Pendahuluan
Inkontinensia urin dapat didefinisikan sebagai
secara tidak terkendali atau tidak disadari mengeluarkan air kemih dalam jumlah
tertentu atau cukup sering, sehingga mengakibatkan masalah psikososial dan atau
masalah kesehatan. Inkontinensia urin mengenai sekitar 15-30% usia lanjut
(usila) yang tinggal di rumah, yang kemudian mengakibatkan sepertiga dari
mereka dirawat di ruang rawat kronik. Pada usia lanjut yang tinggal di
masyarakat Amerika Serikat, prevalensi inkontinensia urin dilaporkan berkisar
antara 10-50%. Diokno dkk menemukan
bahwa 18,9% dari pria dan 37,7% dari wanita berusia 60 tahun ke atas yang
tinggal di Michigan mengalami inkontinensia urin. Di antara pasien usia lanjut
di Kanada yang sudah terganggu status fungsionalnya dan mendapat perawatan di
rumah, Mohide dkk menemukan 22%
diantaranya mengalami inkontinensia urin. Frekuensi pada pria dan wanita adalah
sama, dan inkontinensia dijumpai pada 25% pasien berusia 85 tahun atau lebih.
Di ruang rawat Bagian Penyakit Dalam RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM)
pada tahun 1995 dijumpai 23,8% pasien usia lanjut yang mengalami inkontinensia
urin.
Secara klinik, inkontinensia urin dapat menyebabkan
kemerahan (rash) perineum, ulkus
dekubitus, infeksi saluran kemih, bahkan urosepsis, jatuh, maupun fraktur.
Secara psikososial, inkontinensia urin dikaitkan dengan rasa malu,
stigmatisasi, isolasi, depresi, dan dengan risiko perawatan
(institusionalisasi). Secara ekonomi, di Amerika Serikat, pada tahun 1987 lebih
dari 10 milyar dollar Amerika dihabiskan untuk menangani inkontinensia, suatu
jumlah yang pada waktu itu lebih banyak dibandingkan jumlah uang yang
dihabiskan untuk dialisis dan bedah pintas koroner.
Walaupun
pasien usia lanjut sering mengabaikan inkontinensia urin ini dan menganggapnya
sebagai bagian normal dari proses penuaan, inkontinensia urin adalah sesuatu
yang abnormal pada semua usia, dan dapat diobati dan sering dapat disembuhkan,
bahkan pada usia yang sangat lanjut sekalipun. Namum demikian, keberhasilan
penatalaksanaan memerlukan pengertian akan pengaruh penuaan normal dan faktor
di luar saluran kemih pada sistem urogenital.
Pengaruh Umur pada ‘Kontinensi’
Pada semua usia, kontinensi tergantung mobilitas
yang adekuat, status mental, motivasi, dan fungsi saluran kemih bagian bawah
yang intak. Walaupun inkontinensia urin pada pasien usia muda jarang berkaitan
dengan defisit di luar saluran kemih, defisit seperti ini biasa dijumpai pada
pasien usila. Defisit ini sangat penting dideteksi karena dapat menyebabkan
inkontinensia dan intervensi mungkin tidak akan efektif sampai masalah di luar
saluran kemih tersebut diselesaikan.
Saluran
kemih bagian bawah mengalami perubahan karena usia, walaupun tanpa ada penyakit
apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan kemampuan untuk menahan
berkemih menurun pada usila pria dan wanita, sedangkan kekuatan dan lama
menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia pada wanita. Prostat
membesar pada kebanyakan pria yang sering menyebabkan obstruksi. Pada pria dan
wanita, prevalensi kontraksi kandung kemih meningkat sedangkan volume residu
setelah berkemih meningkat sampai 50-100 ml. Sebagai tambahan, usila sering
mengeksresikan sebagian besar asupan cairan pada malam hari, walaupun tidak
memiliki penyakit ginjal, edema perifer dan prostatismus. Perubahan-perubahan
ini meningkatkan gangguan tidur, menyebabkan berkemih 1-2 kali di malam hari
pada kebanyakan usila sehat.
