Pendahuluan
Sejak ditemukannya AIDS pada tahun 1981, pengetahuan
mengenai spektrum manifestasi klinis infeksi HIV telah berkembang dengan pesat.
Telah semakin jelas pula bahwa kejadian klinis sekunder terhadap infeksi HIV
timbul secara kronologis dan dapat diramalkan berdasarkan nilai hitung limfosit
CD4+. Infeksi oportunistik tertentu timbul sesuai dengan derajat defisiensi
imun yang direflikasikan oleh hitung CD4+ yang menurun secara bertahap.
Gambaran klinis AIDS berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini
mungkin disebabkan karena perbedaan geografi, lingkungan mikrobiologi, strain kuman dan kepekaan genetis host. Di Amerika dan Eropa, pneumonia P. carinii merupakan jenis infeksi
terbanyak, sementara di Asia dan Afrika penyakit tuberkulosis dan jamur. Untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap AIDS perlu diketahui mengenai gambaran klinis
penyakit tersebut di Indonesia. Berikut ini laporan mengenai gambaran klinis
dan laboratorium pasien AIDS di Jakarta.
Seorang laki-laki berumur 43 tahun, sebut saja
namanya Tn.D, pendidikan S-3, bekerja sebagai dosen di sebuah Universitas
terkenal di Jakarta. Pada bulan Januari 1995 menderita herpes-zoster yang luas di daerah dada, yang kemudian sembuh
setelah berobat ke dokter. Tiga bulan kemudian sering diare 3-4 kali sehari,
demam naik-turun dengan pola panas yang tidak menentu. Dia berobat ke dokter di
Jakarta sampai beberapa kali, panas kadang-kadang turun sebentar, namun
beberapa hari kemudian timbul lagi hal yang serupa. Di samping itu, dia sering
sariawan akhir-akhir ini disertai sakit menelan, berat badan turun dari 65 kg
menjadi 45 kg. Pada bulan Juli 1995, dikulitnya timbul bercak keunguan.
Laki-laki tersebut, memutuskan untuk berobat ke Singapura. Dokter di Singapura
segera melakukan pemeriksaan serologi HIV, ternyata hasilnya positif.
Kecurigaan dokter tersebut sangat beralasan, karena manifestasi klinis yang
dijumpai amat menyokong untuk infeksi HIV. Ia, mengalami wasting syndrome, yaitu penurunan berat badan lebih dari 10% dari
berat badan sebelumnya, disertai diare selama satu bulan atau lebih, disertai
panas selama satu bulan atau lebih dan malaise.
Sindrom
ini ditemukan pada > 90% pasien AIDS. Sariawan disertai sakit menelan yang
dikeluhkannya ternyata suatu kandidiasis oral dan esofagus, sedangkan bercak
keunguan pada kulit ternyata sarkoma Kaposi. Gejala inipun cukup karakteristik
pada pasien AIDS, artinya bila
didapatkan salah satu dari gejala ini telah merupakan indikasi untuk tes HIV.
Bahan dan Cara
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan
mempelajari catatan medik pasien AIDS yang dikelola oleh kelompok studi khusus
(POKDISUS) AIDS RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, selama periode November 1990
sampai Februari 1996.
Tempat
penelitian adalah enam rumah sakit di Jakarta, yaitu: RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, RS. Metropolitan Medical Center, RS. Kramat-128, RS. Medistra,
RS. Kanker Dharmais dan RS. Infeksi Prof. Sulianti Jakarta.
Hasil Penelitian
1.
Karakteristik
Demografi
Selama kurun waktu November 1990 sampai dengan
Februari 1996, didapatkan 44 catatan medik pasien AIDS, terdiri dari 41 orang
laki-laki (93,2%) dan 3 orang wanita (6,9%), perbandingan laki-laki dengan
wanita 13,6:1. Kelompok umur yang paling banyak ditemukan 30-39 tahun (52,3%),
rata-rata umur 35,8 tahun. Sebagian besar pasien berpendidikan tinggi (86,4%).
Kewargaan Negara terutama Negara Indonesia (WNI) 38 orang (86,4%). Pasien
terdiri dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia, terutama suku bangsa Jawa
(30%), Tionghoa (26,3%) dan Minang (15,8%). Sebagian besar pasien belum menikah
(59,2%), sedangkan yang sudah menikah (22,7%). Rincian karakteristik pasien
dapat dilihat pada tabel 1.
2.
Cara
Penularan
Penularan penyakit terutama melalui hubungan
seksual, yaitu pada 41 orang (93,1%). Penularan melalui transfusi darah/produk
darah 1 orang (2,3%) dan melalui pemakaian narkotik suntikan (IVDU) +
heteroseksual 1 orang (2,3%). Pada 1 orang pasien (2,3%) tidak diketahui cara
penularannya. Dari 41 orang penularan melalui hubungan seksual didapatkan
homoseksual + biseksual 35 orang (85,4%) dan heteroseksual 6 orang (14,6%).
