Friday, May 3, 2013

MASALAH INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN USIA LANJUT DAN PENATALAKSANAANNYA


Pendahuluan
Inkontinensia urin dapat didefinisikan sebagai secara tidak terkendali atau tidak disadari mengeluarkan air kemih dalam jumlah tertentu atau cukup sering, sehingga mengakibatkan masalah psikososial dan atau masalah kesehatan. Inkontinensia urin mengenai sekitar 15-30% usia lanjut (usila) yang tinggal di rumah, yang kemudian mengakibatkan sepertiga dari mereka dirawat di ruang rawat kronik. Pada usia lanjut yang tinggal di masyarakat Amerika Serikat, prevalensi inkontinensia urin dilaporkan berkisar antara 10-50%. Diokno dkk menemukan bahwa 18,9% dari pria dan 37,7% dari wanita berusia 60 tahun ke atas yang tinggal di Michigan mengalami inkontinensia urin. Di antara pasien usia lanjut di Kanada yang sudah terganggu status fungsionalnya dan mendapat perawatan di rumah, Mohide dkk menemukan 22% diantaranya mengalami inkontinensia urin. Frekuensi pada pria dan wanita adalah sama, dan inkontinensia dijumpai pada 25% pasien berusia 85 tahun atau lebih. Di ruang rawat Bagian Penyakit Dalam RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) pada tahun 1995 dijumpai 23,8% pasien usia lanjut yang mengalami inkontinensia urin.
Secara klinik, inkontinensia urin dapat menyebabkan kemerahan (rash) perineum, ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, bahkan urosepsis, jatuh, maupun fraktur. Secara psikososial, inkontinensia urin dikaitkan dengan rasa malu, stigmatisasi, isolasi, depresi, dan dengan risiko perawatan (institusionalisasi). Secara ekonomi, di Amerika Serikat, pada tahun 1987 lebih dari 10 milyar dollar Amerika dihabiskan untuk menangani inkontinensia, suatu jumlah yang pada waktu itu lebih banyak dibandingkan jumlah uang yang dihabiskan untuk dialisis dan bedah pintas koroner.
Walaupun pasien usia lanjut sering mengabaikan inkontinensia urin ini dan menganggapnya sebagai bagian normal dari proses penuaan, inkontinensia urin adalah sesuatu yang abnormal pada semua usia, dan dapat diobati dan sering dapat disembuhkan, bahkan pada usia yang sangat lanjut sekalipun. Namum demikian, keberhasilan penatalaksanaan memerlukan pengertian akan pengaruh penuaan normal dan faktor di luar saluran kemih pada sistem urogenital.

Pengaruh Umur pada ‘Kontinensi’
Pada semua usia, kontinensi tergantung mobilitas yang adekuat, status mental, motivasi, dan fungsi saluran kemih bagian bawah yang intak. Walaupun inkontinensia urin pada pasien usia muda jarang berkaitan dengan defisit di luar saluran kemih, defisit seperti ini biasa dijumpai pada pasien usila. Defisit ini sangat penting dideteksi karena dapat menyebabkan inkontinensia dan intervensi mungkin tidak akan efektif sampai masalah di luar saluran kemih tersebut diselesaikan.
Saluran kemih bagian bawah mengalami perubahan karena usia, walaupun tanpa ada penyakit apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan kemampuan untuk menahan berkemih menurun pada usila pria dan wanita, sedangkan kekuatan dan lama menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia pada wanita. Prostat membesar pada kebanyakan pria yang sering menyebabkan obstruksi. Pada pria dan wanita, prevalensi kontraksi kandung kemih meningkat sedangkan volume residu setelah berkemih meningkat sampai 50-100 ml. Sebagai tambahan, usila sering mengeksresikan sebagian besar asupan cairan pada malam hari, walaupun tidak memiliki penyakit ginjal, edema perifer dan prostatismus. Perubahan-perubahan ini meningkatkan gangguan tidur, menyebabkan berkemih 1-2 kali di malam hari pada kebanyakan usila sehat.

