Pendekatan
holistik dalam menangani berbagai penyakit di bidang kedokteran konsep dasarnya
sudah diterapkan sejak awal perkembangan ilmu kedokteran itu sendiri. Konsep
dasar ini bertumpu pada anggapan bahwa manusia adalah sesuatu kesatuan yang
utuh yang terdiri dari badan dan jiwa, yang satu sama lainnya tidak bisa
dipisahkan. Selain itu manusia adalah makhluk sosial yang setiap saat
berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya dimana dia berada.
Adanya dikotomi antara badan dan
jiwa dalam menangani pasien agaknya lebih merupakan akibat dari perkembanngan
ilmu dari kedokteran yang tidak seimbang antara kemajuan yang dicapai di bidang
fisik seperti patologi-anatomi, biokimiawi, biologi dan sebagainya dibandingkan
dengan kemajuan di bidang non-fisik.
Oleh karena itu nampaknya kita harus
mundur dulu jauh ke belakang mengingat kembali beberapa ratus tahun sebelum
Masehi pada saat Socrates dan Hipocrates melakukan dasar pendekatan
holistik yang menyatakan bahwa selain faktor fisik, faktor psikis sangat
penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seorang pasien.
Ucapan Socrates (400 BC) yang sangat popular adalah: As it is not proper to cure the eyes without the head; nor the head
without the body; so neither it is the proper to cure the body without the
soul. Tidaklah etis seorang dokter mengobati mata tanpa melihat kepala dan
tidak etis bila mengobati kepala tanpa mengindahkan badannya; lebih-lebih
sangatlah tidak etis bila mengobati badannya tanpa mempertimbangkan jiwanya.
Sedangkan Hipocrates menekankan
pentingnya pendekatan holistik dengan mengatakan: In order to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of
the whole of things.
Dalam
perkembangan selanjutnya konsep kedokteran dasar tersebut mengalami
pasang-surut sesuai dengan pengaruh alam fikiran para ahli pada zamannya. Pada
abat pertengahan konsep dan cara berfikir para ahli kedokteran banyak
dipengaruhi oleh alam pikiran fisika dan biologi semata. Pendekatan pada orang
sakit semata-mata adalah pendekatan somatis saja.
Pada
saat itu pengetahuan tentang sel menonjol dan mengalami perkembangan pesat,
karenanya pandangan para ahli hanya ditujukan pada bidang selular semata tanpa
mengindahkan faktor-faktor lain seperti faktor psikis, sehingga pada zaman ini
seolah-olah dokter bertindak sebagai “mekanik” yang memperbaiki bagian-bagian
“kendaraan” yang rusak.
Pada
masa ini kita mengenal sarjana Virchow (1812-1902) seorang ahli patologi
anatomi yang memperkenalkan teori Patologi Selular dengan dogmanya omnis cellula et cellula. Dengan
sendirinya pada masa ini yang menonjol adalah anggapan bahwa manusia sakit
disebabkan oleh karena selnya yang sakit. Manusia hanya dipandang sebagai
kumpulan sel belaka.
Kemajuan
di bidang patologi-anatomi serta patofisiologi berikutnya mendorong para ahli
untuk berfikir menurut organ tubuh dan sistem. Masa inipun agaknya belum
memandang manusia secara utuh. Timbullah beberapa macam cabang ilmu
spesialistis menurut sistem yang ada dalam tubuh seperti kardiovaskular,
paru-paru, urogenital, gastrointestinal dan sebagainya, walaupun memang pada
gilirannya nanti pendekatan secara sistem di atas bermanfaat pada peningkatan
mutu pelayanan.
Pendekatan
menurut organ dan sistem kenyataannya tidak selalu memberikan hasil yang
memuaskan. Banyak diantaranya beberapa pasien yang tidak merasakan adanya
kesembuhan setelah mendatangi beberapa ahli sesuai dengan organ tubuh yang
dideritanya. Keluhan-keluhan fisik tetap saja tidak berkurang. Sejalan dengan
kenyataan ini para ahli kedokteran mulai menengok kembali sisi lain, yaitu
semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan manusia termasuk aspek psikis.
Di
pihak lain dalam perkembangan ilmu kedokteran ini para ahli psikoanalisa
menemukan dan menekankan kembali pentingnya peran faktor-faktor psikis dan
lingkungan dalam kejadian dan perjalanan suatu penyakit. Bahkan kemudian para
ahli yakin bahwa patologi suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau
jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup, dan kehidupan tidak
ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan
faktor-faktor lingkungan yaitu bio-sosio-kultural dan bahkan agama. Inilah
konsep yang memandang manusia/orang sakit secara utuh dan paripurna (holistik).