Penyebab Inkontinensia Urin
1. Inkontinensia
Sementara
Inkontinensia
yang sementara (transient) dijumpai
pada sepertiga usila di masyarakat, dan sampai dengan 50% pasien usila yang
dirawat. Inkontinensia ini dapat berkembang pada semua usila dan sebagian akan
berisiko. Obat-obat antikolinergik mungkin menyebabkan inkontinensia urin overflow (luber) pada usila dengan
kandung kemih yang lemah dan tersumbat (mengalami obstruksi). Sedangkan
produksi urin yang berlebihan sangat mungkin menyebabkan inkontinensia urge (urgensi) pada usila dengan
overaktivitas detrusor atau mobilitas
yang terganggu. Penyebab inkontinensia urin yang sementara ini dapat menetap
selama tidak diterapi dan tidak boleh diabaikan.
Berbagai
penyebab inkontinensia urin yang sementara ini dapat dilihat pada tabel 1 di
bawah ini, yang mudah diingat dengan akronim DIAP(P)ERS (=popok).
Tabel
1. Penyebab Inkontinensia yang Sementara
Delirium
Infeksi
Atrophic urethritis
atau vaginitis
Pharmaceuticals,
(obat-obatan, lihat tabel 2)
Psychological
Excessive urine output
Restricted mobility
Stool impaction
|
Tabel
2. Obat-obat yang Sering Menimbulkan
Inkontinensia
Golongan Obat
|
Efek Obat
|
Diuretik
Antikolinergik
Psikofarmaka
Antidepresan
Antipsikotik
Sedatif/hipnotik
Analgesik,
narkotik
Penghambat
alfa adrenergic
Agonis
alfa adrenergik
Agonis
beta adrenergik
Ca
blocker
Alkohol
|
Poliuri,
frekuensi, urgensi
Retensi
urin, inkontinensia overflow, impaction
Sesuai
dengan antikolinergik, sedasi
Antikolinergik,
sedasi, kaku, imobilitas
Sedasi,
delirium, imobilitas, relaksasi otot
Retensi
urin, impaction, sedasi, delirium
Relaksasi
uretra
Retensi
urin
Retensi
urin
Retensi
urin
Poliuri, frekuensi,
urgensi, sedasi, delirium, imobilitas
|
2. Inkontinensia
yang Menetap
Inkontinensia
ini dapat digolongkan pada beberapa tipe yaitu: inkontinensia fungsional,
inkontinensia stress, inkontinensia urge dan inkontinensia overflow.
2.1. Inkontinensia
Fungsional
Inkontinensia
fungsional adalah kebocoran urin berkaitan dengan ketidakmampuan pasien untuk
mencapai toilet pada waktunya karena gangguan fisik atau kognitif. Hal ini
disebabkan antara lain oleh demensia berat, kelainan neurologik, maupun oleh
faktor psikologis seperti; depresi, regresi, marah dan hostility.
Istilah
inkontinensia fungsional sebetulnya menunjukkan bahwa fungsi saluran kemih
normal padahal banyak penelitian saat ini menunjukkan bahwa pada tipe ini
fungsi saluran kemih yang normal sulit dijumpai, bahkan pada usia lanjut yang
kontinen sekalipun.
Karena
usia lanjut yang terganggu status fungsionalnya lebih mungkin mengalami
faktor-faktor yang menyebabkan inkontinensia urin sementara, penyebab
inkontinensia urin yang reversibel mungkin terabaikan/terlupakan sehingga tidak
ditangani dengan baik. Bahkan pada usila yang betul-betul terganggu status
fungsionalnya mungkin menderita inkontinensia urin obstruksi atau stress yang
sebenarnya dapat diobati. Jadi lebih baik menganggap gangguan fungsional
sebagai kontributor pada inkontinensia daripada sebagai penyebab.
2.2. Inkontinensia
Urge
Pada
keadaan ini pasien tak dapat menahan berkemih, umumnya volume urin yang
dikeluarkan sedang sampai banyak. Istilah lain adalah overaktivitas detrusor (kontraksi kandung kemih involunter). Merupakan penyebab yang
paling banyak dijumpai pada usila.