Penyebab Inkontinensia Urin

1.      Inkontinensia Sementara
Inkontinensia yang sementara (transient) dijumpai pada sepertiga usila di masyarakat, dan sampai dengan 50% pasien usila yang dirawat. Inkontinensia ini dapat berkembang pada semua usila dan sebagian akan berisiko. Obat-obat antikolinergik mungkin menyebabkan inkontinensia urin overflow (luber) pada usila dengan kandung kemih yang lemah dan tersumbat (mengalami obstruksi). Sedangkan produksi urin yang berlebihan sangat mungkin menyebabkan inkontinensia urge (urgensi) pada usila dengan overaktivitas detrusor atau mobilitas yang terganggu. Penyebab inkontinensia urin yang sementara ini dapat menetap selama tidak diterapi dan tidak boleh diabaikan.
Berbagai penyebab inkontinensia urin yang sementara ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini, yang mudah diingat dengan akronim DIAP(P)ERS (=popok).

Tabel 1. Penyebab Inkontinensia yang Sementara
Delirium
Infeksi
Atrophic urethritis atau vaginitis
Pharmaceuticals, (obat-obatan, lihat tabel 2)
Psychological
Excessive urine output
Restricted mobility
Stool impaction

Tabel 2. Obat-obat yang Sering Menimbulkan Inkontinensia
Golongan Obat
Efek Obat
Diuretik
Antikolinergik
Psikofarmaka
Antidepresan
Antipsikotik
Sedatif/hipnotik
Analgesik, narkotik
Penghambat alfa adrenergic
Agonis alfa adrenergik
Agonis beta adrenergik
Ca blocker
Alkohol
Poliuri, frekuensi, urgensi
Retensi urin, inkontinensia overflow, impaction

Sesuai dengan antikolinergik, sedasi
Antikolinergik, sedasi, kaku, imobilitas
Sedasi, delirium, imobilitas, relaksasi otot
Retensi urin, impaction, sedasi, delirium
Relaksasi uretra
Retensi urin
Retensi urin
Retensi urin
Poliuri, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium, imobilitas

2.      Inkontinensia yang Menetap
Inkontinensia ini dapat digolongkan pada beberapa tipe yaitu: inkontinensia fungsional, inkontinensia stress, inkontinensia urge dan inkontinensia overflow.

2.1.       Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional adalah kebocoran urin berkaitan dengan ketidakmampuan pasien untuk mencapai toilet pada waktunya karena gangguan fisik atau kognitif. Hal ini disebabkan antara lain oleh demensia berat, kelainan neurologik, maupun oleh faktor psikologis seperti; depresi, regresi, marah dan hostility.
Istilah inkontinensia fungsional sebetulnya menunjukkan bahwa fungsi saluran kemih normal padahal banyak penelitian saat ini menunjukkan bahwa pada tipe ini fungsi saluran kemih yang normal sulit dijumpai, bahkan pada usia lanjut yang kontinen sekalipun.
Karena usia lanjut yang terganggu status fungsionalnya lebih mungkin mengalami faktor-faktor yang menyebabkan inkontinensia urin sementara, penyebab inkontinensia urin yang reversibel mungkin terabaikan/terlupakan sehingga tidak ditangani dengan baik. Bahkan pada usila yang betul-betul terganggu status fungsionalnya mungkin menderita inkontinensia urin obstruksi atau stress yang sebenarnya dapat diobati. Jadi lebih baik menganggap gangguan fungsional sebagai kontributor pada inkontinensia daripada sebagai penyebab.