Tabel 2 dan 3 menggambarkan cara penularan.
3.
Manifestasi
Klinis
Semua pasien (100%) mengalami demam yang lama (lebih
dari 1 bulan), batuk-batuk didapatkan pada 40 pasien (90,9%), sariawan + sakit
menelan 37 orang (84,1%). Sebanyak 36 orang (81,8%) didapatkan penurunan berat
badan yang menyolok (> 10% berat badan sebelumnya), wasting syndrome dijumpai dalam jumlah yang sama. Diare ditemukan
pada 33 orang (75%), sesak napas 20 orang (45,4%). Sebanyak 14 orang pasien
didapatkan pembesaran kelenjar getah bening setempat (31,8%). Penurunan
kesadaran ditemukan pada 9 orang pasien (20,4%), 7 orang (15,9%) mengeluh
adanya penurunan visus, dimana 1 orang diantaranya mengalami kebutaan.
Ensefalopati HIV dan neuropati HIV terdapat pada masing-masing 2 orang (4,5%).
Penyakit keganasan yang dijumpai adalah sarkoma Kaposi 5 orang (11,4%) dan
limfoma malignum non-Hodgkin 1 orang (2,3%). Untuk lebih jelas mengenai
manifestasi klinis dapat dilihat pada tabel 4.
4.
Infeksi
Oportunistik
Pola infeksi oportunistik yang ditemukan paling
banyak kandidiasi oral dan esofagus 37 pasien (84,1%). Tuberkulosis merupakan
infeksi oportunistik nomor dua terbanyak, yaitu 19 orang (43,2%), masing-masing
terdiri dari tuberkulosis paru + ekstra
pulmonal 9 pasien (20,4%), tuberkulosis paru 7 pasien (15,9%) dan tuberkulosis paru ekstrapulmonal 3 orang (6,8%). Infeksi cyctomegalovirus terdapat pada 15 pasien
(34,1%), 8 orang diantaranya (18,2%) mengalami CMV retinitis. Pneumonia rekuren
dijumpai pada 14 orang (31,8%), ensefalitis toksoplasma 8 orang (18,6%). Pneumonia P. Carinii terdapat pada 6
orang (13,6%). Infeksi virus herpes simpleks (HSV) ditemukan pada 4 orang
(9,1%), 2 orang (4,5%) mengalami M.A.C. bakteremia. Masing-masing pada 1 orang
pasien (2,3%) dijumpai Crystosporidiosis
dan histoplasmosis. Pola infeksi oportunistik ini tergambar pada tabel 5.
5.
Gambaran
Laboratorium
Pemeriksaan hitung limfosit CD4+
saat pertama kali diagnosis AIDS ditegakkan, kurang dari 200/ul sebanyak 37
pasien (84,1%), antara 200-500/ul 6 orang (13,6%). Tidak dijumpai pasien dengan
hitung CD4+ nya. Hitung limfosit total pada darah tepi didapatkan < 1000/ul
sebanyak 38 orang (86,3%), hanya 5 orang (11,4%) nilai hitung limfosit totalnya
diantara 1000-2000/ul. Tidak dijumpai pasien dengan hitung limfosit total >
2000/ul, 1 orang pasien (2,3%) tidak ada data. Anemia ditemukan pada 37 pasien
(84,1%), leukopenia 23 orang (52,3%), trombositopenia 5 orang (11,4%). Ada 2
orang pasien tidak ada data pemeriksaan ini. Hampir semua pasien, 42 orang
(95,4%) mendapat terapi antiretrovirus terutama AZT, beberapa pasien lain
mendapat kombinasi AZT dengan DDI atau DDC. Lebih dari separuh pasien, 26 orang
(60%) telah meninggal dunia.
Diskusi
Sebagian besar pasien pada penelitian ini adalah
laki-laki (93,2%), kelompok usia produktif (30-39 tahun) sebanyak 52,3%. Data
ini tidak jauh berbeda dengan data di Indonesia secara keseluruhan, dimana
mayoritas pada kelompol usia 20-29 tahun (46,6%) dan kelompok usia 30-39 tahun
(28,5%).