Ditandai
dengan kontraksi kandung kemih involunter
dan dikaitkan dengan aktivitas otot polos spontan yang meningkat dan perubahan
spesifik pada tingkat selular. Ketidak stabilan sistem sensorik dan motorik detrusor dapat disebabkan oleh kelainan
lokal seperti sistitis, tumor, batu, atau obstruksi outflow kandung kemih, ataupun oleh karena kelainan saraf sentral
seperti pada strok, demensia, atau parkinsonisme.
Gejala
klinis dari overaktivitas detrusor
adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru (urgensi). Kebocoran
urin terjadi secara episodik tetapi sering, volume kebocoran biasanya sedang
sampai banyak, nokturia dan inkontinensi urin biasa terjadi. Sensasi dan
refleks sakral tetap terpelihara, dan bila tidak ada gangguan kontraktilitas
kandung kemih, volume residu pasca berkemih umumnya sedikit.
2.3. Inkontinensia
Stress
Merupakan
penyebab inkontinensia urin tersering kedua pada usila wanita. Kondisi ini
terjadi pada pria hanya bila mekanisme sfingter dirusak oleh reseksi prostat
yang luas. Gejala klinisnya antara lain kebocoran urin segera setelah
meningkatnya tekanan intra abdomen (stress
maneuvers), misalnya oleh karena batuk, tertawa atau latihan/aktivitas, dan
disebabkan oleh kelemahan otot-otot dasar panggul, bagian luar kandung kemih,
atau sfingter uretra.
Pada
pria, inkontinensia menyerupai leaky tap,
tetesan urin terus-menerus yang dieksaserbasi oleh posisi berdiri atau
ketegangan. Pada overaktivitas detrusor
dengan inkontinensia stress, kebocoran pada umumnya memburuk pada siang hari.
Inkontinensia stress yang terjadi bersamaan dengan inkontinensia urgensi akibat
overaktivitas detrusor disebut
inkontinensia campuran (mixed
incontinence).
2.4. Inkontinensia
Overflow
Pada
keadaan ini pengeluaran urin terjadi akibat overflow
(luber), biasanya sedikit-sedikit. Tipe ini merupakan penyebab kedua yang
paling banyak dijumpai pada usia lanjut pria, akibat kandung kemih yang terlalu
meregang disebabkan oleh sumbatan (obstruksi) akibat pembesaran prostat,
striktur uretra, dll. Pada diabetes mellitus atau cedera medulla spinalis dapat
terjadi overflow oleh karena kandung
kemih tidak berkontraksi, atau neurogenic
bladder. Pada wanita umumnya hanya dijumpai pada wanita yang telah
menjalani bladder neck suspension
atau yang telah menderita prolaps berat dengan kinking uretra.
Aktivitas
yang berkurang dari detrusor, yang
biasanya idiopatik, ditandai dengan perubahan degeneratif pada sel-sel otot dan
akson secara luas. Kondisi ini muncul sebagai inkontinensia overflow dengan gejala sering berkemih,
nokturia, dan kebocoran urin dalam jumlah yang sedikit namun sering. Volume
sisa pasca berkemih biasanya sangat banyak (biasanya lebih dari 450 ml).
Evaluasi Inkontinensia Urin Pasien
Usia Lanjut
Tujuan evaluasi
adalah:
1. Mengidentifikasi
apakah inkontinensia urin terjadi sementara atau menetap.
2. Mengkaji
lingkungan pasien.
3. Mengetahui
dukungan yang tersedia untuk pasien.
4. Mendeteksi
kondisi-kondisi yang jarang terjadi tetapi serius yang mungkin mendasari
terjadinya inkontinensia urin ini seperti lesi pada otak dan medulla spinalis,
karsinoma kandung kemih atau prostat, batu kandung kemih, hidronefrosis,
menurunnya ketahanan kandung kemih, dan disinergia detrusor.
Secara sistematis dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik dan kemudian dengan pemeriksaan penunjang dicari faktor-faktor di atas.