2.2.       Inkontinensia Urge
Pada keadaan ini pasien tak dapat menahan berkemih, umumnya volume urin yang dikeluarkan sedang sampai banyak. Istilah lain adalah overaktivitas detrusor (kontraksi kandung kemih involunter). Merupakan penyebab yang paling banyak dijumpai pada usila.
Ditandai dengan kontraksi kandung kemih involunter dan dikaitkan dengan aktivitas otot polos spontan yang meningkat dan perubahan spesifik pada tingkat selular. Ketidak stabilan sistem sensorik dan motorik detrusor dapat disebabkan oleh kelainan lokal seperti sistitis, tumor, batu, atau obstruksi outflow kandung kemih, ataupun oleh karena kelainan saraf sentral seperti pada strok, demensia, atau parkinsonisme.
Gejala klinis dari overaktivitas detrusor adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru (urgensi). Kebocoran urin terjadi secara episodik tetapi sering, volume kebocoran biasanya sedang sampai banyak, nokturia dan inkontinensi urin biasa terjadi. Sensasi dan refleks sakral tetap terpelihara, dan bila tidak ada gangguan kontraktilitas kandung kemih, volume residu pasca berkemih umumnya sedikit.

2.3.       Inkontinensia Stress
Merupakan penyebab inkontinensia urin tersering kedua pada usila wanita. Kondisi ini terjadi pada pria hanya bila mekanisme sfingter dirusak oleh reseksi prostat yang luas. Gejala klinisnya antara lain kebocoran urin segera setelah meningkatnya tekanan intra abdomen (stress maneuvers), misalnya oleh karena batuk, tertawa atau latihan/aktivitas, dan disebabkan oleh kelemahan otot-otot dasar panggul, bagian luar kandung kemih, atau sfingter uretra.
Pada pria, inkontinensia menyerupai leaky tap, tetesan urin terus-menerus yang dieksaserbasi oleh posisi berdiri atau ketegangan. Pada overaktivitas detrusor dengan inkontinensia stress, kebocoran pada umumnya memburuk pada siang hari. Inkontinensia stress yang terjadi bersamaan dengan inkontinensia urgensi akibat overaktivitas detrusor disebut inkontinensia campuran (mixed incontinence).

2.4.       Inkontinensia Overflow
Pada keadaan ini pengeluaran urin terjadi akibat overflow (luber), biasanya sedikit-sedikit. Tipe ini merupakan penyebab kedua yang paling banyak dijumpai pada usia lanjut pria, akibat kandung kemih yang terlalu meregang disebabkan oleh sumbatan (obstruksi) akibat pembesaran prostat, striktur uretra, dll. Pada diabetes mellitus atau cedera medulla spinalis dapat terjadi overflow oleh karena kandung kemih tidak berkontraksi, atau neurogenic bladder. Pada wanita umumnya hanya dijumpai pada wanita yang telah menjalani bladder neck suspension atau yang telah menderita prolaps berat dengan kinking uretra.
Aktivitas yang berkurang dari detrusor, yang biasanya idiopatik, ditandai dengan perubahan degeneratif pada sel-sel otot dan akson secara luas. Kondisi ini muncul sebagai inkontinensia overflow dengan gejala sering berkemih, nokturia, dan kebocoran urin dalam jumlah yang sedikit namun sering. Volume sisa pasca berkemih biasanya sangat banyak (biasanya lebih dari 450 ml).