Penularan infeksi HIV umumnya melalui 4 cara, yaitu
hubungan seksual, transfusi darah atau produk darah, jarum suntik pecandu
narkotik (IVDU) dan transmisi perinatal. Dari semua ini yang paling banyak
berperan adalah penularan melalui hubungan seksual (80-90%). Di Negara maju
penularan terutama melalui hubungan homo/biseksual (Kanada, Inggris) hampir
80%, Amerika Serikat 56% menyusul IVDU. Akhir-akhir ini banyak Negara maju
melaporkan kecenderungan peningkatan penularan di kalangan heteroseksual. Di
Negara berkembang seperti Afrika dan Thailand penularan terutama melalui
heteroseksual di samping IVDU. Data di Indonesia sampai bulan April 1996
menunjukkan penularan melalui heteroseksual yang paling banyak (58,8%),
sedangkan homo/biseksual 21%. Sementara laporan dari Bali melalui program out-reach pada bulan Januari 1992-Juli
1995, dari 14 orang pasien HIV positif, 85,7% diantaranya penularan melalui
homoseksual dan biseksual. Pada penelitian ini penularannya melalui hubungan
seksual (93,1%), dimana 85,4% diantaranya homo+biseksual.
Manifestasi klinis yang sangat menyolok adalah demam
yang lama lebih dari 1 bulan (100%). Sebuah study di Bombay melaporkan bahwa wasting syndrome dijumpai pada 88%
pasien, sementara beberapa laporan lain mengatakan ditemukan pada lebih dari
90% pasien. Etiologi penurunan berat badan bersifat multifaktorial, antara lain
karena malabsorbsi, asupan kalori yang rendah, gangguan metabolik dan hormonal.
Diare merupakan gangguan saluran cerna terbanyak, menurut laporan paling
sedikit 50% pasien mengalami gangguan ini. Penyebabnya sebagian besar karena
mikroorganisme patogen seperti cryptosporidia,
isospora, cytomegalovirus, campylobacter, salmonella dan shigella serta M. avium intracellulare (MAC). Di
Jakarta dijumpai 75% pasien mengalami diare yang lebih dari 1 bulan, 2,3%
diantaranya terbukti cryptosporidiosis,
4,5% dijumpai MAC bakteremia, 2,3% hasil biopsi CMV positif pada saluran cerna.
Penyebab yang lain tidak dapat ditentukan secara pasti. Pada keadaan tidak
ditemukan mikroorganisme patogen, infeksi HIV sendiri pada epitel intestinal
juga dapat menimbulkan gejala ini. Keluhan sariawan yang disertai sakit menelan
(odinofagia) umumnya disebabkan karena infeksi jamur kandida. Keluhan sesak
napas yang dialami oleh 45,4% pasien disebabkan oleh pneumonia rekuren 31,8%
dan PCP 13,6%. Limfadenopati pada stadium lanjut infeksi HIV paling sering
diakibatkan tuberkulosis, sebab lain infeksi M.A.C ataupun limfoma. Sedangkan
pada tahap awal, infeksi HIV sendiri menimbulkan persistent generalized lymphadenopathy (PGL). Maniar JK dkk, pada penelitiannya di Bombay menemukan limfadenopati
pada 61,5% pasien. Dari 9 orang (20,4%) pasien yang mengalami penurunan
kesadaran, 8 diantaranya karena ensefalitis toksoplasma dan satu orang lagi
karena meningitis tuberkulosis. Neuropati HIV pada penelitian ini didapatkan
4,5% ditunjang dengan pemeriksaan elektromiografi (EMG). Gejala neurologi
lainnya yang sering ditemukan adalah ensefalopati HIV (AIDS dementia complex), timbul sekitar 16%
pada pasien infeksi HIV. Gejalanya berupaya daya piker melambat, inisiatif
berkurang dan daya ingat memburuk, kadang-kadang disertai distonia, ataksia dan
tetraparesis. Gambaran neuropatologinya > 90% menunjukkan atrofi serebri.
Sebanyak 4,5% pasien penelitian ini yang menderita ensefalopati HIV menunjukkan
gejala menurunnya daya ingat dan proses berfikir yang melambat. Dari
pemeriksaan CT-Scan kepala, semuanya menunjukkan atrofi serebri. Sarkoma Kaposi
merupakan salah satu penyakit keganasan yang sering dijumpai pada infeksi HIV.
Pasien HIV positif laki-laki homoseksual dan biseksual mempunyai risiko 20 kali
lebih besar untuk mendapatkan sarkoma Kaposi dibanding HIV positif hemophilia.
Akhir-akhir ini diduga ada peran sejenis virus herpes yang disebut Kaposi’s sarcoma-associated herpes virus
(KSHV) terhadap timbulnya penyakit ini. Sebanyak 11,4% pasien penelitian ini
dijumpai adanya sarkoma Kaposi, jenis keganasan lain limfoma malignum
non-Hodgkin hanya ditemukan 2,3%.
