Monday, February 1, 2016

PERAN RADEN ADJENG KARTINI DALAM MEMPERJUANGKAN EMANSIPASI WANITA TAHUN 1879 – 1904



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
      Sebagai seorang wanita yang memperjuangkan hak perempuan di Indonesia, Raden Ajeng Kartini terbukti telah berhasil mewujudkan impiannya untuk menyuarakan emansipasi bagi seluruh perempuan yang ada di Indonesia dan dampaknya dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa Raden Ajeng Kartini bukanlah pahlawan karena beliau tidak terjun langsung menghadapi penjajah di medan perang namun pada jaman itu, beliau adalah satu-satunya perempuan yang berani melawan penjajah yang telah membelenggu perempuan dari kebodohan dan tidak mempunyai kebebasan dalam mendapatkan haknya.
      Apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki pengaruh besar yang positif dalam menginspirasi seluruh wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh wanita yang akan selalu menjadi inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak akan pernah lekang oleh waktu.
      Untuk meneruskan perjuangannya, kini bangsa Indonesia memperingati hari kartini setiap tanggal 21 April, yaitu hari di mana Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Pada hari Kartini ini, seluruh bangsa Indonesia terutama kaum perempuan memperingatinya dengan berbagai cara, seperti melestarikan kebaya, batik, dan kain tenun sebagai busana yang dapat digunakan sehari-hari. Selain itu, pastinya peringatan hari Kartini juga dimaknai dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh seluruh perempuan di Indonesia, di mana perempuan juga bisa beraktualisasi dan memberikan kontribusi nyata dalam setiap aspek kehidupan.
      Pemikiran-pemikiran Kartini yang sedemikian berani, kritis, sistemik terlihat dari berbagai surat-surat dan artikel yang sudah menyebar di majalah-majalah wanita Eropa harus didampingi oleh orang Belanda agar tidak keluar dari visi penjajahan kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Khususnya pemikiran tentang gugatan emansipasi di zaman yang sudah mendunia kala itu bahwa pemikiran tentang kewanitaan sangat mengagetkan wanita-wanita Eropa. Penjajahan tidak hanya feodalisme dan kapitalis dunia, akan tetapi diskriminasi terhadap kaum wanita di seluruh dunia bisa dikatakan bagi kaum wanita merupakan era penjajahen gender, bahkan untuk negara penjajah sendiri seperti Belanda dan Eropa lainnya, kaum wanita merasa terjajah oleh sistem negerinya sendiri. Dan Kartini ibarat sinar yang mampu menggugah pemikiran wanita-wanita Eropa untuk bangkit menjadi kaum yang mandiri yang tidak hanya takluk oleh kaum pria dan sistem yang melingkupi budaya kewanitaan.
            Namun, banyak kalangan yang menganggap peran Kartini hanya sebatas mitos. Seperti pendapat yang dikemukakan sejarawan Tiar Anwar Bahtiar (2009:1) yang mengatakan “mengapa harus Kartini yang menjadi simbol kebangkitan wanita Indonesia?”. Hal yang sama juga dikemukakan Harsja (2009:1), Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
            Terlepas dari kontroversi tersebut, kita juga tidak bisa membantah bahwa Kartini sudah terlanjur dijadikan simbol kebangkitan wanita di Indonesia. Hidup yang singkat tidak menjadikan pemikiran Kartini (1879-1904) terbelenggu dan hilang ditelan zaman. Kepeduliannya terhadap pendidikan bagi kaum perempuan membuat ia senantiasa menjadi pusat perhatian. Kartini menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap ketertindasan dan ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan.
            Semasa hidupnya, Kartini tumbuh dan berkembang di kalangan priyayi. Sebagai anak bupati, masa kecilnya erat dengan ketatnya aturan yang mengekang. Berawal dari kondisi inilah ia lalu aktif mengemukakan gagasan-gagasan tentang pendidikan bagi perempuan. Ia berhasil menjadi inspirasi bagi kemunculan pendidikan bagi perempuan, seperti sekolah Dewi Sartika (1904), Putri Mardika (1912), dan banyak sekolah bagi perempuan pada masa pergerakan nasional. Bahkan pada 1912, didirikan sekolah Kartini di banyak kota di Jawa atas dorongan Van Deventer, seorang penggagas politik etis (Soelaiman, 2005:18).
            Gagasan-gagasannya kian deras meluncur ketika ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran barat yang liberal melalui kolega ayahnya, seperti J.H. Abendanon dan Dr. Adriani. Hal lain yang turut mendorong perkembangan Kartini adalah semangat Politik Etis yang pada saat itu berkembang. Dari sanalah, Kartini aktif melakukan korespondensi selama lima tahun sejak 1899 dengan kenalannya dari Belanda, seperti Stella Zeehandelaar, Prof. dan Ny F.K. Anton, dan Ny. Abendanon. Tulisan-tulisannya banyak berisi tentang kehidupan keluarga, adat, keterbelakangan wanita, serta yang paling utama adalah pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan.
      Berangkat dari fenomena di atas, dan terlepas dari pro-kontra tentang mitos peran Kartini, kita juga tidak bisa memungkiri kalau simbol tersebut selama ini telah membangkitkan semangat wanita Indonesia untuk maju dan berkarya seperti kaum pria. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “Peran Raden Adjeng Kartini dalam Memperjuangkan Emansipasi Wanita tahun 1879 – 1904 .”