Evaluasi Inkontinensia Urin Pasien Usia Lanjut
Tujuan evaluasi adalah:
1.      Mengidentifikasi apakah inkontinensia urin terjadi sementara atau menetap.
2.      Mengkaji lingkungan pasien.
3.      Mengetahui dukungan yang tersedia untuk pasien.
4.      Mendeteksi kondisi-kondisi yang jarang terjadi tetapi serius yang mungkin mendasari terjadinya inkontinensia urin ini seperti lesi pada otak dan medulla spinalis, karsinoma kandung kemih atau prostat, batu kandung kemih, hidronefrosis, menurunnya ketahanan kandung kemih, dan disinergia detrusor.
Secara sistematis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan kemudian dengan pemeriksaan penunjang dicari faktor-faktor di atas. Dalam anamnesis juga dievaluasi mengenai pola asupan cairan pasien, obat-obatan yang diminum (diuretik, psikotropik, antikolinergik), penyakit-penyakit tertentu (diabetes mellitus, strok, demensia, dsb) dan gejala yang berkaitan dengan saluran urin (disuria, gangguan berkemih).
Semua waktu berkemih dan jumlah urin, serta kejadian inkontinensia urin perlu dicatat selama 2-7 hari. Catatan ini dapat memberikan kunci diagnostik yang berharga. Sebagai contoh, inkontinensia yang terjadi hanya antara jam 8.00 sampai siang hari mungkin disebabkan oleh diuretik yang diminum pagi hari.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan abdomen, rectum, dan genital untuk mencari adanya pembesaran kandung kemih atau prostat atau gangguan saraf sacrum. Pada pasien usila yang sudah renta/rapuh perlu diperhatikan status mobilitas dan status mentalnya karena berkaitan dengan terjadinya inkontinensia urin. Terabanya kandung kemih pada pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan adanya inkontinensia overflow akibat dari obstruksi kandung kemiah atau tidak berkontraksinya kandung kemih. Sistokel yang besar menunjukkan adanya inkontinensia stress, hipestesia perianal menunjukkan inkontinensia overflow akibat denervasi sakral. Adanya parkinsonisme atau riwayat strok mengarahkan kemungkinan suatu inkontinensia urgensi akibat ketidakstabilan kandung kemih.
Pendekatan berikut mungkin relatif tidak invasif, akurat, hemat biaya dan ditoleransi dengan baik. Tahap pertama adalah mengidentifikasi adanya inkontinensia urin tipe overflow (sisa air kemih lebih atau sama dengan 450 ml), bila sesuai secara klinis, pasien dapat dirujuk ke ahli urologi dan dapat dikateterisasi. Untuk 90-95% pasien sisanya tergantung jenis kelamin pasien. Karena obstruksi jarang terjadi pada pasien wanita, diagnosis banding umumnya antara inkontinensia stress atau overaktivitas detrusor. Kebocoran akibat stress atau tekanan harus dicari selama pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien, bila pasien usila wanita tersebut merasakan bahwa kandung kemihnya penuh, diminta untuk beristirahat dan batuk dengan kuat segera sehingga kebocoran dapat segera diamati. Tidak hanya kebocoran yang teratur pada saat dilakukan stress maneuvers merupakan bukti yang kuat bahwa bukan suatu inkontinensia stress.
Pada pria, inkontinensia urin tipe stress jarang dijumpai. Masalah yang biasanya dijumpai adalah membedakan overaktivitas detrusor dengan obstruksi. Tahapan berikutnya adalah mencari kemungkinan adanya hidronefrosis pada pria dengan sisa urin melebihi 200 ml, dan merujuknya atau mengosongkan kandung kemih (dekompresi). Bila hidronefrosis tidak dijumpai namun terdapat obstruksi, pasien tetap dirujuk untuk menjalani kemungkinan tindakan pembedahan. Untuk yang lain, pada pasien-pasien dengan gejala inkontinensia urgensi diduga karena overaktivitas detrusor dapat diberi pengobatan. Obat-obat untuk merelaksasi kandung kemih seyogyanya dihindari pada pasien dengan sisa urin 150 ml atau lebih. Pendekatan yang sama juga disarankan pada pasien dengan gangguan kognitif yang dapat diamati secara dekat. Pasien usila pria tanpa inkontinensia urgensi yang gagal dengan terapi empiris, dan yang terganggu fungsi kognitifnya harus dirujuk.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus bersifat individual, tergantung pada pasiennya, karena faktor-faktor di luar saluran kemih sering kali mempengaruhi kelayakan dan efektivitas pengobatan.
Berbagai pilihan terapi tersedia untuk penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti cara pengobatan behavioral (perilaku), lingkungan, obat-obatan dan pembedahan. Karena patofisiologi inkontinensia urin kompleks, pasien sering mendapatkan manfaat dengan kombinasi dari cara pengobatan tersebut. Di samping itu, inkontinensia tipe urgensi, stress dan fungsional sering terjadi bersamaan pada pasien yang sama.