Ciri utama infeksi HIV adalah imunodefisiensi
kuantitatif dan kualitatif progresif limfosit CD4+, limfosit ini berperan dalam
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis. Berdasarkan hitung CD4+ derajat
defisiensi imun pasien HIV diklasifikasikan menjadi ringan (dini) bila CD4+
lebih dari 500/ul, defisiensi imun sedang bila CD4+ 200-500/ul dan defisiensi
berat bila jumlahnya kurang dari 200/ul. Hitung CD4+ kurang dari 200/ul
merupakan salah satu petanda stadium AIDS menurut kriteria CDC 1993 yang
direvisi. Untuk Negara berkembang dimana fasilitas pemeriksaan CD4+ belum
memadai, WHO menganjurkan hitung limfosit total dari pemeriksaan darah tepi,
dapat digunakan sebagai tolok ukur. Baltt
dkk, pada penelitiannya mendapatkan bahwa hitung limfosit kurang dari
1000/ul berhubungan erat dengan hitung CD4+ kurang dari 200/ul. Hasil ini sesuai
dengan yang ditemukan oleh WHO. Pada penelitian ini 84,1% pasien mempunyai CD4+
kurang dari 200/ul, dalam jumlah yang hampir sama (86,3%) nilai limfosit total
< 1000/ul. Sedangkan leukopenia (L< 4000/ul) didapatkan 52,3%. Anemia
sering pula dijumpai pada pasien AIDS, meliputi 70-90% pasien, pada penelitian
ini dijumpai 84,1%. Banyak faktor yang berperan terhadap timbulnya anemia
seperti infeksi, supresi sel progenitor oleh HIV, anemia defisiensi dan
penyakit keganasan. Trombositopenia yang dilaporkan timbul pada 30% pasien
AIDS. Pada pasien kami dijumpai 11,4%.
Penurunan hitung CD4+ diikuti oleh meningkatnya
risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik dan penyakit keganasan.
Sering pula terjadi reaktivasi infeksi laten seperti tuberkulosis, infeksi CMV
dan toksoplasmosis. Infeksi oportunistik ini timbul sesuai dengan derajat
defisiensi imun yang direfleksikan oleh hitung CD4+. Informasi hitung CD4+
sangat penting untuk membuat keputusan klinik seperti pemberian terapi
antiretrovirus, profilaksis infeksi oportunistik dan penilaian progresivitas
penyakit.
Jenis infeksi oportunistik terbanyak adalah
kandidiasi oral dan esofagus (84,1%). Pasien mengeluh adanya sariawan disertai
sakit menelan (odinofagia). Pada pemeriksaan biakan usapan lidah tumbuh koloni
kandida. Satu orang pasien dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas, disepanjang esofagus dipenuhi oleh kandida. Bila ditemukan pasien dengan
kandidiasis oral dan disertai keluhan odinofagia atau disfagia, diagnosis
kendidiasis esofagus dapat ditegakkan. Biasanya timbul bila CD4+ < 200/ul.
Pada pasien kami penyakit ini timbul pada CD4+ rata-rata 104/ul. Prevalensi
kandidiasis oral dan esofagus pada AIDS bervariasi luas. Di Amerika
prevalensinya rendah ± 14% tetapi di Afrika 35%. Di Negara tetangga Thailand,
kandidiasis oral dan esofagus hanya didapatkan pada 4,2% pasien. Infeksi
oportunistik terbanyak di Negara ini oleh golongan jamur Cryptococcus (25,8%) dan penicillosis
(16,2%). Sedangkan di Amerika dan Eropa infeksi oportunistik terbanyak adalah Pneumonia pneumocystis carinii. Respons
pengobatan dengan pengobatan anti jamur umumnya baik, obat pilihan adalah
flukonazol. Karena angka kekambuhan tinggi dianjurkan pemberian terapi
profilaksis sekunder bila infeksi sudah teratasi.
Jumlah pasien tuberkulosis di beberapa Negara di
dunia meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah pasien AIDS. Di
Amerika, dari tahun 1985-1993 jumlah pasien tuberkulosis meningkat sampai 14%,
padahal di Negara ini sebelumnya insidensi tuberkulosis cenderung menurun. Di
beberapa Negara di Afrika jumlah pasien per tahun meningkat menjadi lebih dari
dua kali lipat dibanding dengan sebelum adanya epidemi AIDS. Di Asia, misalnya
di Thailand, hasil studi di RS. Chiangmai, menunjukkan bahwa prevalensi HIV
positif pada kasus tuberkulosis paru yang baru meningkat dari 1,5% pada tahun
1990 menjadi 45,5% pada tahun 1994. Tuberkulosis pada infeksi HIV umumnya
disebabkan karena reaktivasi infeksi laten akibat menurunnya imunitas selular
pasien. Dibandingkan dengan jenis infeksi oportunistik lain yang biasanya
timbul pada hitung CD4+ < 200/ul, tuberkulosis umumnya muncul lebih awal.