1.2.Rumusan Masalah
      Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
1.2.1        Bagaimana cita-cita R.A Kartini di masa beliau masih hidup?
1.2.2        Bagaimana peran R.A Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia?
1.2.3        Apa saja hambatan R.A Kartini yang berhubungan dengan perjuangan emansipasi wanita di Indonesia?

1.3.Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1        Untuk mengetahui cita-cita R.A Kartini pada masa beliau masih hidup.
1.3.2        Untuk mengetahui peran R.A Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia
1.3.3        Untuk mengetahui karya-karya R.A Kartini yang berhubungan dengan emansipasi wanita.
1.4.Manfaat Penelitian
            Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1    Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah referensi dan literatur baik itu bagi masyarakat umum maupun bagi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, khususnya bagi jurusan Ilmu Pendidikan Sejarah, tentang sejarah R.A Kartini dan perannya dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
1.4.2    Secara praktis penelitian ini menambah wawasan bagi penulis sendiri tentang penulisan karya tulis ilmiah, khususnya untuk memahami dan mengetahui sejarah dan peran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.

1.5.      Sistematika Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan yang terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I             Pendahuluan. Dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II      Kajian Pustaka. Dalam bab ini diuraikan konsep-konsep teori tentang emansipasi wanita di Indonesia.
BAB III    Metode Penelitian. Dalam bab ini diuraikan metodologi penelitian yang mencakup jenis penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data.
Bab IV      Hasil dan Pembahasan tentang RA Kartini yang meliputi cita-cita, peran, dan pemikiran-pemikiran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
Bab V        Penutup. Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan hasil penelitian dan memberikan beberapa saran-saran.

  
BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1.      Perjuangan Emansipasi
Walau realitas yang ditangkap dari pemikiran Kartini berasal dari kehidupan wanita kalangan menengah ke atas, tak membuat pemikirannya terkerdilkan. Dalam keterbatasannya, hakikatnya ia telah melakukan perjuangan gender. Perjuangan memperjuangkan keadilan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Kini telah lebih seabad sejak Kartini mengungkapkan gagasan-gagasannya, tetapi kondisi yang hampir sama masih terjadi. Semasa hidupnya, Kartini gigih dalam melawan subordinasi. Sebuah keadaan yang menomorduakan perempuan, sekaligus sebuah lambang ketakberdayaan. Sampai saat ini, kondisi yang dilawan Kartini masih terjadi dan sudah seharusnya menjadi tugas untuk diatasi.
Selain subordinasi, pada saat ini ada banyak hal yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan keadilan gender. Permasalahan marginalisasi perempuan diduga kuat masih selalu dialami, apalagi di kalangan para pekerja kecil. Selain itu, stereotipisasi juga masih erat melekat. Adanya pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan tak berdaya merupakan gambaran stereotype yang sering dijumpai. Mental inilah yang menghambat perkembangan pergerakan perempuan secara internal (Soelaiman, 2005:22).
Permasalahan lain yang masih dijumpai adalah double burden atau beban ganda perempuan. Pada kalangan menengah ke bawah tak jarang “jam kerja” perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Perempuan bahkan berperan sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga sekaligus. Satu hal lagi yang patut menjadi catatan dalam perjuangan gender adalah permasalahan kekerasan (violence). Kekerasan psikis, fisik, ekonomi, dan seksual, menjadi pekerjaan yang harus diprioritaskan untuk diselesaikan oleh Kartini-Kartini masa kini.