Dalam anamnesis juga dievaluasi mengenai pola asupan cairan pasien, obat-obatan
yang diminum (diuretik, psikotropik, antikolinergik), penyakit-penyakit
tertentu (diabetes mellitus, strok, demensia, dsb) dan gejala yang berkaitan
dengan saluran urin (disuria, gangguan berkemih).
Semua waktu berkemih dan jumlah urin, serta kejadian
inkontinensia urin perlu dicatat selama 2-7 hari. Catatan ini dapat memberikan
kunci diagnostik yang berharga. Sebagai contoh, inkontinensia yang terjadi
hanya antara jam 8.00 sampai siang hari mungkin disebabkan oleh diuretik yang
diminum pagi hari.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan abdomen,
rectum, dan genital untuk mencari adanya pembesaran kandung kemih atau prostat
atau gangguan saraf sacrum. Pada pasien usila yang sudah renta/rapuh perlu
diperhatikan status mobilitas dan status mentalnya karena berkaitan dengan
terjadinya inkontinensia urin. Terabanya kandung kemih pada pemeriksaan fisik
mungkin menunjukkan adanya inkontinensia overflow
akibat dari obstruksi kandung kemiah atau tidak berkontraksinya kandung kemih.
Sistokel yang besar menunjukkan adanya inkontinensia stress, hipestesia
perianal menunjukkan inkontinensia overflow akibat denervasi sakral. Adanya
parkinsonisme atau riwayat strok mengarahkan kemungkinan suatu inkontinensia
urgensi akibat ketidakstabilan kandung kemih.
Pendekatan berikut mungkin relatif tidak invasif,
akurat, hemat biaya dan ditoleransi dengan baik. Tahap pertama adalah
mengidentifikasi adanya inkontinensia urin tipe overflow (sisa air kemih lebih atau sama dengan 450 ml), bila
sesuai secara klinis, pasien dapat dirujuk ke ahli urologi dan dapat
dikateterisasi. Untuk 90-95% pasien sisanya tergantung jenis kelamin pasien.
Karena obstruksi jarang terjadi pada pasien wanita, diagnosis banding umumnya
antara inkontinensia stress atau overaktivitas detrusor. Kebocoran akibat stress atau tekanan harus dicari selama
pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien, bila pasien usila
wanita tersebut merasakan bahwa kandung kemihnya penuh, diminta untuk
beristirahat dan batuk dengan kuat segera sehingga kebocoran dapat segera
diamati. Tidak hanya kebocoran yang teratur pada saat dilakukan stress maneuvers merupakan bukti yang
kuat bahwa bukan suatu inkontinensia stress.
Pada
pria, inkontinensia urin tipe stress jarang dijumpai. Masalah yang biasanya
dijumpai adalah membedakan overaktivitas detrusor
dengan obstruksi. Tahapan berikutnya adalah mencari kemungkinan adanya
hidronefrosis pada pria dengan sisa urin melebihi 200 ml, dan merujuknya atau
mengosongkan kandung kemih (dekompresi). Bila hidronefrosis tidak dijumpai
namun terdapat obstruksi, pasien tetap dirujuk untuk menjalani kemungkinan
tindakan pembedahan. Untuk yang lain, pada pasien-pasien dengan gejala
inkontinensia urgensi diduga karena overaktivitas detrusor dapat diberi pengobatan. Obat-obat untuk merelaksasi
kandung kemih seyogyanya dihindari pada pasien dengan sisa urin 150 ml atau
lebih. Pendekatan yang sama juga disarankan pada pasien dengan gangguan
kognitif yang dapat diamati secara dekat. Pasien usila pria tanpa inkontinensia
urgensi yang gagal dengan terapi empiris, dan yang terganggu fungsi kognitifnya
harus dirujuk.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus bersifat individual,
tergantung pada pasiennya, karena faktor-faktor di luar saluran kemih sering
kali mempengaruhi kelayakan dan efektivitas pengobatan.