Studi di San Francisco menunjukkan bahwa tuberkulosis timbul pada median hitung
CD4+ 326/ul, di Perancis 281/ul. Akan tetapi di Zaire 70% dari HIV positif yang
menderita tuberkulosis paru mempunyai hitung CD4+ < 200/ul. Pada penelitian
ini jauh lebih rendah 103,4/ul. Rata-rata hitung CD4+ masing-masing pada
tuberkulosis paru 97,43/ul, tuberkulosis paru + tuberkulosis ekstra pulmonal
107,8/ul dan tuberkulosis ekstra pulmonal 103,6/ul, tampak di sini tidak banyak
perbedaannya. Pada penelitian lain didapatkan rata-rata hitung CD4+ pada
tuberkulosis ekstra pulmonal lebih rendah (153/ul) dibanding tuberkulosis paru
(367/ul). Semua pasien dengan tuberkulosis ekstra pulmonal bermanifestasi
sebagai limfadenitis tuberkulosis. Sedangkan pada 9 orang pasien dengan
tuberkulosis paru + tuberkulosis ekstra pulmonal, bermanifestasi ekstra
pulmonal yang dijumpai adalah 1 orang meningitis dan limfadenitis tuberkulosis,
1 orang koroiditis tuberkulosis, 1 orang efusi pericardial dengan kultur
tuberkulosis positif dari cairan perikardialnya + limfadenitis tuberkulosis.
Studi-studi terdahulu melaporkan kebanyakan tuberkulosis pada pasien HIV berupa
ekstra pulmonal dan diseminata, namun pada studi terbaru setelah tahun 1990
menunjukkan gambaran klinis yang tidak jauh berbeda.
Infeksi CMV timbul 30-40% pada penderita AIDS,
biasanya pada hitung CD4+ yang sangat rendah (< 100/ul). Umumnya terjadi
akibat reaktivasi infeksi laten pada masa lampau. Berbagai organ dapat terkena
seperti mata, saluran cerna, otak dan paru-paru. Infeksi CMV pada mata paling
sering dijumpai, rata-rata mencapai 25% pada pasien AIDS, bermanifestasi
sebagai retinitis CMV dengan gejala penurunan visus. Pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan adanya eksudat disertai perdarahan retina, gambaran ini
dikenal sebagai pizza pie appearance.
Apabila tidak segera diobati, dalam waktu cepat pasien akan mengalami kebutaan.
Terapi inplantasi ganciclovir pada mata memberikan hasil yang cukup baik. Pada
penelitian ini, 34,1% pasien dengan infeksi CMV, lebih dari separuhnya (8 dari
15 pasien) mengalami retinitis CMV. Semua pasien retinitis CMV mengeluh adanya
penurunan visus, 1 orang diantaranya buta total. Semua pasien terdeteksi adanya
antibodi IgG terhadap CMV, kecuali pada 1 orang tidak ada data. Rata-rata CD4+
pada pasien ini 72,6/ul.
Didapatkan pula peningkatan insidens pneumonia
bakterial pada pasien infeksi HIV, biasanya disebabkan Streptococcus pneumoniae dan Haemophyllus
influenza. Respons dengan antibiotik pada mulanya baik, namun kemudian
sering terjadi rekuren. Pneumonia rekuren pada penelitian ini cukup banyak,
yaitu 32,5%. Jenis pneumonia lain yang didapatkan pada pasien penelitian ini
adalah Pneumonia pneumocystis carinii
(PCP) sebanyak 14%. Di Negara maju seperti Amerika dan Australia, PCP merupakan
infeksi oportunistik terbanyak. Sebelum era terapi profilaksis PCP dengan
kotrimoksazol, di Amerika 60-85% pasien AIDS mengalami PCP. Di Negara
berkembang seperti Afrika, PCP didapatkan < 10%, lebih sedikit jumlahnya
dibandingkan dengan tuberkulosis pneumonia bakterial. Sebelum ada epidemi AIDS
penyakit ini sangat jarang dijumpai. Trias klasik gejala penyakit ini berupa
batuk kering, panas dan sesak napas. Pada toraks foto tampak gambaran
infiltrate interstisial pada kedua paru, analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia. Lebih dari 90% pasien PCP ternyata mempunyai hitung CD4+ <
200/ul. Pada penelitian ini CD4+ rata-rata pada pasien PCP 116,2/ul. Menurut
laporan National Health Statistic Center,
angka kematian pasien AIDS karena PCP telah menurun dari 32% menjadi 14%
setelah diterapkan terapi profilaksis. Demikian juga insidens PCP sebagai
penyakit indikator AIDS telah pula berkurang dari 63% tahun 1987 menjadi 32% pada
tahun 1993. Di samping sebagai terapi profilaksis, kotrimoksazol juga merupakan
obat pilihan utama pada pengobatan PCP.
