Pendahuluan
Ketika
pada tahun limapuluhan kortison diperkenalkan sebagai obat anti inflamasi dan
imunosupresi, terjadi perubahan pada penatalaksanaan beberapa penyakit.
Keberhasilan kortison adalah pada kemampuannya untuk mengurangi gejala,
mengurangi morbiditas, dan pada beberapa kesempatan malah merupakan penyambung
nyawa. Walaupun tidak lama kemudian tampak bahwa obat ini tidak tanpa
kelemahan, yaitu efek sampingnya yang cukup memprihatinkan. Beberapa efek
samping dapat dikurangi dengan cara menemukan kortison yang dapat diserap
melaui usus dan mempunyai aktifitas mineralokortikoid yang rendah. Sampai
sekarang masih sukar untuk memisahkan efek anti inflamasi dari efek
glukokortikoid. Oleh karena itu supresi sekresi ACTH, diabetes dan merupakan
dampak yang kurang menguntungkan dari pemakaian kortikosteroid dalam
pengobatan.
Kekerapan Terjadinya Osteoporosis
Akibat Kortikosteroid
Telah lama diketahui bahwa pemberian kortikosteroid
suprafisiologik jangka panjang akan menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan
terjadinya fraktur kompresi pada vertebra. Setelah kecanggihan teknologi
kedokteran mampu melakukan evaluasi kuantitas massa tulang dengan lebih tepat,
maka akibat steroid pada terjadinya osteoporosis tulang lebih mudah dipelajari.
Didapat cukup bukti bahwa steroid tidak mempunyai efek yang sama pada semua
bagian skelet, akan terjadi kekurangan massa tulang yang lebih besar pada
tulang aksial yang lebih banyak mengandung bagian tulang trabekular (iga,
vertebra dan Krista iliaka) dan sedikit berefek pada tulang panjang yang
mengandung tulang kortikal yang metabolismenya agak kurang aktif. Walaupun
penelitian longitudinal tidak begitu banyak dilakukan tetapi cukup terbukti
bahwa kehilangan massa tulang pada tulang trabekular lebih banyak terjadi
daripada pada tulang kortikal.
Pada
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, pengukuran densitas
massa tulang pada lengan bawah menunjukkan penurunan 1.7% pada tulang kortikal
(bagian tengah), dan 2.9% pada tulang metafiseal (50% terdiri dari tulang
trabekular) dalam jangka waktu 3 bulan pertama setelah pengobatan.
Patogenesis
Sel tulang mempunyai reseptor sitoplasma bagi
kortikosteroid dan efek langsung pada tulang telah digambarkan pada beberapa
penelitian. Dengan konsentrasi suprafisilogik dalam kultur sel tulang ia akan
menghambat sintesis protein dan kolagen, pertumbuhan sel dan sintesis RNA. Pada
percobaan binatang, kortikosteroid akan menghambat sintesis kolagen dan
proliferasi sel, dan pada pemeriksaan histologik akan tampak pengurangan jumlah
sel osteoblas dan fibroblast.
Baik pada penelitian binatang maupun manusia, telah
dapat dikonfirmasi secara in vitro
akan adanya gangguan formasi tulang pasca pemberian kortikosteroid, yang juga
mempengaruhi kecepatan kalsifikasi dan periode formasi tulang trabekular.
Bukti secara tidak langsung akan adanya supresi
formasi tulang oleh kortikosteroid didapat dari penelitian produksi
osteokalsin. Osteokalsin yang merupakan matriks protein yang disintesis oleh
osteoblas mempunyai korelasi dengan kecepatan pembentukan tulang. Kotikosteroid
juga menghambat absorpsi kalsium di usus baik pada penelitian binatang maupun
manusia. Hal ini terjadi karena efek kortikosteroid langsung pada mukosa usus,
sedang perubahan yang terjadi pada metabolisme usus tampaknya tidak
berpengaruh.
Oleh karena itu dapatlah diasumsikan bahwa
peningkatan resorpsi tulang merupakan akibat dari penurunan absorpsi kalsium
dan peningkatan aktivitas paratiroid, terutama bila absorpsi kalsium sehari di
usus tidaklah mencukupi untuk mengimbangi kehilangan melalui ginjal. Juga masih
mungkin bahwa kortikosteroid meningkatkan sensitifitas tulang terhadap hormon paratiroid,
yang mengakibatkan bukan hanya yang lebih tinggi dan penurunan absorpsi kalsium
di usus.
Kehilangan
massa tulang terjadi pada pemakaian kortikosteroid pada semua macam penyakit,
terutama bila dipakai dengan dosis tinggi dan untuk jangka waktu yang lama.