      2.   Surat-surat
            Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini (Wikipedia, 2010).
            Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda (Wikipedia, 2010).
            Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini (Kattopo, dkk, 2009:150).
            Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
            Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
            Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu...” Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah (Wikipedia, 2010).
            Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi (Wikipedia, 2010).
            Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini (Kattopo, dkk, 2009:151).

G.  Metode Penelitian
      1.   Desain Penelitian
            Desain dalam penelitian ini menggunakan metode historis, yaitu suatu metode penelitian yang khusus digunakan dalam penelitian sejarah dengan melalui tahapan tertentu. Penerapan metode historis ini menempuh tahapan-tahapan kerja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Notosusanto (2001:17) sebagai berikut:
-          Heuristik, yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau.
-          Kritik (sejarah), yaitu menyelidiki apakah jejak itu sejati baik bentuk maupun isinya.
-          Interpretasi, yaitu menetapkan makna dan saling berhubungan dari fakta yang diperoleh sejarah itu.
-          Penyajian, yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sebuah kisah.

      2.   Teknik Pengumpulan Data
            Sesuai dengan metode historis di atas, maka langkah proses dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a.   Heuristik (Menemukan)
            Tahapan pertama yaitu mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Mengumpulkan sumber yang diperlukan dalam penulisan ini merupakan pekerjaan pokok yang dapat dikatakan gampang-gampang susah, sehingga diperlukan kesabaran dari penulis. Menurut Notosusanto (2001:18) heuristic berasal dari bahasa Yunani Heuriskein artinya sama dengan to find yang berati tidak hanya menemukan, tetapi mencari dahulu. Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian, temuan benda maupun sumber lisan.
b.   Kritik Sumber
            Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa; buku-buku yang relevan dengan pembahasan yang terkait, maupun hasil temuan di lapangan tentang bukti-bukti di lapangan tentang pembahasan. Setelah bukti itu atau data itu ditemukan maka dilakukan penyaringan atau penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin.
            Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu dalam pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan kritik ini adalah otentitas (authenticity).
            Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku) adalah otentik atau asli jika itu benar-benar produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya) atau jika itu yang dimaksudkan oleh pengarangnya.
            Kritik sebagai tahapan yang juga sangat penting terbagi dua, yakni intern dan ekstern. Notosusanto (2001:20) menegaskan hal ini:
Setiap sumber mempunyai aspek intern dan aspek ekstern. Aspek eksternnya bersangkutan dengan apakah sumber itu memang sumber, artinya sumber sejati yang dibutuhkan. Aspek internnya bertalian dengan persoalan apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang kita butuhkan. Karena itu, penulisan sumber-sumber sejarah mempunyai dua segi ekstern dan intern.

            Kritik ekstern atau kritik luar dilakukan untuk meneliti keaslian sumber, apakah sumber tersebut valid, asli atau bukan tiruan. Sumber tersebut utuh, dalam arti belum berubah, baik bentuk maupun isinya. Kritik ekstern hanya daapat dilakukan pada sumber yang menjadi bahan rujukan penulis. Disamping itu penulisan ini juga didasarkan pada latar belakang pengarang dan waktu penulisan. Kritik intern atau kritik dalam, dilakukan untuk menyelidiki sumber yang berkaitan dengan sumber masalah penelitian . Tahapan ini menjadi ukuran sejau mana objektifitas penulis dalam mengelaborasi segenap data atau sumber yang telah diperolehnya, dan tentunya mengedepankan prioritas.
            Setelah menetapkan sebau teks autentik, serta referensi pengarang, maka penulis akan menetapkan apakah keaslian itu kredibel dan sejauh mana hal tersebut mempengaruhi objek kajian. Pada tahap ini pula kita dapat keabsahan suatu sumber yang kemudian akan dikomparasikan sumber satu dengan sumber yang lainnya, tentunya dengan masalah yang sama.
c.   Interpretasi
            Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip, buku-buku yang relevan dengan pembahasan, maupun hasil penelitian langsung dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah.
d.   Historiografi
            Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dariseluruh rangkaian dari metode historis. Tahapan heuristik, kritik sumber,serta interpretasi, kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi.