Berbagai pilihan terapi tersedia untuk
penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti cara pengobatan behavioral (perilaku), lingkungan,
obat-obatan dan pembedahan. Karena patofisiologi inkontinensia urin kompleks,
pasien sering mendapatkan manfaat dengan kombinasi dari cara pengobatan
tersebut. Di samping itu, inkontinensia tipe urgensi, stress dan fungsional
sering terjadi bersamaan pada pasien yang sama.
1. Inkontinensia
Urgensi
Intervensi
perilaku merupakan dasar terapi pada inkontinensia tipe ini. Latihan kandung
kemih akan memperpanjang interval berkemih. Bagi pasien dengan status kognitif
baik, teknik penanganan sendiri seperti latihan kebiasaan (habit training), latihan kandung kemih (bladder training) dan latihan otot dasar panggul adalah hal yang
praktis dan sesuai. Sebagai contoh, pasien yang mengalami inkontinensia urin
tiap 3 jam diminta untuk berkemih tiap 2 jam sekali dan menahan keinginan
berkemih diantara waktu itu. Latihan tersebut terus dilakukan dengan
memperpanjang interval berkemih secara bertahap sampai dapat dicapai hasil yang
memuaskan. Bagi pasien dengan gangguan mobilitas, habit training dan penjadwalan ke toilet (scheduled toileting) adalah paling bermanfaat. Pasien ditanya
apakah ingin berkemih tiap 2 jam. Bila pasien menyatakan iya, pasien diantarkan
ke toilet. Sebagian dari mereka akan tetap kering (tidak mengompol) dengan
upaya tersebut di atas, namun diperlukan keterlibatan pemberi pelayanan (tenaga
medik atau non medik) yang konsisten dan berkesinambungan.
Dukungan
lingkungan juga membantu terapi perilaku. Memperbaiki kamar mandi, cahaya
penerangan yang cukup, tinggi tempat duduk toilet, dan pegangan bagi pasien
merupakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan.
Sarana
lain seperti pembalut (pads, diapers,
absorbent pants atau disposable pants)
merupakan benda-benda yang bermanfaat, khususnya pada pasien yang imobil yang
mengalami kesulitan mengatur jadwal ke toiletnya. Kateter kondom dapat menolong
tetapi sering menyebabkan lecet dan mengurangi motivasi untuk tetap kering dan
mungkin tidak layak untuk penis yang kecil. Kateter uretra yang menetap tidak
direkomendasikan karena biasanya mengeksaserbasi overaktivitas detrusor. Jika tetap harus digunakan
(misalnya untuk member kesempatan ulkus dekubitus menyembuh) kateter yang kecil
dengan balon yang kecil pula dapat dipilih untuk menghindari kontraksi detrusor yang menyebabkan kebocoran di
sekitar kateter.
Jika overaktivitas detrusor menetap, obat dapat membantu
terapi behavioral, seperti
oksibutinin, tetapi tidak dapat menggantikannya karena pada umumnya obat tidak
dapat menghilangkan sama sekali overaktivitas dan kerja yang saling melengkapi
seperti oksibutinin dan imipramin, akan meningkatkan manfaat dan mengurangi
efek samping. Obat-obat dengan efek samping antikolinergik yang lebih poten
seperti supositoria beladona, seyogyanya dihindari pada usila.
2. Inkontinensia
Overflow
Terapi
yang sesuai tergantung pada penyebabnya, apakah obstruksi atau kandung kemih
yang tidak berkontraksi. Inkontinensia urin akibat obstruksi prostat yang
membesar diatasi dengan pembedahan (TUR/prostatektomi). Pasien yang mempunyai
kondisi fisik yang baik umumnya berespon baik terhadap pembedahan. Setelah
operasi harus tetap diikuti untuk melihat apakah dalam jangka panjang terdapat
masalah inkontinensia lagi atau tidak.
Banyak
usia lanjut yang mendapat gangguan kandung kemih setelah masa strok dapat
membaik dengan gabungan usaha pelatihan, obat dan rehabilitasi. Keberhasilan
usaha ini amat tergantung kepada tim yang beranggotakan para profesi (dokter,
perawat), keluarga pasien dan pasien, sehingga pasien mengerti maksud perawatan
ini, dan menimbulkan motivasi yang kuat. Bila keadaan tidak memungkinkan dengan
pembedahan, dekompresi kandung kemih urin dengan kateter dapat dilakukan.
