Pendahuluan
Osteodistrofi ginjal merupakan komplikasi yang
terjadi pada stadium dini pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Gejala
klinik osteodistrofi ginjal beragam dan sangat mengganggu pasien seperti nyeri
tulang, periarthritis, nyeri sendi, fraktur dan deformitas tulang, kista
tulang, osteopenia, miopati, pruritus, kalsifikasi ekstraskeletal, rupture
tendon dan gagal tumbuh pada anak. Pada pasien yang sudah mengalami gagal
ginjal tahap akhir umumnya sudah terdapat kelainan histologik jaringan tulang.
Hampir semua pasien yang sudah menjalani dialisis mengidap osteodistrofi
ginjal, yang secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme kalsium,
fosfor, hormon paratiroid, dan vitamin D.
Meskipun
terdapat kenyataan bahwa osteodistrofi ginjal menimbulkan masalah pada hampir
semua pasien dialisis, masalah ini sering tidak dikelola secara baik. Hal ini
disebabkan oleh terdapatnya masalah mendesak lain pada pasien dialisis yang
memerlukan prioritas penanganan, yang mengakibatkan terlupakannya penanganan
masalah osteodistrofi ginjal yang berkembang secara perlahan-lahan. Walaupun
demikian, penanganan masalah osteodistrofi ginjal seharusnya dilakukan secara
dini untuk mencegah masalah pada tulang, nyeri tulang dan komplikasi lain yang
dapat terjadi kemudian. Penanganan jangka panjang osteodistrofi ginjal pada
pasien gagal ginjal sebenarnya merupakan tantangan bagi ahli penyakit ginjal.
Epidemiologi
Dengan makin meningkatnya jumlah populasi yang
berusia lanjut, insidens gagal ginjal kronik dengan berbagai komplikasinya akan
makin meningkat. Pada tahun 1988, di Amerika Serikat hampir 40% pasien baru
gagal ginjal tahap akhir berusia di atas 64 tahun. Sebagian besar dari 170.000
pasien gagal ginjal tahap akhir di Amerika Serikat mengalami
hiperparatiroidisme sekunder. Biopsi tulang pada pasien tersebut sudah
menunjukkan kelainan patologi tulang.
Pada
biopsi tulang Malluche dkk,
mendapatkan selain gangguan pembentukan tulang juga terdapat resorpsi tulang,
bahkan pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus masih sekitar 80 ml/menit.
Osteoid yang bertambah secara bermakna dengan menurunnya fungsi ginjal
menunjukkan terdapatnya proses yang progresif.
Patofisiologi
Patofisiologi osteodistrofi ginjal sebenarnya
berkaitan dengan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, seperti terlihat pada
gambar 1.
Kerusakan
ginjal progresif
Laju filtrasi
glomerulus menurun Massa
sel korteks ginjal menurun
Retensi fosfat ginjal
Hiperfosfatemia
Kalsium Plasma menurun 1,25-dihidroksi
vitamin D menurun
Hiperparatiroidisme
Sekunder
Osteodistrofi ginjal
Gambar 1. Patofisiologi
Osteodistrofi Ginjal
Akibat penurunan fungsi ginjal akan terjadi reternsi
fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat. Kadar kalsium serum menurun
karena terdapat keseimbangan antara kadar kalsium dan fosfat dalam serum, dan
presipitasi kalsium fosfat.
Kadar
kalsitriol menurun karena peningkatan kadar fosfat serum (menekan sintesis
kalsitriol ginjal) dan pengurangan massa ginjal. Penurunan kalsitriol serum
akan memperberat hipokalsemia karena absorpsi kalsium oleh usus distimulasi
oleh kalsitriol. Kadar kalsium dan kalsitriol yang rendah akan menstimulasi produksi
hormon paratiroid dan proliferasi sel kelenjar paratiroid. Pada individu normal
peninggian kadar hormon paratiroid akan memobilisasi kalsium tulang untuk
memelihara kadar normal kalsium serum. Mekanisme ini terjadi juga pada pasien
gagal ginjal, tetapi keadaan uremia menyebabkan tulang menjadi kurang sensitif
terhadap hormon paratiroid. Resistensi tulang terhadap hormon paratiroid pada
keadaan uremia ini akan memperberat hiperparatiroidisme.
Klasifikasi
Klasifikasi
osteodistrofi ginjal dilakukan berdasarkan pengukuran parameter statis dan
dinamis, seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel
1. Lesi Tulang pada Osteodistrofi Ginjal
A.
Lesi high turnover
1. Hiperparatiroidisme
ringan
2. Hiperparatiroidisme
berat
B.
Lesi low turnover
1. Adinamik
a. Disebabkan
oleh aluminium
b. Disebabkan
oleh hipoparatiroidisme
2. Osteomalasia
C.
Osteodistrofi uremik campuran
D.
