggota dinas-dinas terkait seperti Dinas Kehutanan, Perkebunan,
Pemda, Pengairan (PU), dan lain-lain yang kegiatannya akan berdampak pada
perbaikan habitat dan pelestarian bekantan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aldrich-Blake,
F. P. G. 1980. Longtailed macaques. p. 147-165. In: Malayan Forest Primates
(D.J. Chivers ed.). Plenum Press, New York.
Alikodra,
H. S., A. H. Mustari, N. Santoso, dan Yasuma. 1995. Social interaction of
proboscis monkeys (Nasalis larvatus Wurmb) group at Samboja Koala, East
Kalimantan. Pusrehut, Anual Report, 10 pp.
Anwar,
J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatra.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Baker,
E. W. and G. W. Wharton. 1952. In introduction to arcarology. The Mac Millan
Company, New York.
Bauchop,
T. 1978. Digestion of leaves in vertebrata arboreal folivores. p. 139-204.In:
The Ecology of Arboreal Folivores (G.G. Montgomery ed.).
Smithsonian
Institute, Washington D.C.Bennett, E. L. 1983. The Banded Langur: Ecology of a
Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Ph.D. Dissertation, Cambridge
University, Cambridge.
Bennett,
E. L. and A. C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis
monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int. J. of
Primatol. 9 (3) : 233-255.
Bhosale,
J. L. and L. S. Shinde. 1983. Significance of cryptovivipary in Aegiceras
corniculatum (L) Blan-co., p. 123-129. In: Tasks for Vegetation Science (H.J.
Teas eds.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Bismark,
M. 1980. Populasi dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus) di Suaka
Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Hutan No. 357.
Bismark,
M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus)
dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai,
Kalimantan Timor. Thesis Magister Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Bismark,
M. 1986. Keragaman burung di hutan bakau Taman Nasional Kutai. Bul. Pen. Hut.
482: 11-22.
Bismark,
M. 1993. Sebaran dan populasi primata sebagai indikator kualitas lingkungan
habitat di areal tegakan tinggal hutan produksi alam. Simposium dan Seminar Nasional
Primata. Oktober 1993. Cisarua.
Bismark,
M. 1994. Parasit biawak (Varanus salvator) Aponomma lucasidi Cagar Alam
Kepulauan Krakatau. Bul. Pen. Hut. 558: 14-25.
Bismark,
M., I. Soerianegara, D. Sastradipradja, F. G. Suratmo,H. S. Alikodra and H.
Pawitan. 1994. The potency of mangrove forest habitat tothe proboscis monkey’s
food source at Kutai National Park. EastKalimantan. International
Primatological Society Congres, Bali.
Bismark,
M. 1995. Konsumsi pakan bekantan dalam penangkaran. Bul. Pen. Hut. 589: 27-38.
Bismark,
M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar
Alam Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Diskusi Hasil Penelitian, Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam.
Bismark,
M., H. Gunawan, H. Tikupadang, dan S. Iskandar. 1997. Komposisi dan jenis pakan
Macaca ochreata di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Bul.
Pen. Kehutanan Ujung Pandang 3 (1): 1-17.
Bismark,
M. dan S. Iskandar. 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan
(Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul. Pen. Hut.
631:p.17-29.
Bismark,
M., R. Sawitri, dan S. Iskandar. 2004. Pengaruh sistempenebangan ramah
lingkungan dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman jenis ikan. Jurn. Pen.
Hut. dan Kons. Alam I(2):147-155.
Bismark,
M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis larvatus.Jurn. Pen.
Hut. dan Kons. Alam I(3):309-320.
Bismark,
M. 2005. Estimasi populasi orangutan dan model perlindungan di komplek hutan
Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur. Bul. Plasma Nutfah. 11(2): 74-80.
Bismark,
M. 2005. Model pengukuran biomasa populasi primata. Jurn. Pen. Hut. dan Kons.
Alam II(5):491-496.
Chapman,
V. J. 1983. Mangroves in New Zealand. p. 81-85. In: Tasks for Vegetation
Science (H.J. Teas ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Chivers,
D.J. 1974. The siamang in Malaya: a field study of a primate in tropical rain
forest. Contrib. Primat. (4) : 1-335.
Chivers,
D. J. and J. J. Raemakers. 1980. Longterm changes in behaviour, p. 209-258. In:
Malayan Forest Primates (D.J. Chivers, ed.). Plenum Press, New York.
Chivers,
D. J. and J. J. Raemakers. 1984. Natural and synthetic diets of Malayan
gibbons, p. 39-56. In: Primate Ecology and Conservation (D.J. Chivers, ed.)
vol. 2. Cambridge University Press, London.