Pada
inkontinensia urin akibat tidak berkontraksinya kandung kemih, kadang-kadang
berespons dengan terapi medikamentosa atau dekompresi setelah retensi urin yang
akut, namun seperti pada neurogenic
bladder, biasanya memerlukan kateterisasi intermitten setiap 4-6 jam.
Pada obstruksi uretra tanpa retensi
urin, modifikasi kebiasaan berkemih dan ekskresi cairan mungkin sudah cukup.
Jika tidak, antagonis adrenergik alfa dapat menolong pada pria yang ingin
menunda pembedahan. Manfaatnya dapat diobservasi dalam beberapa minggu.
3. Inkontinensia
Stress
Inkontinensia
tipe ini dapat diperbaiki dengan menyesuaikan/mengatur ekskresi cairan dan
interval berkemih untuk memelihara volume kandung kemih di bawah ambang.
Latihan otot dasar panggul 30-200 kali sehari dapat mengurangi inkontinensia
terutama pada wanita usia lanjut dengan status kognitif dan motivasi yang baik.
Latihan ini dilakukan dengan cara menegangkan atau mengkontraksikan otot dasar
panggul selama sekitar 5 detik, dan diulangi sekitar 4-5 kali setiap jamnya.
Berbagai cara untuk memahami latihan otot dasar panggul ini, antara lain dengan
instruksi agar pasien berusaha menutup/mengeraskan otot-otot anus dan otot
vagina, atau secara mendadak menghentikan aliran kemihnya, atau pada
pemeriksaan colok dubur diinstruksikan pasien berusaha menjepit jari pemeriksa.
Masalah Khusus
Banyak usia lanjut dianggap apatis terhadap keadaan
inkontinensianya. Oleh karena itu dalam penilaian harus dicari betul apakah ini
depresi atau tidak, sehingga perlu pemberian obat-obat anti depresan. Apatis
juga dapat merupakan usaha pasien untuk mengatasi keadaan inkontinensianya.
Secara ideal mengingat cukup banyak kasus dengan
inkontinensia, maka perlu ada 1 tim inkontinensia, yang terdiri dari
professional; dokter, perawat, rehabilitasi, psikiater, yang bersama keluarga
pasien dan pasien sendiri untuk mengatasi hal ini. Dengan program yang
terencana, pendidikan dan latihan, serta dukungan ahli urologi/bedah maka
sebagian besar kasus dapat ditangani. Di Negara yang telah maju banyak organisasi
yang mengkhususkan pada masalah inkontinensia, yang sangat membantu pasien.
Walaupun inkontinensia termasuk dalam pelayanan kesehatan, dengan adanya
organisasi-organisasi seperti ini, pasien lebih mendapatkan perhatian.
DAFTAR PUSTAKA
Resnick NM. Urinary
Incontinence. Lancet 1995; 346: 94-9.
Palmer
RM. Ambulatory Management of Urinary Incontinence in The Elderly. Geriatrics
1990; 45: 61-6.
Siti
Setiati. Perubahan Status Fungsional dan Kognitif pada Pasien Usia Lanjut yang
Dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS. Persahabatan. Makalah Akhir
PPDS Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM. Februari 1996.
Ouslander
JG. Incontinence. In: Hazzard WR, et al (eds). Principles of Geriatric Medicine
and Gerontology. International Edition. New York, McGraw-Hill. 1994: 1229-50.
Van
Der Cammen, Rai GS, Exton-Smith AN. Urinary Incontinence. In: Manual of
Geriatric Medicine. Singapore. Churchill Livingstone, 1991: 254-63.
Mc
Guire EJ. Identifying and Managing Stress Incontinence in The Elderly.
Geriatrics. 1990; 45: 44-52.
Moody
M. Incontinence. Patient Problems and Nursing Care, Heinemann Nursing, Oxford,
1990.