Osteoartropati dialisis
|
A. Lesi
Tulang High Turnover
Osteitis
fibrosa sistika didapatkan pada pasien dengan hiperparatiroidisme sekunder yang
berat. Peninggian hormon paratiroid meningkatkan jumlah osteoklas dan osteoblas
serta aktivitas remodeling jaringan
tulang yang mengakibatkan deposisi jaringan fibrosa di dalam ruang sumsum
tulang (fibrosis peritrabekular) dan resorpsi. Massa tulang berkurang karena
kecepatan resorpsi melebihi kecepatan pembentukan tulang.
Pada hiperparatiroidisme ringan
turnover tulang meningkat tetapi fibrosis peritrabekular masih minimal.
B. Lesi
Tulang Low Turnover
1. Lesi
Tulang Adinamik
Selain disebabkan oleh
akumulasi aluminium dalam tulang juga dapat disebabkan oleh hipoparatiroidisme
yang ditandai dengan aktivitas remodeling
jaringan tulang yang menurun, defek mineralisasi, dan penurunan jumlah
osteoklas dan osteoblas.
2. Osteomalasia
Defek mineralisasi tulang mengakibatkan peningkatan
relatif jumlah osteoid (matriks tulang tanpa mineral) yang disertai peningkatan
jumlah osteoblas. Sejak dipergunakan sistem water
treatment untuk hemodialisis yang efektif dan ditinggalkannya pemakaian
obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, osteomalasia tidak banyak lagi
dijumpai pada pasien hemodialisis. Osteomalasia ini masih didapatkan pada
pasien uremia dengan gangguan sintesis kalsitriol ginjal atau defisiensi
vitamin D yang berat dan berlangsung lama.
C. Osteodistrofi
Uremik Campuran
Pada sebagian pasien gagal ginjal
kronik dapat dijumpai lesi campuran yaitu terdapat gambaran osteitis fibrosa
dan osteomalasia. Pada biopsi tulang lesi campuran ini dijumpai pada kurang
dari 20% pasien hemodialisis dan kurang dari 25% pasien dialisis peritoneal
mandiri berkesinambungan. Lesi campuran ini kemungkinan disebabkan oleh
hiperfungsi kelenjar paratiroid dan defisiensi vitamin D.
D. Osteoartropati
Dialisis
Amiloidosis yang
dijumpai pada pasien dialisis, yang terdiri dari serat amiloid
β2-mikroglobulin, merupakan komplikasi lain yang belum lama ini dilaporkan
terjadi pada jaringan sendi dan tulang. Meskipun serat amiloid β2-mikroglobulin
mungkin sudah terdapat pada fase pradialisis gagal ginjal terminal, faktor yang
terkait dengan prosedur dialisis seperti membran dialisis, lama dialisis, dan
umur pada saat mulai dialisis berpengaruh terhadap patogenesis dan progresi
lesi tulang ini.
Diagnosis
Diagnosis
umumnya berdasarkan hasil pengkajian data klinik, biokimia darah, radiologi,
skintigrafi, tomodensitometri, dan/atau MRI. Tes desferoksamin dilakukan pada
pasien yang dicurigai mengalami intoksikasi aluminium. Pada sebagian besar
pasien diagnosis pasti jenis osteopati ditegakkan dengan pemeriksaan patologi
jaringan biopsi tulang.
Penatalaksanaan Sebelum Menjalani
Dialisis
Penatalaksanaan osteodistrofi ginjal yang optimal
adalah dengan melakukan pencegahan, yang sebaiknya dilaksanakan jauh sebelum
dimulai dialisis, yaitu dengan cara menghambat terjadinya hiperparatiroidisme.
Penghambatan hiperparatiroidisme dilakukan dengan
cara mengatasi penyebab peningkatan hormon paratiroid seperti hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan kadar kalsitriol darah yang rendah. Bila sudah mulai terjadi
azotemia restriksi fosfat sangat penting karena dapat meningkatkan produksi kalsitriol
oleh jaringan ginjal dan memperlambat progresi gagal ginjal dengan cara
menurunkan hasil kali kalsium dan fosfat darah. Bila dengan diet rendah fosfat
masih terjadi hiperfosfatemia, perlu diberikan obat pengikat fosfat. Kalsium
asetat dan kalsium karbonat adalah obat yang sering dipakai, meskipun garam
aluminium masih dapat diberikan karena aluminium akan dikeluarkan oleh ginjal.
Bila dengan cara pengobatan tersebut diatas masih
terdapat hipokalsemia dapat ditambahkan kalsitriol. Pertama kali diberikan
dosis minimal dan bila perlu dosis dapat dinaikkan secara perlahan, yaitu tidak
lebih dari setiap dua bulan. Kalsitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium dan
fosfat sehingga memerlukan pengawasan kadar kalsium dan fosfat secara ketat,
dan bila terjadi kenaikan dilakukan penyesuaian dosis kalsitriol. Deposisi
kalsium dalam jaringan ginjal dapat terjadi bila hasil kali kadar kalsium dan
fosfat dalam darah berlebihan, dan keadaan ini akan mempercepat progresi gagal
ginjal. Dengan obat pengikat fosfat dan kalsitriol tersebut di atas kadar
fosfat dipertahankan normal (3,5-5,5 mg/dl) dan demikian juga halnya dengan
kadar kalsium total (9,0-10,5 mg/dl).