Christian,
K. C., R. Trancy, dan W. P. Pater. 1983. Seasonal shifts in body temperature
and use microhabitats by Galapagos Land iguanas (Conolophus pallius). Ecology
64(3): 463-468.
Church,
D. C. 1974. Effect of stress on nutritional physiology,p. 663-683. In:
Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants (Church, D. C.,
G.
E. Smith, J. P. Fontenot and A. T. Ralston eds.). Albany Printing Co., Oregon.
Clough, B. F., K. G. Boto, and P. M. Attiwill. 1983. Mangroves and sewage: a
revaluation, p. 151-161. In: Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol.
8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Clutton-Brock,
T. H. 1977. Some aspects of intraspecific variation in feeding and ranging
behaviour in primates, p. 539-556. In: Primate Ecology (T.H. Clutton-Brock
ed.). Academic Press, London.
Clutton-Brock,
T. H. and P. H. Harvey. 1977. Species differences in feeding and ranging
behaviour in primates, p. 557-584. In: Primate Ecology (T .H. Clutton-Brock
ed.). Academic Press, London.
Collette,
B. B. 1983. Mangrove fishes of New Guinea, p. 91-102. In: Taskes For Vegetation
Science (H.J. Teas ed.) vol. 8 Dr. W. Junk Publisher, The Hague.
Curtin,
S. H. 1976. Niche separation in sympatric Malaysian leaf monkeys (Presbytis
obscura and Presbytis melalophos). Yearbook of Physical Anthropology 20:
421-439.
Curtin,
S. H. and D. J. Chivers. 1979. Leaf eating primate of Peninsular Malaysia, the
siamang and the dusky leaf monkey, p. 441-464. In: The Ecology of Arboreal
Folivores (D. J. Chivers ed.). Smithsonian Institution Press, Washington, D.C.
Curtin,
S. H. 1980. Dusky and banded leaf monkeys, p. 107-145. In: Malayan Forest
Primates (D. J. Chivers ed.). Plenum Press, London.
Curran,
L. M., S. N. Trigg, A. K. McDonald, D. Astini, Y. M. Hardiono, P. Siregar, T.
Caniago, E. Kasischke. 2004. Lowland Forest Loss in Protected areas of
Indonesian Borneo. Science 303: 1000-1003.
Darnaedi,
D. dan A. Budiman. 1982. Analisis vegetasi hutan mangrove Morowali, Sulawesi
Tengah, p. 162-170. Dalam: Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden.
MAB-LIPI, Jakarta.
Darsidi,
A. 1984. Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia p. 19-28, Dalam: Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden. MAB-LIPI, Jakarta.
Departemen
Kehutanan. 2005. Data Strategis Kehutanan. Jakarta.
Departemen
Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006.Jakarta.
Diamond,
J. M. 1975. The island dilemma: Lessons of modern biogeographic studies for the
design of nature reserve. Biol. Conserv. 7: 127-145.
Dingwall,
P. R. 1984. Overcoming problems in the management of New Zealand mangrove
forest, p. 97-106. In: Physiology and Managemant of Mangroves (H.J. Teas ed.).
Dr. W. Junk Publishers, The Hague.
Durand,
M. and R. Kawashima. 1980. Infuence of minerals in rumen microbial digestion, p.
375-408. In:Digestive Physiology and Metabolism in Ruminant (Y. Ruckebusch and
P. Thivend eds.) MTP Press Limited, Lancaster, England.
Field,
C. D., B. G. Hinwood dan I. Sterenson. 1984. Structural features of the salt
gland of Aegiceras, p. 37-42. In:Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas ed.)
vol. 9. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Fleagle,
J. G. 1980. Locomotion and posture p. 191-207. In:Malayan Forest Primates (D.J.
Chivers, ed.) Plenum Press, New York.
Freeland,
W. J. 1976. Pathogens and the evolution of primate sociality. Biotropica 8 (I)
: 12-24.
Ganzhom,
J. U. 1984. The influence of plant chemistry on food selection by Lemur calta
and Lemur fulvus, p. 21-29. In: Primate Ecology (J.G. Else and P.C. Lee ed.)
vol. 2. Cambridge Univ. Press. London.
Ganzhom,
J. U., J. P. Abraham, M. Razanahoera. 1985. Some aspects of the natural history
and food selection of Avahi laniger. Primates, 26 (4) : 542-463.
Galdikas,
B. M. F. 1985. Crocodile predation on proboscis monkey in Borneo. Primates 26
(4): 495-496.
Gittins,
S. P. and J. J. Raemakers . 1980. Siamang, lar and agile gibbons, p. 63-106.
In:Malayan Forest Primates (D.J. Chiversed.). Plenum Press, New York.