Toksoplasmosis pada pasien AIDS merupakan infeksi
oportunistik yang menyerang otak dan menimbulkan ensefalitis toksoplasma, bila
tidak segera diobati akan bersifat fatal. Seperti juga PCP, insidens penyakit
ini meningkat tajam setelah ditemukannya penyakit AIDS. Diperkirakan
ensefalitis toksoplasma ditemukan pada ± 30% pasien AIDS, biasanya timbul bila
CD4+ < 200/ul dan hampir semuanya akibat reaktivasi infeksi laten. Penyakit
ini berperan pula sebagai penyebab utama timbulnya lesi fokal pada otak pasien
AIDS, yaitu sebanyak 50-70% pada pemeriksaan CT-Scan otak tampak gambaran yang khas berupa multiple ring enhancement. Sebanyak 18,6% pasien pada penelitian
ini mengalami ensefalitis toksoplasma rata-rata hitung CD4+ 76,1/ul. Satu orang
pasien tidak ada rata-rata CD4+ nya. Obat pilihan utama pada penyakit ini
kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine. Pada penelitian bila diberikan pada tahap
awal sangat efektif (80-90%), tetapi obat banyak pula menimbulkan efek samping.
Karena angka kekambuhan besar (50-80%), pada pasien yang telah mengalami
resolusi dianjurkan untuk melanjutkan terapi pemeliharaan dengan obat yang
sama.
Infeksi
oportunistik lainnya dijumpai dalam jumlah kecil pada penelitian ini, infeksi Herpes simplex virus (HSV) 9,3%. Pada
semua pasien dideteksi adanya IgM dan IgG HSV. Rata-rata hitung CD4+ nya
47,5/ul. Infeksi HSV biasanya mengenai daerah mukokutan pada orolabial atau onogenital.
Respons terapi dengan acyclovir cukup baik. Mycobacterium
avium complex (MAC) bakteremia sangat jarang ditemukan sebelum epidemi
AIDS. Penyakit ini timbul pada stadium yang sangat lanjut (CD4+ < 100/ul)
dan akan makin meningkat risikonya bila CD4+ < 500/ul, yaitu 10-20%.
Diagnosis ditegakkan melalui isolasi mikobakterium dari darah atau sumsum
tulang. Sebanyak 4,6% pasien penelitian ini mengalami MAC bakteremia dengan
kultur darah positif, rata-rata hitung CD4+ nya sangat rendah (65,5/ul). Cryptosporidiosis adalah infeksi oleh
protozoa yang menimbulkan gejala diare, insidensnya bervariasi pada berbagai
Negara, di Amerika 10-15% namun di Afrika sampai 50%. Satu orang pasien kami
yang mengalami infeksi ini, hitung CD4+ nya 74/ul. Histoplasmosis pada pasien
AIDS biasanya bersifat sistemik, ditemukan terutama di daerah endemik (daerah
sepanjang sungai di Amerika Serikat dan Amerika Latin). Di daerah yang tidak
endemik sangat jarang dijumpai (< 1%). Hanya satu orang (2,3%) pasien
penelitian ini yang mengalami histoplasmosis. Pasien ini berasal dari Amerika,
penyakit ini diderita sewaktu berada di Negara tersebut.
Kesimpulan
Dari 44 orang pasien AIDS yang dikelola oleh
kelompok studi khusus AIDS RSUPN.Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode
November 1990 sampai dengan Februari 1996, sebagian laki-laki usia muda,
penularan terutama melalui hubungan seksual. Manifestasi klinis terutama demam
lama, batuk, sariawan + odinofagia, wasting
syndrome, diare dan sesak napas. Infeksi oportunistik yang menyolok adalah kandidiasis
oral dan esofagus, tuberkulosis, infeksi CMV, pneumonia rekuren dan ensefalitis
toksoplasma. Anemia dan leukopenia didapatkan dalam jumlah yang banyak.
Sebagian besar pasien mempunyai hitung CD4+ < 200/ul dan limfosit total <
1000/ul. Lebih dari separuh pasien telah meninggal dunia.