Kedua obat ini diperlukan untuk menurunkan kadar parathormon
sehingga untuk menilai keberhasilan pengobatan diperlukan pemeriksaan kadar
parathormon. Oleh karena pada uremia terjadi resistensi terhadap parathormon,
kadar parathormon intact dua sampai tiga kali batas atas nilai normal sudah
cukup untuk memberikan hasil pengobatan yang baik terhadap tulang.
Penatalaksanaan Sesudah Menjalani
Dialisis
Penatalaksanaan osteodistrofi ginjal sesudah
menjalani dialisis pada dasarnya tidak berbeda dengan pada waktu sebelum
dialisis, hanya pada pasien dialisis perhatian terhadap nilai hasil kali kadar
kalsium dan fosfat dalam darah tidak seketat seperti sebelum dialisis.
Pengendalian kadar fosfat dalam darah tetap merupakan dasar pengobatan.
Sebagian kecil pasien dialisis dapat mengatasi hiperfosfatemia dengan cara
hanya diet rendah fosfat. Sebagian besar pasien memerlukan obat pengikat fosfat
yaitu kalsium asetat atau karbonat untuk bisa mempertahankan kadar fosfat dalam
darah kurang dari 6,0 mg/dl.
Sebagian besar pasien juga membutuhkan kalsitriol
untuk dapat menghambat hiperparatiroidisme. Terdapat tiga regimen yang berbeda
untuk terapi kalsitriol. Terapi kalsitriol konvensional adalah dengan
memberikan kalsitriol setiap hari untuk mempertahankan kadar kalsium darah
antara 10,0 dan 11,5 mg/dl. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa dengan cara pulse dosing, secara intravena atau oral (tiga kali 1-3 mcg
setiap minggu), dapat lebih mudah menghambat hiperparatiroidisme dan dapat
mengurangi risiko terjadinya hiperkalsemia. Tujuan pemberian kalsitriol adalah
untuk menekan kadar parathormon intact
sampai dengan sekitar 2,5 kali batas atas nilai normal.
Pengobatan
spesifik terhadap amiloidosis β2-mikroglobulin belum diketahui. Pencegahan
dapat dilakukan dengan mempergunakan membran dialisis yang biocompatible dan highly
permeable.
Kesimpulan
Pasien gagal ginjal kronik dapat mengalami kelainan
tulang berupa osteitis fibrosa, osteomalasia, lesi campuran, atau lesi tulang
adinamik. Belum lama ini dilaporkan osteoartropati dialisis yang disebabkan
oleh amiloidosis β2-mikroglobulin, yaitu kelainan tulang pada pasien yang sudah
lama menjalani dialisis.
Pengendalian hiperfosfatemia sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik untuk mengatasi hiperparatiroidisme
sekunder. Langkah pertama adalah dengan pembatasan fosfat dalam makanan dan
bila perlu ditambahkan garam kalsium pengikat fosfat. Pemberian kalsitriol
dapat menghambat terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Coburn
JW, Slatopolsky E. Vitamin D, Parathyroid Hormone, and The Renal
Osteodystrophies. Dalam: Brenner BM, Rector FC eds. The Kidney. 4th
ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991: 2036-120.
Malluche
HH, Faugere MC. Effects of 1,25(OH)2D3 Administration on Bone in Patients with
Renal Failure. Kidney Int 1990; 29 (Suppl): S48-S53.
Malluche
HH, Ritz E, Lange HP, et al. Bone Histology in Incipient and Advanced Renal
Failure. Kidney Int 1976; 9: 355-62.
Susalit
E. Pengendalian Fosfat pada Gagal Ginjal Kronik. Dalam Makalah Kongres Nasional
Pernefri. Medan, 1995.
Delmez
JA, Slatopolsky E. Secondary Hiperparathyroidism is Best Treated By “Pulse”
Calcitriol. Semin Dial 1993; 6: 208-14.
Sherrard
DJ, Hercz G, Maloney NA, et al. The Spectrum of Bone Disease in End-Stage Renal
Failure-an Evolving Disorder. Kidney Int 1993; 43: 436-42.
Drueke
TB. Beta-2-Microglobulin Amyloidosis and Renal Bone Disease. Miner Electrolyte
Metab 1991; 17: 261-72.
Malluche
HH, Faugere MC. Renal Bone Disease 1990: an Unmet Challenge for The
Nephrologist. Kidney Int 1990; 38: 193-211.
Ibels
LS, Alfrey AC, Haut L, Huffer WE. Preservation of Function in Experimental
Renal Disease by Dietary Restriction of Phosphate. N Engl J Med 1978; 298:
122-6.
Quarles
RD, Lobaugh B, Murphy G. Intact Parathyroid Hormone Overestimates The Presence
and Severity of Parathyroid-Mediated Osseous Abnormalities in Uremia. J Clin
Endo Metab 1992; 75: 145- 50.