Gambaran Klinis
Pemakaian
kortikosteroid eksogen banyak dipakai dalam bidang kedokteran klinik, dank
arena pemakaian terbanyak adalah dalam bidang rematologi dan pulmonologi, maka
bidang inilah lebih banyak diteliti orang untuk menilai hubungan kortikosteroid
dan osteoporosis. Menifestasi kliniknya adalah fraktur dan ini biasanya
menyerang tulang trabekular. Pertama kali keadaan ini dilaporkan pada pasien
dengan fraktur vertebra pada penyakit rematik dan baru lama kemudian disadari
bahwa fraktur iga pada pasien asma juga terjadi. Diduga keadaan ini terjadi
karena batuk yang lama, walaupun hal ini juga terjadi pada pasien dengan
penyakit rematik. Fraktur seringkali terjadi pada daerah femur, pelvis dan
humerus.
Hubungan Lama Pengobatan Steroid
dan Kehilangan Massa Tulang
Kelainan
ini terjadi pada pemakaian steroid pada semua penyakit bila dipakai dosis
tinggi untuk jangka waktu yang lama. Kehilangan massa tulang terjadi segera
atau tidak seberapa lama setelah pemakaian steroid tersebut. Telah dilaporkan
terjadinya fraktur 1 bulan setelah pemakaian steroid. Kehilangan massa tulang
yang tercepat terjadi pada bulan-bulan pertama pemberian steroid dan setelah
itu hanya terjadi secara perlahan-lahan sesuai dengan bertambahnya umur. Dapat
dikatakan bahwa pada mulanya banyak terjadi resorpsi tulang sedang efek supresi
pembentukan tulang terjadi kemudian.
Dosis Kortikosteroid yang
Merangsang Osteoporosis
Malabsorpsi
kalsium akan terjadi pada pemberian steroid yang agak tinggi seperti 15-20
mg/hari sedang bila dosis sekitar 8-10 mg, maka efek ini tidak seberapa.
Walaupun ada penelitian dengan dosis rendah steroid (< 10 mg/hari) yang
mendapatkan penurunan massa tulang pada kondisi penyakit tertentu.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya osteoporosis pada pemakaian
kortikosteroid, sebaiknya tidak memakai obat golongan ini jika tidak diperlukan
sekali, pakailah dosis sekecil mungkin dan hentikanlah secepat mungkin.
Untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping dapat dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Merubah
cara pemberian steroid:
-
Pemberian ACTH
-
Metilprednisolon secara intra vena
-
Kortikosteroid secara inhalasi
-
Pemberian secara selang-seling (alternating)
2. Diberikan
bersama obat lain seperti:
-
Kalsium
-
Natrium Frourida
-
Vitamin D dan metabolitnya
-
Bifosfonat
3. Steroid
alternatif:
-
Deflazacort
Pengobatan
Bila
pemberian kortikosteroid dapat dihentikan maka inilah yang perlu dilakukan
terlebih dahulu. Hal ini sudah dapat terbukti pada pengurangan kortikosteroid
endogen pada sindrom cushing, dimana
kemudian akan menyebabkan penambahan densitas mineral tulang, penurunan kadar
hidroksiprolin dalam urin, peningkatan kadar osteokalsin dalam serum dan
penurunan kadar PTH serta 1,25(OH)2D3. Obat yang dapat mengurangi resorpsi
tulang:
-
Vitamin D dan metabolit:
Kalsitonin
Bifosfonat
-
Obat yang dapat meningkatkan pembentukan
tulang:
Natrium flourida:
merupakan stimulator fungsi osteoblas, bila diberikan bersama vitamin D dosis
rendah dan kalsium.
Anabolik steroid: merupakan
stimulator proliferasi osteoblast dan dapat meningkatkan kadar osteokalsin.
DAFTAR PUSTAKA
Reid
D. Corticosteroid Osteoporosis, in Osteoporosis, Pathogenesis and Management
Editor: R.M.Francis, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Boston, London.
1990: 103-44.
Adami
S, Rossini M. Anabolic Steroids in Corticosteroid Induced Osteoporosis. In:
Anabolic-Androgenic Steroid, Towards The Year 2000, Editor: Hans Kopera,
Blackwell-MZV, Wien, 1993: 207-19.
Riggs,
B.L. Pathogenesis of Involutional Osteoporosis, Procedings, First Asian
Symposium on Osteoporosis, Editor: Charles Chesnut, Hong Kong. Excerpta Medica,
1988: 32-7.
Tohme,
J.F, Cosman F, Lindsay R. Osteoporosis, Principles and Practice of
Endocrinology and Metabolisme, 2nd Edition, Editor: K.L.Becker,
Philadelphia. J.B.Lippincott Company, 1995, 567-85.