Tabel
1. Karakteristik Demografi
|
Jumlah
|
%
|
Jenis
Kelamin:
-
Laki-laki
-
Perempuan
|
41
3
|
93,2
6,8
|
Kelompok
Umur:
-
20-29 tahun
-
30-39 tahun
-
40-49 tahun
-
50-59 tahun
|
10
23
10
1
|
22,7
52,3
22,7
2,3
|
Pendidikan:
-
Tinggi (*)
-
Menengah (**)
-
Rendah (***)
-
Tidak diketahui
|
38
3
2
1
|
86,4
6,8
4,5
2,3
|
Kewarganegaraan:
-
WNI
-
WNA
|
38
6
|
86,4
13,6
|
Suku
Bangsa:
-
Jawa
-
Tionghoa
-
Minang
-
Sunda
-
Tapanuli
-
Manado
-
Ambon
-
Arab
-
Bali
-
Irian
|
11
10
6
3
2
2
1
1
1
1
|
30,0
26,3
15,8
7,9
5,3
5,3
2,6
2,6
2,6
2,6
|
Status
Marital:
-
Belum menikah
-
Menikah
-
Duda
-
Janda
-
Tidak diketahui
|
26
10
4
1
3
|
59,2
22,7
9,0
2,3
6,8
|
(***) SD
(**) SMP,
SMA
(*) Mahasiswa
ke atas
Tabel
2. Cara Penularan
Cara Penularan
|
Jumlah
|
%
|
Hubungan
seksual
Transfusi
darah/produk darah
IVDU
+ Heteroseksual
Tidak
diketahui
|
41
1
1
1
|
93,1
2,3
2,3
2,3
|
Tabel
3. Penularan Melalui Hubungan Seksual
|
Jumlah
|
%
|
Homoseksual
+ biseksual
·
Homoseksual
·
Biseksual
Heteroseksual
|
35
22
13
6
|
79,5
50,0
29,5
13,6
|
Tabel 4. Manifestasi Klinis
|
Jumlah
|
%
|
Panas lama
Batuk
Sariawan + sakit
menelan
Wasting
Syndrome
Diare
Sesak napas
Pembesaran kelenjar
getah bening
Penurunan kesadaran
Penurunan visus
Sarkoma Kaposi
Neuropati-HIV
Ensefalopati-HIV
Limfoma malignum
non-Hodgkin
|
44
40
37
36
33
20
14
9
7
5
2
2
1
|
100
90,0
84,4
81,8
75,0
45,4
31,8
20,4
15,9
11,4
4,5
4,5
2,3
|
Tabel 5. Infeksi Oportunistik
|
Jumlah
|
%
|
Kandidiasis
oral/esofagus
Tuberkulosis
Infeksi
sitomegalovirus (CMV)
Pneumonia rekuren
Ensefalitis
toksoplasma
Pneumonia Pneumocystis carinii
Infeksi herpes simpleks
virus (HSV)
M.A.C. bakteremia
Kriptosporidiosis
Histoplasmosis
|
37
19
15
14
8
6
4
2
1
1
|
84,1
43,2
34,1
31,8
18,2
13,6
9,1
4,5
2,3
2,3
|
DAFTAR PUSTAKA
Roenn JHV. Management
of HIV-related Body Weight Loss. Med Progr. 1995;22:32-8.
Maniar
JK, Saple DG. Presenting Clinical Features of HIV Disease-Bombay Abstract, 3rd
International Conference on AIDS in Asia and Pacific. 1995:20.
Steward
GJ. The Challenge: Clinical Diagnosis of HIV. In: Steward GJ (ed). Could it be
HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Co. Ltd. 1994:4-7.
Steward
GJ. The Chronology of HIV-Induced Disease. In: Steward GJ (ed). Could it be
HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Co Ltd. 1994:1-4.
Colebunders
RL, Latif AS. Natural History and Clinical Presentation of HIV Infection
Adults. AIDS 5 (Suppl) 1991: 103-12.
Gold
JWM. HIV-1 Infection. Med Clin North Am 1992; 76:1-15.
Carne
CA. AIDS Parts-1 Opportunistic Infections. AIDS Series. Postgrade Dec Mid East,
1992;9:572-82.
Subdit
P2 Kelamin & Prambusia. Ditjen P2MPLP Kesehatan Republik Indonesia.
Donovan
B, et al (ed). The AIDS Manual, 3rd
ed. MC. L Nan and Pretty Pty Limited. Commonwealth of Australia, 1994:1-11.
Keenlyside
RA, Adler MW. Definitions and Epidemiology of AIDS. Med Intern
1989;22(2):29-33.
Editorial
Heterosexual AIDS. Pessimism, Pandemis and Plain Hard Facts. Lancet,
1993;341:863-4.
Parwati
T. Penemuan Kasus-kasus OHIDA dalam Program Out Reach. Disampaikan pada Seminar
Nasional Perawatan dan Dukungan untuk Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (OHIDA)
di Masyarakat. Jakarta 1995.
Street
AM, Milliken ST. HIV-Related Haematological Disease. In: Stewart GJ (ed). Could
it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Company Limited,
1994:24-26.
Brew
BJ, Currie JN. HIV-Related Neurological Disease. In: Stewart GJ (ed). Could it
be HIV? 2nd ed, Australasian Medical Publishing Company Limited,
1994:21-15.
Petty
RKH. Recent Advances in The Neurology of HIV Infection. Postgrad Med J,
1994;70:393-403.
Chung
Lin J, Ching Lin S, Chun Mar E, Pellet PE, Stamey FR, Stewart JA. Is Kaposi’s
Sarcoma-Associated Herpes-Virus Detectable in Semen of HIV-Infected Homosexual
Men? Lancet 1995;346:1601-2.
Lange
J. Markers of Disease Progression and Criteria for Monitoring Therapeutic
Efficacy. In: Lange J (ed). The Clinical Implications of Recent Advences in the
Understanding of HIV Pathogenesis. Expert Opinion Forum on HIV Management.