Faktor-faktor
fisik, psikis dan lingkungan masing-masing mempunyai inter-relasi dan interaksi
yang dinamis dan terus-menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya
dalam keadaan yang seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi maka akan
mempengaruhi pula pada segi yang lainnya dan sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa
setiap penyakit memilliki aspek fisik, psikis dan linkungan bio-sosio-kultural
dan agama. Dengan demikian konsep mono-kausal dari suatu penyakit sudah tidak
dianut lagi.
Pendekatan
holistik yang sedemikian itu kenyataannya semakin dirasa perlu, karena
pendekatan semata-mata hanya dari sudut fisik saja baik secara teknis, mekanis,
biokemis, dan fisiologis ternyata dirasakan semakin tidak banyak menolong
pasien dengan sempurna dan memuaskan, terutama pada pasien-pasien dengan
penyakit yang tergolong gangguan fungsional.
Dengan
perkataan lain, seorang dokter sebagai manusia yang sarat dengan segala
pengetahuan yang dimilikinya secara timbal-balik mengobati pasien/pasien juga
sebagai manusia dengan segala aspeknya yang harus dipertimbangkan. Dan tidaklah
semata hanya memandang pasien sebagai “sosok tubuh” yang tidak berdaya tergolek
di tempat tidur, atau melulu hanya melihat “penyakit”-nya saja.
Kemajuan
yang pesat di bidang ilmu kedokteran termasuk pengetahuan tentang biomolekular,
rekayasa genetik dan kemajuan di bidang teknologi kedokteran (baik untuk
diagnostik maupun terapetik) yang semakin canggih di satu pihak membawa dunia
kedokteran ke dalam era baru yang semakin maju. Tetapi di pihak lain seiring
dengan merebaknya globalisasi, kemajuan-kemajuan yang dicapai tadi seiring pula
menimbulkan malapetaka, misalnya dengan pemanfaatan teknologi kesehatan yang
tidak pada tempatnya atau makin banyak praktek-praktek yang tergolong “mal praktis”
yang dilakukan oleh oknum tenaga kesehatan/dokter yang tidak bertanggung jawab.
Disinilah
dalam kaitannya dengan pendekatan holistik tadi perlunya diperhatikan masalah
“etika”, moral dan agama. Kemampuan menggunakan alat canggih serta kepandaian pemanfaatan
laboratorium yang memadai sebagai modal dasar untuk melakukan terapi, belumlah
cukup untuk menjadi dokter yang baik. Kombinasi antara pengetahuan medik,
intuisi dan pertimbangan-pertimbangan yang matang adalah “seni” dalam bidang
kedokteran yang diperlukan sebagai modal dalam praktek. Memang benar sekali
bahwa medicine is a science and art.
Dalam
kaitannya dengan masalah etika kedokteran, maka yang harus diperhatikan adalah
hak dan kewajiban dokter di satu sisi, dan di sisi lain adalah hak dan kewajiban
pasien. Hak-hak pasien dalam hukum kedokteran bertumpu dan berdasarkan atas dua
hak azasi manusia, yaitu:
1. Hak
atas pemeliharaan kesehatan (The right to
health care).
2. Hak
untuk menentukan nasib sendiri (The right
to self determination).
Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan
pengobatan sesudah ia memperoleh keterangan yang jelas, Informed consent adalah persetujuan pasien atas tindakan setelah
sebelumnya diinformasikan terlebih dahulu secara jelas dan bukan hanya sekedar
memperoleh tandatangan pasien. Inilah hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagaimanakah pendekatan holistik yang menjunjung
tinggi etik ini di masa yang akan datang dengan kemajuan ilmu kedokteran yang
semakin pesat dan juga semakin merebaknya arus globalisasi? Jawabannya tentu
merupakan tantangan besar yang harus dihadapi secara arif dan bijaksana oleh
para praktisi di bidang medik.
Sebagai ilustrasi terdapat beberapa pertanyaan yang
belum terjawab yang merupakan tantangan di masa yang akan datang:
ü Apa
yang akan dilakukan terhadap kelebihan frozen
embryo yang belakangan dilaporkan tersimpan di laboratorium?
ü Bagaimana
menyikapi keabadian benda-benda biologis seperti sperma, yang saat ini sudah
bisa dilakukan?
ü Bagaimana
segi-segi hukum yang mengatur tentang inseminasi buatan, serta bagaimana akibat
yang mungkin terjadi di masa datang?
ü Bagaimana
pendekatan kepada sejumlah pasien hepatitis B karier yang masih harus melakukan
aktivitas kerjanya dan bagaimana anggapan lingkungan sekelilingnya?
ü Bagaimana
perlakuan terhadap pasien dengan HIV positif?
ü Dsb,
dsb.
Nampaknya pada masa
yang akan datang masih diperlukan produk hukum dan perundang-undangan dengan
tetap bersumber dan mengindahkan segi-segi dan sendi agama.