1.      Inkontinensia Urgensi
Intervensi perilaku merupakan dasar terapi pada inkontinensia tipe ini. Latihan kandung kemih akan memperpanjang interval berkemih. Bagi pasien dengan status kognitif baik, teknik penanganan sendiri seperti latihan kebiasaan (habit training), latihan kandung kemih (bladder training) dan latihan otot dasar panggul adalah hal yang praktis dan sesuai. Sebagai contoh, pasien yang mengalami inkontinensia urin tiap 3 jam diminta untuk berkemih tiap 2 jam sekali dan menahan keinginan berkemih diantara waktu itu. Latihan tersebut terus dilakukan dengan memperpanjang interval berkemih secara bertahap sampai dapat dicapai hasil yang memuaskan. Bagi pasien dengan gangguan mobilitas, habit training dan penjadwalan ke toilet (scheduled toileting) adalah paling bermanfaat. Pasien ditanya apakah ingin berkemih tiap 2 jam. Bila pasien menyatakan iya, pasien diantarkan ke toilet. Sebagian dari mereka akan tetap kering (tidak mengompol) dengan upaya tersebut di atas, namun diperlukan keterlibatan pemberi pelayanan (tenaga medik atau non medik) yang konsisten dan berkesinambungan.
Dukungan lingkungan juga membantu terapi perilaku. Memperbaiki kamar mandi, cahaya penerangan yang cukup, tinggi tempat duduk toilet, dan pegangan bagi pasien merupakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan.
Sarana lain seperti pembalut (pads, diapers, absorbent pants atau disposable pants) merupakan benda-benda yang bermanfaat, khususnya pada pasien yang imobil yang mengalami kesulitan mengatur jadwal ke toiletnya. Kateter kondom dapat menolong tetapi sering menyebabkan lecet dan mengurangi motivasi untuk tetap kering dan mungkin tidak layak untuk penis yang kecil. Kateter uretra yang menetap tidak direkomendasikan karena biasanya mengeksaserbasi overaktivitas detrusor. Jika tetap harus digunakan (misalnya untuk member kesempatan ulkus dekubitus menyembuh) kateter yang kecil dengan balon yang kecil pula dapat dipilih untuk menghindari kontraksi detrusor yang menyebabkan kebocoran di sekitar kateter.
Jika overaktivitas detrusor menetap, obat dapat membantu terapi behavioral, seperti oksibutinin, tetapi tidak dapat menggantikannya karena pada umumnya obat tidak dapat menghilangkan sama sekali overaktivitas dan kerja yang saling melengkapi seperti oksibutinin dan imipramin, akan meningkatkan manfaat dan mengurangi efek samping. Obat-obat dengan efek samping antikolinergik yang lebih poten seperti supositoria beladona, seyogyanya dihindari pada usila.