Lisbon, July 1995:10-12.
Blatt
SP, Lucey CR, Butzin CA, Hendrix CW, Lucey DR. Total Lymphocyte Count as A
Predictor of Absolut CD4+ Percentage in HIV-Infected Persons. JAMA
1993;269:622-26.
Street
AM, Milliken ST. HIV-Related Haematologycal Disease. In: Stewart GJ (ed). Could
it be HIV 2nd ed, Australasian Medical Publishing Limited 1994:34-6.
Smith
GH. Treatment of Infection in The Patients with AIDS. Arch Intern Med,
1994;121:769-85.
Turner
BJ, Hech FM, Ismail RB. CD4+ Trymphocyte Measures in The Treatment of
Individuals Infected with Human Immunodeficiency Virus Type-1. Arch Intern Med,
1994;154:1561-69.
Laine
Loren, Bonacini M. Oesophageal Disease in Human Immunodeficiency. Arch Intern
Med, 1994;154:1577.
Kohno
S. Overview of Fungal Infections in The Immunocompromised Host. JAMA SEA,
1994:204-7.
Chankrachang
S. Cryptococal Meningitis in AIDS. Chiang Mai Expenence 3rd
International Conference on AIDS in Asia and The Pacific, 1995.
De
Kock KM, Wilkinson D. Tuberculosis in Recourcse-P Countries: Alternative
Approaches in Era of HIV. Lancet 1995;346:657-7.
Has
DW, Des Poez RM. Tuberculosis and AIDS: A Historitical Perspective on
Developments. Am J Med, 1994;96:439-50.
Rosenblum
LS, Castro KG, Dooley S, Morgan M. Effect of HIV Infections and Cost of Care
for Young Adults in The United States, 1985 to 1990. Ann Intern Med,
1994;121:786-92.
Uthaivoravit
W, Panich V, Yanai H, Sawanpanyalar P, Chuchattaworn C, Limpakarnjanarat K.
Management of HIV-Related Tuberculosis in Chiang Mai. Abstract. 3rd
International Conference on AIDS in The Asia and The Pacific. Chiang Mai
1995:67.
Harries
AD. The Association Between HIV and Tuberculosis in The Developing World. In:
Davies PD (ed). Clinical Tuberculosis. 1st ed. Madras. Chapman &
Hall Medical, 1994:241-64.
Elder
NC. Extrapulmonary Tuberculosis. JAMA SEA, May 1993:38-44.
Gazzard
BG. Cytomegalovirus Infection. A One Day Conference. Current Issues in The
Management of HIV Disease. London 1995:7-9.
Drew
WL, Ives D, Lelazari JP, Crumppaker C, Follansbe SE, Spector SA, et al. Oral Gancyclovir as Maintenance
Treatment for Cytomegalovirus Retinitis in Patients with AIDS. N Engl J Med,
1995;333:615-20.
Asyari
F. Retinitis Cytomegalovirus Penyebab Kebutaan pada Penderita AIDS. Disampaikan
pada Penemuan Ilmiah Kelompok Studi Khusus AIDS. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, 1996:1-6.
Pigott
P, Smith A, Mills J. HIV-Induced Respiratory Disease. In: Stewart GJ (ed).
Could it be HIV? 2nd ed. Australasian Medical Publishing Company
Limited. 1994:18-20.
Peiperl
L. Transmission, Prevention, and Primary Care of HIV Infection. In: Peiperl L
(ed). Manual of HIV/AIDS Therapy. 2nd ed. CCS Publishing, USA,
1995:7-22.
Hardy
WD. Pneumocystis Carinii Infection. A One Day Conference. Current Issues in The
Management of HIV Disease. London 1995:13-6.
Mariuz
P, Luft BJ. Toxoplasmosis in AIDS. In: Wormser GP (ed). AIDS and Other
Manifestations of HIV Infection. 2nd ed. New York. Raven Press
1992:383-90.
Kovacs
JA. Toxoplasmosis in AIDS: Keeping The Lid On. Ann Intern Med, 1995;123:230-1.
Podzamczer
D, Miro JM, Bolau F, Gatell J, Cosin J, Sirera G, et al. Twice-Weekly Maintenance Therapy with
Sulphadiazine-Pyrimethamine to Prevent Recurrent Toxoplamic Encephalitis in
Patients with AIDS. Ann Intern Med, 1995;123:175-80.
Smith
GH. Treatment of Infection in The Patient with AIDS. Arch Intern Med.
1994;121:769-11.
Charsson
RE, The Mycobacterium Avium Complex. A One Day Conference. Current Issues The
Management of HIV Disease, London, 1995:11-21.
Changla
AH. Mycobacterium Avium Intracellulare Infections in AIDS Patients. Postgrad
Doct Mid East, 1992;11:56-60.