      3.   Teknik Analisis Data
            Dalam penelitian ini teknik analisis data yang diterapkan adalah teknik identifikasi, semua data yang diperoleh. Data tersebut kemudian diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini. Akhirnya data tersebut diolah dan dianalisis untuk menentukan bagaimana peran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Maka langkah-langkah yang diambil adalah sebagai berikut :
1)   Mengumpulkan sejarah tentang RA Kartini
2)   Mengumpulkan sejarah tentang pemikiran-pemikiran RA. Kartini
3)   Menganalisis peran RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita

  
DAFTAR PUSTAKA

Asma Karimah, 2004. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi. Bandung: Hanifah.

Katoppo, dkk. 2009. Satu Abad Kartini (1879-1979). Jakarta: Sinar Harapan

Maryanto, DA. 2003. Raden Ajeng Kartini: Pahlawan Emansipasi Wanita. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Notosusanto, 2001. Metode Penelitian Sejarah (Metode Sejarah). Jakarta: UI Press.

Pringgodigdo, dkk. 2003. Ensikolopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius

Ricklef, dkk. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Soeleiman, 2005. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi Bangsa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sulastin Sutrisno, 2001. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Jakarta: Djambatan

Yuniar, 2011. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Agung Media

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN MELALUI KONFRONTASI



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Perang adalah sengketa bersenjata antara dua Negara atau lebih, yang dilaksanakan oleh Angkatan Bersenjata masing-masing negara dan diatur dalam Hukum Internasional.[1]
Terdapat perbedaan mengenai peristiwa-peristiwa yang melibatkan penggunaan pasukan bersenjata akan tetapi hanya dipakai dalam bentuk dan jumlah yang terbatas, yang tidak mempengaruhi tingkat perdamaian antar kedua negara; serta  bentuk-bentuk penggunaan pasukan bersenjata yang memang merupakan perang.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 Republik Indonesia secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Kerajaan Belanda. Melihat hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Belanda ini maka dalam Sidang Umum PBB tahun 1961 kembali masalah ini diperdebatkan. Pada waktu terjadi ketegangan Indonesia dengan Belanda, Sekretaris Jenderal PBB U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker untuk mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat.
Pada bulan Maret 1962 Ellsworth Bunker mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia yang dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Akhirnya Indonesia menyetujui usul Bunker tersebut dengan catatan agar waktu dua tahun itu diperpendek. Sebaliknya Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau melepaskan Irian bahkan membentuk negara “Boneka” Papua. Dengan sikap Belanda tersebut maka tindakan bangsa Indonesia ditingkatkan menjadi konfrontasi.[2]
Dalam mempersiapkan pembentukan negara RIS, pada tanggal 15-16 Desember 1949, Moh. Roem memimpin sidang Panitia Pemilihan Nasional (PPN) di Jakarta. Keputusan siding PPN yaitu memilih Ir.Soekarno sebagai Presiden RIS dan Drs. Moh.Hatta sebagai wakilnya, dan sebagai pemangku jabatan (acting) Presiden Republik Indonesia yaitu Mr.Asaat. Pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat, yaitu di Belanda, Jakarta, dan Yogyakarta.[3]

B.     Perumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
a.       Apakah yang dimaksud konfrontasi?
b.      Berapakah peristiwa yang terjadi di Indonesia dalam konfrontasi?
c.       Peristiwa apa-apa saja yang terjadi dalam konfrontasi?

C.    Tujuan Masalah
            Yang menjadi tujuan dari permasalahan adalah:
a.       Untuk  mengetahui maksud dari konfrontasi.
b.      Untuk  mengetahui berapakah peristiwa yang terjadi di Indonesia dalam konfrontasi.
c.       Untuk mengetahui peristiwa apa-apa saja yang terjadi dalam konfrontasi.