2.      Inkontinensia Overflow
Terapi yang sesuai tergantung pada penyebabnya, apakah obstruksi atau kandung kemih yang tidak berkontraksi. Inkontinensia urin akibat obstruksi prostat yang membesar diatasi dengan pembedahan (TUR/prostatektomi). Pasien yang mempunyai kondisi fisik yang baik umumnya berespon baik terhadap pembedahan. Setelah operasi harus tetap diikuti untuk melihat apakah dalam jangka panjang terdapat masalah inkontinensia lagi atau tidak.
Banyak usia lanjut yang mendapat gangguan kandung kemih setelah masa strok dapat membaik dengan gabungan usaha pelatihan, obat dan rehabilitasi. Keberhasilan usaha ini amat tergantung kepada tim yang beranggotakan para profesi (dokter, perawat), keluarga pasien dan pasien, sehingga pasien mengerti maksud perawatan ini, dan menimbulkan motivasi yang kuat. Bila keadaan tidak memungkinkan dengan pembedahan, dekompresi kandung kemih urin dengan kateter dapat dilakukan.
Pada inkontinensia urin akibat tidak berkontraksinya kandung kemih, kadang-kadang berespons dengan terapi medikamentosa atau dekompresi setelah retensi urin yang akut, namun seperti pada neurogenic bladder, biasanya memerlukan kateterisasi intermitten setiap 4-6 jam.
Pada obstruksi uretra tanpa retensi urin, modifikasi kebiasaan berkemih dan ekskresi cairan mungkin sudah cukup. Jika tidak, antagonis adrenergik alfa dapat menolong pada pria yang ingin menunda pembedahan. Manfaatnya dapat diobservasi dalam beberapa minggu.

3.      Inkontinensia Stress
Inkontinensia tipe ini dapat diperbaiki dengan menyesuaikan/mengatur ekskresi cairan dan interval berkemih untuk memelihara volume kandung kemih di bawah ambang. Latihan otot dasar panggul 30-200 kali sehari dapat mengurangi inkontinensia terutama pada wanita usia lanjut dengan status kognitif dan motivasi yang baik. Latihan ini dilakukan dengan cara menegangkan atau mengkontraksikan otot dasar panggul selama sekitar 5 detik, dan diulangi sekitar 4-5 kali setiap jamnya. Berbagai cara untuk memahami latihan otot dasar panggul ini, antara lain dengan instruksi agar pasien berusaha menutup/mengeraskan otot-otot anus dan otot vagina, atau secara mendadak menghentikan aliran kemihnya, atau pada pemeriksaan colok dubur diinstruksikan pasien berusaha menjepit jari pemeriksa.

Masalah Khusus
Banyak usia lanjut dianggap apatis terhadap keadaan inkontinensianya. Oleh karena itu dalam penilaian harus dicari betul apakah ini depresi atau tidak, sehingga perlu pemberian obat-obat anti depresan. Apatis juga dapat merupakan usaha pasien untuk mengatasi keadaan inkontinensianya.
Secara ideal mengingat cukup banyak kasus dengan inkontinensia, maka perlu ada 1 tim inkontinensia, yang terdiri dari professional; dokter, perawat, rehabilitasi, psikiater, yang bersama keluarga pasien dan pasien sendiri untuk mengatasi hal ini. Dengan program yang terencana, pendidikan dan latihan, serta dukungan ahli urologi/bedah maka sebagian besar kasus dapat ditangani. Di Negara yang telah maju banyak organisasi yang mengkhususkan pada masalah inkontinensia, yang sangat membantu pasien. Walaupun inkontinensia termasuk dalam pelayanan kesehatan, dengan adanya organisasi-organisasi seperti ini, pasien lebih mendapatkan perhatian.



DAFTAR PUSTAKA

Resnick NM. Urinary Incontinence. Lancet 1995; 346: 94-9.
Palmer RM. Ambulatory Management of Urinary Incontinence in The Elderly. Geriatrics 1990; 45: 61-6.
Siti Setiati. Perubahan Status Fungsional dan Kognitif pada Pasien Usia Lanjut yang Dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS. Persahabatan. Makalah Akhir PPDS Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM. Februari 1996.
Ouslander JG. Incontinence. In: Hazzard WR, et al (eds). Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. International Edition. New York, McGraw-Hill. 1994: 1229-50.
Van Der Cammen, Rai GS, Exton-Smith AN. Urinary Incontinence. In: Manual of Geriatric Medicine. Singapore. Churchill Livingstone, 1991: 254-63.
Mc Guire EJ. Identifying and Managing Stress Incontinence in The Elderly. Geriatrics. 1990; 45: 44-52.
Moody M. Incontinence. Patient Problems and Nursing Care, Heinemann Nursing, Oxford, 1990.