Perkembangan di bidang
biologi molekular telah membawa dunia kedokteran maju dangan pesat, baik dalam
segi diagnostik maupun terapi. Belakangan misalnya telah dikembangkan “terapi
gen”. Pada bulan September 1990 yang lalu Michael
Bleese dkk, telah memulai terapi gen terhadap pasien Ashanti 4 tahun, yang
menderita Several Combined
Immunodeficiency (SCID) dan berhasil membuat pasien lebih kebal dari
serangan infeksi hingga pasien berumur 9 tahun saat dilaporkan oleh Scientific American. Beberapa penyakit
lain yang mungkin dapat diperbaiki oleh terapi gen ini misalnya Leukimia,
Limfoma Maglinum, Kistik Fibrosis, Reumatoid Artritis, AIDS dan sebagainya. Ini
merupakan harapan baru, namun yang harus tetap diingat adalah bahwa yang
dihadapi dalam hal ini bukanlah sel, tetapi manusia sebagai kumpulan sel yang
segi-segi lainnya tetap harus dipertimbangkan.
Manfaat
Pendekatan Holistik
Sudah tidak dapat
disangkal lagi bahwa pendekatan secara holistik dalam penanganan berbagai kasus
harus senantiasa dilakukan. Pendekatan holistik yang dimaksud sekali lagi
ditekankan ialah, pendekatan yang memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi
segi kehidupan pasien. Tidak hanya memandang segi fisik-biologis saja, tetapi
juga mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang
mempengaruhi pasien serta menjunjung tinggi norma-norma, etika dan agama.
Dengan berdasarkan
pengertian seperti di atas, maka pendekatan holistik akan memberikan banyak
manfaat, antara lain:
1. Mendekatkan
hubungan antara dokter dengan pasien. Dengan demikian persoalan penyakit/pasien
menjadi transparan. Hal ini berarti menjunjung tinggi hak dan kewajiban pasien.
Akibat yang menguntungkan adalah mempermudah rencana tindakan/penanganan
selanjutnya. Hubungan yang baik antara dokter dengan pasien akan mengurangi
ketidakpuasan pasien. Selanjutnya tentu akan mengurangi tuntutan-tuntutan hukum
pada seorang dokter.
2. Pendekatan
holistik yang menjunjung tinggi norma, etika dan agama membuahkan pelayanan
yang lebih manusiawi serta menempatkan hak pasien pada porsi yang lebih baik.
3. Dari
segi pembiayaan akan tercapai cost-effectiveness,
hemat dan mencapai sasaran. Dalam kaitan ini, maka konsultasi yang tidak
dianggap perlu akan berkurang. Pemakaian alat canggih yang berlebihan dan tidak
perlu juga akan berkurang. Untuk kelainan yang bersifat fungsional misalnya,
dengan pendekatan holistik tidak lagi harus menjalani pemeriksaan penunjang
yang berlebih-lebihan. Pemakaian obat-obat yang bersifat “multi farmasi” yang
biasanya didapatkan pasien dari beberapa subbagian yang terkait dengan
penyakit-penyakitnya akan bisa dikurangi sesedikit mungkin.
4. Dalam
bidang pendidikan jelas pendekatan holistik harus sudah ditekankan sejak awal
sebagai bekal, baik selama menempuh pendidikan maupun pada saat sang dokter
terjun ke masyarakat. Dengan bekal pendekatan holistik bagi dokter yang sedang
menempuh pendidikan, maka jelas fikirannya tidak menjadi terkotak-kotak,
misalnya hanya berfikir menurut cabang ilmu di subbagian yang sedang diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson
WP. Gene Therapy: Scientific American 1995. Sept: 96-9.
Gina
Maranto. Embryo Overpopulation. Scientific American 1996; April: 12-6.
Horton
R. What to Do With Spare Embryos. Lancet 1996;347:1-2.
Isselbacher
KJ, Braunwald E. The Practice of Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill
Inc. 1995:1-6.
Jonsen
AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical Ethics. 2th ed. New York.
Macmillan Publishing Co. Inc, 1996.
Kaplan
HI. History of Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed). Comprehensive
Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore. William &
Wilkins. 1989:1155-60.
Lo
B. Ethical Issues in Clinical Medicine. In: Isselbacher KJ (ed). Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 13th ed. New York. Mc Graw-Hill Inc.
1995:6-8.
Oken
D. Current Theoritical Concepts in Psychosomatic Medicine. In: Kaplan HI (ed).
Comprehensive Textbook of Psychiatry/V vol.2 5th ed. Baltimore.
Williams & Wilkins. 1989:1160-9.
Samil
RS. Hak Serta Kewajiban Dokter dan Pasien. Dalam: Tjokronegoro (ed). Etika
Kedokteran Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1994: 42-9.