D.    Manfaat Masalah
            Manfaat dari permasalahan adalah sebagai berikut:
a.       Kita dapat mengetahui maksud dari konfrontasi.
b.      Kita dapat mengetahui berapa peristiwa yang terjadi di Indonesia dalam konfrontasi.
c.       Kita dapat mengetahui peristiwa apa-apa saja yang terjadi dalam konfrontasi.



BAB II
PEMBAHASAN

Upaya Mempertahankan Kemerdekaan Melalui Konfrontasi
Dalam mempersiapkan pembentukan negara RIS, pada tanggal 15-16 Desember 1949, Moh. Roem memimpin sidang Panitia Pemilihan Nasional (PPN) di Jakarta. Keputusan siding PPN yaitu:
1.      Memilih Ir.Soekarno sebagai Presiden RIS dan Drs. Moh.Hatta sebagai wakilnya.
2.      Sebagai pemangku jabatan (acting) Presiden Republik Indonesia yaitu Mr.Asaat.[4]

Pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat, yaitu di Belanda, Jakarta, dan Yogyakarta.

a.    Di Belanda
Ratu Yuliana, Perdana Menteri Williem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Mr. Sassen menyampaikan pengakuan kedaulatan kepada Moh.Hatta.

b.      Di Jakarta
Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.J.H.Lovink menyampaikan pengakuan kedaulatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

c.       Di Yogyakarta
Penyerahan kedaulatan RI kepada RIS dilakukan oleh pejabat Presiden Mr. Asaat kepada A. Mononutu (Menteri Penerangan RIS) Usaha melalui aktivitas diplomasi belum membawa hasil, maka strategi lain yang dilakukan bangsa Indonesia adalah melalui aktivitas bersenjata.

·         Konfrontasi di Indonesia
Dalam hal ini terjadinya konfrontasi demi mempertahankan kemerdekaan. Konfrontasi adalah Bentuk konflik bersenjata antara dua Negara atau lebih sering disebut dengan istilah “perang(war).[5] Ada 9 peristiwa terjadinya konfrontasi di Indonesia, yaitu:

1)      Insiden Bendera di Surabaya
Di Surabaya pada tanggal 19 September 1945 terjadi peristiwa yang terkenal dengan sebutan Insiden Bendera di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya. Beberapa orang Belanda bertindak gegabah, mereka mengibarkan bendera Belanda Merah Putih Biru di tiang bendera Hotel Yamato. Tindakan tersebut menimbulkan kemarahan rakyat yang kemudian menyerbu hotel itu dan menurunkan bendera tersebut serta merobek bendera yang berwarna biru dan mengibarkan kembali sebagai bendera Merah Putih.

2)      Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Pada tanggal 9 November 1945 komandan tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum sehubungan meninggalnya tentara Sekutu dari Inggris bernama Brigjen A.W.S. Mallaby. Isi ultimatum tersebut adalah “Semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus menyerahkan diri selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00.” Ternyata rakyat Surabaya tidak menggubris sama sekali ultimatum tersebut. Berbekal kebenaran dan keadilan dengan semangat membela dan mempertahankan kemerdekaan rakyat Surabaya bertempur pantang menyerah. Dalam pertempuran ini arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo dan Gubernur Jawa Timur R.A. Suryo.



3)      Bandung Lautan Api
Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu memasuki kota Bandung. Selanjutnya Sekutu mengeluarkan ultimatum agar Bandung Utara dikosongkan dan seluruh senjata rakyat diserahkan kepada Sekutu, tapi ultimatum tersebut disambut dengan pertempuran. Pada tanggal 23 Maret 1946 Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua. Sekutu menuntut agar rakyat mengosongkan seluruh kota Bandung. Ultimatum tersebut juga disambut dengan pertempuran. Namun pada saat pertempuran belangsung, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan instruksi agar TRI mengosongkan kota Bandung. Sebelum meninggalkan kota Bandung, TRI dan rakyat membumihanguskan kota Bandung Selatan.

4)      Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Medan. Mereka mencoba merebut seluruh kota Medan dan sekitarnya. Rongrongan pasukan Sekutu tersebut tidak dibiarkan, maka pada tanggal 13 Oktober 1945 meletus pertempuran besar yang disebut Pertempuran Medan Area.

5)      Pertempuran Ambarawa
Pasukan Sekutu dengan berbagai cara bermaksud membantu NICA untuk menjajah kembali Indonesia. Sehingga pertempuran hebat meletus di Ambarawa, dan menewaskan Komandan Resimen Banyumas yang bernama Letkol Isdiman. Pada tanggal 12-15 Desember 1945 pertempuran bertambah seru, sehingga Panglima Divisi Banyumas, Kolonel Sudirman mengambil alih pimpinan, pasukan diusir dan melarikan diri ke Semarang. Kemudian setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri.

6)      Pertempuran Merah Putih di Minahasa
Latar belakang terjadinya peristiwa itu adalah pasukan Sekutu melarang rakyat Minahasa untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Di bawah pimpinan C.H.Taulu, rakyat Minahasa bertempur melawan Sekutu. Ternyata mereka berhasil mempertahankan tetap berkibarnya bendera merah putih.

7)      Puputan Margarana
Pada tanggal 2-3 Maret 1946 Belanda mendarat di Pulau Bali. Kedatangan Belanda tersebut bermaksud untuk menguasai Pulau Bali. Oleh karena itu pada tanggal 18 November 1946 meletus pertempuran di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Pertempuran tidak seimbang, sehingga rakyat Bali mengadakan Perang Puputan, yang artinya perang habis-habisan di Margarana. I Gusti Ngurah Rai dan seluruh anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa.

8)      Peristiwa Westerling di Makassar
Disebut sebagai Peristiwa Westerling, karena pasukan Belanda dipimpin Kapten Raymond Westerling mengadakan pembunuhan massal terhadap rakyat Sulawesi Selatan pada tanggal 7-25 Desember 1947. Salah satu korban keganasan Westerling adalah gugurnya Wolter Monginsidi.

9)      Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang
Pada tanggal 1 Januari 1946 diadakan perundingan antara Belanda dan rakyat Palembang. Sewaktu perundingan sedang berlangsung, meletus pertempuran. Dalam pertempuran tersebut para pejuang Republik Indonesia berhasil menenggelamkan kapal pemburu di Sungai Musi dan melumpuhkan tank-tank milik Belanda. Akhirnya pada tanggal 6 Januari 1946 kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata.[6]

  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konfrontasi adalah Bentuk konflik bersenjata antara dua Negara atau lebih sering disebut dengan istilah “perang(war). Ada 9 peristiwa terjadinya konfrontasi di Indonesia, yaitu:
1)      Insiden Bendera di Surabaya
2)      Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
3)      Bandung Lautan Api
4)      Pertempuran Medan Area
5)      Pertempuran Ambarawa
6)      Pertempuran Merah Putih di Minahasa
7)      Puputan Margarana
8)      Peristiwa Westerling di Makassar
9)      Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang

B.     Saran
            Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dari kesempurnaan, maka agar makalah ini sempurna mohon kritik dan saran dari pembaca, dan penulis mengucapkan terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Sungkoro. Sejarah Pertahanan Indonesia. (Surabaya. Alfabeta. 2004)


Marheta.Diana. Sejarah Indonesia. (Surabaya. Alfabeta. 2002), Hal. 146

Nasution Ahmad. Dasar-dasar Sejarah Kemerdekaan Indonesia. ( Bandung. Tarsito, 1988)

Ibid. Hal. 235

Sungkoro. Adji. Pertahanan Kemerdekaan Indonesia. (Bandung. Tarsito. 2002)



[1] Ahmed Sungkoro. Sejarah Pertahanan Indonesia. (Surabaya. Alfabeta. 2004), Hal. 192
[2] Nasution Ahmad. Dasar-dasar Sejarah Kemerdekaan Indonesia. ( Bandung. Tarsito, 1988), Hal. 232

[3] Ibid. Hal. 235

[5] Marheta.Diana. Sejarah Indonesia. (Surabaya. Alfabeta. 2002), Hal. 146


[6] Sungkoro. Adji. Pertahanan Kemerdekaan Indonesia. (Bandung. Tarsito. 2002), Hal. 268